Final kompetisi perebutan beasiswa akademi Equella akhirnya tiba. Rakyat penjuru kerajaan berbondong-bondong datang untuk menyaksikan acara tersebut. Tak hanya itu, bahkan para bangsawan banyak yang hadir. Walau raja dan ratu takkan hadir dalam acara ini. Tetap saja, acara tersebut sangat meriah.
"Ellio, jaga diri baik-baik ya, Sayang! Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu," pesan Neva pada putranya. Wajahnya menunjukkan kalau dia sangat berat hati melepas putranya. Apalagi ini pertama kalinya mereka akan berpisah cukup lama setelah dia menjadi ibu dari mantan bocah antagonis itu.
"Baik, bu!"
Ellio pun juga merasa demikian. Tetapi lelaki kecil itu harus tenang agar dapat membanggakan ibunya nanti dengan memenangkan kompetisi ini, serta mendapatkan beasiswa.
Perlu diinformasikan, pada babak final ini, semua peserta yang lolos yakni sejumlah 32 peserta diharuskan tinggal di asrama yang disiapkan panitia. Hal tersebut untuk menghindari adanya kecelakaan baik disengaja maupun tak disengaja. Kesehatan peserta sangat penting di babak ini. Tak boleh ada sedikit kesalahan.
Seperti yang telah disebutkan, kini Neva harus berpisah dengan Ellio selama beberapa hari. Tentu saja wanita itu agak tak rela. Berat rasanya...
Usai perpisahan mengharukan antara keduanya, Neva berjalan menuju tribun. Tempat para penonton menyaksikan pertarungan babak final. Pandangannya menyapu seluruh tribun arena. Sungguh, ini pertama kalinya dia melihat banyak orang berkumpul. Maksudnya, di dunia ini. Kalaupun dunianya sebelumnya. Dia sudah sering melihat misalnya acara sepak bola atau acara-acara besar dunia.
Neva juga ingin melihat bagaimana penampilan para bangsawan. Jadi, dia mengarahkan pandangnya ke tribun VIP. Pakaian yang mereka kenakan memang bagus-bagus dan sopan. Neva juga menemui beberapa pakaian dengan desainnya, benar-benar sampai ke ibukota ternyata. Saat mengamati satu persatu, pandangannya tak sengaja bersibobrok dengan netra biru tua yang mirip laut dalam, rasanya ingin tenggelam jika berlama-lama menatapnya.
Deg!
Neva segera menarik kembali pandangannya. Tidak bagus. Kenapa orang itu seakan tahu kalau dia perhatikan.
Tunggu. Neva mengarahkan pandangannya lagi pada orang itu, terutama wajahnya.
Deg! Deg! Deg!
Wajah itu. Sangat tampan!
Neva yang tak memiliki ingatan pemilik asli tak tahu kalau itu Jenderal. Tetapi melihat dari deskripsinya dia tiba-tiba menebak. Bukankah netranya mirip dengan Ellio?
Walau Neva tak tahu apakah ada netra lainnya yang mirip. Lagipula kebanyakan orang hanya akan bernetra coklat termasuk dirinya.
"Ehm, perkenalkan saya Nevara Parrish. Itu, bolehkah saya bertanya?" Neva mencoba bertanya pada seseorang di sampingnya. Dia wanita yang terlihat seumuran atau mungkin sedikit lebih tua darinya.
Wanita itu tersenyum tipis. "Tentu, Mrs. Parrish! Saya Pamela Winson."
"Mrs. Winson, apakah Anda tahu siapa seorang bangsawan yang berpakaian hitam dan tampak mencolok itu?" tanya Neva penasaran.
Pamela agak terkejut. Wanita itu sekali lagi memastikan. "Apa Anda benar-benar tidak tahu?"
"Saya baru pindah ke ibukota," kata Neva beralasan.
"Anda dari kerajaan lain?" tebak Pamela.
Neva menggeleng. "Tidak, saya dari sebuah kota kecil."
Pamela mengangguk-angguk seolah paham. "Oh, makanya.... "
"Tapi saya cukup heran mengapa Anda tak mengenali Jenderal Agung Algerion Eckbert kita. Hampir semua orang baik dari wilayah besar maupun kecil mengenalinya lho!" lanjutnya dengan gelengan kepala pelan diakhir kalimatnya.
Neva sendiri seolah kehilangan nyawa setelah mendengar penjelasan itu.
Deg!
Siapa?
Jenderal Agung Algerion Eckbert?
Itu... dia?
Pikiran Neva sibuk menebak. Apakah Jenderal itu masih mengingatnya? Apakah Jenderal itu mengenali wajahnya? Apakah Jenderal masih akan menangkapnya?
Terlalu banyak pertanyaan bersliweran di benak Neva. Membuatnya terdiam seperti patung, tampak aneh. Sampai Pamela yang di sampingnya menepuk-nepuk pundaknya seraya kembali menyadarkannya.
"Mrs. Parrish?"
"Mrs. Parrish?"
"Apakah Anda tidak apa-apa?"
Neva tersadar. Dia segera menjawab beralasan, "Saya tidak apa-apa, hanya terkejut karena pertama kali melinhat Sang Jenderal yang selalu diagung-agungkan."
"Begitu, saya kira Anda kenapa."
Neva kembali pada pikirannya. Jenderal Algerion mungkin sudah melupakannya kan? Kalau tidak, pasti saat ini dia telah ditangkap dan mungkin dipenggal.
Ya, tenang saja Neva. Jangan banyak berpikir!
Setelah itu, tak lama kemudian pembawa acara telah naik panggung kecil disamping arena pertarungan, bersiap memulai acara.
"SELAMAT DATANG SEMUA DALAM ACARA KOMPETISI PEREBUTAN BEASISWA AKADEMI EQUELLA YANG KE-37. KOMPETISI YANG TELAH BERLANGSUNG LEBIH DARI SEABAD INI... BLA... BLA... BLA... "
Sambutan itu tak berlangsung lama. Maklum, ini bukan acara perayaan atau apa tetapi acara kompetisi. Lebih cepat dimulai lebih baik jadinya.
"SAATNYA KITA MEMASUKI ACARA INTI KITA YANG MUNGKIN AKAN BERLANGSUNG SELAMA BEBERAPA HARI, YAITU KOMPETISI DIANTARA 32 PESERTA YANG MASUK BABAK FINAL."
"LANGSUNG SAJA, KITA SAMBUT PASANGAN PERTAMA YANG AKAN BERTARUNG, ASTHON FRANKINE MELAWAN DUSTIN GILBERT. KITA BERI SAMBUTAN YANG MERIAH~"
Dua bocah yang sedikit lebih tua dari Ellio naik ke atas panggung. Keduanya saling membungkuk tanda melakukan salam. Tinggal menunggu gong dibunyikan, keduanya akan bertarung.
Dong!
Keduanya mulai bertarung dengan sengit. Karena ini babak final, tak ada skill yang disembunyikan. Mereka mengeluarkan semua kemampuan yang mereka punya. Apakah itu sihir atau menggunakan senjata sihir.
Wushhh!
Duarr!
Blarr!
Duarr!
Neva mengamati dengan penuh minat. Ini pertama kalinya dia menonton pertarungan semacam ini. Di zaman modern tidak ada yang seperti ini. Paling ada itu kompetisi karate, silat, tinju, dan yang sejenisnya. Tidak ada sihir maupun senjata sihir.
"PEMENANGNYA ADALAH DUSTIN GILBERT~"
Duel terus berlanjut, sampai tiba giliran Ellio. Lelaki kecil itu cukup beruntung mendapat nomor di awal.
"SELANJUTNYA, KITA SAKSIKAN PASANGAN SELANJUTNYA YANG AKAN BERTARUNG, GALELLIO PARRISH MELAWAN THEODORE BERNSTEIN. KITA BERI SAMBUTAN YANG MERIAH~"
Wah, giliran putranya! Neva berseru dalam hati. Menanti pertarungan berikutnya dengan campur aduk.
Ellio dengan langkah tegapnya maju ke arena. Selain penampilannya yang agak acuh, wajah si kecil itu memang terbilang diatas rata-rata. Jadi, cukup banyak yang membicarakannya.
"Apakah dia bangsawan?"
"Lihatlah wajahnya yang tampan itu!"
"Tidak tahu kuat atau tidak!"
"Apa hebatnya? Hanya menang tampang kan?"
"Heh, kau Galellio ya! Ku lihat kau agak hebat. Jangan lupakan aku, Theodore Bernstein, anak Count Bernstein pasti akan mengalahkanmu!"
Anak bangsawan? Kenapa arogan sekali? Ellio membantin.
Si kecil itu mengerucutkan bibir kesal mendengar nada arogannya. Dan perilakunya itu dianggap provokasi oleh Theodore.
"Kau! Awas saja! Aku takkan mengampunimu!"
Tidak tahu saja kalau ucapan kejamnya ini di dengar oleh seseorang di tribun VIP yang bertelinga tajam. Siapa lagi kalau bukan Algerion. Netra biru lautnya menatap anak sombong itu dengan tajam plus super singkat. Tak ada tahu apa yang dipikirkan olehnya.
Dong!
Ellio dan Theodore mulai bertarung. Sebagai anak bangsawan, Theodore memang bisa dibilang memiliki kemampuan diatas rata-rata. Tetapi ya, hanya diantara anak seusianya. Namun, sayang, dia kali ini bertemu Ellio—yang tentu bukan lawannya!
Sring!
Sringg!
Whush!
Blarr!
Duarr!
"Ah, kenapa anak itu tak membawa senjata?"
"Dia cukup hebat, ya."
"Tapi pasti dia akan kalah!"
Neva teringat kalau dia belum mampu membelikan Ellio senjata sihir. Maklumlah, senjata sihir sangat mahal. Dengan keuangannya yang hanya seberapa, dia benar-benar tak mampu membelinya.
Lihatlah Ellio yang bertarung dengan tangan kosong dan hanya mengandalkan sihirnya.
Dan lawan, dia membawa pedang sihir.
Sungguh malang sekali si kecil itu...
Neva merasa bersalah. Dia lupa kalau pertandingan ini harus menggunakan senjata pribadi. Namun hanya satu senjata saja yang diperbolehkan.
Algerion juga merasa bersalah pada sang putra. Ya, usai pertanidngan ini dia akan segera membelikannya senjata sihir terbaik. Tetapi bagaimana cara memberikannya pada si kecil itu?
Siapa tahu saat situasi mendesak, disaat oedang hendak mengenainya. Ellio menangkisnya dengan pedang es buatannya. Tentu saja, dengan mana Ellio yang banyak serta penguasaan gerakan yang fasih Ellio akhirnya memenangkan pertarungan.
"PEMENANGNYA ADALAH GALELLIO PARRISH~"
"Wah, hebat sekali lelaki kecil itu! Masih kecil sudah bisa mengubah sihir menjadi senjata!" seru Pamela di samping Neva dengan ekspresi kagum. Tak hanya Pamela, semua penonton bahkan para bangsawan banyak yang memuji.
Neva bangga dalam hati mendengar anaknya dipuji. "Benar, hebat sekali!"
Algerion pun begitu, anaknya benar-benar hebat. Namun, dia tahu itu bisa menimbulkan kecemburuan beberapa kalangan. Sepertinya, dia harus super ekstra menjaga anaknya itu.
****
Tbc.