Love Attack

By AloisiaTherin

10M 678K 283K

Mereka punya cinta, tapi dunia punya norma. Ezkiel Milano sudah melewati batas yang ditetapkan. Dia telah jat... More

Love Attack
LA - 01
LA - 02
LA - 03
LA - 04
LA - 05
LA - 06
LA - 07
LA - 08
LA - 09
LA - 10
LA - 11
LA - 12
LA - 13
LA - 14
LA - 15
LA - 16
LA - 17
LA - 18
LA - 19
LA - 20
LA - 21
LA - 22
LA - 23
LA - 24
LA - 25
LA - 26
LA - 27
LA - 28
LA - 29
LA - 30 (New)
LA - 31
LA - 32
LA - 34
LA - 35
LA - 36
LA - 37
LA - 38
Additional Part 38
LA - 39
LA - 40
LA - 41
LA - 42
Additional Part 42
LA - 43
LA - 44
LA - 45
Additional Part 45
LA - 46
LA - 47
LL - 48
LA - 49
Additional Part 49
LA - 50
LA - 51
LA - 52
LA - 53
LA - 54 [END]
LA - Extra Part 1
LA Extra Part 2
Roman & Aca (beringas series)
Love Attack Extra Part - 3

LA - 33

129K 9.8K 4.6K
By AloisiaTherin

1.700 kata.. semoga gak eneg.. hehe

Di bawah ada adegan di rumah sakit, kalo ada kesalahan tolong di komen ya, biar aku tau, karena aku gak riset begitu dalam.. mohon maaf.. 🙏🏻

Maaf ya bulan ini jarang update 🥲 kacau banget aku soalnya bulan ini 🥲 sebulan cuma 5 kali update 🥲 maaf banget banget banget 🙏🏻

Bulan depan aku rajin update seperti biasa. Seminggu 2-3 kali kok! ❤️❤️

Bisa minta tolong kasih semangat? Lemes banget aku.. hehe ❤️

Banyak yg notifnya gak masuk ya? Jangan lupa follow ya.. biar dapet notif ❤️

Next 4K vote dan 4K komen plis 🥹🥲❤️

Tandai typo dan kalimat rancu.. makasih

"Apa? Kondisi ibu kritis?!" Gaby memekik kencang setelah mendapat kabar dari rumah sakit kalau kondisi ibu mendadak menurun drastis dan saat ini ibu sedang berada di bawah penanganan dokter.

"Baik terimakasih. Saya segera kesana." Ucap Gahy dan langsung mematikan sambungan ponselnya. Gaby meraih jaket dan celana panjang, memakainya dengan cepat, tak lupa ia mengambil tas kecilnya beserta dompet.

Gaby segera memanggil pak Seno, ia meminta pak Seno untuk mengantarnya ke rumah sakit. Pak Seno pun dengan segera mengeluarkan mobil dan meminta Gaby untuk segera masuk.

Gaby sudah berderai air mata. Tangannya gemetar, tubuhnya bergetar, jantungnya berpacu cepat, bibirnya merapatkan segala doa untuk Tuhannya agar menyelamatkan ibunya.

Gaby tau, bahwa penyakit ibunya sudah parah. Menggerogoti hampir seluruh organ dalamnya, dan sisa hidup pun sudah bisa dihitung. Tapi Gaby denial. Gaby percaya bahwa umur hanya Tuhan yang tau. Dokter tidak berhak memutuskan atau mendahului Tuhan.

Tapi sekarang, Gaby terlalu terlena. Melupakan bahwa sewaktu waktu bisa saja ibunya dipanggil Tuhan untuk pergi. Bisa saja detik ini juga orang yang membuat Gaby untuk terus bertahan itu memang sudah harus meninggalkan dunia.

"Tenang Mbak Gaby. Ibu pasti baik baik saja." Pak Seno berusaha menenangkan Gaby yang sedari tadi tak henti mengusap air mata menggunakan punggung tangannya.

Gaby kian terisak, apalagi saat pak Seno mengucapkan bahwa semua baik baik saja.

Omong kosong.

Semua tidak akan baik baik saja.

Jika tadi Gaby memohon pada Tuhan untuk menyelamatkan ibu, maka doa itu berubah, Gaby ingin Tuhan memberikan waktu sebentar saja, agar ibu bisa melihat Gaby. Agar ibu tau bahwa anaknya baik baik saja.

Gaby ingin menggenggam tangan ibu, mengucap terimakasih sudah membesarkannya, terimakasih sudah merawatnya. Terimakasih sudah melahirkan dirinya dan bekerja keras untuknya. Gaby ingin berkata bahwa sampai kapan pun, Gaby hanya memiliki satu ibu, agar ibu tidak kepikiran seperti beberapa waktu yang lalu.

Getar dari ponselnya yang berada di dalam tas membuat Gaby mengambil ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya.

Satu nama yang seketika membuat tangis Gaby kian pecah.

Rumah sakit.

Gaby tau, ini bukan hal yang baik. Gaby tau bahwa ini bukan hal yang ingin Gaby dengar.

Gaby melempar ponselnya ke dashboard mobil, menutup kedua telinganya, melipat kakinya ke atas kursi seraya berteriak.

"Ibu akan baik baik saja! Ibu akan baik baik saja!" Pekiknya seperti orang gila.

Pak Seno melajukan mobilnya semakin kencang, berharap mereka segera sampai di rumah sakit. Pria paruh baya itu tidak tau apa yang menyebabkan Gaby berteriak seperti ini, tapi dia tau, bahwa itu bukan hal baik.

***

Sesampainya di rumah sakit, Gaby langsung keluar dari dalam mobil. Ia berlari kencang, sekencang mungkin menuju kamar inap milik ibu.

Menunggu lift yang tak kunjung bergerak turun dan terbuka, Gaby pun memilih alternatif lain. Tangga darurat. Perempuan itu berlari menaiki tangga darurat menuju kamar ibu berada.

Sampai akhirnya ia berada di lantai dimana ibu dirawat. Perempuan itu berlari kencang menuju kamar ibu.

Sampai di depan, Gaby membuka pintu, menatap nanar pada kamar yang kosong. Menatap ranjang rumah sakit yang sudah rapi. Gaby seketika sadar, bahwa otomatis ibu berada di ICU. Ia pun dengan gesit berlari menuju ruang ICU.

Meskipun nafasnya engap, ia berlari bak orang kesetanan, beberapa kali tidak sengaja hampir tersandung kakinya sendiri karena berusaha menghindari orang orang yang berlalu lalang. Sampai akhirnya Gaby berdiri di depan ruang ICU.

Tak lama seorang dokter keluar. Dokter yang menangani ibu. Dokter yang memantau pekermbangan ibu. Dokter yang Gaby percaya untuk menangani dan menyelamatkan nyawa ibu.

Pria itu melepas masker yang dikenakan. Wajahnya tidak berseri seperti biasanya, disaat beliau beberapa kali berhasil menyelamatkan ibu dari kondisi kritisnya.

"Pasien atas nama —"

Gaby tidak mendengar, telinganya mendadak tuli. Air matanya luruh, tangannya mencengkram erat tali tasnya. Hingga kemudian telinganya tiba tiba berdengung, dan kalimat yang tidak pernah ingin dia dengar keluar dari mulut dokter, "—dinyatakan meninggal dunia."

Satu tepukan di pundak Gaby, dari dokter itu tak berhasil menguatkan Gaby. "Saya dan tim dokter yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin, namun nyawa pasien tidak dapat tertolong. Kami turut berduka cita." Ucap dokter, menyampaikan bela sungkawa.

"Do—dok, ibu cuman kritis biasa kan?" Gaby menatap dokter itu dengan berlinang air mata.

Dokter itu menarik nafas, ia tidak tega dengan anak perempuan ini. Anak yang pasiennya banggakan setiap dia memeriksa pasien. Anak yang selalu tersenyum ceria menyapanya setiap berkunjung ke rumah sakit.

"Maaf nak." Dokter itu menundukkan kepalanya,  tidak tahan menatap lebih lama wajah kesedihan yang begitu menyiksa itu.

Gaby hampir saja luruh ke atas lantai, kalau saja tidak ada kedua tangan yang menggapainya. Menopangnya, membuat tubuhnya tetap tegak berdiri.

Telinganya di tutup tubuhnya diputar, membuat ia menatap sebuah dada bidang. Tubuhnya di peluk dengan erat. Gaby bisa mendengar detak jantung yang cepat disertai nafas yang terengah disana.

"It's okay Gaby. Ada gue."

Gaby mengenal aroma ini. Perempuan itu mendongak. Menatap kosong Kiel yang nampak terengah-engah. Sepertinya pria itu berlari kencang untuk menemukannya.

"Ibu, pergi." Hanya dua kata yang meluncur dari dalam bibir Gaby, sebelum kemudian isak tangis pedih penuh kehilangan menggema.

Gaby memeluk erat tubuh Kiel, pun Kiel yang memeluknya tak kalah erat, mengusap kepalanya dengan lembut.

Pria itu tak banyak berbicara. Namun memberikan dekapan hangat yang membuat Gaby kian menangis deras.

***

Kiel memberikan jaketnya pada Gaby yang masih terduduk lemas. Perempuan itu tak berhenti melamun. Kiel baru saja mengurus semua surat kepulangan ibu Gaby. Menyelesaikan semua urusan administrasi sembari membawa Gaby yang bak patung berjalan.

Hari semakin malam, dan mereka masih belum berniat untuk pergi menginjakkan kaki dari rumah sakit.

Gaby belum sempat melihat wajah ibu. Jenazah ibu masih di urus pihak rumah sakit. Dan rencana akan di bawa menuju rumah nenek besok, untuk dimakamkan di daerah rumah nenek juga

Semuanya benar benar mendadak. Dalam sekejap semua berubah. Kenapa Tuhan selalu punya kejutan yang begitu tiba-tiba untuk umatnya? Kenapa Tuhan tidak pernah memberi aba aba bahwa sebentar lagi ia akan mengalami sakit yang paling dalam.

Kiel mendudukkan dirinya di samping Gaby sembari membawa berkas rumah sakit di tangannya. Pria itu membernarkan letak jaketnya di tubuh Gaby.

Tangannya menarik telapak tangan Gaby yang mengepal. "Makan dulu, mau?" Tawar Kiel.

Ini konyol, mengajak makan seseorang disaat ia begitu bersedih. Tapi Kiel tidak ingin kehilangan Gaby juga, tidak ingin melihat perempuan itu jatuh sakit karena belum makane sedari tadi siang.

"Mas Kiel kenapa disini?" Tanya Gaby. Pandangannya masih kosong. Sepertinya Gaby memang hanya bertanya asal-asalan saja. Padangan perempuan itu saja kosong, mana mungkin perempuan itu fokus untuk mendengar pertanyaannya.

Kiel membawa kepala Gaby menuju pundaknya, memastikan perempuan itu nyaman. Tangannya kemudian menggenggam tangan Gaby lalu mengelus punggung tangan perempuan itu.

"Tadi dapet kabar dari pak Seno kalo kondisi bibi kritis." Tutur Kiel. Pria itu juga memandang ke depan, namun bedanya otaknya berjalan untuk memberi jawaban yang membuat Gaby tenang. "Langsung deh, lari ke rumah sakit—"

Belum sempat Kiel menyelesaikan ucapannya, Gaby kembali bertanya, "mas Kiel tadi di kampus ngapain?"

Kiel terdiam sejenak, kemudian menjawab. "Nggak ngapa-ngapain. Tadi nggak ada kelas kok."

Bohong. Itu bohong. Kiel sampai keluar di jam kelas begitu mendapat kabar dari Pak Seno. Ia menyetir motor layaknya orang kesetanan agar segera sampai di rumah sakit.

"Kenapa dokter nggak bisa selamatin ibu, tapi bisa selamatin pasien lain?" Gaby menunjuk seorang pria paruh baya yang di dorong di atas kursi roda oleh keluarganya.

"Karena memang belum saatnya orang itu pergi." Jawab Kiel.

"Gaby sendirian. Kenapa Tuhan manggil ibu?" Perempuan itu melantur. Kepalanya terangkat agar bisa menatap Kiel.

Hati Kiel begitu mencelos melihat betapa hancurnya Gaby, terlihat dari guratan wajahnya, sembabnya mata, terlihat dari betapa putus asanya perempuan itu saat ini.

Tangan Kiel menangkup pipi Gaby. Ia seolah ingin memberi kekuatan pada perempuan itu. "Enggak sendirian. Lo nggak sendirian, Gaby. Enggak sendirian." Bisik Kiel.

"Suatu saat Mas Kiel juga bakal ninggalin Gaby. Dan Gaby kembali sendirian."

Kiel menggelengkan kepalanya. Tatapan matanya seolah memohon pada perempuan itu untuk percaya padanya.

"Gue nggak akan pernah pergi. Gue nggak akan pergi. Selama lo masih hidup, gue akan tetap berada di samping lo, Gaby." Pria itu bertutur dengan begitu yakin.

Gaby tak memperdulikan ucapan pria itu. Ia menarik nafas panjang, menatap ke arah depan, kepalanya kini memutar semua kenangan yang terjadi selama hidupnya. Kenangan antara ia dan ibu selama ini. Otaknya tiba-tiba memutar perbincangannya akhir akhir ini bersama ibu disaat ia menjenguk ibu.

"Ibu minta, kamu jagain Mas Kiel ya. Dia itu baik, meskipun bandel, nakal."

"Ibu minta kamu tetap sehat ya, jagain Mas Kiel. Ibu kasihan sama Mas Kiel."

"Gaby jaga kesehatan ya nak. Jangan nakalin Mas Kiel, ya."

Sebenarnya, kenapa ibu begitu ingin Gaby menjaga Kiel? Ada apa dengan pria itu.

Bahkan pria itu tak menangis saat mengetahui ibu sudah tiada. Pria itu nampak kuat, pria itu bahkan yang menguatkannya.

Dan ternyata Gaby tidak akan pernah tau kalau Kiel juga ikut hancur. Gaby pulang dengan pak Seno menggunakan mobil, sedangkan Kiel mengendarai motornya sendiri— sembari menangis.

Dibalik helm hitam, pemberian bibi sebagai hadiah ulang tahun untuk Kiel, pria itu menangis deras, desisan dan isakan keluar dari bibirnya. Matanya tak bisa berhenti mengeluarkan air mata.

Tenggorokannya serasa tercekat, jantungnya serasa sedang ditikam, tapi ia dipaksa untuk tetap waras dan terlihat kuat.

Tanpa Gaby ketahui, Kiel jauh lebih hancur. Kiel jauh lebih sedih. Kiel jauh lebih kehilangan.

Ia kehilangan sosok bibi yang merawatnya dengan tulus. Ia kehilangan sosok bibi yang mengobati lukanya setiap ia terjatuh dari sepeda. Ia kehilangan bibi yang sering menyuapinya ketika malas makan. Ia kehilangan bibi, yang menjadi penguatnya sehari hari. Ia kehilangan senyum yang begitu ia sukai, setelah senyum Gaby.

"AAARGHHHHH!" Kiel berteriak di jalanan, di tengah guyuran hujan yang perlahan membasahi bumi.

Pria itu memacu kendaraannya cepat. Berkali kali ia berteriak, kemudian terisak dari balik helmnya.

Kiel mengingat hari terakhirnya bersama bibi. Beliau berkata, bahwa ia harus bahagia. Ia harus kuat. Ia tidak boleh melawan Papi. Ia harus menurut pada Mami juga. Ia juga tidak boleh berbohong pada kedua orang tuanya untuk semua hal yang ia sembunyikan selama ini.

Bibi bohong! Bibi yang bohong sama Kiel, Bi.. Bibi yang bohong. Bibi janji buat sembuh setelah ini. Tapi apa? Bibi pergi ninggalin Kiel, dan Gaby. Batin pria itu.

Kiel ingin menangis sepuasnya setelah ini, sebelum kemudian ia harus memasang wajahnya yang tegar agar bisa melindungi Gaby, memastikan bahwa perempuan itu akan baik-baik saja selama bersamanya.

Agak mewek dikit karena emang hari ini bawaan mellow. Next part masih sedih sedih dikit, tapi abis tu Happy kok! Hehe!

Semua yg terjadi sama hidup Kiel, bibi alias ibu Gaby itu tau. Karena yg rawat Kiel dari kecil juga bibi. Pkoknya bibi itu seperti ibu sesungguhnya bagi Kiel.

Jadi, setelah ini Gaby akan menuruti perintah siapa untuk Kiel?

Habis ini, perlahan semua ke bongkar, tapi bukan brati end. WKWKK, masih panjang.

Siap gak kalo 60 part an? Gak bosen? Atau bakal bosen? Aku mau donk di ramein part ini..

Spam komen next 2K disini!

Spam komen lanjut 2K disini!

Spam komen semnagat buat cici disini!

Continue Reading

You'll Also Like

48.5K 863 4
GENRE : TEENFICTION [FOllOW SEBELUM BACA PLEASE] ****** (Proses revisi jadi di take down dlu beberapa bab) Ketika Eleanna Gabriela terlanjur jatuh ci...
1.7M 19.9K 3
Bau badan Olivia tak kunjung mereda. Semua aktifitasnya terganggu akibat penyakit aneh yang baru-baru ini menderanya. Hingga datang hari dimana ia be...
3.4M 244K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
3.4M 331K 53
book #1 Han J Drive You Insane book #2 Han J Raison d'ĂȘtre [Final] Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesoh...