GUS AZZAM

By itsnour29

4.7M 287K 44.2K

[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas... More

Prolog : Gus Azzam
01 - Pertemuan setelah sekian lama
02 - Pesantren Al-Furqan
03 - Kewajiban
04 - Tidur bersama?
05 - Hukuman
06 - Takdir, bukan kebetulan.
07. Sahabat
08. Akish dan Alaska
09. Sakit, Rindu, Alaska.
10. Fitnah dan Jebakan?
11. Di balik kejadian.
12. Perasaan yang berlebihan
13. Hijrah itu lebih baik
14. Cacing Alaska
15. Tahajjud dan cinta nya
16. Aku, kamu, dan salah tingkah
17. Menjadi imam yang baik.
18. Masalalu yang lucu
19. Kecemburuan akan masa
20. Pembicaraan dan Renungan
21. Ada apa?
22. Sebagai Guru
23. Panggilan resmi
24. Bersama dengan nya
25. Kunjungan Mertua
26. Kehilangan di Pasar
27. Kemunculan Sadam
28. Putra Tengah Al-Furqan
29. Kedatangan & Kepergian
30. Pulang atau Pergi
31. Makanan Halal & Haram
32. Tabungan?
33. Beginilah cinta mereka
34. Perasaan Umma
35. Kembalinya Putra Tengah
36. Di balik Bingkai Foto
37. Secara tiba tiba
38. Kabar dan Sebuah Kurma
39. Beberapa panggilan
40. Perempuan yang di temui
41. Ngidam
42. Cerita setelah kerja bakti
44. Pemuda Pemuda Syam
45. Hari Kelahiran
46. Hujan dan Maaf
47. Perihal Sadam
48. Mata yang indah
49. Yang menemukan nya
50. Perempuan perempuan
51. Bertengkar dingin
52. Kembali berdamai
53. Berada di rumah kayu
54. Sebelum pamit
55. Sebuah Tragedi?
56. Pilihan yang mutlak
57. Kedatangan dalam diam
58. Keputusan berpoligami
59. Ada nya bukti?

43. Meninggalkan Pesantren

51.3K 2.7K 937
By itsnour29

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

TARGET : 800 KOMEN

mustahil ngga sih kalau update tiap hari? wgwg.





••••

Hari ini, Hana merasa sangat gelisah.

Azzam mendengar nya dari Umma nya. Umma menyenggol lengan nya dengan sikunya. Pria itu terdiam dan tak mengatakan apapun ketika mendengar nya. Namun di balik itu, ada rasa penasaran.

"Istri kamu dari tadi jalan kesana kemari. Sudah Umma suruh duduk, tapi dia nungguin kamu.." sahutnya berbisik. Agak agaknya khawatir karena perempuan itu juga dalam keadaan sedang hamil.

Saat ini, ia melihat Umma pergi ke halaman belakang melalui luar ndalem, mungkin untuk menyiram tanaman nya.

Sementara Azzam, ia melepaskan sandalnya dan masuk ke ndalem. Tepat apa yang di katakan Umma. Istrinya sedang berjalan kesana kemari tanpa ingin berhenti. Ia memegangi perut buncit nya.

"Na?"

Hana langsung berhenti di detik itu juga. Ia menoleh dan berbalik badan disaat bersamaan. Mata nya membulat sempurna. Ia langsung berjalan ke arah suami nya dan mencium tangan nya.

"Kata Umma, kamu—"

"Kazam." Perempuan itu memegangi tangan nya. Erat. "Aku takut."

Ia menyahut cepat. Alis Azzam terangkat setelah mendengar nya. "Takut apa, hm?"

Hana menunjukkan raut gelisah, khawatir, ia takut. "Aku takut, khawatir sama anak kita nanti."

Ia langsung menggerakkan kaki nya. Mengayunkan tangan suami nya seperti sedang kesal. "Aku takut terjadi apa apa sama dia. Aku takut kalau dia ngga bisa mengontrol dirinya. Aku takut kalau dia salah arah. Aku takut.."

Ternyata, ketakutan Hana begitu dalam meski awalnya Azzam sempat ikut di buat khawatir dan ia juga bingung. Hana seakan ingin menangis jika terus membayangkan nya.

Azzam mendekatkan wajah nya. Pria itu tersenyum, ia menggeleng dan menghapus air mata Hana. Hana menghapusnya cepat. Mata nya memerah.

"Kenapa tiba tiba berpikir seperti itu?"

"Takut aja. Aku pas masih jauh, rasanya kayak di cekam. Ngga ada yang bener. Aku takut kalau dia ngalamin hal yang sama. Terlebih lagi kalau dia tak bisa memuliakan seorang wani—"

Mata Hana membelak terkejut. Ia menutup mulutnya dengan tangan nya. Sementara Azzam, ia menatap istri nya dengan bingung. Ia memiringkan kepalanya.

"Memuliakan apa, na?"

"M-muliakan orang tua nya, berbakti pada pesantren." Sargah nya cepat.

Azzam terdiam. Ia mencerna apa yang terjadi barusan. Hana mulai gelisah melihat raut wajah suaminya seakan mulai tau apa yang ingin ia sampaikan namun tiba tiba terpotong.

"Na, jangan begitu, ya? Doakan anak kita, agar kelak jadi anak yang taat. Anak yang berbakti pada orang tua nya. Anak yang selalu menjaga diri nya. Yang selalu ingat pada Allah. Jika kamu berpikiran seperti itu, yang ada apa yang kamu pikirkan kemungkinan bisa terjadi." Pria itu menjeda sejenak. Ia lagi lagi tersenyum.

"Bagaimana jika kita mendoakan nya agar menjadi anak yang baik? Melupakan segala keburukan yang mungkin bisa menimpanya? Na, jangan pernah berprasangka buruk. Cobalah untuk berprasangka baik. Anak ini, anugrah terindah dari allah. Ia bisa saja menjadi penolong kita kelak. Ingat dengan pahala jariyah? Bukan kah salah satu ialah doa anak sholeh/sholehah yang dapat menolong orang tuanya dari panas api neraka?"

Hana tersenyum di sela sela air mata nya yang masih mengalir. Ia mengangguk. "iya, yaa.."

Pria itu mengusap kepalanya. Hana menghapus air mata yang tersisa.

Ketika tangan nya mereka bersentuhan dibawah sana, Azzam menyadarinya dan langsung menggenggam tangan Hana dan sang empunya ikut tersadar.

"Duduk, ya? Mau di bikinin apa?"

Hana menggelengkan kepala. "Ngga perlu..."

"Susu bubuk kamu masih ada kan? Saya bikinin, ya?"

"Ihh, nggaa. Ngga perlu. Disini aja."

Azzam bergeming. Tangan nya di tarik tarik agar tidak lepas darinya. Pria itu tertawa kecil.

"Iyaaaa." Sahutnya dengan nada manja mengikutinya.

••••

Sebulan lebih berlalu. Di hari Minggu yang cerah itu, semua orang yang berada di ndalem tengah bersiap siap, terkecuali untuk Hana dengan Umma.

Terutama untuk Azzam, Sadam dan Zhafran yang berencana untuk berangkat ke perdesaan dataran tinggi untuk mengunjungi kebun teh miliki keluarga mereka.

Hana. Baru saja ia menutup buku yang ia tulis. Perempuan ini sembari mengelus perut buncit nya berjalan untuk melihat keberangkatan suami dengan saudara saudara nya.

"Kazammm."

Azzam yang mengusap leher belakang nya. Pria itu sempat memejamkan mata nya sebelum akhirnya di buka ketika merasa ia sedang di panggil.

Pria itu tersenyum tipis dan mengisyaratkan Hana untuk mendekat. Hana mengangguk dan berjalan untuk menghampiri suami nya.

Azzam mengusap kepala Hana. "Kamu, jaga diri baik baik, ya."

Hana terdiam. Ia baru sadar jika Azzam akan meninggalkan nya selama beberapa hari tanpa. Hana selalu terbiasa di tinggal berdakwah oleh suami nya, namun Azzam tetap pulang sehabis dan sebelum Maghrib.

"Ngga lama, kan?"

Pria itu mengangguk. "iya. Cuma beberapa hari. Perlu saya telepon kamu setiap hari?"

Hana mengusap lengan nya. "kalau setiap saat boleh ngga?"

Azzam berdehem. Kedua alis nya terangkat. Hana yang melihat nya sedikit bingung. Pria itu sedang serius pada nya. Hana melihat sekitar. Beruntung jika tak ada yang melihat nya salah tingkah.

"Ngga deh. Nanti Kazam sibuk. Aku bebanin lagi."

"Boleh, Na. Saya tau kerinduan kamu."

Hana mendongakkan pandangan nya. Azzam menatap nya juga. Entah sudah berapa lama ia di tatap.

Ia menatap Hana cukup lama, mengusap sisi pipi kemudian mencubit hidung mancung nya. Hana mengusap nya dan memasang ekspresi seakan ia tengah kesal.

Azzam menganggukkan kepala. "Saya jaga diri. Terlebih kamu juga. Ingat, sebentar lagi kamu melahirkan. Hubungi saya jika ada apa apa." Sahutnya cepat. Ia khawatir.

"Iya, iyaaa."

Kepala Azzam menoleh ketika ia baru saja di panggil Sadam. Hana memasang ekspresi cemberut. Azzam membungkuk sedikit untuk menyamakan tinggi nya dengan Hana.

"Na, kamu tau, apa yang saya temukan selama beberapa bulan yang lalu?"

Hana menggelengkan kepala nya. Azzam kembali memperbaiki posisi berdirinya. "Saya sudah dapat nama yang pas untuk dia."

Kedua alis Hana terangkat. Perempuan itu tertawa kecil. "Oh, iya? Kazam aja ngga tau apakah ini perempuan atau laki laki."

"Maka dari itu, saya menyiapkan dua nama sekaligus." Jawabnya tanggap. Hana tak habis pikir dengan suaminya.

Suara Zhafran, di susul dengan suara Sadam yang memanggil nya. Hana buru buru meraih tangan Azzam dan mencium nya berkali kali. Azzam masih tersenyum, ia mengusap perut sang istri. Bershalawat dalam hati nya.

Azzam mengerut bingung dan menaikkan kedua alis nya. Tangan nya kembali mengusap perut buncit Hana. Perempuan itu memasang ekspresi cemberut, ia memegangi jari jemari suami nya.

Azzam memperhatikan nya. Ia memasang ekspresi sendu. Kemudian membungkukkan sedikit tubuh nya untuk bisa menatap lurus mata Hana.

"Maaf, ya? Saya ngga bisa ngajak kamu. Disana jauh. Sedangkan disini, banyak yang jaga, kan?" Seakan akan tau isi pikiran nya. Hana hanya diam dan menganggukkan kepala nya.

Pria itu tersenyum. Tangan nya bergerak mengusap perut buncit istri nya. Hana tersadar dan mengangkat pandangan nya.

"Tungguin, ya?"

Saat itu, Hana baru sadar. Benar benar sadar.

Jika bahasa suami nya, sedikit berubah.

Perempuan itu tersenyum manis.

••••

Hampir memakan waktu dua jam untuk sampai ke sana. Menuju ke dataran tinggi yang dimana ada kebun teh di dekat satu kampung.

Sadam menoleh dan terbangun dari tidur ketika ia baru sadar jika mereka sudah hampir sampai. Pria itu bahkan sudah merasakan hawa sejuk perbukitan.

Ketika Sadam menoleh, ia melihat Azzam masih sibuk menyetir. Ia begitu heran, mengapa Azzam bisa sehafal ini dengan jalan? Bahkan menemukan tempat parkir yang Sadam tak duga duga letaknya.

Atau memang Sadam yang tak pernah ke tempat seperti ini? Entahlah.

Sadam tidak peduli. Ia hanya mengantuk.

"Kita sudah sampai. Ayo turun."

Sadam menghela nafas berat. Rasanya enggan meninggalkan mobil. Zhafran, adik bungsu nya memanggil nya berkali kali. Azzam juga mengetuk ngetuk kaca jendela.

"Kalian duluan aja" Suara Sadam. Ia mengibaskan tangan nya. Bahkan pria itu menutupi wajah nya dengan surban milik nya yang masih saja ia simpan.

Azzam memiringkan kepala nya. "Seperti tau saja jalan nya?"

"Ahhh, udah. Gua mau tidur dulu. Ngantuk."

"Tapi Kak Dam kan bisa tidur tiduran di rumah kayu nanti?"

Sayang sekali, Sadam tidak mendengarkan perkataan Zhafran. Zhafran juga bingung. Namun ia sadar ketika Azzam menepuk pundak nya dari belakang. Pria itu membungkuk sedikit.

"Ayo pergi." Azzam.

"Tapi Kak Dam gimana?"

"Dia punya ponsel. Nanti bisa hubungi kita. Kamu juga sudah lelah, kan?"

Zhafran menganggukkan kepalanya. Ia membantu Azzam untuk membawa beberapa bawaan nya, mereka membiarkan Sadam di dalam mobil atas permintaan nya.

Tak sadar, Sadam telah menghabiskan beberapa menit untuk tertidur dalam mobil. Hawa sejuk perbukitan membuat nya jengah sampai ia terbangun.

Ia sadar jika tidak ada siapapun di dalam mobil dan hanya ia sendirian. Pria itu memegangi kepalanya. Ia bahkan masih mengantuk.

Pria itu mencoba untuk keluar. Sadam melihat jika bagasi mobil sudah kosong. Berarti, Azzam dan Zhafran membawa bawaan.

Dan.. Sadam terdiam untuk beberapa saat. Ia memandangi sekitar nya.

Ini, daerah yang jauh. Jauh dari pesantren. Dan hanya ia sendiri.

Dimana Azzam dan Zhafran?!

••••

"Mana dua orang itu." Gumam nya.

Kedua tangan Sadam menetap di dalam saku celana nya sambil ia berjalan kaki. Ia bahkan memasuki perkampungan yang tidak biasa. Seluruh rumah penduduk di dominasi rumah kayu.

"Jangan jangan gua kesasar?"

Sadam melihat sekitar. Ia mulai panik jika sudah tidak melihat Azzam dan Zhafran dari 20 menit yang lalu.

Namun ketika ia berjalan sendiri, ia tak sengaja melewati dinding pembatas yang panjang. Sepertinya ada sesuatu di sana. Sadam mendongakkan kepalanya dan melihat ada sebuah masjid di dalam sana.

Sadam berjalan dan melihat nya terus menerus. Sampai ia menemukan sebuah gerbang masuk ke sana. Ia baru sadar jika itu,

Sebuah pondok pesantren?

"Gimana hari ini? Udah bersih bersih di rumah kayu milik Gus, kan?"

"Sip. Udah. Sekarang apa lagi? Kita kembali ke pesantren?"

"Kayaknya iya. Ayo pulang."

Sadam menolehkan kepalanya ketika ia baru saja mendengar beberapa obrolan secara tidak sengaja. Ada beberapa pemuda yang berjalan dari belakang nya.

Mereka membicarakan bahwa mereka akan kembali ke pesantren. Bisa saja pemuda pemuda ini adalah santri santri dari sana.

Sadam mendengus kesal.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Sadam Putra tentu saja terkejut ketika seseorang memanggilnya secara tiba tiba. Pria itu langsung beristighfar kemudian menjawab salamnya. Ternyata, pemuda lain yang juga berjalan dari belakang nya. Sepertinya pemuda ini bagian dari pemuda pemuda yang melewati Sadam barusan.

"Orang mana, kak?"

Sadam menunjukkan ekspresi sedikit jengkel. Seorang pemuda. Memanggilnya dengan sebutan kakak. Ia sedikit merasa aneh.

Pria itu menghela nafas. "Orang susah, dek."

Jawaban nya barusan, membuat pemuda itu mendengus sebal.

"Maaf, kalau nyinggung. Saya baru lihat wajah kakak. Kakak pendatang?"

Sadam berpikir keras. Ia bahkan bertanya tanya juga. Apakah ia menjawab iya/tidak?

"Sepertinya bukan." Jawabnya.

Sadam lagi lagi diam. Bukan kah berdiri nya ia disini untuk mencari Azzam dan Zhafran yang belum kunjung ia ketahui bayangan bayangan mereka? Sadam ingin bertanya kepada pemuda ini. Tapi mana mungkin oenuda ini tau tentang Azzam—

"Lalu, kakak ke sini untuk apa? Apa untuk wisata di kebun teh?" Tanya nya lagi.

"Bukan juga." Sadam mengusap leher belakangnya.

"Boleh bilang kalau ke sini buat ngeliat kebun teh nya Abah ga sih?" Batinnya. Sadam melamun sebentar sampai akhirnya lamunan itu terhenti.

"Kalau begitu apa, kak? Barangkali bisa saya bantu. Apa mungkin kakak tersesat?"

Sadam kaku seketika. Ia ragu untuk menjawab nya. Pemuda di depan ini melihat ke arah sekitar. Pemuda ini di lihat lihat seperti sosok yang sedikit cuek, namun sepertinya ia peduli.

Ah, Sadam jadi teringat dengan santri santri di Al-Furqan. Di ajarkan untuk saling membantu.

"Ngga perlu. Jangan peduliin gua—"

"Kalau di lihat lihat dari wajah kakak, rasanya saya jadi keinget sama seseorang. Seseorang yang agak mirip sama kakak. Cuma dia sedikit lebih tinggi." Pemuda itu mulai bercerita. Sebelah alis Sadam terangkat kebingungan.

"Saya? Mirip seseorang?!" Ia menunjuk dirinya sendiri.

Rrr, ada seseorang yang memiliki kemiripan dengan ketampanan nya?

Eak.

"Hhh." Pemuda itu terkekeh kecil. "Iya. Saya masih ingat wajah nya walaupun sudah bertahun tahun tidak ketemu. Dia guru saya. Guru saya yang tidak bisa saya lupakan dengan teman teman saya."

"Guru, ya." Gumam Sadam.

"Guru saya itu orang yang baik. Waktu kampung ini benar benar di landa kesusahan, ia datang dan membawa banyak hal. Ia juga datang membawa ilmu. Pernah mengajar di pesantren Al-Hussein."

Sadam melirik ke arah gerbang pesantren yang tak jauh dari mereka. Pesantren ini kah yang ia maksud?

"Maaf sebelumnya kalau teman teman saya melewati kakak. Mereka lagi sibuk. Jadi saya yang menemani kakak disini." Pemuda itu berdehem.

"Oh iya, kak. Ngomong ngomong, kakak sepertinya nyari seseorang juga?"

••••

Azzam menolehkan kepalanya setelah menyadari jika Zhafran kini tengah tertidur. Malam ini begitu sejuk. Beruntung ia membawa jaket untuk menghangatkan tubuh nya.

Pria itu kini berdiri di dalam sebuah rumah kayu. Ia menundukkan kepalanya dan kaki nya bergerak untuk memeriksa kondisi alas karpet. Tidak berdebu.

Azzam mengira jika ada yang baru saja membersihkannya.

Azzam kembali mengangkat pandangan nya. Ia melihat buku buku yang tersusun rapih di rak penyimpanan nya. Ada kitab kitab dan beberapa buku lainnya.

Sepertinya rumah ini di rawat dengan baik.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Terdengar suaranya.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Azzam terkejut. Kemudian ia menoleh. Ia melihat Sadam baru saja pulang. Tunggu. Sadam? Pulang? Azzam bahkan sudah lama menunggu panggilan telepon dari adiknya itu. Tapi belum kunjung datang.

"Akhirnya sampai juga."

Azzam hanya bergeming melihat Sadam malah ikut berbaring di dekat Zhafran. Pria itu kelelahan terlihatnya. Azzam bahkan menyimpan seribu pertanyaan.

Pria itu melihat ke luar rumah. Tidak ada siapapun di luar sana.

"Sadam." Panggilnya.

"Mmm." Malasnya.

"Siapa yang mengantar mu pulang?"

"Pakai feeling."

Alis Azzam terangkat. Ia mengerut. Ia membawa salah satu buku dan berniay untuk membaca nya. Namun sepertinya ia harus membaca jawaban Sadam terlebih dahulu.

"Maksud saya, mengapa kamu tidak menghubungi saya? Saya bisa menuntun kamu sampai ke sini."

"Gua lagi ngobrol sama satu pemuda."

Sadam membuka pejaman mata nya. Ia menghela nafas. "Gua ngga nyangka, kalau ada pesantren disini."

Azzam bergeming kembali. Ia mulai memikirkan banyak hal. Sementara Sadam, ia bangkit dari tiduran nya. Azzam menatap nya serius.

"Saya serius. Bagaimana kamu bisa tau rumah ini? Saya kan tidak pernah memberitahu kamu?"

Sadam memasang senyum kemenangan. Lihatlah, sekarang terbaca kembali jika Sadam berusaha memamerkan dirinya.

"Karena, pemuda itu yang ngasih ijin ke gua."

Alis Azzam terangkat. "Semudah itukah?" Pertanyaan nya membuat Sadam sedikit bingung.

"Pemuda itu juga kayaknya buru buru banget dah. Jadi dia ngasih ijin aja. Kata nya, gua di bilang mirip sama guru nya yang entah siapa. Dan guru nya yang punya rumah ini tapi guru nya belum pernah muncul setelah pandemi. Dia juga kagak ngasih tau nama guru nya. Kok bisa percayain rumah ini sama gua, ya? Bocil itu apakah tidak takut kalau gua hancurin nih rumah?"

"Tentu tidak."

Jawaban Azzam. Sadam melihat nya. "Kenapa?"

"Warga warga bisa saja memukul mu jika begitu. Mau kamu?"

"Idih! Mana mungkin gua mau ngancurin nih rumah."


Sadam menghela nafas. Ketika ia ingin berbaring. Ia tersadar jika ada yang janggal. Ia urungkan niat nya untuk berbaring. Kemudian ia melihat Azzam yang sedang mengambil duduk di salah satu kursi kayu yang tidak jauh dari rak buku.

"Tapi ngomong ngomong, kenapa lo bisa ada disini? Lo ketemu sama pemuda itu juga terus di ijinin ya kayak gua?"

Azzam menoleh. Ia terdiam sejenak.

"Tidak."

"Lah, terus? Lo kenapa bisa ada disini. Lo ngga dapat ijin! Sana, pergi minta ijin!" Sadam mengada-ngada seenaknya. Azzam melirik.

"Ijin apa? Rumah ini, rumah saya."

Sadam terkejut. Mata nya membelak.

"LAHHHHHH."

"JADI LO, GURU YANG DI MAKSUD PEMUDA ITU?!"

Azzam menoleh se-kali. Azzam malah mengiyakan nya begitu saja sampai Sadam memegangi kepalanya frustrasi.

"Kok lo ngga bilang dari tadi!" Sargah nya cepat. Tatapan Sadam begitu tajam mengenainya. Azzam mengangkat pandangan nya. Ia merasa jika hari sudah ingin gelap.

"Saya cuma mau mendengar cerita kamu tentang pemuda pemuda tadi."

Sadam mendengus kesal.

••••

"Oh, iya ya. Tiga Gus Al-Furqan katanya lagi keluar buat ngecek kebun teh milik Kyai."

"Pantesan aja sepi. Baru kali ini tadarusan ngga denger suara Gus Azzam."

"Gus Azzam kan cuma nerima setoran hafalan santriwan?"

"Tapi denger dari jauh kan masih jelas? Gimana sih."

Salah satu dari mefeka pun berdehem. "Khm, kalian udah kebagian piket buat nemenin Ning Hana?"

Lain dari mereka menunjukkan respon senang. "Udah, dong. Ini kan amanah dari Kyai Zayn dengan Gus Azzam sendiri."

"Bener. Tapi yang pertama mikirin ini Gus Azzam. Katanya, bentar lagi Ning Hana mau lahiran jadi di bikinin jadwal piket deh buat jaga jaga."

"Agak agaknya besok aku yang piket. Kira kira, bisa masuk ke ndalem ga, ya?"

Hana menoleh sedikit. Ia mendengus kesal ketika mendengar beberapa obrolan santriwati yang baru saja melewati nya, meski obrolan terakhir Mereka tak begitu Hana dengar. Hana hanya menyangka jika mereka membicarakan suami nya.

Dan saat ini, ia msih dalam kondisi mengandung. Hana begitu sulit dan merasa sangat sensitif terhadap banyak hal yang berhubungan dengan suami nya entah mengapa.

Ngomong ngomong, yang mengobrol barusan adalah santriwati santriwati baru. Hana hanya mewajarkan mereka.

"Ning. Aku temani, ya."

Hana terkejut ketika baru saja beberapa santriwati berdatangan untuk menyapanya. Hana tak henti hentinya menjawab salam mereka. Mereka bergiliran untuk meminta salim pada nya. Mereka berebutan.

"Loh. Ini kenapa rame rame?" Tanya Hana.

"Mau nemenin Ning. Tapi mereka ngikut."

"Ngikut? Ngga, ya! Kita juga mau nemenin Ning Hana malam ini!"

"Awas, awas! Ngga boleh dekat dekat. Biar aku aja."

"Apa coba!"

Hana memandang mereka satu persatu dengan tatapan kebingungan. Ia melihat sekitar dan langsung mengucapkan salam meski suara nya begitu kecil. Ia menjauh perlahan dari kerumunan santri-santwati tadi yang kini sedang bertengkar.

Hana mencoba untuk menjauh sebisa nya agar tidak menjadi bahan pertengkaran mereka lagi. Lagi pula, ia lelah habis berjalan. Perempuan ini sempat ke masjid untuk menerima setoran hafalan santri santri.

Yahh, ia hanya ingin mencoba bagaimana suami nya bertindak melakukan hal yang sama. Hana pikir, hal itu membuat rasa bosan nya berdiam diri di ndalem jadi hilang.

"Loh, Ning Hana kemana?"

"Tuhkan! Ning Hana jadi pergi."

"Ya kamu sih."

Hana hanya mendengar suara mereka dengan samar samar. Sampai akhirnya ia menutup pintu ndalem dan menghela nafas.

"Mereka ini aneh juga. Kenapa mesti nemenin? Kan bisa sendiri." Gumam nya heran.

••••

Pria itu memandangi layar ponsel nya untuk beberapa saat. Langkah nya sampai berhenti karena itu. Saat ini, Azzam tengah sendirian di malam hari.

Meski sekitar nya terasa sepi, namun ia serasa di temani oleh sinar bulan. Hawa nya begitu dingin.

"Na?"

Hana memasang ekspresi intimidasi kepada suami nya sendiri. "Kok disana gelap? Kazam dimana!"

Azzam tercekat. Ia tertawa kecil. "Saya di luar. Disini memang sepi."

"Awas aja, ya!"

"Awas apanya?" Tanya nya. Hana malah diam dan semakin kesal. Gadis itu ingin segera menghentikan pembicaraan mereka lewat komunikasi video call.

"Na, saya disini mencari sinyal yang bagus. Disini dingin jika kamu tau."

"Ututu... suami nya Nana kedinginan, ya? Sini, tak peluk sekarang."

Azzam berhasil di buat tersenyum. Pria itu terkekeh di buat nya. Hana yang melihat respon suami nya ikut tersenyum malu.

"Saya rindu sama kamu, Na." Sahut pria itu tak di buat henti. Hana yang mendengar nya sedikit mencerna sebelum akhirnya ia memeluk erat boneka yang ada bersama nya pada saat ini. Perempuan itu bergerak ke sana ke mari.

"Kalau dia?"

Azzam diam sejenak.

"Iya. Dia juga."

Hana mengusap perut nya. Ia pun mengangguk dan ikut diam hingga hening. Pandangan nya tetap mengarah ke sang suami dan memperhatikan nya menerus. Sementara Azzam nampak melihat sekitar. Pria itu tengah memakai jaket tebal hitam. Mungkin disana angin nya cukup kencang.


"Disini ada sinyal, tapi tidak stabil. Entahlah, mungkin jaringan kartunya tidak memadai." Sahutnya menduga duga, ia bahkan ragu sendiri.

"Jadi sekarang lagi dimana? Kok disana kayak ada dinding gitu?" Hana memperhatikan apa di sekitar suami nya. Azzam terlihat menoleh dan melihat ke arah dinding itu pula.

Pria itu tertawa kecil. "Di belakang saya ini ada pesantren."

Hana nampak terkejut. "Loh, pesantren? Kazam ngapain di sana?"

"Saya di panggil—"

Azzam mengernyit heran melihat layar ponsel nya mulai redup hingga wajah istri nya sudah tidak terlihat disana. Ah, ponsel nya sedang kehabisan daya. Azzam bahkan tidak menyadari hal itu.

"—Kyai Husein." Lanjutnya.

"Na, maafin saya." Gumam nya, sebelum akhirnya menyimpan ponsel itu di dalam saku nya.

Pria itu pun kemudian berjalan hingga bisa bertemu dengan gerbang depan pesantren. Azzam awalnya mengangkat pandangan nya. Ia melihat tulisan disana. Al-Hussein.

Ia mencoba untuk masuk ke sana. Pintu gerbang bahkan tidak di kunci di malam seperti ini. Azzam sempat keheranan. Ia sampai melirik ke arah tempat biasa nya penjaga gerbang harusnya berjaga.

Ketika ia memasuki pekarangan pesantren itu, ia melihat santri santri disana sedang—mungkin tidak sibuk. Mereka hanya menikmati waktu senggang mereka. Beberapa santriwati ada yang masih mengenakan mukena mereka. Mereka sedang duduk duduk sembari menikmati jajanan. Sementara santri putra, kini bertahan di area mereka. Mereka beberes di dekat masjid.

"GUS!!"

Ia menoleh terkejut. Ia benar benar terkejut ketika ada beberapa santriwan berdatangan dan mereka langsung bergiliran untuk menyalimi Azzam yang baru saja datang.

Sungguh penyambutan yang mengejutkan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Sahut Azzam secara tiba tiba. Mereka semua terkejut dan menyadari nya.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab mereka.

"Gus pasti kesini karena di panggil Kyai Husein, ya."

Azzam terkekeh kecil. "kalian kenapa bisa tau?"

Di hadapan Azzam saat ini adalah santri-santriwan yang sekitar berumur belasan tahun. Mereka mengenal Azzam dari beberapa ustadz termasuk Kyai Husein. Kyai Husein sendiri adalah pemimpin dari pesantren Al-Hussein. Tepat yang Azzam tempati pada saat ini.

"Soalnya Kyai juga ngasih tau ke kita. Katanya, Gus Azzam bakalak datang kesini."

"Bawa pelajaran baru apa lagi, Gus?"

Azzam bergeming sejenak. Ia melihat ke sekitar pesantren. Ia sepertinya mencari sesuatu.

"Maaf ya, anak anak. Saya cuma berkunjung. Lain kali jika ada waktu. Saya ke sini untuk bawa ilmu untuk kalian kalian."

Penjelasan Azzam membuat santri-santriputra itu melepaskan harapan mereka pada saat ini. Mereka menganggukkan kepala kala mendengar pernyataan Azzam, mereka bahkan mengerti.

"Gus Azzam mencari Pemuda Syam, ya?"

Azzam menelik. Ia tertawa kecil. Pria itu pun kian menganggukkan kepalanya. "Iya, benar. Kemana anak anak itu?"

"Anak anak? Bukan, Gus. Mereka itu sudah tinggi. Sampai disini."

Salah satu santri mendekat dan menaikkan tangan nya untuk mendeskripsikan tinggi pemuda Syam. Azzam melirik dan tangan santri putra itu mencapai hampir ke pundak nya.

"Kenapa mereka cepat tinggi nya?"

Salah satu santri mendengus. "Gus Azzam aja yang terlalu lama di Arab Saudi."

Azzam seakan tertohok. Santri yang satu ini memang beda. Azzam yang mendengar nya tertawa kecil. Ia menepuk kepala santri itu yang di baluti peci hitam nya.

"Lalu, kemana mereka?"

"Kayaknya mereka sibuk lagi, Gus."

"Sibuk apa?"

"Sibuk muraja'ah."

Azzam kembali bergeming di buat nya. Sehingga salah satu santri yang kebetulan ada di dekatnya pun menepuk lengan nya dari samping kanan. Azzam melirik dan menatap nya.

"Gus Azzam mau ke ndalem?"

Pria itu memandangi ndalem yang sedikit jauh. Lalu ia kembali menatap santriwanitu. "Boleh. Antarkan saya, ya."

"Lalu, gimana dengan pemuda pemuda Syam?"

Azzam memasang senyum kemudian mata nya menelusuri pemandangan sekitar nya sekali lagi. Santri-santriwan itu masih menunggu jawaban dari nya.

"Saya sendiri yang temui mereka nanti."




•••••


3000+ kata eakkk. ini lebih dri sebelumnya. nanti update lgi kalo target tembus.

hihiiii, ada beberapa alasan kenapa azzam aku bawa ke sini menjelang kelahiran anaknya 😎 (ketawa jahat)

jangan lupa vote 😎👊

SPAM :

ALHAMDULILLAH >

ALLAHUAKBAR >

ASTAGHFIRULLAH >

NEXT >

UPDATE >

SEMANGAT KAKNUR >

spam : 🤍

TARGET : 800 KOMEN.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 36K 8
#Rank 1 (21 mei 2018) Darel, pria dengan hati dingin tak tersentuh. Kepribadian yang sangat kejam. Hanya memikirkan satu hal dalam hidupnya, Dia haru...
456 60 8
Tentang sebuah cerita asmaraloka antara Aksa Nawasena Bhumantara dengan Vanaella Allexana Zhea Aksa, Anka, Allexa Dibaca yuk! Semogaa kalian suka🤍 ...
548 239 7
Aku akan menyerah, setidaknya aku sudah berusaha ~Batin Khansa. "Apa aku boleh menyerah?" tanya Khansa lesu. "Aku tidak akan membiarkan kamu menyerah...
1.4K 551 8
"Gadis Awam dengan berjuta kesederhanaan." BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA! WAJIB VOTE COMMENT SHARE. ⚠️WARNING⚠️ MOHON KEIKHLASAN KAMU DALAM MEMBAC...