ANA UHIBBUKA FILLAH (ON GOING)

By faridailma_

3.7K 162 39

(RUQOYYA KHUMAIRA SYAIBAN) Namaku Ruqoyya. Tapi teman-teman biasa memanggilku dengan panggilan Rayya. Aku ada... More

PROLOG
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39

Bab 22

40 2 0
By faridailma_

Hari H yang di tunggu-tunggu oleh semua santri akhirnya tiba. Semua tampak antusias. Saat Habib Husein sudah rawuh, semua santri hormat kepada beliau. Terkecuali para santri yang bertugas konsumsi makanan tamu undangan, mereka masih saja berkutat di dapur. Sepertinya tugas mereka akan sedikit molor.

Juga dengan Rayya, tidak disangka ternyata tas jinjing sebagai wadah milbox juga masih kurang. Rayya dan teman-temannya harus menunggu sebentar sampai tas jinjing itu datang.

Setelah menunggu kurang lebih 30 menit. Akhirnya tas jinjing itu sudah datang. Langsung Rayya dan teman-temannya bergerak cepat untuk memasukkan wadah milbox ke dalam tas jinjing tersebut.

Suara bedug tanda sholat maghrib sudah terdengar. Rayya dan anggota nya segera pergi ke musholla untuk melaksanakan Ibadan sholat maghrib. Setelah sholat, mereka juga harus segera meluncur ke lapangan untuk mambagikan satu-persatu konsumsi  makanan kepada para tamu undangan.

Suasana lingkungan pondok pesantren malam ini sangat ramai. Rayya dan teman-temannya masih sibuk memberikan konsumsi makanan kepada para tamu undangan. Bukan hanya Rayya saja. Naela juga sangat sibuk dengan jajanan anak-anak.
Faza dan Acha juga terlihat sangat ramah dan terus tersenyum sopan kepada para tamu undangan. Dan Azria yang berada di dalam dalem, membuatnya tidak bisa melihat suasana luar pesantren. Ia harus menghandle dhaharan para dzuriyyah.

"Eh Rayya!"

Merasa namanya terpanggil, Rayya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara.

Ternyata Ning Zilya yang memanggilnya. Langsung Rayya berpamitan kepada anggotanya ia akan menemui Ning Zilya sebentar.

Rayya melangkahkan kakiknya ke arah Ning Zilya, ternyata Ning Zilya tidak sendiri. Ada Gus Ubaid di belakangnya. Mendadak Rayya menjadi awkward sendiri.

"Ke-kenapa Ning?"

Please! Rayya tidak bisa menutupi kegugupannya.

"Nggak papa, pengen ngobrol bentar aja. Tapi kayaknya kamu lagi sibuk banget ya?"

Rayya tersenyum menunjukkan deretan gigi depannya, " Iya Ning, datang sama Gus Ubaid? "

Sungguh ini pertanyaan yang terdengar sangat konyol. Sudah jelas Gus Ubaid berada di belakang Ning Zilya, masih dipertanyakan lagi.

Zilya menganggukkan kepalanya.

"Baru datang Ning?" Tanya Rayya sesekali mencuri pandang ke arah Gus Ubaid yang memandang orang-orang berlalu lalang.

"Iya, mau aja masuk dalem, tapi lihat kamu di sana, jadi pengen nyapa dulu,"

"Ayo masuk! Nggak enak sama abah umi." Kali ini Gus Ubaid angkat bicara. Sebuah sindiran halus untuk mengakhiri pertemuan ini.

"Mmm, Rayya lain kali ketemu lagi ya, saya masuk dulu."

"Iya Ning."

Rayya menatap kepergian mereka. Entah kenapa Rayya merasa Gus Ubaid tidak cocok dengannya. Ia merasa Gus Ubaid tidak nyaman jika berada di dekatnya. Ah tapi itu bukanlah penghalang. Bukankah cinta membutuhkan perjuangan? Namun bagaimana konsep berjuang yang sebenarnya? Rayya bingung.

Orang yang hendak di perjuangkan nya sudah tampak sekali sangat sulit untuk digapai. Dan sepertinya akan terus begitu.

~~~

Acara selesai tepat pukul 00.30 waktu istiwak. Suasana pesantren masih ramai. Santri yang bertugas pasca acara pun sudah terjun ke lapangan. Rayya lega. Akhirnya dirinya bisa merebahkan tubuhnya. Setelah sekian lama melakukan aktivitas yang sangat menguras tenaganya, sekarang Rayya akan beristirahat.

Rayya mulai memejamkan matanya. Ia ingin segera tidur malam ini. Ia ingin segera melayang indah di mimpinya. Soal mimpi indah, ia jadi teringat pertemuan dengan Gus Ubaid tadi. Apakah kejadian tadi bisa dikatakan mimpi indah?

Rayya senang bisa bertemu dengan Gus Ubaid. Namun Rayya harus mengundurkan rasa senangnya karena raut wajahnya Gus Ubaid yang tidak bersahabat.

Kelopak mata Rayya kembali terbuka. Ngalamat ia tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini. Bayangan Gus Ubaid yang sangat acuh dengannya terus terekam di otaknya.

Rayya beranjak dari tidurnya. Ia melangkahkan kakinya keluar dari asrama. Sepertinya ia sedikit membutuhkan angin malam untuk bisa menenangkan pikirannya.
Langkah kaki Rayya mengarah pada rooftop dekat jemuran. Rayya menggelar kardus bekas sebagai alas duduknya. Ia duduk menyila dan matanya memandang jauh langit malam yang sangat gelap.

Rayya tidak tahu, kenapa ia menjadi begitu berani pergi ke rooftop malam-malam begini. Entahlah, sekarang kondisi hati Rayya sedang dilema.

Langit malam itu tampak gelap membiru. Tidak ada bintang sama sekali. Langit tersebut seakan menggambarkan suasana hati Rayya saat ini.

Rayya termenung.

"Mbak Rayya?"

Rayya tersentak kaget ketika bahu kanannya di sentuh oleh sebuah tangan, "Duh Mbak Asis bikin kaget!" Gerutu Rayya saat tau ternyata tangan itu adalah milik Mbak Asis.

"Ngapain disini?"

"Nggak papa, cari angin aja."

"Nanti masuk angin, kan repot." Mbak Asis duduk disamping kanan Rayya, "Kalo mau cerita, cerita aja,"

"Menurut mbak, cinta itu apa?"

Mbak Asis tersenyum, "Nabi Muhammad pernah dawuh, jika kita mencintai atau menyukai seseorang, maka hati kita akan merasa senang jika melihatnya."

Rayya sedang melihat Gus Ubaid. Apakah berarti ia benar-benar menyukai Gus Ubaid? Apakah rasa kagumnya sudah beralih menjadi rasa suka?
Tapi, tadi malam Gus Ubaid tampak tidak menyukai kehadiran Rayya. Apakah berarti Gus Ubaid tidak menyukai Rayya? Mungkin benar.

"Tadi malam aku bertemu dengan Gus Ubaid sama Ning Zilya. Tapi Gus Ubaid kayak acuh gitu."

"Sikap kamu saat bertemu dengan Gus Ubaid bagaimana?"

"Hmm ralat, aku bertemu dengan Ning Zilya yang kebetulan lagi sama Gus Ubaid."

"Iya itu maksudnya elah,"

"Ya seneng gitu, tapi gugup sih."

"Tapi kamu nggak nunjukin kalo seneng banget gitu kan?"

"Ya nggak lah ngapain, malah tadi jadi awkward."

"Hmm baguslah, soalnya tipe Gus Ubaid itu kenceng banget. Disiplin. Pokokya yang solihah."

"Bukan aku banget itu, mana mungkin aku tiba-tiba jadi kalem, solihah lagi."

"Kenapa nggak? Pernah denger cerita Siti Zulaikha?

"Belum,"

"Dulu Siti Zulaikha sangat, sangat, sangat mengagumi Nabi Yusuf. Begitu banyak pengorbanan cinta Siti Zulaikha untuk bisa bersama dengan Nabi Yusuf. Dan ketika sudah menikah, Nabi Yusuf mengajak bermesraan dengan Siti Zulaikha. Namun Siti Zulaikha menjawab "Tunggu sampai malam tiba." Dan saat malam sudah tiba, Siti Zulaikha berkata lagi, "Tunggulah sampai siang tiba."
Siti Zulaikha seakan terus menunda ajakan Nabi Yusuf. Sampai Nabi Yusuf berkata, "Wahai istriku, bukankah dulu engkau telah mengoyakkan bajuku ketika aku hendak lari darimu?" Zulaikha lalu menjawab, "Dulu aku sangat mencintaimu, sampai-sampai aku tergila-gila padamu, tetapi itu semua karena aku belum mengenal Allah dan sekarang setelah aku mengenal Allah dan mencintai Allah, rasa cintaku kepada-Nya tak menyisakan ruang lagi untuk yang lainnya. Lalu Nabi Yusuf berkata lagi, " Wahai istriku, sesungguhnya Allah telah menginginkan darimu dua putra yang kelak akan menjadi Nabi. Lalu Siti Zulaikha berkata lagi, "Saya menuruti keinginanmu demi kekasihku, karena sungguh saya mencintai Allah."

"Tau maksudnya?"

Rayya menggeleng.

Mbak Asis tersenyum sekilas, "Jika kamu mencintai seseorang, jangan kamu mengejar orang tersebut. Tetapi cintai Allah, dekatkan dirimu kepada Allah, maka Allah akan menyatukanmu dengan orang yang kamu cintai tanpa kamu mengejar dan mengharapkan cinta orang tersebut."

Rayya kembali termenung. Perkataan Mbak Asis memang benar adanya. Selama ini ia telah mencintai ciptaannya dari pada penciptanya. Sekarang ia tahu, kenapa ia tidak mendapatkan balasan cinta dari orang yang dicintainya. Ia masih jauh dari Allah, ia masih belum bisa taat kepada-Nya.

"Mbak Asis benar," Ucap Rayya seadanya.

"Yaudah saya mau kembali ke dapur dulu, masih mau beres-beres." Ucap Mbak Asis kemudian beranjak dari duduknya, "Hmm, berani kan disini? Sudah malam lo,". Ucapnya lagi sebelum benar-benar pergi.

" Berani kok, saya butuh waktu untuk mencerna semuanya, saya butuh waktu sendiri mbak...." Jawab Rayya kemudian ia tersenyum kecil.

Pikiran Rayya kembali pada ucapan Mbak Asis tadi. Perkataan Mbak Asis seolah menampar dan menyadarkannya. Dirinya harus benar-benar berubah.

Ini sangatlah sulit bagi Rayya. Tapi hati kecilnya seolah berkata ia harus berubah dan memperbaiki semuanya. Memang sebelum nya Rayya sudah sedikit demi sedikit mengubah dirinya lebih baik lagi. Namun, semuanya memanglah membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit. Rayya sudah beranjak dewasa. Hati dan cinta bukanlah hal yang main-main lagi.

Bukan untuk niat lain Rayya berubah. Bukan karena ia mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai Allah, dirinya akan bisa bersama orang yang dicintainya. Bukan, bukan seperti itu yang Rayya maksud.

Rayya ingin dekat dengan Allah, Rayya ingin mencintai Allah, karena Rayya tahu yang terbaik pasti akan datang dengan sendirinya. Rayya tidak perlu mengharapkan dan mengejar cinta seseorang terhadapnya. Karena Rayya tahu yang mencintainya akan datang kepada dirinya atas pilihan yang terbaik dari Allah.

Rayya tersenyum menatap langit, "Jika cinta sejati, maka tentu akan menjalankan ketaatan. Yang namanya cinta ia tentu tidak akan menduakan penciptanya dengan ciptaannya."

~~~

Suasana pasca acara tidak membuat lingkup pesantren menjadi sepi. Tuffail yang baru saja selesai bercengkrama dengan kerabatnya, ia pergi menuju dapur. Ia ingin membuat kopi untuk malam ini.

Tuffail memang jarang menyuruh qodamnya untuk membuatkan kopi. Ia lebih suka membuat kopi sendiri karena mood rasa kopinya berubah-ubah. Jadi ia lebih tahu takaran gula yang sesuai dengan moodnya.

Sampainya di dapur Tuffail langsung mengambil bubuk kopi kapal api, gula dan juga cangkir kecil yang terkesan sangat cekli.

Tuffail akan membuat kopi kapal api yang kental malam ini. Angin yang berhembus sangatlah dingin dan sangat menusuk lapisan kulitnya. Tuffail menyunggingkan senyumnya sekilas, suasana yang pas untuknya malam ini.

Setelah menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah terisi bubuk kopi beserta gulanya, tangan kanan Tuffail sibuk mengaduk kopi tersebut dengan sangat berirama.

Merasa sudah tercampur sempurna, Tuffail melangkahkan kakinya menuju rooftop. Memang sudah berencana Tuffail akan menikmati seduhan kopi hitamnya di rooftop seraya menatap indah langit yang berwarna gelap kebiruan.

Di tengah jalan, Tuffail melihat Asiska yang sepertinya baru saja turun dari rooftop. Tidak ada ucapan apapun, karena sejatinya mereka memanglah belum cukup akrab. Lagi pula Tuffail seorang gus dan Asiskan hanyalah qodam.

Asiska tetap berjalan melewati Gus Tuffail, namun kepalanya sedikit menunduk untuk rasa hormatnya pada Gus Tuffail.

Tuffail mulai menaiki tangga satu persatu, agak berhati-hari karena tangan kanan nya membawa secangkir kopi panas.

Saat sampai di atas rooftop. Kedua mata Tuffail menyipit saat melihat punggung seorang perempuan.

"Selain Asiska, santri putri mana yang berani ke rooftop malam-malam seperti ini?" Tuffail mengucapkan suaranya dengan sedikit lantang.

Perempuan itu mendengarnya, buktinya ia langsung membalikkan tubuhnya ke arah Tuffail berdiri.

"Rayya?" Gumam Tuffail dengan raut wajahnya yang kaget.

Kenapa perempuan itu berada di rooftop malam-malam begini? Ada apa?
Beragam pertanyaan mulai menyelimuti pikiran Tuffail. Sebenarnya dia kenapa?

Tuffail melihat Rayya yang beranjak dari duduknya, perempuan itu berjalan ke arah dia berdiri.

Semakin dekat jarak perempuan itu dengan dirinya.

"Ngapain disini? Tau nggak ini sudah malam? Nggak pantes!" Ucap Tuffail dengan nada meninggi.

Tuffail sebenarnya tidak tahu, kenapa dirinya bertanya dengan nada yang terkesan membentak. Biasanya dirinya akan bodo amat dan langsung menyerahkannya dengan pengurus keamanan.

Mungkin rasa khawatir nya yang membuat Tuffail menanyakan hal itu dengan nada sedikit meninggi. Dan kata "Nggak pantes" yang terlontar dari bibirnya seolah telah menurunkan harga diri perempuan yang tidak jauh berada di depannya saat ini. Ah Tuffail menjadi merasa bersalah dengan perempuan itu.

"Maaf Gus, saya akan kembali."

Rayya tidak perlu berbasa-basi lagi. Karena ini akan memperumit semuanya. Sekarang yang ia inginkan adalah segera pergi dari rooftop.

"Ada apa?" Tanya Tuffail dengan nada sedikit khawatir.

Jika yang ditanya adalah santri lain, sudah dipastikan ia akan langsung melayang terbang ke awan karena mendapatkan pertanyaan atau tepatnya sebuah perhatian dari Gus Tuffail.
Namun bagi Rayya, itu bukanlah apa-apa.

"Kulo siap njenengan ta'zir Gus," Rayya menjawab tidak sesuai pertanyaan dari Tuffail.

"Siapa yang mau menta'zir? Saya hanya bertanya ada apa?"

"Ya sudah, saya mau kembali ke asrama."

"Saya tanya ada apa? Bukan menyuruh kamu kembali ke asrama."

Rayya diam, jujur ia malas berada pada situasi seperti sekarang. Langkah kakinya mulai melangkahkan maju.

"Tidak baik seorang perempuan dan laki-laki bukan mahram berada di satu tempat malam-malam."

Langkah Rayya langsung terhenti. Rayya mengenal suara itu. Sedangkan Tuffail hanya diam tidak berkutat sama sekali.

"Sedang apa kalian disini?"

Rayya dan Tuffail mematung, bagaiman cara mengatakan semuanya pada abah yai?

"Ngapunten abah...." Ucap Tuffail sangat lirih namun masih bisa di tangkap oleh gendang telinga.

Dalam diam, Rayya kaget dengan jawaban Gus Tuffail. Jawaban tersebut seakan menyatakan mereka telah berbuat kesalahan. Namun kenyataannya adalah tidak sama sekali. Seharusnya Gus Tuffail menjelaskan yang sebenarnya kepada abah yai.

Setelah menunggu sedikit lama, Gus Tuffail masih diam tidak berkata sama sekali. Itu sangat membuat Rayya kecewa dengan lelaki tersebut.

Pertemuan Rayya dengan Gus Tuffail adalah kebetulan. Rayya pun tadi juga sudah berusaha cepat-cepat pergi meninggalkan rooftop sebelum ada yang melihat dan menimbulkan fitnah.

Rayya menunduk, ia tidak bisa apa-apa dan tidak berani mendongakkan kepalanya sedikit pun.

"Sepertinya kalian harus dihalalkan!"

Bagai di sambar petir, Rayya langsung kaget bukan main. Suara abah yai membuat Rayya kehilangan keseimbangan raga dan pikirannya. Bagaimana mungkin Rayya menikah dengan Gus Tuffail?

Ah tidak! Itu tidak boleh terjadi. Ini bukanlah hal yang main-main dan perlu keputusan yang matang. Tapi, bagaimana cara Rayya memberontak?
Rayya kaku, diam, sekujur tubuhnya melemas. Satu tetes air matanya mulai membasahi kedua pipinya.

🌸🌸🌸

Thanks for reading ❤️
Stay tune yaaaaa untuk part selanjutnyaaaa🤗🤗

Continue Reading

You'll Also Like

215K 16K 69
....... Zaidan pradigta seorang santri yang terkenal di pesantren nya karena ketampanannya juga karena hafalan Al Qur'an nya. Zaidan merupakan lakiĀ²...
105K 4.3K 44
kisah 3 santri terkenal dari pondok pesantren Nurul Iman yaitu Azka , Adzam , dan Afran. mereka juga termasuk vokalis dari majlis syubbanulmukminin...
CINTA SANTRI By Feyy

Teen Fiction

155K 14.2K 44
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Kalau yang lain nyatain cinta dengan I LOVE YOU aku bisanya QOBILTU. -Cinta Santri- Yang penasaran yuk yuk merapat! Start: 0...
809K 29.2K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...