Kimetsu Academy Story

By LBlue18

5.5K 751 1.9K

Sekumpulan kisah para Korps Pembasmi Iblis yang termuat dalam berbagai genre. Cerita bisa berbentuk One Shot... More

Stay by My Side, Kanao!
What's after Like?
what's after Like? (End)
GiyuShino : Butterfly
TanjiKana : After Mission
InoAoi : Lunch box
TanjiKana : Stay alife
GiyuShino : Hello, Giyu
ZenNezu : Goldfish
TanjiKana : A Sweet, My Pretty Boy
TanjiKana : A Sweet, My Pretty Boy (2)
TanjiKana : A Sweet, My Pretty Boy (End)
InoAoi : Red Districk
TanjiKana : Dear, My Sugar Daddy
TanjiKana : Dear, My Sugar Daddy (3)
TanjiKana : Dear, My Sugar Daddy (end)
Sumihiko Kamado : Remembering
Tanjirou : Bittersweet
Babysitter
Babysitter (end)
GiyuShino : Run, Baby, Run!
TanjiKana : Flexing
Kanao : Sweet Truth
TanjiKana : Jealous 🌸

TanjiKana : Dear, My Sugar Daddy (2)

180 22 96
By LBlue18





🌸





Angin malam yang cukup dingin memeluk tubuh Lilac yang masih terbalut seragam dan vest. Hiruk pikuk Akihabara memenuhi setiap sudut jalan di sekitar gadis itu.
Ditatapnya jam yang ada di ponsel. Masih menunjukkan pukul 7 kurang lima belas menit. Ia memang sengaja datang lebih awal dari perjanjian.

Seharusnya dia sudah pulang dan sedang berada di kamarnya sekarang. Ini hari Jumat sebelum akhir pekan datang menyapa.
Sebaris pesan dari Paman, menunda langkahnya menuju rumah dan mengerjakan tugas dan riset apapun yang bertebaran di atas meja belajar. Dikarenakan akhir pekan dia akan sibuk bekerja di kafe pada pagi hari, dan sore sampai malam akan berada di sekitaran Akihabara atau ke tempat apapun yang diinginkan oleh pelanggannya.

Tidak mengherankan jika mendapati gadis muda yang masih berseragam macam dia kelayapan di Akihabara. Itu hal yang lumrah dan sering terjadi. Banyak pengusaha di sekitar sana yang mempekerjakan gadis-gadis muda sebagai pelayan kafe, hostest, atau hanya untuk menemani pria lajang kesepian yang membutuhkan teman.

Lilac, nama samarannya. Adalah salah satu dari sekian banyak gadis yang punya tempat di Akihabara. Kebutuhan hidup, dan dorongan untuk punya uang banyak adalah faktor dominan penyebab ia harus berada di tempat itu.

________________

Mochi : benar, aku muak sekali dengan tua bangka brengsek itu
Beberapa kali tertangkap menatap dadaku

Ametis : aku harap bajingan itu tidak harus bertemu dan berurusan dengan Iguro-san
Bagaimana dengan adik kecil kita?

Lilac : pegal
Kakiku pegal
Jika bukan permintaan khusus dari Paman, aku ogah bakal menunggu pelanggan itu di sini
Apa kalian tahu dia siapa?
Semoga bukan orang aneh

Ametis : Entahlah
Jika Paman secara pribadi memintamu untuk datang, kupikir dia orang yang penting

Mochi : ganbatteeee Lilac-chan! Kau pasti bisa!
Lalu istirahatlah setelah pulang
Awas saja kalau dia pelit memberi tip, aku setuju untuk menghajarnya bersama

___________________

Senyum Lilac mengembang. Berbincang lewat aplikasi pesan dengan dua orang Seniornya, sedikit membuat hatinya lega.

Lilac memang lebih kecil satu tahun usianya dari mereka. Tidak mengherankan jika Lilac lebih sering memanggil mereka berdua dengan sebutan Senior atau kakak. Ametis dan Mochi lah yang mengajaknya bergelut di pekerjaan ini. Berawal dari ia yang tidak punya uang untuk membeli beberapa obat yang diresepkan oleh dokter, lalu iseng menerima tawaran pekerjaan dari kedua seniornya.
Uang yang banyak bisa diraupnya dalam beberapa jam. Jumlah fantastis, yang lebih besar dibandingkan gaji kerja paruh waktunya menjadi pelayan di sebuah Kafe tematik. Dirinya yang terkadang menjadi seorang Cosplayer pun, bisa membeli beberapa kostum dari Anime favoritnya.

Dari kejauhan tampaklah seorang pria yang Lilac tebak berusia sekitar 28 atau 30 tahunan. Ia tidak pandai menebak. Tubuh pria itu jangkung dengan helaian merah burgundy, dan lensa Crimson yang tampak pas dibingkai oleh alis tegas. Ekspresinya datar... namun amat tampan dengan aura dewasa yang kental. Bahkan dari kejauhan, pria itu mampu memesona siapa saja yang melihat ke arahnya.

Tidak buruk, pikir Lilac dalam hati.

Mengenakan setelan kerja, tentu pria itu merupakan seorang pegawai kantoran atau semacamnya.
Awalnya ia tidak begitu yakin jika dia lah pelanggan yang dimaksud oleh Paman Sabito. Namun melihat langkahnya yang lurus mendekati eksistensinya, bisa dipastikan itulah pelanggan miliknya.

"Lilac?"

Lilac pandai memainkan ekspresi di wajahnya. Menyamarkan kekaguman mendengar suara baritone yang mengalun rendah.
"Jadi, Anda adalah pelanggan dari Paman Sabito?" tanyanya memastikan dengan senyum semanis gula kapas.

Pria itu mengangguk kecil. Tampak acuh tak acuh pada awalnya.
"Sekarang, apa ada sesuatu yang Anda inginkan?"

Tanjirou diam sesaat sebelum membalas apa-apa. Kedua tangannya terbenam di kantong celana. Ketika mulutnya hendak berucap, suara perut yang lapar menginterupsi keheningan diantara mereka berdua. Dan itu bukan berasal dari Tanjirou.

Mereka berada pada salah satu kafe ala barat yang tampak mahal. Beragam makanan berbahan dasar tepung dan olahan daging memenuhi meja yang ditempati.
Duduk di depan Lilac, Tanjirou kini menatap lekat gadis itu. Memerhatikan bagaimana lahapnya ia menyapu bersih setiap piring yang bertengger di atas meja. Sepertinya dia benar-benar kelaparan dan tidak berniat menutupinya.

Sewaktu memasuki kawasan Akihabara dan menuju tempat pertemuan mereka. Pria itu sudah memerhatikan Lilac cukup lama tanpa sang gadis menyadari. Berdiri mengamatinya dari depan toko bunga yang letaknya tidak jauh dari kafe.

Gadis itu sungguh imut dan menarik. Berperawakan kecil dengan kulit putih seperti porselen Cina, punya tinggi tidak lebih dari dada Tanjirou. Wajahnya kecil dengan mata bulat besar dan pipi segar kemerahan. Persis seperti sebuah boneka kepunyaan Nezuko di lemari kaca. Gadis itu punya wangi yang lembut.  Hanya saja yang cukup mengganggunya, bibir Lilac merah merona seperti kelopak mawar merekah. Dia tidak tahu, apakah warna mencolok seperti itu tengah tren di kalangan para gadis, atau dia memang punya kewajiban memakainya sebagai bentuk ketaatan terhadap SOP agensi.

Puding es krim yang puncaknya dihiasi oleh buah ceri utuh. Menjadi makanan sekaligus sesuatu yang istimewa bagi Lilac malam itu. Tidak saja karena apapun yang dia pesan adalah gratis. Pelanggan yang duduk di hadapannya juga memiliki tipe yang diinginkan Lilac. Dia tampan, punya tubuh tinggi menjulang, dan bersikap sangat sopan padanya.
Pria itu, semenjak mereka bertemu beberapa saat lalu. Tidak banyak bicara omong kosong seperti kebanyakan pelanggan yang dia temui sebelumnya. Yang terlalu cerewet dan memintanya mendengarkan tanpa tercipta komunikasi dua arah. Juga tidak terlalu dermawan memanjakannya dengan satu meja penuh makanan.

Sambil menyantap puding. Ia juga sesekali curi-curi pandang ke arah pria itu. Matanya tidak bisa lepas. Dia pikir, kenapa pria tampan seperti dia melakukan kencan berbayar seperti ini? Padahal jika ingin, Lilac yakin. Pria itu bisa menggaet banyak wanita dewasa sepantarannya.

Mengelap mulut dengan serbet putih. Sesi makan malam dengan makanan penutup pun berakhir. Menciptakan mood yang begitu baik dalam diri Lilac.
Badan Tanjirou mencondong ke arahnya. Membuat sang gadis menahan napas tatkala tangan sang pria membersihkan puncak hidung Lilac dengan tisu.

"Ada sisa es krim menempel," ujarnya singkat.

"Terima kasih." Lilac cukup senang mendapatkan perhatian dan sikap manis semacam itu. "Maaf, saya harus memanggil Anda dengan sebutan apa?"

"Tanjirou. Panggil saja dengan namaku."

Tidak ada lagi makanan yang diinginkan Lilac. Tanjirou berniat untuk keluar dan segera kembali ke rumah. Namun, ada sesuatu yang menahan ujung jas hitamnya.

"Ada apa?" kernyitan halus timbul di dahinya.

"Setelah ini, apa yang akan kita lakukan? Atau ada tempat yang ingin Tanjirou kunjungi?"

Sebenarnya, Tanjirou ingin menyudahi dan lekas membayar lewat aplikasi. Tapi segera diurungkan, melihat ekspresi imut Lilac yang alami. Mengingatkannya pada seseorang.

"Menurutmu, kita harus melakukan apa? Ini pertama kalinya aku melakukan kencan berbayar,"balas Tanjirou jujur.

Gadis itu agak takjub lalu terlihat berpikir sejenak. "Kalau pelangganku yang lain, kami akan mengobrol. Yah, lebih sering aku hanya boleh menjadi pendengar saat mereka mengoceh. Ada juga yang memintaku menemani mereka untuk duduk di dalam tempat karaoke atau menemani nonton film di bioskop. Tapi, tidak pernah pernah ada yang seperti Tanjirou. Terima kasih sudah mau mentraktirku dengan banyak makanan." Walau merasa malu, namun Lilac senang dan tulus berterima kasih.

Tanjirou masih membisu dalam langkah santai di bawah lampu jalanan dan melewati deretan toko yang menjual figur Anime. Memunculkan pertanyaan lanjutan di benaknya yang melesak untuk dilemparkan.

"Sebenarnya aku ingin pulang," tukasnya ragu. Raut kecewa langsung terlukis di wajah kecil Lilac. Hal itu mendadak saja mengingatkan Tanjirou pada adiknya, Nezuko saat mereka masih sekolah. Tanjirou jarang membersamai adiknya, sering membuat gadis itu kecewa. Ia lebih fokus untuk sekolah tinggi dan sedikit demi sedikit belajar mengenai cara mengelola perusahaan di bawah bimbingan seseorang.

Hatinya mencelos. Entah kenapa, niatnya jadi berubah drastis. "Daripada menanyaiku, apa ada sesuatu atau hal yang ingin kau lakukan, Lilac?"

Gadis itu tertegun. Pelanggannya kali ini aneh sekali. Tapi dia cukup senang, sikap anehnya masih dalam konteks yang baik. Tidak seperti om-om tua yang mesum. Menginginkan segala kontak fisik dengan gadis muda seperti mereka.

"Sebenarnya, ada hal yang sejak lama ingin aku lakukan. Tapi, apa boleh?"

"Katakan saja, akan kukabulkan."
Mulut Tanjirou mengucap kalimat di luar perintah otak cerdasnya. Murni mengikuti intuisi hati.

Meragu, dengan menarik keberanian dalam dirinya, Lilac pun berujar malu-malu.
"Aku... bisakah kita menonton ke Bioskop dan membeli pop corn serta cola?"

Permintaan yang sangat umum tapi tetap dikabulkan oleh Tanjirou. Dengan alasan dia yang baru gajian, berjanji tidak akan menolak keinginan Lilac. Terlebih setelah mendengar alasan sebenarnya dibalik permintaan itu dari mulut Lilac.

"Mereka yang minta ditemani ke Bioskop, sering memaksa kami untuk menonton film dewasa. Padahal itu menjijikkan. Tangan mereka juga kurang ajar, yah, menggerayangi paha atau semacamnya. Itu membuatku takut, muak, dan ingin muntah."

"Apa kau membiarkannya?" Tanjirou bertanya dengan nada biasa, tidak terdengar menghakimi atau menguliahi.
Sejujurnya ia jadi agak mengkhawatirkan gadis yang baru beberapa saat dikenalnya.

Diamnya Lilac dengan kepala agak tertunduk sudah menjadi jawaban tanpa frasa bagi Tanjirou. Ia mendadak geram. Prihatin dan ikut merasa jijik pada pria bajingan yang berotak selangkangan. Andai itu adalah Nezuko, dia akan menghajar para bajingan mesum itu sampai menginap di Rumah Sakit.

Tanpa sadar tangannya menggenggam tangan Lilac yang berukuran lebih kecil. Mengikuti insting dominan, ia membuka jas dan menyampirkannya di bahu Lilac. Menghalau tubuhnya dari serbuan angin malam.
Lilac, spontan mengangkat wajah, terkesiap namun tidak bersikap menolak. Ia hanya mengikuti intuisinya belaka. Dengan yakin benaknya mengatakan jika Tanjirou bukan salah satu dari spesies tercela macam pria tua mesum yang kurang ajar.

Mereka menghabiskan kencan hari itu dengan makan malam dan menonton film di bioskop.

Saat malam belum terlalu larut. Tanjirou memutuskan untuk mengantar Lilac ke stasiun bus terdekat. Bersiap pulang untuk beristirahat menabung tenaga demi kegiatannya esok pagi.
Jas yang tersampir di bahu Lilac tidak diminta kembali oleh Tanjirou. Ia pikir, ia mulai agak tertarik berinteraksi lebih dekat dengan Lilac. Menghabiskan beberapa jam bersamanya, seperti membangkitkan memori bersama adik perempuannya yang sejatinya tidak begitu banyak tercipta di antara mereka.

"Kau yakin, Tanjirou? Apa kau punya setelan kerja yang lain?" tanya Lilac memastikan.

"Bagaimana aku harus membayar tagihan kencannya?" Alih-alih membicarakan jas kerja. Pria itu menanyakan pembayaran pada Lilac. Disertai uang tip yang barangkali boleh diberikan jika gadis itu berkenan.

Matanya berbinar senang. Setelah mengajari tutorial singkat cara membayar pada aplikasi, ia pun dengan senang hati menerima uang tip yang Tanjirou rencanakan ingin diberikan padanya. Menyebut rekening bank yang katanya adalah milik kakak Lilac, Tanjirou berhasil mentransfer uang tip tersebut tanpa memberitahukan berapa nominalnya.

"Rekening kakakmu?"

Gadis itu tersenyum senang. "Iya, benar. Aku belum cukup umur untuk membuat rekening bank sndiri. Jadi itu adalah nomer rekening kakakku, untuk gaji kerja paruh waktuku di Kafe, juga menerima uang tip yang diberikan oleh pelanggan."

"Bagaimana jika seandainya aku ingin bertemu denganmu lagi?"

Kedua alis Lilac terangkat. Ini memang bukan pertama kalinya ia ditanyai seperti itu oleh para pelanggannya. Biasanya, dengan halus ia akan menolak, mengatakan jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang diinginkan Paman Sabito dibarengi persyaratan tak terhingga. Namun karena suatu alasan yang tidak mampu ia uraikan, secara gamblang ia justru mengatakan pada Tanjirou;
"Tanjirou bisa meminta langsung pada Paman Sabito, atau nona Makomo. Beliau lah yang mengatur jadwal kami."

Giliran pria itu tersenyum amat samar. Ekspresi berbeda yang baru pertama kali ini bisa dilihat oleh Lilac. "Baiklah," katanya sambil ikut berdiri saat bus datang mendekat.
"Aku cukup senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Kembalikan jas itu jika kita bertemu kembali."

Dari balik kaca jendela bus yang tebal, Lilac melambai padanya sampai sosok Tanjirou perlahan terlihat mengecil, lalu menghilang sepenuhnya dari pandangan gadis itu.
Di saat itulah Tanjirou menghubungi Inosuke. Memintanya menjemput pria itu di halte terdekat, lalu memberi sebuah tugas yang harus segera Inosuke laksanakan.

 
🦋

Lilac bersandar pada kursi bus yang ia duduki. Mengeluarkan ponsel dan membuka ruang obrolan dengan kedua Senpainya. Membunuh kebosanan dalam bus yang cukup hening.

_________________

Lilac : aku sedang berada di dalam bus, pulang

Mochi : kyaaa! Bagaimana? Apakah dia tampan? Apa kencan kalian menyenangkan?

Ametis : jenis macam apa? Orang aneh? Om-om mesum atau psikopat? Jangan katakan kau tidak dapat tip

Lilac : lumayan
Dia tampan dan cukup baik, kupikir aku cukup beruntung bahkan dia meminjamkan jasnya agar aku tidak keinginan. Bukankah itu manis sekali?
tapi sepertinya dia hanya pegawai kantoran biasa
Iya, dia memberiku uang tip dan belum sempat kulihat

Ametis : cepat lihatlah dan beritahu kami

Lilac : sebentar
Lilac : gila! Ini diluar dugaan
Kalian tidak bakal menyangka, jika tip ku sama dengan tarif kencan kita per jam
Bukankah ini sama saja dengan membayar dua kali lipat?

Ametis : LOL
Taruhan, jas itu hanya alasan
Barangkali dalam waktu dekat, dia akan menguras tabungan untuk kembali berkencan denganmu
Yah, mungkin juga ingin tidur denganmu?
Persiapkan saja mentalmu

Mochi : apa-apaan ini? Apakah kita akan mendapatkan saingan baru, @Ametis-chan?

________________

Tidak mengindahkan percakapan yang masih bergulir di ruang obrolannya. Lilac masih berada dalam keterkejutan yang tidak terduga. Mengenai uang tip yang diberikan Tanjirou, jumlahnya tidak main-main. Ia jadi berpikir, sebenarnya pegawai kantor macam apa pria itu?

Lalu, seperti ramalan kartu Tarot yang dipercayai keakuratannya oleh Mochi. Perkataan Ametis benar-benar menjadi kenyataan.
Pada Minggu berikutnya, di hari Sabtu pukul tujuh malam. Lilac kembali menemui Tanjirou di gedung Bioskop yang ada di Asakusa.

...


Seperti ada kesepakatan tak tertulis yang terjalin diantara Lilac dan Tanjirou. Pada setiap akhir pekan, atau kapanpun Tanjirou menginginkan. Keduanya akan bertemu untuk berkencan singkat tanpa melakukan kontak fisik berlebih. Hanya sekadar berpegangan tangan sembari berjalan santai atau makan malam seperti pertemuan awal mereka di Akihabara.

Lilac tidak pernah keberatan. Saat mereka menonton film dan terkadang Tanjirou menyewa sebuah kamar suite di hotel untuk mengobrol dengan lebih leluasa. Hanya mengobrol, bertukar kata mengenai hal-hal yang mereka sukai atau mengenai apa saja yang sedang terjadi saat ini.
Tanjirou senang karena Lilac cukup cerdas dan berpikiran terbuka. Ia mampu mengimbangi setiap percakapan yang dimulai oleh Tanjirou. Gadis itu, seperti kebanyakan gadis yang disewa untuk berkencan, memperlakukan Tanjirou begitu istimewa.

Ia paham sekarang. Mengapa banyak lelaki yang patah hati setelah selesai berkencan dengan gadis sewaan mereka. Bagi Tanjirou sendiri, hal seperti itu tidak akan memengaruhinya. Setidaknya itu yang ia tanamkan di kepalanya.

Ketika tiba saatnya mengakhiri kencan mereka. Tanjirou akan selalu membelikan Lilac apapun yang gadis itu inginkan. Bahkan sekalipun Lilac menolak, pria itu sendiri yang akan memberikannya.
Dari sana lah Lilac mendapatkan satu fakta yang menarik secara alami. Tanjirou, sebenarnya bukankah seorang pegawai kantoran biasa. Menilik dari banyaknya barang-barang mewah dan bermerek yang dibelikannya untuk Lilac. Namun Lilac, cukup tahu saja. Enggan mengulik lebih dalam mengenai pekerjaan maupun kehidupan pribadi Tanjirou.

Di sebuah gang kecil perumahan, di sekitar distrik Adachi. Mobil yang dikendarai oleh supir Tanjirou berhenti. Menurunkan Lilac yang dia bilang rumahnya berada di sekitar sana.

"Terima kasih banyak, Tanjirou. Aku senang sekali hari ini. Dan untuk hadiahnya, aku akan sering memakainya," binar di mata Lilac menjerat Tanjirou jatuh dalam lautan pesona. Pipinya yang berwarna kemerahan begitu mengundang untuk didaratkan sebuah kecupan di sana. Melihat tingkahnya yang memeluk erat kotak berisi ransel Prada yang dibelikan Tanjirou, kian menambah kadar keimutan gadis belia itu di matanya.

"Kau tidak ingin kuantar sampai ke depan rumah?" tawarnya.

Gadis itu menggeleng, menolak secara halus.

"Aku punya sedikit permintaan. Dan kalau kau mau menurutinya, aku akan memberi tip lebih banyak."

Mendengar kata tip lebih banyak, sontak membuat Lilac menatapnya lekat. "Apa itu? Katakan saja?"

Diselimuti keraguan karena berpikir akan terdengar seperti lelaki mesum, pertanyaan Tanjirou akhirnya tergelincir. "Bisakah kau memberi pelukan, seperti yang kau lakukan pada ransel itu?" tunjuknya.

Hanya pelukan sebagai teman yang menyenangkan, sepertinya tak apa. Begitulah kira-kira isi benak Tanjirou.

Sesaat kemudian, Lilac membungkuk meletakkan kotak besar berisi ransel di atas jalan. Tangannya direntangkan selebar mungkin. Mendekat, lebih merapat pada Tanjirou, memeluk tubuh pria itu erat. Seperti pelukan yang menyesakkan. Pelukan itu terjadi untuk beberapa lama. Merasa harus segera pulang, Lilac melerai diri. Berjinjit, berpegangan pada kedua lengan Tanjirou dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan pria itu. Menciptakan senyum tipis di wajah Tanjirou.

"Tanjirou bisa memberiku tip seperti biasa. Pelukan dan kecupan tadi, anggap saja service yang aku berikan pada pelanggan setia," ujarnya sumringah.
Tidak pernah dia memberlakukan keintiman seperti itu sebelumnya. Dan Tanjirou adalah satu pengecualian dari sekian banyak pelanggan yang menaruh hati pada Lilac.

Perbuatan itu memicu sesuatu yang tidak direncanakan keluar dari mulut Tanjirou. Sebelum Lilac benar-benar berbalik untuk pulang ke rumah.

"Aku akan pergi ke luar negeri selama satu bulan penuh. Perjalanan dinas, kau tahu, semacam itu. Selama kepergianku, jangan pergi bekerja apalagi berkencan dengan pria lain." Keinginan yang cukup egois. Dan Tanjirou menyadarinya secara penuh.

Menyemat wajah kebingungan, Lilac menghentikan tungkainya. Hendak bertanya, tapi langsung dipotong cepat.
"Aku akan mentransfer sejumlah uang ke rekening kakakmu setiap Minggu secara rutin untuk memenuhi kebutuhanmu."

Ini agak mengejutkan. "Tapi, Paman Sabito bisa memecatku kalau aku tidak keluar bekerja?" Agak resah walau mendapat tawaran menggiurkan, Lilac menatap Tanjirou dengan ekspresi cemas.

"Jangan mencemaskan Sabito. Aku yang akan mengurusnya. Mengenai uang, jika kau merasa kurang, kau bisa meminta lagi padaku melalui pesan."

Perkataan Tanjirou sekali lagi membuat Lilac takjub. Pria itu seperti sudah sangat mahir untuk bisa memanjakan wanita dengan caranya. Perlahan Lilac kembali mendekat, mendaratkan satu kecupan baru di pipi Kiri Tanjirou.

"Anggap itu sebagai ciuman perpisahan agar Tanjirou tidak kangen padaku saat pergi dinas."

Manik mereka beradu dalam keheningan menyenangkan. Sudut bibir Tanjirou terangkat, seraya menarik pinggang ramping Lilac lebih merapat.

"Kau salah, Kanao. Ciuman itu, saat kedua bibir saling bertemu." Ibu jari Tanjirou membelai permukaan bibir Kanao hingga sedikit terbuka.

Mata Kanao, nama asli dari Lilac membulat tak percaya oleh satu alasan.
Tubuhnya terangkat ketika Tanjirou menyapu lembut permukaan bibir merah mudanya. Memberikan sebuah ciuman singkat yang mampu membuat perutnya bergejolak geli. Sensasi asing yang baru pertama kali ia rasakan. Menimbulkan kejut listrik pada setiap saraf di ujung jari-jarinya yang lentik.

Seperti ombak yang menyapu bersih akal sehat. Lilac menarik tengkuk Tanjirou merendah untuk saling mengecap rasa lebih lama. Menyingkirkan sejenak rasa malu yang cukup mengganggu. Membiarkan naluri sekali ini saja menguasai dirinya.






Lampu lalu lintas berwarna merah menghentikan laju kendaraan mereka. Di depan kemudi, Inosuke terus memberi pandangan keheranan melalui kaca spion depan.
Tidak tahan ditatap seperti itu, ia pun berdecak. "Apa yang ingin kau ketahui?"

"Apa tindakanmu perlu sejauh itu hanya untuk seorang gadis? Sejak kapan kau tertarik padanya?"

Tanjirou masih dilingkupi kebingungan untuk mendefinisikan perasaannya. Semakin sering frekuensi pertemuannya dengan Lilac, semakin besar pula keinginannya memonopoli gadis itu di setiap kesempatan.

Sekonyong-konyong, opsi jawaban kedua lebih suka ia utarakan. Menyembunyikan apa yang sebenarnya bersarang di dalam kepalanya.
"Jika dia punya uang, dia tidak akan pergi ke Akihabara lagi. Berdiri di bawah lampu-lampu neon berkilauan. Memegang papan iklan, lalu dengan tatapan genit menggoda pria yang lewat, seperti gadis lainnya. Tempatnya seharusnya di rumah, bukan di sana. Dan aku tidak bisa membayangkannya terus seperti itu. Dia mengingatkanku pada Nezuko dulu."

Kendaraan mereka kembali melaju begitu mendapati lampu hijau menyala.

Inosuke hanya mampu terdiam. Dia merasa tidak punya hak lagi untuk berbicara lebih jauh. Samar dalam ingatannya, Nezuko nyaris punya sejarah yang sama dengan Kanao. Namun dengan alasan yang jauh berbeda.
Nezuko sempat menjadi gadis sewaan untuk kencan berbayar selama lima hari karena merasa kesepian. Sewaktu gadis itu masih SMA. Mengetahuinya, tentu saja memancing Tanjirou menjadi berang. Tidak terima jika adiknya berbuat seperti itu dengan alasan apapun. Sampai pada akhirnya, pria itu meminta Zenitsu, salah satu adik kelasnya untuk ikut mengawasi Nezuko. Akibat ia yang harus ekstra belajar demi masa depan perusahaan mendiang orang tua mereka.

Seperti takdir yang sudah disusun oleh semesta. Keduanya pun berakhir pada pernikahan yang bahagia. Memutus satu benang kekhawatiran Tanjirou mengenai masa depan adiknya.
Zenitsu orang yang baik dan sangat mencintai Nezuko. Itu sudah cukup bagi Tanjirou, kendati pria itu tidak punya harta berlimpah.

Teringat sesuatu, Tanjirou kembali melisan. "Apa kau sudah melakukan apa yang kuperintahkan tempo hari?"

"Aku akan mengurusnya hari Senin. Kau jangan memikirkan apa-apa lagi selain pekerjaan."

🦋

Lampu depan yang padam tidak menyurutkan langkah Kanao masuk ke dalam rumahnya yang tak terkunci. Dari arah kamar tamu, terdengar desahan-desahan erotis dan suara khas percintaan lainnya.

Enggan mendengar suara yang menurutnya menjijikkan, tungkainya dengan cepat menapaki lantai dua rumahnya. Di mana di sana terdapat kamarnya dan kedua orang tua gadis itu.

"Ibu, aku pulang!" serunya riang seraya menghampiri sang ibu yang masih duduk diam dia atas kursi roda. "Lihat, Tanjirou membelikanku sesuatu! Tadaa! Sebuah ransel Prada, bukankah ini bagus, Bu?"
Kanao menyampirkan ransel itu di kedua pundaknya. Berdiri sambil berputar, memamerkan ransel mewah berwarna cokelat pada ibunya yang hanya mampu mengerjap-ngerjapkan mata.

Mendapatkan respon yang diinginkan, Kanao kembali berlutut dekat ibunya. Membaca secarik kertas yang berisi pesan dari perawat ibunya selama ia pergi bekerja.

Aku sedang keluar sebentar untuk membeli makanan. Beristirahatlah jika kau sudah pulang.
Koyuki

Kanao hanya membulatkan mulut. Ia pikir, Koyuki, perawat ibunya sudah pulang. Saat terdengar suara tidak sabaran memanggil namanya dari lantai dasar, Kanao merotasikan bola matanya. Lalu membalas tidak kalah keras.
Ia dengan tergesa mengeluarkan seluruh isi tasnya dan memindahkan semua pada ransel baru. Lalu meletakkan uang beberapa ratus ribu untuk Koyuki di atas meja disertai secarik kertas berisi pesan balasan.

Earphone berwarna ungu ia pakaikan menutup kedua telinga sang ibu. Memutar lagi klasik dan mencium kedua pipi ibunya.

"Ibu, maafkan aku. Malam ini aku akan menginap di tempat Shinobu-Senpai."
Kemudian ia bangkit dan keluar dari kamar.

"Apa kau tuli?! Sejak tadi aku memanggilmu!"
Kanao tidak berniat menjawab apa-apa. Hanya memberi pandangan menusuk pada kedua eksistensi di hadapannya.

"Apa yang kau inginkan?"

Pria itu mengulurkan tangan. "Uang. Memangnya apalagi? Cepat, berikan. Aku ingin pergi mabuk dengan teman wanitaku," perintahnya dengan tidak sabaran.

"Aku tidak punya uang." Tegas Kanao kesal.

Pria itu menggeram marah seraya menarik rambut Kanao yang dikuncir samping. "Jangan membohongiku, jalang kecil! Aku melihatmu jalan dengan pria kaya beberapa waktu lalu, kau berani mengelaknya?!"

Tangannya secara kasar meraih ransel Kanao. Mencari dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dan melempar ransel itu sembarangan.

"Kapan kau akan menceraikan ibuku, sialan?!" emosi Kanao tumpah ruah. Darahnya mendidih dengan detak jantung bergemuruh akibat kelakuan biadab ayahnya yang tidak pernah berubah.

Menatap sinis, ayahnya melanjutkan, "Cerai? Kenapa aku harus? Aku mencintai ibumu, Nak. Aku tidak akan pernah menceraikannya apapun yang terjadi."

"Berhentilah mengarang cerita murahan seperti itu!" Jerit Kanao marah.

Saat sang ayah dan teman wanitanya menggapai pintu keluar, Kanao melempar sebuah vas bunga terdekat yang bisa ia jangkau. Vas itu hancur berkeping-keping, mengenai daun pintu nyaris melukai kepala sang ayah. Sewaktu ayahnya hendak berbalik untuk memberi Kanao pelajaran, wanita di sampingnya langsung kelabakan untuk menenangkan. Memaksa agar mereka pergi ke kelab daripada mencari masalah yang berujung menyakiti Kanao lebih jauh. Sejujurnya ia tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara ayah dan anak yang tidak pernah akur.

Saluran air mata Kanao seakan sudah mengering lama. Tatapannya kosong sehabis melampiaskan kemarahan pada vas bunga yang tidak bersalah. Tidak ada raut ketakutan apalagi menyesal pada wajahnya.

Pintu kembali berderak terbuka. Kali ini menampakkan sosok Koyuki yang terkejut. Tak mengindahkan, ia justru meraih Kanao untuk memerhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. Kemudian memeluknya dengan dada berdebar kencang.

"Bisakah kau tinggal malam ini saja menemani ibu? Aku ingin ke tempat teman," pinta Kanao datar.

Melerai diri, Koyuki menyanggupi permintaan Kanao.
Sebelum pintu kembali tertutup, Koyuki menambahkan, "Kanao, jaga dirimu. Aku harus melihatmu berada di rumah besok pagi."

Pintu pun tertutup menenggelamkan sosok Kanao yang melangkah gontai. Entah kenapa, rasanya ia ingin sekali bertemu Tanjirou sekarang.

.

.

TBC



Note :
Di Jepang sana, tarif kencan per jam berbeda-beda tergantung dari agensi. Tapi umumnya, mereka biasa memberi kisaran 600-900 ribu/jam
Dan di cerita ini, aku sengaja memakai kurs Rupiah biar nggak ribet 🙃

Continue Reading

You'll Also Like

40K 5.9K 16
GLITCH Series #1 "Dunia ini tidak nyata, dan kita semua telah terperangkap di dalamnya" By. Hanna1604
727K 67.9K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
1.5K 129 7
[POKKOPIKU] Kumpulan Prompt (oneshot dan fluff) dalam rangka meramaikan bulan #PokkoPiku. Prompt tahun 2022 yang dibuat oleh akun twitter pokkopikuev...
1.7M 65.5K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...