Secret Admirer

By catatanocta

154K 13.3K 248

Tentang Nala yang menyukai Raskal, teman sekelasnya. Puluhan surat cinta hanya untuk Raskal diam-diam ia leta... More

Prolog
001.
002.
003.
004.
005.
006.
007.
008.
009.
010.
011.
012.
014.
015.
016.
017.
018.
019.
020.
021
022
023
024
025 - END
INFO

013.

4.4K 463 6
By catatanocta

Raskal baru saja sampai di rumah ketika senja langit meredup. Raskal memang sengaja pulang menjelang malam. Mengingat hari ini akan menjadi awal dari kesengsaraannya untuk kesekian kalinya.

"Raskal,"

Baru saja Raskal menuju kamarnya di lantai atas, seseorang berhasil menahannya pergi.

"Kamu baru pulang, dek?"

Raskal terpaksa menoleh. Belum apa-apa Raskal menatapnya jengah pada sosok yang ingin ia hindari hari ini dan di beberapa hari kedepan.

Berbeda dengan Raskal yang menatapnya tak suka, Kak Sandi tersenyum sumringah menatap adik kesayangannya. Sudah lama sekali mereka tak bertemu. Bahkan bertukar kabar. Lebih tepatnya Kak Sandi selalu memberinya kabar setiap hari melalui pesan singkat, tapi Raskal tak pernah ada waktu untuk sekedar membaca pesannya.

Raskal sudah lama menandakan hari ini, hari di mana Kakak yang paling dicintai oleh keluarga Sastrawijaya pulang ke tanah air. Datang dengan segala tumpukan prestasi yang diperoleh. Dan datang dengan luka baru yang sebentar lagi menimbun di hati Raskal. 

"Kata Bi Yumi, kamu pulang sekolah jam tiga sore. Ini sudah jam enam. Kamu dari mana, dek?"

Raskal tak menjawab. Ia tak mau, dan ia tak ingin menanggapinya. Pertanyaan itu hanya Raskal anggap angin lalu sekedar lewat. Hendak berbalik menuju kamarnya menghindari sosok lebih tua itu, justru Kak Sandi menarik tangan Raskal. Raskal sontak menepis pegangan Kak Sandi.

"Dek, makan bareng sama Kakak dan Ayah yuk. Kakak bawain Ayam Betutu dari teman Kakak. Teman Kakak baru buka Resto di persimpangan jalan dekat Soto langganan Ibu, kamu masih ingat 'kan? Rasanya enak banget. Kamu harus cobain."

Raskal tak mengerti apakah kakaknya pura-pura lupa atau sengaja. Ayam Betutu itu pedas, Raskal tidak bisa makan pedas.

Sengaja atau tidak, Raskal tidak peduli lagi.

Raskal hendak berbalik lagi namun dihalangi lagi.

"Dek, makan dulu baru ke kamar ya. Kakak kangen kamu, kamu nggak kangen kakak? Oh iya--kakak juga bawain kamu oleh-oleh. Kakak bawain kamu lego, kamu suka lego 'kan? Kakak bawain banyak. Mau ya lihat-lihat dulu ke sini, sebentar saja. Kakak mau banyak ngobrol sama kamu. Oh iya--masih ingat sama Kak Shena? Kak Shena titip salam sama kamu."

Sebelum Raskal menyela pembicaraan, sosok yang paling utama ia hindari muncul entah dari mana. Yang Raskal lihat, sosok itu bagaikana hantu tak kasat mata. Tiba-tiba saja mengganggu pemandangan Raskal.

"Nggak usah dipaksa kalau anaknya nggak mau makan. Biarin aja dia."

Sosok Ayah yang harusnya disegani justru tidak tampak pada sosok pria tua di hadapan Raskal. Gayanya pongah, menarik kursi makan dengan keras lalu duduk sambim menatap makanan yang sudah dihidangkan Bi Yumi sebelumnya.

"Ayo, Sandi. Ayah sudah lapar ini. Ayah juga mau mendengar rentetan prestasimu selama di Aussie. Katanya kamu baru saja diundang kedutaan besar Aussie karena telah memenangkan dua olimpiade berturut-turut."

"Ajak Raskal juga ya, Ayah. Kita ngobrol sama-sama." Bujuk Kak Sandi dengan tatapan sendu.

"Ayah maunya makan sama anak kesayangan Ayah."

"Raskal juga kesayangan Ayah."

Mendengar itu Ayah justru berdecih. "Ayah cuma mau makan sama Sandi. Anak kesayangan Ayah, satu-satunya."

Penekanan Ayah berhasil menambah luka baru di hatinya. Dengan terang-terangan Ayah tak lagi menganggap Raskal anak yang bisa ia banggakan lagi.

Dulu dan sampai saat ini Ayah memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak-anaknya. Minimal Ayah ingin Kak Sandi harus lulus dengan nilai cumlaude di bidang fisika dan kimia. Sementara Raskal harus mendapatkan gelar kejuaraan tertinggi di bidang olahraga. Sang Ibu hanya mendukung apapun yang anak-anaknya sukai.

Namun sejak sang Ibu meninggal dunia dan Raskal mengalami cidera di bahunya, Ayah tak lagi perhatian bahkan peduli pada Raskal. 

Bagi Ayah Raskal itu adalah sebuah kegagalan. Sudah hancur dan lebur bersamaan dengan semua ekspektasi yang telah Ayah bangun mati-matian.

Ibarat boneka usang, Raskal tak lagi berguna di mata Ayah.

"Adek ikut makan sama kita ya, Ayah. Adek baru pulang sekolah. Pasti Adek lelah dan lapar."

"Kamu yang lebih lelah dan lapar. Kamu sudah banyak belajar dan sibuk ke sana dan kemari diundang pemerintah dan orang penting berkat prestasimu. Sejak kamu tiba tadi siang kamu belum makan apapun 'kan? Ayo, Sandi, anak kesayangan Ayah. Kita makan bersama."

Sebelum kakinya menginjaki rumah, Raskal sudah mantap dan menyiapkan dirinya sebaik mungkin. Tapi hati kecilnya tetap saja porak poranda mendengar kata-kata Ayah yang menghujamnya semakin dalam. Luka yang belum mengering bahkan semakin melebar. Mungkin sebentar lagi akan membusuk.

Sakit. Hati Raskal patah oleh sosok yang harusnya disegani dan disayangi. Sosok yang seharusnya memberi wejangan atau petuah dukungan justru meruntuhkan dunia Raskal.

Katanya rumah adalah tempat paling ternyaman untuk orang yang ingin pulang. Tapi rumah justru neraka bagi Raskal. Kak Sandi terlalu sibuk memenuhi ekspektasi Ayah hingga Kak Sandi terlambat merangkul Raskal disaat Raskal sudah tak lagi mendambakan rangkulannya.

Ditambah Ibu tak ada lagi di hidup Raskal, dunia Raskal seakan padam oleh kepiluan.

Demi melindungi sisa hati kecilnya yang telah remuk, Raskal segera mengurung diri ke kamar. Tak lupa mengunci pintu.

Lima hari--Raskal harus menahan diri selama lima hari. Setelah orang-orang itu pergi, maka kehidupan Raskal akan kembali seperti sedia kala.

Untuk berjaga-jaga, Raskal menghubungi Jian. Sewaktu-waktu Raskal ingin melarikan diri, ia tahu ke mana ia harus pergi.

Jian :
Jangan sungkan ke rumahku. Malahan Ibuku lebih sering menanyakanmu dan menganggapmu anaknya ketimbang aku -_-

Membaca pesan Jian membuat Raskal tersenyum untuk beberapa saat. Setidaknya Raskal masih bersyukur ada keluarga lain yang justru menganggap kehadirannya.

Sebelum tidur, Raskal mengemaskan pakaian seadanya untuk ia bawa besok ke sekolah.

-0-

"Kak Sandi apa kabar?"

Raskal menoleh. Ia baru saja melahap sarapannya terhenti mendengar pertanyaan Jian.

Jian menghela napas dihadiahi tatapan benci Raskal.

"Aku hanya menanyakan kabar Kak Sandi. Jangan marah." Ucap Jian cemberut.

Jian sudah lama mengenal Raskal dan masa lalunya. Meski tidak terlalu tahu banyak hal, tapi Jian turut sedih dengan cobaan yang Raskal alami selama ini.

Jian ingat, lima tahun yang lalu sahabatnya akan ceria menjelaskan betapa bahagianya dirinya dengan keluarga kecil utuh yang ia miliki. Memiliki Ayah dengan segudang harapan padanya, Ibu yang selalu mendukungnya, juga Kak Sandi yang senantiasa di sisi Raskal melebur setelah sang Ibu tiada dan Raskal mengalami cidera bahu akibat mengikuti turnamen Basket.

Turnamen Basket pada saat itu menjadi momen terpenting untuk Raskal, di mana ia ingin mengabulkan harapan Ayahnya agar ia bisa memenangkan turnamen dan secara otomatis ia akan terdaftar sebagai pemain inti dalam turnamen Basket se-Indonesia.

Namun karena insiden cidera bahu yaang dialami Raskal, Ayah Raskal merasa harapannya pupus dalam sekejap. Belum lagi hilangnya sosok Ibu membuat Ayah, Kak Sandi dan Raskal merasa terpukul.

Cidera yang dialami Raskal pun juga mempengaruhi kondisi tubuh Raskal yang membuat Raskal tak bisa lagi mengikuti semua olahraga. Kecuali lari atau latihan fisik sederhana. Itu pun juga harus dipantau supaya gerakan tersebut tidak mengganggu cidera Raskal.

Hal itu membuat Ayah semakin kalut. Harapannya semu dan Ayah tak menerima kenyataan itu.

Maka satu-satunya yang Ayah harapkan sekarang adalah Kak Sandi. Membawa Kak Sandi ke tempat yang dapat menunjang pendidikannya setinggi mungkin tanpa lagi memerdulikan sosok Raskal yang masih membutuhkan perhatiannya.

Mengetahui hal itu, Jian sangat sedih dan prihatin dengan kondisi yang dialami Raskal. Ibu Jian pun tak ragu merangkul Raskal setelah Jian mengatakan konsidi Raskal. Jian ingat pada malam itu Raskal datang ke rumahnya dengan kondisi Raskal menangis sesegukan, lalu Ibu Jian langsung mengajak Raskal masuk dan tinggal sementara waktu, juga memberi dan menyalurkan perhatian dan kasih sayang yang Ibu Jian berikan sama halnya dengan kasih sayang yang ia berikan pada Jian.

Kasih sayang Ibu yang terbagi membuat Jian bersyukur, Raskal memang butuh dirangkul dan Jian sangat senang Ibunya membantunya. Seringnya mereka bersama membuat Jian menganggap Raskal seperti adiknya karena Jian lebih dulu lahir dua bulan sebelum Raskal.

"Mau berangkat sekolah atau mau di rumah aja?" Tanya Jian setelah merapikan alat makannya. Melihat Raskal murung dan lesu, tampaknya tak memungkinkan Raskal untuk ke sekolah.

Raskal tiba di rumahnya pukul lima pagi. Raskal sengaja sudah lebih keluar agar ia tidak perlu bersusah payah menemui Ayah dan Kak Sandi. Ponselnya pun juga sengaja tidak dinyalakan. Raskal yakin Kak Sandi akan mencarinya.

Kalau pun Kak Sandi tidak mencarinya, Raskal pun tidak peduli.

"Nggak mau sekolah, tapi nanti Ibu marah kalau aku bolos." Raskal sudah memanggil Ibu Jian dengan Ibu. Ibu yang nyuruh Raskal. Sejak Raskal sering kabur ke rumah Jian, Raskal justru merasa bahwa rumah Jian adalah rumah yang sesungguhnya.

Ayah Jian jarang di rumah karena berlayar. Pulang tiga bulan sekali. Jadi Ibu sangat senang kalau Raskal ke rumah dan menumpang menginap. Rumah semakin hidup kalau Jian dan Raskal di rumah.

"Mau nongkrong aja di kedai Bang Toyib? Nggak usah pake seragam tapi. Kamu bisa main PS sepuasnya di sana. Aku ada bonus free main PS di sana, nanti bilang aja sama Bang Toyib pake nama aku. Tapi kamu tunggu aku sampai pulang sekolah ya."

Usul Jian terdengar menyenangkan. Raskal mengangguk dan segera menghabiskan sarapannya. Setelah sarapan, mereka berangkat bersama.

-0-

Menikmati udara siang di bawah pohon cukup menyenangkan juga. Pohon yang rimbun berayun merdu mengikuti gerak angin yang mendayu. Suara serah antara daun dan ranting beradu, mengantarkan ketentraman pikiran Raskal.

Sudah cukup ia menikmati PS selama dua jam. Raskal bosan. Raskal bukan seperti Jian yang kecanduan konsol permainan. Raskal suka baca buku, mendengarkan musik atau bermain basket dengan santai.

Tapi sekarang Raskal sudah tak bisa bermain basket lagi, padahal dulu Raskal tak bisa lepas dari bola membal itu. Tapi sekarang bola itu seakan sesuatu yang tak bisa disentuh Raskal lagi. Aneh, tapi itulah kenyataannya.

Raskal menatap gedung sekolah yang menjulang menggapai langit. Gedung sekolah itu kokoh, ramai, dan terlihat menyenangkan. Sekarang sedang jam istirahat. Suara murid-murid cukup terdengar dari posisi Raskal. Tidak terlalu berisik, tapi Raskal tahu seramai apa sekolah sekarang pada saat jam istirahat berlangsung.

Raskal mulai bosan, ia mengeluarkan sesuatu di saku celananya; pematik dan sebatang rokok. Belum lama Raskal iseng membelinya di kedai Bang Toyib. Raskal seorang perokok, tapi ia tak pernah membeli atau merokok di sekitar sekolah. Raskal akan merokok kalau di rumah atau di tempat lain.

Namun ketentraman ini masih belum bisa meredam emosi Raskal. Semua perbuatan dan perilaku Ayahnya kemarin sungguh melukai hatinya, meski Raskal sering alami jika Kak Sandi di rumah. Tapi tetap saja, hatinya terluka kesekian kalinya dan Raskal mulai bingung cara menyembuhkan luka ini dengan cepat.

Raskal menyalakan pematik dan mengarahkannya ke ujung rokok. Ia menyesapnya lalu menghembuskan asap ke udara. Bakaran nikotin di rokok tersebut mulai menjalar di mulut Raskal, lalu menyebar ke kepala Raskal. Ia menghela napas. Merileksasikan diri. Menyatu pada ketentraman suasana yang mengelilingi.

"Raskal,"

Raskal tersentak, mengerjap cepat melihat Nala yang juga tersentak dengan kehadirannya di kedai Bang Toyib.

"Raskal.. di sini.."

Nala tersentak melihat Raskal duduk di kedai Bang Toyib tanpa mengenakan seragam sekolah. Tak hanya itu, Nala dikejutkan juga dengan sebuah fakta baru kalau sang pujaan hati sedang merokok di dekat area sekolah.

Raskal.. merokok?

Nala buru-buru berpaling menatap ke arah lain sebelum Raskal menyadari Nala memerhatikan rokok di sela jarinya.

"Ngapain kamu di sini?"

Raskal mencoba tak terusik dengan adanya Nala di sekitarnya. Bahkan Raskal sengaja tak mematikan rokoknya atau menyembunyikannya. Biarkan saja, biarkan Nala tahu sisi buruknya. Perokok, bolos sekolah, apa lagi ya? Oh--anak yang tak dianggap.

Kalau pun Nala melaporkan perilakunya ke semua orang, Raskal tidak peduli. Ia tak peduli dengan siapa pun, kecuali Jian dan Ibu yang selama ini telah memberikan tangan mereka dengan tulus.

Nala kembali tersentak mendengar nada dingin Raskal. Nyali Nala bergetar. Takut. Tapi Nala berusaha tak surut. Pertemuan mereka di sini bukanlah sebuah kesengajaan. Jadi Nala berpikir kalau takdir masih mendukungnya untuk bertemu dengan Raskal di sini. Padahal tadi Nala sedih pas Jian mengumumkan Raskal tidak masuk sekolah karena sakit.

"Anu.. itu.. hmm.. aku.." Nala disuruh Pak Andre untuk fotokopi tugas yang akan dibagikan ke kelas. Koperasi sedang tutup, jadi Nala harus keluar sekolah untuk fotokopi di luar.

"Disuruh.. foto.. kopi.. sama.. Pak Andre.." Nala menunjukkan buku yang akan disalin banyak. Lalu Nala segera ke tukang fotokopi memgingatbPak Andre sedang menunggunya, meninggalkan Raskal yang masih menatapnya menuju fotokopi.

Raskal tak memperhatikan Nala lagi. Ia kembali menyesap rokoknya dan menghembuskannya pelan ke udara. Tatapannya menerawang kosong. Ada rasa gelisah meraup dadanya. Mungkin karena Nala melihatnya bolos dan merokok di sini, jadi..

"Raskal.."

Raskal tersentak lagi melihat Nala sudah berdiri di belakangnya. Kini gadis itu sudah memeluk tumpukan salinan tugas dan memegangi sekantung es.

Kemudian Nala memberikan satu salinan pada Raskal.

"Ini ada tugas dari Pak Andre. Minggu depan baru dikumpulkan. Aku kasih kamu satu biar kamu bisa kerjakan di rumah. Nanti aku bilang Jian kalau aku bertemu di sini dan sudah memberimu tugas. Aku janji nggak bilang siapa-siapa kalau kamu di sini. Aku nggak bisa lama-lama, Pak Andres sudah menungguku."

Lagi dan lagi Raskal terkesiap. Nala tiba-tiba saja di dekatnya dan memberikan tugas untuknya, tanpa tergagap sekali pun.

Tatapan mereka bertemu, lalu tatapan Raskal turun pada salinan dan sekantung es di tangan Nala.

Raskal belum berniat mengambil salinan tugasnya, justru ia terpaku pada sekantung es dan bergantian menatap Nala. Satu tangan Raskal naik, hendak mengambil salinan tugasnya. Tapi sebelum itu, Raskal mencondongkan tubuhnya, mengarahkan bibirnya pada sedotan es dan meminumnya.

"Terima kasih." Ucapnya setelah menghabiskan setengah minuman Nala dan mengambil salinan tugas Pak Andre.

Nala mematung. Raskal baru saja meminum esnya dari sedotan miliknya yang sudah tersentuh bibirnya sebelumnya. Dan Raskal baru saja meminum esnya dengan sedotan yang sama.

Sebelum Nala berteriak histeris di depan Raskal, Nala buru-buru melesat dan meninggalkan Raskal dengan segala kecanggungan dan semburat merah muncul di pipi Raskal.

Rokok tak lagi menarik perhatian, karena kini Raskal kelimpungan bagaimana caranya meredakan degupan jantung yang mendadak menggila di rongga dadanya.

Continue Reading

You'll Also Like

579 112 9
Hi, this is my fifth story It's about romantic comedies but later I'll add other genres to make it more fun So, just read on . . let's go to my sto...
38.3K 6.3K 32
Jimin butuh biaya untuk kehidupan putri kecilnya. jimin adalah seorang single mother. lika liku Jimin sebagai seorang janda beranak satu di kerasnya...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.3K 247 36
Highest rank #1 - leaves (20/11/2019) Saat rahasia terbesar terungkap, saat itu pula kehancuran mendekat. "Apalagi yang lo tutupin dari gue selain i...