GUS AZZAM

By itsnour29

4.7M 285K 44K

[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas... More

Prolog : Gus Azzam
01 - Pertemuan setelah sekian lama
02 - Pesantren Al-Furqan
03 - Kewajiban
04 - Tidur bersama?
05 - Hukuman
06 - Takdir, bukan kebetulan.
07. Sahabat
08. Akish dan Alaska
09. Sakit, Rindu, Alaska.
10. Fitnah dan Jebakan?
11. Di balik kejadian.
12. Perasaan yang berlebihan
13. Hijrah itu lebih baik
14. Cacing Alaska
15. Tahajjud dan cinta nya
16. Aku, kamu, dan salah tingkah
17. Menjadi imam yang baik.
18. Masalalu yang lucu
19. Kecemburuan akan masa
20. Pembicaraan dan Renungan
21. Ada apa?
22. Sebagai Guru
23. Panggilan resmi
24. Bersama dengan nya
25. Kunjungan Mertua
26. Kehilangan di Pasar
27. Kemunculan Sadam
28. Putra Tengah Al-Furqan
29. Kedatangan & Kepergian
30. Pulang atau Pergi
31. Makanan Halal & Haram
32. Tabungan?
33. Beginilah cinta mereka
34. Perasaan Umma
35. Kembalinya Putra Tengah
36. Di balik Bingkai Foto
37. Secara tiba tiba
38. Kabar dan Sebuah Kurma
39. Beberapa panggilan
40. Perempuan yang di temui
41. Ngidam
42. Cerita setelah kerja bakti
43. Meninggalkan Pesantren
44. Pemuda Pemuda Syam
45. Hari Kelahiran
46. Hujan dan Maaf
48. Mata yang indah
49. Yang menemukan nya
50. Perempuan perempuan
51. Bertengkar dingin
52. Kembali berdamai
53. Berada di rumah kayu
54. Sebelum pamit
55. Sebuah Tragedi?
56. Pilihan yang mutlak
57. Kedatangan dalam diam
58. Keputusan berpoligami
59. Ada nya bukti?

47. Perihal Sadam

45.7K 2.4K 1.1K
By itsnour29

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

haiii, aku kembaliii 😨

5000kata
rajin nulis, tapi malas update 😋☝️

ADA SPOILER DI BAWAHHH.

minimal follow ig ini dulu lahh :
@storyknur
@mhmdd_azzam
@hanaafsheen_
@pageofalaska
@nnourshanie

******


1 tahun kemudian.

Sadam melihat sekitar. Tak ada siapapun di ndalem pada saat itu. Namun ia samar samar mendengar suara suara kucing di halaman belakang. Yang membuat ia berpikir bahwa seseorang bisa saja ada di sana bersama kucing kucing yang terus mengeong itu.

Sadam berjalan santai menuju ke sana. Ia masih mengawasi keadaan sekitar.

Dan sesuai dugaan nya.

Sadam melihat Azzam ada disana. Pria itu baru saja berdiri. Ia menoleh pada saat menyadari seseorang melihat nya. Ternyata Sadam.

"Kenapa?"

Azzam bertanya.

"Gua pengen ngomong sesuatu."

Azzam berdehem. Ia mengisyaratkan Sadam untuk menyingkir. Sadam memasang ekspresi jengkel. Ia awalnya tak ingin pergi, menurut nya, Azzam sangat suka berulah pada nya. Enak saja menyuruh nyuruh.

"Kenapa tidak menyingkir?"

"Enak aja gua di suruh suruh."

"Sadam."

"Hah."

"Tangan saya bau. Bau kucing. Menyingkir atau kamu dapat juga."

Sadam terkejut. Pria itu segera menyingkir, bahkan meninggalkan tempat nya. Ia membiarkan Azzam lewat disana.

Sementara Azzam, hanya bisa kebingungan dan memandang serius atas kepergian Sadam. Sadam menuju keluar ndalem. Sepertinya mereka akan berbicara di tempat yang di tentukan oleh nya.

"Tumben lo ngga sama Hana?"

Sadam melihat kakaknya itu baru saja datang setelah keluar dari ndalem. Mereka berteduh di bawah pohon mangga yang selalu Umma jaga. Tak siapapun, sepi, dan sesuai yang Sadam inginkan. Ia mengistirahatkan kedua tangan nya.

"Pergi dengan Umma."

Sadam terdiam. Ia mengangguk.

Azzam mengusap leher belakang nya. "Tadi mau bilang apa?"

"Jangan kaget, ya. Ini rahasia besar."

Azzam terdiam. Sadam mengangkat tangan nya. "Jangan kasih tau Umma dulu."

Pria itu berdehem. "lalu, kenapa harus saya yang di beritahu?"

"Takut Umma. Apalagi Abah. Jangan tanya lagi."

Azzam sedikit bingung. Baru kali ini Sadam terlihat serius. Biasanya, pria itu akan selalu saja bercanda. Azzam menggeleng-geleng kepala. Sadam terlihat ragu harus memulai dari mana.

"Mulai dari mana?"

Sadam mengepalkan tangan nya.

"Gua udah nikah."

Hening. Kedua alis Azzam mengerut tajam. Ia memiringkan kepalanya. Menatap adiknya bingung. Bingung. Bingung sekali. Dan ia juga bertanya tanya. Ia juga terkejut. Perasaan itu yimbum di saat yang bersamaan.

"Apa maksud kamu? Kamu bercanda?" Tanya Azzam awalnya tak percaya. Sadam mengacak rambut nya.

"Udah gua duga ini jawaban lo." Sadam menghentikan dirinya. "Tapi ini nyata, zam. Ini udah lama. Boleh berkata kasar ga sih."

"Tidak." Azzam menggeleng.

Pria itu masih terkejut. "Bagaimana? Dan kapan? Sadam?" Azzam mendorong pundak nya. "Tunggu, tunggu sebentar. Kamu bilang, ini rahasia besar. Kamu bilang ini sudah lama. Sejak kapan? Kenapa orang orang ndalem tidak boleh tau? Apalagi Umma?"

Sadam terdiam untuk sesaat. Ia mengangkat pandangan nya. Respon Azzam sesuai dengan ekspektasi nya tapi ini lumayan sedikit jauh. Ia pikir, pria itu akan merespon nya datar. Tapi tunggu, bagaimana bisa di respon datar begitu saja? Sadam mengatakan nya tiba tiba. Dan ini membuat keterkejutan.

"Zam, ijinin gua cerita."

Azzam yang melirik ke arah lain awalnya, kini menatap Sadam. Tatapan nya tajam.

"Ya, silahkan."

Sadam berdehem.

"Ingat, cewe yang pernah gua ceritain?"

Alis nya terangkat. Azzam menatap Sadam kembali. "Kenapa dia?"

"Nah itu."

"Siapa namanya?"

"Ayra."

Azzam memegangi kepalanya. Sementara Sadam mengusap leher belakang nya. Mereka sama sama gelisah. Terlebih lagi Sadam. Namun sesaat, ia merasakan pundak nya di tepuk.

"Kapan?"

"Setelah Ali di lahirkan."

Azzam mencengkram pundak nya. Sadam lumayan terkejut.

"Kenapa baru cerita?"

Sadam melepaskan tangan Azzam. Ia lumayan takut dengan kakak nya. Sadam mengingat ingat alasan nya.

"Karena, gua takut. Takut sama Ayra. Gua pikir, Ayra itu melihat gua bukan sebagai pria baik baik. Gua malu mengakui diri sebagai seorang Gus."

Azzam menyingkirkan tangan nya. Pria itu menghela nafas dan menatap Sadam lumayan lama. Sedangkan Sadam, ia masih gelisah. Badan nya mengarah ke arah lain. Terlihat, Azzam sedang mencoba mengobrol kekesalan nya. Ia terkejut, dan semakin terkejut, saat mengetahui Sadam sudah lama dan lumayan rapih menyembunyikan nya.

"Lalu, bagaimana? Ini hubungan dekat kamu, Sadam." Azzam mengangkat tangan nya. "Beritahu Umma atau saya bertindak."

"Zam.. jangan."

"Lalu, bagaimana dengan istri mu itu sekarang?"

Sadam menatap ke arah lain. "Dia aman, di rumah gua yang dulu."

"Oh, apakah ini yang jadi alasan, kenapa saya tidak boleh masuk ke rumah kamu yang dulu saat mengambil barang?"

Sadam memberi isyarat benar. "Nah, Ayahnya Khalid Ibrahim ternyata pinter."

Azzam terdiam menatap nya. Meski dalam keadaan gelisah, Sadam masih saja terus membangkitkan suasana. Azzam menggeleng tak habis pikir.

"Apa rencana kamu?"

Sadam menoleh. Azzam menatap nya penasaran.

"Beritahu Umma setelah semua nya siap."

"Siap?"

Sadam mengepalkan tangan nya. "Gua mau bawa Ayra ke sini."

****

Azzam baru saja menyadari jika Sadam tak hadir di masjid pada saat itu. Pria itu sudah mengatakan pada nya bahwa ia akan kembali ke rumah nya yang dulu yang ternyata belum ia gadaikan. Ternyata, disanalah Ayra ia amankan.

Pria itu benar benar tak habis pikir. Ia masih tak percaya jika Sadam berulah sejauh itu. Rahasia nya terlalu rapih.

Namun, ada beberapa kejanggalan yang Azzam sempat dapatkan. Seperti letak cincin yang Sadam gunakan, dan pria itu yang selalu bertelepon di tengah malam. Suara nya samar samar, dan Sadam selalu menghabiskan waktunya di teras ndalem.

Azzam tak pernah berpikir bahwa Sadam sudah menikah. Namun pria itu memilih untuk merahasiakan nya sampai siap.

Pikiran nya selalu mengarah pada hal itu, sampai tak sadar jika ia sudah sampai di ndalem.

"Ali udah tidurrr."

Azzam memegangi pegangan pintu kamar nya. Ia mengintip ke dalam sana. Ia melihat Hana sedang berdiri di dekat pintu dan memberi isyarat untuk memelankan suara nya.

Azzam memasang senyum. Hana mencubit pipi nya.

"Lalu? Kenapa kalau Ali tidur?"

"Ya jangan ribut." Perempuan itu menghela nafas. Ia menyandarkan dirinya di dinding. "Dia ini kalau merengek benar benar bikin ampun."

Azzam membuka pintu kamar dengan lebar yang membiarkan dirinya masuk. Kemudian tak lama pula, ia menutup nya lagi. Hana menoleh menatap nya.

"Tapi kalau lagi tidur, benar benar tenang muka nya."

Pria itu memilih untuk ikut bersandar di pintu. Kedua alis Hana mengerut dan ia di buat bingung dengan tingkah suami nya. Ia mencubit nya lagi, tapi kali ini di lengan nya. Azzam memegangi lengan nya.

"Sakit, Na.."

"Soalnya, Ali itu muka nya bikin gemes. Jadi lampiasin aja ke Kazam."

Azzam menatap nya lama. Hana menjauhkan wajah nya. Tapi pria semakin dekat dan mendaratkan kening nya di pundak perempuan itu. Hana terkejut dan ingin merengek kesal. Tapi apalah daya, sudah setengah mati ia menidurkan Ali, kali ini ia harus menjaga volume suara nya.

"Ihh, minggir!"

"Tidak. Tidak mau."

"Kazam, ingat, Kak Azzam udah jadi orangtua. Ngga malu kayak gini?"

"Kamu istri saya. Terserah saya mau apa."

Hana memendam kata kata nya. Ia mengepalkan tangan nya seakan geram. Ia mencubit lengan pria itu kembali, pria itu semakin mendekat pada nya. Bahkan memeluk nya.

"Kazam, aku kerasin suara nya biar Ali nangis, ya"

Azzam mengangkat pandangan nya. "Ali tenang kalau saya yang bershalawat."

Hana yang tadinya ingin mengepalkan tangan nya, kini di urungkan kembali oleh nya. Kekesalan nya di pendam hilang begitu. Azzam sadar jika respon istrinya tak terlihat. Ia mengangkat pandangan nya kembali kemudian memposisikan dirinya.

Hana menoleh ke arah nya. Pria itu menatap nya.

"Kenapa, hm? Lesu begini."

Perempuan itu masih diam. Wajah nya cemberut. Azzam merentangkan tangan nya. Dan Hana langsung datang untuk memeluk nya.

"Besok, bagian saya jagain Ali, kan? Kamu pasti lelah."

Hana memejamkan mata nya. Pelukan itu semakin erat. "Entahlah. Lelah tak lelah. Lagi pula, ini pengalaman pertama. Aku mana tau sebelum sebelumnya..."

Azzam terdiam. Tapi ia meringis saat Hana tiba tiba mencubit nya lagi. Perempuan itu tertawa di sela sela hening. Ia menyembunyikan wajah nya di dalam pelukan itu.

"Na.."

"Ih, ngga tau."

"Ali yang lucu, kenapa harus saya yang di cubit?"

"Soalnya.."

Hana diam sejenak.

"... Kazam itu Ayahnya."

Azzam menghela nafas. Hening lagi sesaat. Hana berpikir bahwa suami nya merespon datar untuk yang tadi ia lakukan barusan. Tapi ia tak melihat jika pria itu tersenyum salah tingkah di buat nya. Azzam mengeratkan pelukan itu.

"Oh, ya." Azzam kembali berbicara. Hana berdehem.

"Saya dapat ijin untuk cerita ke kamu."

"Kenapa? Siapa?" Hana melepaskan pelukan itu. Menatap nya. Azzam melirik ke arah lain.

"Perihal Sadam."

****

Hari itu berganti. Azzam menunggu kepastian dari Sadam akan pembicaraan mereka kemarin. Pria itu berencana untuk memberitahu Umma. Tapi sejujurnya, ia pun tak tau harus memulai dari mana.

Sadam memikirkan ini jauh jauh waktu. Bahkan ia mengaku tak bisa tidur di buatnya.

Tapi-

"Umma tau. Kamu mau bahas Ayra kan?"

Azzam yang bersandar di dinding luar kamar Umma, mendengar percakapan di dalam sana ikut terkejut. Ia sengaja berdiri disana atas permintaan Sadam. Ia bisa mendengar jelas, sebab pintu tak terlalu rapat di tutup.

"Umma tau Ayra itu siapa?"

Umma tertawa kecil. "Iya. Menantu Umma kan?"

Sadam terdiam. Rahang nya terlihat tegas. Pria itu berdehem dan memejamkan mata dengan singkat. Sadam merasakan tangan nya di tepuk Umma. Ia membuka pejaman mata nya.

"Darimana Umma tau?"

"Abah kamu yang bilang. Abah kamu ketemu dengan Ayah nya Ayra. Ternyata Ayah nya pernah jadi pengajar disini."

Sadam mengangkat pandangan nya. Kedua alis nya mengerut tajam. Tatapan nya menjadi serius. Azzam yang masih berdiri di luar, tertawa.

Azzam yang masih berdiri disana. Pria itu melihat sekitar dan melihat Hana baru saja pulang sehabis dari asrama santriwati. Perempuan itu terkejut melihat posisi suami nya. Kedua alis Azzam terangkat. Ia mengisyaratkan Hana untuk tidak mengeluarkan suara. Perempuan itu tersenyum dan berlari kecil mendekati Azzam.

"Kenapa?" Bisiknya.

"Sadam." Ia menunjuk ke dalam dengan ibu jari nya. Hana mengerti itu dan mengangguk.

Sementara Sadam. Ia melihat senyum manis Umma, seakan sedang memaklumi nya.

"Ustadz Bahr adalah Ayahnya. Dia pernah mengajar disini puluhan tahun yang lalu. Bahkan mungkin sempat ketemu kamu. Karena Bahr familiar sama muka kamu, jadi dia cari tau, ternyata itu benar kamu, Sadam." Umma menceritakan nya jelas. Sadam menopang dagu nya dengan tangan nya.

"Abah cerita, beliau bertemu dengan Abah setelah tau bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi karena sakit yang di derita nya. Dan benar, tak lama setelah Abah menerima kabar dari Ustadz Bahr, Bahr meninggal dunia." Umma menambahkan. Sadam terdiam mematung. Tak berani mengatakan apapun. Ketika mendengar nya, ia lumayan terkejut.

"Abah sebenarnya mau berurusan sama kamu." Umma tiba tiba saja menyentuh hidung mancung nya. Sadam tersadar.

"Dan Umma yang bujuk."

"Iya. Makanya Umma berani cerita ini."

Sadam mendengus. "Umma sudah tau, kenapa menunggu Sadam untuk datang?"

"Kamu sendiri. Selalu saja terlambat siap." Umma ikut mendengus. "Mana menantu Umma? Bawa ke sini."

Sadam hampir jatuh dari duduknya. Ia memperbaiki posisi duduknya. Mata nya berbinar binar.

"Boleh Sadam bawa Ayra?"

Umma tersenyum.

"Siapa yang bilang ngga boleh?"

Sadam bertakbir dalam batinnya.

****


Beberapa Minggu kemudian.

Pada saat itu, ia berdiri halaman belakang bersama Umma. Membereskan pot pot bunga dan juga memberi makan pada kucing kucing. Hana menemani Umma yang ada di sana. Dan terlihat sudah hampir selesai setelah menghabiskan waktu hampir satu jam.

"Umma."

"Ya?"

Hana mengamati pot. "Kata nya, bakalan ada yang dateng ya hari ini?"

Umma menoleh. Ia berpikir sejenak. "Iya. Ada yang bakalan dateng."

Hana tersenyum, dan terkekeh kecil.

"Aku ngga kepikiran kalau Sadam berani mengambil keputusan seperti itu. Sempat sempat nya dia menyembunyikan status pernikahan nya karena malu mengakui dirinya seorang Gus di depan Ayra."

Umma berdiri. Ia menoleh ke arah Hana. "Sadam selalu saja begitu. Dari dulu tidak berubah."

"Eh?"

"Akishh!!!"

Hana menoleh cepat dan terkejut ketika kucing berbulu tebal abu abu itu datang memasuki halaman belakang dan membuat gaduh disana. Ada suara Zhafran yang memekik memanggilnya.

"A-Akish.."

Zhafran terlihat tak bisa mengatur nafas nya. Anak kecil itu kesal karena kucing nya. Kucing nya berlindung di belakang kaki Hana. Ternyata, kucing itu mencium bau makanan dari halaman belakang.

"Aduh, kebiasaan sembunyi terus!"

Umma tertawa mendengar nya. "udah, udah. Jangan marahin kucing."

Zhafran menatap Umma nya. "Tapi, Umma. Akish ini kayak ngga suka kalau Zhafran main!"

"Main apa dulu? Mainin ekor nya, atau main main biasa?"

Zhafran terdiam. Anak kecil itu melihat sekeliling dan terlihat merenungi apa yang ia lakukan. Umma sangat tau, apa yang Zhafran selalu lakukan pada Akish. Anak itu sering mengaku bahwa Akish adalah kucing terlucu sedunia.

Khm, atau mungkin, kucing adalah makhluk terlucu sedunia.

Kecuali Sadam. Anak anaknya adalah pencinta kucing.

"Oh, iya." Zhafran memulai pembicaraan.

"Tadi, waktu Zhafran ngejar Akish, ada perempuan di teras. Lagi berdiri, kayak lagi nunggu. Dan Zhafran juga lihat, mobil Kak Sadam terparkir di area parkir."

Mata Hana melebar. Ia menatap Umma, begitupun sebaliknya. Mereka sama sama bingung. Tapi ketika mencerna lebih lama, mereka baru menyadari sesuatu.

****

"Habis kena omel pasti."

Sadam terlihat mengusap leher belakang nya. Pria itu menoleh dan terkejut melihat Azzam sudah berdiri di samping nya. Ia menjauh dan berdehem singkat. Azzam menghela nafas.

"Kenapa kena omel?"

"Katanya gua ninggalin Ayra di teras ndalem."

"Itu kan fakta."

"Tapi gua udah nyuruh masuk. Dia malah nunggu disana."

Azzam menggelengkan kepalanya. Ia tertawa mendengar itu. Sampai kapan pun, Azzam melihat Sadam sebagai adiknya yang benar benar menyebalkan. Bahkan ketika Sadam mencoba untuk berbuat seserius mungkin, ia masih saja kena banyak hal. Salah satunya ceroboh.

"Sadam, bagaimana bisa Ayra masuk ke ndalem setelah kamu meninggalkan nya hanya untuk mengambil barang barang nya di mobil? Ini kan rumah mu. Ayra berpikir bahwa ini adalah rumah suami nya. Ayra tau dan paham." Penjelasan Azzam membuat Sadam berpikir dan mulai mengerti. Lagi pula, ini pertama kali nya Ayra menginjakkan kaki nya disana.

"Iya, iya maaf."

"Maaf mu salah sasaran."

Sadam menajamkan alisnya. Azzam berdehem sesaat.

Flashback.

Sadam menoleh dan melihat Pak Amik baru saja membukakan gerbang pesantren untuk nya. Pak Amik menyambutnya dengan senyum lebar. Sadam ikut membalas sapaan dan di akhiri dengan permisi.

Kemudian pria itu menoleh. Raut wajah nya berubah. Ia melihat ke samping nya. Seorang gadis duduk disana dan sedang melihat pemandangan luar melalui jendela.

Ia, tak menyangka.

Sadam mengerti apa yang di pikiran gadis itu.

Ah, bukan.

Istri nya.

Eh, kurang.

Ayra adalah istrinya.

"Ay." Sadam memanggilnya. Gadis itu terkejut dan menolehkan kepalanya. Ia baru sadar jika mobil sudah berhenti di kendarai. Pada saat itu, ia sadar jika mereka tiba di area parkiran.

"Oh, turun, ya?" Gadis itu mengusap leher belakang nya. "oke, aku turun."

"Sebentar, sebentar."

Sadam langsung saja keluar setelah menahan Ayra untuk tetap di tempat nya. Ayra mulai bingung dan melihat Sadam berdiri di dekat mobil, pria itu membuka pintu mobil untuk nya. "Nah, ayo turun."

Ayra menatap Sadam. Pria itu menatap nya juga. Dan saat itu, Ayra mengalihkan pandangan nya dengan cepat. Ia pun turun dan Sadam langsung menutup pintu mobil.

"Kamu, ke ndalem duluan. Gua-ah, maksud saya." Sadam berbicara cepat. Ia menunjuk bagian belakang mobil, bagasi mobil. Dengan jari jempolnya. Ayra memiringkan kepalanya.

"Saya mau ambil barang barang kamu."

Ayra terdiam. Gadis itu memegangi tangan nya, menggenggam tangan nya sendiri. Ia tentu saja gugup tak karuan. Sadam menyuruhnya untuk masuk ke ndalem. Ndalem yang di huni oleh pemimpin pesantren. Kyai Zayn.

Ia tak menyangka. Tak habis pikir. Ia di persunting seorang Gus.

Bertemu Sadam pertama kali saja membuat ia tak percaya jika pria itu adalah seorang Gus.

"Ay." Sadam kembali memanggil nya.

"Eh, iya?"

"Ayo, duluan kesana."

"Tapi-"

Sadam menghela. "Saya nyusul."

Ayra memegangi dada nya dan mengusap nya. Gadis itu menghela nafas, seakan akan ia menenangkan dirinya sendiri. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Kemudian pergi duluan menuju ke ndalem. Ia bisa melihat sebuah rumah berdiri kokoh disana. Sadam sudah menunjukkan nya.

Ia terkadang merasa berbeda semenjak berbeda. Mulai dari penampilan, cara bicara, itu lah Sadam. Ia cepat sekali berubah. Ia masih ingat jelas pada saat Ayra mendengar kabar dari Ayah nya bahwa ada yang ingin melamar nya.

Ternyata itu adalah Sadam. Ayra terkejut lagi.

Butuh beberapa Minggu untuk memastikan itu. Ayah nya mulai berbicara banyak hal dengan Sadam. Ayah nya sempat memberitahu nya, bahwa ia telah membuat Sadam merubah cara bicara nya. Dari bahasa sehari hari nya, menjadi sedikit formal. Dan khusus untuk bersama Ayra saja. Terserah Sadam ingin mengubah bahasa nya ke orang lain.

Entahlah. Tapi Ayra suka.

Tak sadar ia sudah sampai disana. Ia tiba di teras ndalem. Pintu nya terbuka. Ayra melihat dari ke belakang. ia melihat Sadam membawakan barang barang nya.

"Lohh, Ayra! Kamu?"

Ayra terkejut. dan menoleh cepat. Ia melihat Nyai Hansa datang menyambut nya. Umma. Tepatnya mertua nya sekarang. Ayra memasang senyum.

"B-Bu Nyai.."

Umma menggeleng cepat. Memegangi pundak nya. "Panggil Umma aja." Umma mengajak nya untuk segera masuk.

"Oh ya, Sadam mana? Kenapa kamu sendiri?"

"Sadam?" Ayra menoleh. "Baru ke sini, Umma."

"Duhh, kok dia ninggalin kamu disini? Kenapa ngga bareng? Butuh di kasih tau anak itu."

"Umma?" Ayra menoleh cepat. ia sudah melihat Sadam baru saja sampai. Ia langsung kena omel setelah salam nya di jawab oleh Umma.

Ayra menatap Sadam. Pria itu ikut menatap nya.

Ayra mengalihkan pandangan nya.

Flashback off.

"Setelah di pikir pikir, salah juga waktu itu. Harusnya gua datang nya bareng Ayra." Gumam nya.

"Dammm... Dam."

Pria itu memiringkan kepalanya. Ia melihat Khalid sedang berada dalam gendongan Azzam pada saat itu. Anak kecil itu mencoba untuk melambaikan dan menggapai Sadam. Seakan mengejek nya. Sebab, anak itu lumayan sering di ganggu oleh Sadam.

"Ali, jangan begitu. Dia itu paman."

Anak itu menatap Ayah nya. Lalu memeluk nya. Azzam menepuk punggung belakang Khalid.

"Zam, jangan gitu. Suruh dia panggil Kakak aja."

Azzam menatap nya tajam. "Tidak. Kamu itu paman nya."

Sadam menatap nya demikian. "Terus Zhafran gimana? Dia kan sama sama saudara kita. Kenapa Ali di bolehin manggil kakak?"

"Kamu pikir, Sadam. Zhafran saja belum baligh. Dia masih anak anak. Aneh jika di panggil Paman." Kemudian Azzam berdehem singkat. "Tunggu Zhafran besar, baru bisa di panggil kakak. Begitu juga dengan kamu, kamu saja sudah menikah."

Sadam menghela nafas. Entahlah. Ia merasa lumayan aneh ketika di panggil Paman oleh Ali. Dan Azzam yang mengajarkanya. Sadam semakin yakin jika Azzam adalah kakak yang lumayan menyebalkan. Sudah lama ia ingin menghajar nya.

Tapi ya. Sepertinya jangan. Sadam lumayan trauma.

Di pikir pikir malah kepikiran.

Khm.

"Oh iya." Azzam menoleh. "setelah ini, apa rencana mu?"

"Setelah menikah?"

Azzam mengangguk.

"Kayaknya kerja. Kebetulan gua keterima jadi dosen."

Kedua alis Azzam terangkat.

••••

Hari lagi lagi berlanjut. Azzam baru saja tiba di pesantren setelah menghadiri salah satu pertemuan di sebuah kajian yang membuat nya tiba di sore hari setelah waktu ashar, lantaran perjalanan yang lumayan jauh.

Tak ada satupun orang yang ada di ndalem. Mungkin masih sibuk dengan aktifitas mereka masing masing. Azzam mendengar dari Sadam bahwa pria itu akan pergi menemani Ayra berjalan jalan ke luar Pesantren.

Baru saja pria itu membuka pintu kamar nya, ia mendengar suara kegirangan Hana bersama suara bayi. Pria itu melihat ke dalam. Ia melihat istrinya sedang mengajari Ali untuk berbicara sedikit demi sedikit.

"I??"

"Bu..."

"Ibu." Hana menyempurnakan nya.

"Yam... Yah.."

Anak itu tiba tiba saja bertepuk tangan. Anak kecil itu sampai jatuh dari duduknya yang tadinya sudah sempurna. Namun Khalid masih saja menunjukkan senang nya. Tangan mungil nya terangkat dan mengarah ke arah pintu. Tentu saja ia melihat Azzam.

"Ihh. Ibu. Ibu." Hana berusaha keras.

Anak laki laki itu perlahan usai tawanya. Ia juga mencoba untuk mengatakan nya.

"Ib.."

"Ibu." Lagi lagi, Hana membantu nya.

"Ayah..."

Hana menangkup sebelah pipinya. Perempuan itu menatap Khalid dengan lama. Sampai ia akhirnya mulai memperhatikan gerak gerik Ali seakan akan pandangan nya ke arah lain.

Kedua bola mata Hana melebar. Kepalanya bergerak untuk menoleh dan ia benar benar terkejut-

Azzam tiba tiba saja muncul di dekat nya. Tepatnya di belakang. Entah sejak kapan.

Hana yang terkejut tentu saja langsung memukul lengan Azzam meski masih pelan. Azzam menunjukkan tawaan nya dan mengusap sisi wajah Khalid.

"Nah. Pintar." Azzam memperbaiki posisinya.

"Ayah." Azzam ikut mencoba. Dan Hana kembali memperhatikan Ali. Awalnya hening. Dan Hana berharap bahwa Khalid tak bisa mengucapkan-

"Ayah."

Azzam tersenyum lebar dan mencubit pelan pipi gembul bayi laki laki nya itu. Ketika ia menoleh ke samping kanan nya. Ia melihat Hana menatap nya dengan tajam. Azzam memegangi telinga nya yang memerah.

"Kok semudah itu?!"

"Entahlah."

"Udah dari tadi aku bantuin dia. Cuma Ibu loh. I-bu. I-b-u." Hana menaikkan tiga hari nya dan menghitung kosa kata Ibu yang berjumlah tiga huruf saja. Namun terlihatnya Ali susah untuk mengatakan nya.

Azzam berdehem. Ia mengusap kepala istri nya untuk menghiburnya. Kedua alisnya terangkat.

"Ayo, Ali."

Azzam terlihat menggulung lengan kemeja hitam yang ia gunakan. Ia mendekat pada anak laki laki nya itu. Sementara Hana memperhatikan nya. Perempuan itu tersenyum diam diam melihat aksi suami nya. Azzam mendekatkan wajah pada anak kecil itu.

"I-bu. Ibu."

"Ayah.."

Azzam menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Lagi."

"Agi?"

Azzam termenung sebentar. Kemudian tertawa. Anak itu juga ikut tertawa. Dan Hana ikut tertawa kecil. Perempuan itu sebenarnya kecewa dan kesal di sisi itu, namun setelah melihat pemandangan ini, rasa nya mulai memudar dan ia melupakan nya seketika.

"I-bu." Azzam kembali menerangkan. Khalid menatap Ayahnya dengan lama.

"Bu.."

"Ibu." Azzam.

"Ibu."

Azzam menganggukkan kepalanya. "Ibu."

"Ibu.."

Hana yang mendengar itu langsung memasang senyum lebar. Ia memegangi tangan mungil anak laki laki itu dan mencium pipi gembulnya dengan gemas. "Mmmm, anak tampan nya Ibu.."

"Ibu.." Ali sekali lagi memanggil nya. Hana memeluk nya erat.

•••••

Santri-santri begitu sering membahas Khalid pada saat Azzam datang ke kelas kelas mereka untuk mengajar. Terkadang, anak itu sangat suka menjauhkan spidol spidol, dan berusaha melangkah ke meja satu persatu santri-santriwati meski masih memegangi pinggir meja mereka. Tak jarang dari mereka menyambut Ali dengan senyuman. Mereka berkata bahwa senyuman Ali mirip dengan Ibunya.

Azzam menghela nafas ketika melihat tingkah putra nya itu. Ia hanya berdiri di tepi pintu kelas. Melihat Ali sedang di kerumunan santri-santriwati yang mungkin sudah selesai mencatat materi di papan tulis.

"Udah aku bilang, ngga percaya sihh. Ali tuh suka nyantai sama santri-santriwati. Awas aja ya, kalau udah besar dia jadi playboy. Sebelum dia baligh pula, aku harus ngajarin dia buat punya kesadaran akan batasan dengan lawan jenis!"

Kata kata mengerikan Hana terbayang di pikiran nya. Entah kenapa ia merasa lucu. Anak itu saja baru berusia satu tahun. Berbicara saja masih sanggup beberapa kata. Kata pertama yang Ali ucapkan adalah nama Sadam. Karena Sadam sering mengganggu nya, mungkin itu yang membuat Ali mendengar nama Sadam lebih sering karena sering di omeli pula.

"Ayammm... Ayah.."

Azzam terkejut. Pria itu menunduk. Kemudian ia mengangkat pandangan nya. Ia melihat semua santri kini sudah selesai mencatat. Azzam berdehem.

Ia menggendong anak itu sampai duduk di kursi nya. Ia menjauhkan spidol spidol dari Ali kemudian mengambil buku untuk mencatat tugas sembari menjelaskan banyak hal.

Sepanjang Ayahnya mengajar, Ali memandangi Ayahnya terus menerus. Anak itu berusaha untuk turun namun masih tak bisa di jangkau oleh nya.

Hingga tiba suara bel istirahat membuat aksi Khalid menjadi terjeda. Anak itu menepuk meja berkali kali, namun tangan mungil nya itu tak mampu membuat suara keras.

"Alii."

Azzam langsung saja mengambil dan menggendong nya saat anak itu hampir saja jatuh dari kursi. Ia mengusap punggung nya dan segera mengambil buku dan meletakkan spidol spidol dan kapur di tempat nya semula.

Ia meninggalkan kelas pada saat waktu istirahat tiba.

"Ali haus?"

Khalid menolehkan kepalanya dan menyandarkan nya di pundak sang Ayah. Ia menggelengkan kepalanya begitu saja, meski belum begitu tau arti dari kata kata itu.

Khalid memandangi kelas kelas santri perlahan mulai menjauh seiring langkah Azzam berjalan. Namun, tiba tiba berhenti dan membuat anak itu menyadari nya. Khalid mengangkat kepalanya.

"Itu kucing."

Kata kata nya terdengar familiar. Khalid sadar jika ia semakin mendekat pada kucing yang kini sedang bersantai rerumputan hijau di sekitar pohon mangga.

Ternyata Azzam saat itu sedang berjongkok. Sebelah tangan nya mencoba untuk mengalihkan perhatian kucing itu. Terkadang, ia tertawa. Khalid memperhatikan nya dan anak itu ikut tertawa.

"Ucu.. Gucingg."

"Ku ... cing." Azzam kembali membenarkan nya.

"Mau gucing. Mau itu."

Khalid menunjuk tangan Azzam yang sempat menyentuh kucing itu. Pria itu berdiam sebentar. Apakah tidak apa jika Khalid menyentuh kucing? Meski bulu nya selalu di bersihkan Zhafran, tapi tetap saja kucing ini selalu berkeliaran.

"Mau kucing? Mau pegang?" Khalid menganggukkan kepalanya.

"Mau.."

"Lain kali ya pegang nya. Harus bilang sama Ibu nya Ali dulu."

Ali menatap Ayah nya. Seakan tau jika pria itu tak memperbolehkan nya. Ia berusaha nekat dengan mencoba meraih kucing itu, tapi tetap saja tidak bisa. Azzam sengaja menjauhkannya.

Hal ini membuat Khalid mulai menangis. Azzam kembali mengusap punggung belakang nya di sertai kekehan nya.

Ketika sibuk menenangkan putra nya, Azzam sempat menoleh ke arah kanan nya sampai teralihkan. Namun ia kembali menoleh dengan cepat ke arah yang sama ketika baru sadar jika ada beberapa motor yang terparkir di area parkir. Dan ternyata beberapa pria dari kejauhan memperhatikan nya.

Ada yang menertawakan nya. Ada yang heboh.

"Dasar, Marvin." Gumam nya.

"Ali.."

Azzam mencoba membujuk anak itu. Ia mengusap kepalanya. "Paman paman disana. Nungguin Ali. Ayo lihat."

Azzam menggunakan bahasa singkat yang setidaknya bisa di pahami oleh nya meski hanya terdengar familiar. Anak itu melihat ke arah depan dan melihat ada banyak pria disana melambai ke arah mereka.

****

"Hampir ngga percaya kalau ini Gus kita."

Azzam memperhatikan Ali yang kini sedang merangkak. Marvin dan Bima sedang mencoba jahil pada nya. Azzam awalnya sudah memperingatkan mereka untuk tidak membuat Ali merasa tersinggung, atau ia akan menangis.

"Gimana rasanya, zam?"

"Ahh, lumayan." Azzam bersandar santai. Ia melihat Ali sedang merangkak disana. Menuju ke arah nya.

"Lumayan apa nya? Mau nambah adik buat Ali?"

"Weh, tumben banget bicara lo kayak gitu. Berhenti ngga."

"Eh, iya. Astaghfirullahaladzim. Khilaf." Bima memukul kepalanya sendiri.

Azzam menatap teman teman nya. Ia tertawa kecil. Ketika mereka tak sengaja membuat kesalahan, mereka langsung menyadari satu sama lain. Ini yang membuat mereka tak pernah putus hubungan pertemanan.

"Cuma enam orang? Ada yang kurang ngga sih?" Haris mulai berbicara. Aidan melihat teman teman nya satu persatu.

"Nohh. Sadam ngga ada."

"Ah, biasa itu. Banyak urusan kali. Dia katanya udah dapat kerja, ya? Mana jadi dosen lagi."

Hendra tiba tiba saja maju dan memperlihatkan ponselnya. "Eh, sadar ngga sih kalau nama grup chat kita di ubah? Nih, sama bio deskripsi nya juga di ubah."

Sadam Putra telah mengubah nama grup, Ikhwan Jomblo.

Sadam putra telah mengubah Deskripsi.
Azzam ✅
Sadam ✅
Marvin
Hendra
Haris
Aidan
Bima

"Apa apaan ini? Centang nya ini tanda apa?" Haris menunjuk ke layar ponsel Hendra.

"Oh, ini mungkin centang nya berarti udah nikah gitu."

"Sadam kurang ajar. Mentang mentang dia yang paling muda disini, dan duluan nikah. Bisa bisa nya di giniin nama grup nya?" Aidan mulai kesal. Ia bahkan mendorong bahu Hendra. Hendra menatap nya tajam.

"Keluarin aja dia."

Bima tertawa. "Buset, tega amat lo."

"Dia aja tega begini. Yakali kita ngga boleh?" Hendra mengibaskan tangan nya. Dengan percaya diri ia mengatakan itu.

"Waduh waduhh, dia ngamok ntar." Haris berbisik.

Akhirnya, Marvin mulai berbicara. Ia menyingkirkan lengan Bima dan Hendra yang merusak pandangan nya ketika ingin melihat nama grup chat mereka. "Ahh, udah udah. Ganti aja nama grup chat nya."

"Nama nya jadi apa?"

"Ikhwan ganteng." Marvin menyarankan. Wink.

Hendra menatap aneh. "Jamet. Ngga ada yang lain napa."

"Ya emang isi anggota nya jamet semua."

"Lo doang kali." Dengus Hendra yang tak setuju. Marvin menatap nya tajam.

"Aska... Aska.."

Semua pandangan kini tertuju pada Ali yang tiba tiba saja mengeluarkan suara nya di tengah keheningan Alaska pada saat berdebat perihal ulah Sadam yang mengganti nama grup chat mereka. Karena itu, Bima yang ada disana menyadari apa maksud dari Ali. Ia dudun di dekat anak kecil itu, dan ia yang mengajarinya diam diam.

"Alaska. Ganti aja jadi Alaska."

"Lahh, kenapa ngga kepikiran."

"Udah, udah. Ubah lagi. Jangan sampai Sadam ganti." Sahut Aidan dengan cepat. Hendra mengganti nama grup chat itu menjadi Alaska dan saat itu sudah mengubah sistem dalam grup chat itu, bahwa hanya admin yang dapat mengganti nama dan bio deskripsi.

"Mmmm, Ali anak pintar!! Anak siapa ini!!"

Anak itu terkejut saat Marvin tiba tiba saja datang untuk menggendong nya. Ia berencana untuk segwra pergi, namun Marvin mengalahkan kecepatan nya. Ali mau tak mau harus pasrah di gendongan nya. Ia menjadi korban cubitan dari Marvin, hingga akhirnya Azzam menegur nya untuk sedikit lebih lembut.

"Tau tuh Marvin. Katanya ngga suka anak kecil. Sama Ali malah kayak hello Kitty."

"Vin, kasian lu. Apa perlu gua cariin cewek biar bisa nemenin lo?"

Marvin mendengus pada saya mendengar perkataan Hendra. "Sok sok an nyari cewe. Elu tuh yang nyari buat diri sendiri. Sama sama jomblo juga."

"Ya, eluu."

"Apa! Elu juga!"

"Elu!"

"Elu!"

"Abang Abang Aska!!"

Semua pandangan, lagi dan lagi, tertuju pada satu titik arah. Mereka terkejut saat melihat kedatangan Sadam disana, baru saja memarkirkan motornya, baru saja membuka helm nya. Pria itu nampak melambaikan tangan.

Aidan menyenggol Hendra. Hendra menoleh. Aidan memberikannya isyarat.

"Dam, coba lo ke sini."

Sadam tetap berada di tempat nya. Belum sempat turun dari motor. Ia kebingungan saat Hendra ikut melambai dan berteriak pada nya.

"APA?" Tanya nya penasaran. Suara nya tak kalah tegas.

"Coba aja lo ke sini! Ada perlu!"

Pria itu mulai curiga. "Apaan!! Bilang aja napa! Ribet!"

"Ya lu yang ribet! Ada perlu mestinya lo ke sini!" Hendra mulai emosi. Tapi Sadam mulai sampai pada kecurigaan nya. Pria itu enggan turun dari motor.

Hendra mulai berdiri dari tempat nya. "Ke sini ngga lo!"

"Mau nge hantam gua kan pasti!" Sadam mulai memakai helm nya setelah ia mengatakan itu. Suara nya semakin tegas di saat kecurigaan nya mulai semakin nyata. Hendra langsung mengambil kunci motornya.

"Masih baik lo sadar diri!!! Ke sini ngga lo!!!"

"Kagak!!!"

"Kurang ajar lo, Dam?!!"

Mereka lumyaha terkejut saat melihat Hendra bergegas menuju ke motornya saat melihat Sadam telah pergi terlebih dahulu. Hendra pergi mengejar nya. Tentu saja untuk ia eksekusi dalam pengertian untuk melampiaskan kekesalan nya.

Mereka semua tertawa melihat aksi itu. Hendra benar benar mengejar Sadam sampai mereka keluar dari gerbang pesantren.

****

"Di apain sama Hendra?"

Sadam menoleh pada saat ia baru saja sampai di ndalem. Semua anak anak Alaska yang lain sudah pulang. Azzam berdiri di sana dengan Ali yang ada di gendongan nya. Sedang tidur.

"Ngejar terus. Heran. Ngga habis habis bensin motor nya."

Azzam tertawa kecil. "Kamu berhenti?"

"Iya." Sadam melirik motornya. "bensin nya habis. Malu maluin.."

"Makanya. Jangan ganti nama grup chat nya."

"Ya kan bercanda, Zam. Mana gua tau kalau Hendra bakalan ngejar kayak gitu?" Sadam terlihat pasrah. Ia ingin menggaruk kepalanya, tapi kepalanya masih terlihat dengan helm nya. Kekesalan nya menjadi jadi.

Azzam mendengus. "Tapi candaan kamu menyinggung mereka."

"Mereka kan emang jomblo? Sesuai fakta nya."

"Kamu ini." Azzam menimpali nya. "Bukannya sudah berapa kali di beritahu, ya. Bercanda itu, ketika sesuatu yang terdengar lucu bagi semua pihak tanpa ada yang tersinggung."

Sadam diam di buat nya. Ia melihat Azzam masuk ke ndalem. Pria itu membuka helm nya dan menghela nafas. Ia harus memikirkan kata kata yang bagus untuk meminta maaf pada satu persatu anak anak Alaska yang lainnya.

"Benar juga, ya."

"Mereka ini sensitif juga sama kata jomblo.."

Sadam menggeleng tak habis pikir. Ia menepuk pipi nya sendiri.

Dasar Sadam.

****



funfact, Sadam adalah yang paling muda di ALASKA.

spoiler aja nieh ya. pas ali udah umur 4 tahun, didikan azzam berubah. sampai sampai ada janji antara lelaki di antara Azzam dan Ali 😎 jujur, aku baru nulis adegan itu hari ini. ya, sekitar part 60an.


WAJIB SPAM :

ALLAHUAKBAR >

ASTAGHFIRULLAH >

ALHAMDULILLAH >

SUBHANALLAH >

NEXT >

TARGET : 800KOMEN

agar update tak berabad-abad lagi, spam komen banyak banyak 🙏

follow ige :
@storyknur
@mhmdd_azzam
@pageofalaska2
@hanaafsheen_

Continue Reading

You'll Also Like

8.1K 329 16
- Ayasya Chaiza Bechara, Gadis berumur 17 thn dan keturunan Arab, mempunyai wajah yang menarik perhatian para Ikhwan, karna kesempurnaan yang dimilik...
936K 51.8K 42
DI LARANG PLAGIAT!!! INI CERITA DARI FIKIRAN SENDIRI TANPA ADA CAMPUR ADUK TANGAN ORANG LAIN!! BUAT KALIAN YANG INGIN PLAGIAT HARAP MINGGIR!!! Bag...
1.9M 211K 51
GUS ILHAM MY HUSBAND 2 Dijodohkan saat libur semester? Menikah dengan orang yang tidak kamu cintai, tidak menentukan kehidupan mu akan suram. Aisyah...
9.9K 659 10
hwanbby harukyu hoonsuk warn. BXB! Jangan dibawa ke rl. Baca, lalu simpan untuk sendiri 😁🙏🏻 thanks. start : 191122 finish : (never ending story?)