Garis Takdir Untuk Hawa

By Dutahappygirl00

4.4M 550K 61.3K

Hawa terlahir dari rahim seorang Ibu, yang berstatus sebagai istri kedua. Karena kutukan dari istri pertama... More

Prolog
1. Garis kisah di mulai
2. Garis Takdir mempertemukan
3. Cafe Al-Hubbu
5. Pesantren Al-husayn
6. Sorban putih
7. Salah tingkah
8. Tragedi di dini hari
9. Mimpi buruk
10. Nura
11. Hukuman
12. Sahabat di masa SMA
13. Pernikahan dan cinta
14. Keindahan Cinta
15. Duo kembar yang tak akur
16. Akulah, karma itu
17. Gugatan cerai
18. Hubungan, baru
19. Restava
20. Perdebatan
21. Cerita sebenarnya
22. Ldr
23. Salah paham
24. Istriku
25. Senandung lagu untuk Hawa
26. Tahajud, dan Cinta
27. Keterkejutan
28. Baba dan Bubu
29. Sebuah telepon
30. Masa lalu, hanya kaset rusak
31. Taktik
32. Ngidam?
33. Surprise!
34. Jadilah manusia perasa
35. Pilihan yang sulit
36. Maaf
37. Pertemuan masa lalu
38. Bukan salahmu
39. Ruang pengadilan
40. Hukuman
41. Persalinan
42. Kelahiran, dan kebebasan
43. Permintaan Maaf
44. Sadalla & Syahara
45. Lamaran untuk Azrina
46. Keluarga cemara
47. End
48. Epilog
Kisah Syahara

4. Tidak baik-baik saja

92.2K 12K 1K
By Dutahappygirl00

Follow Instagram

@mhmmdrahsyaa
@wp. dutahappygirl00

Ikan hiu makan tomat, jangan lupa vote wahai sobat!

Komen juga, pengen ngerasain di komen sampai ribuan. Emm, tapi kayanya bisa gak yaa...

"Sekali saja tangan kamu memukul Hawa, maka. Tidak ada kata ampun, untuk berandal gila seperti kamu."

Terjadi keheningan, sesaat setelah Gus Rahsya mengatakan kalimat itu dengan penuh penekanan. Pemuda ber badan tinggi, dengan otot yang sedikit terlihat. Membuat teman-teman Alga heran, siapa dia.

"Ustadz Rahsya?" Gumam Hawa, raut wajah gadis itu terlihat agak syok.

Penampilan Gus Rahsya hari ini sangat jauh berbeda, ia memakai gamis putih dengan sorban putih di kepalanya. Sungguh, pemuda itu terlihat sangat berwibawa dan rapi.

"Uuu...ada manusia so alim di sini. Berani-beraninya lo pegang tangan gue!" Sentak Alga, menepis tangan Gus Rahsya dengan kasar.

Gus Rahsya tersenyum. "Pada dasarnya manusia memang selalu berbuat kesalahan. Sesungguhnya, lebih baik di sebut so alim, daripada di anggap nakal atau brengsek oleh orang-orang." Tidak ada nada tinggi, ataupun nada seperti sebuah sindiran. Pemuda itu, berkata dengan nada yang begitu santai.

Alga menarik kerah gamis Gus Rahsya, membuat keduanya saling bertatapan dengan intens. "Selain Hawa, kayanya gue juga harus bunuh lo!"

"Sebelum kamu membunuh Hawa—"

Bugh!

Gus Rahsya menghajar Alga, bahkan dalam satu pukulan pemuda itu sudah terkapar. Entah apa yang pemuda itu lakukan, selama ini ia tidak pernah menggunakan ilmu bela dirinya. Kecuali, saat memang benar-benar di butuhkan.

"Alga!" Angga berusaha membangunkan Alga, namun nihil. Tidak ada respon apa-apa, pemuda itu pingsan.

"Lo apain temen gue hah?!" Laskar berteriak, menatap Gus Rahsya dengan tatapan tajam.

"Mohon maaf, lebih baik kalian pergi. Teman kamu hanya pingsan, pergilah sebelum saya buat kalian seperti dia."

"Emang lo siapa hah?! Berani-beraninya lo ngusir gue!" Teriak Laskar tak terima.

Gus Rahsya terkekeh ringan, ia menepuk bahu Laskar dua kali. "Saya manusia biasa, bukan siapa-siapa." Jawaban itu malah semakin membuat emosi Laskar tersulut.

"Woi, siapa manager Cafe ini!" Tiba-tiba saja Laskar berteriak kencang, berkali-kali menyebutkan dimana manager Cafe ini.

"Security, usir dia! Masa pelanggan di ganggu, lo semua diem aja sih?!"

Pak Arman membungkukkan badannya, namun dengan gerakan cepat Gus Rahsya menahan. Sebagai pegawai, Pak Arman memang harus menghargai atau menghormati mereka. Namun bagi Gus Rahsya, itu semua tidak perlu di lakukan kepada anak-anak berandal seperti mereka.

Gus Rahsya melangkah, ia sedikit membungkuk untuk membisikan sesuatu di telinga Laskar. Setelah itu, Laskar tiba-tiba saja mengajak teman-temannya untuk pergi dari Cafe ini.

Sedangkan Hawa, ia diam mematung. Membuat Azarine keheranan. Pasalnya, wajah gadis itu terlihat sedikit agak pucat.

"Assalamualaikum Hawa, apakah kamu baik-baik saja?" Gus Rahsya tiba-tiba saja melontarkan sebuah pertanyaan, membuat Hawa meringis pelan.

Kejadian kemarin, benar-benar sangat memalukan. Sejujurnya untuk kali ini, ia merasa agak bersalah sudah memasukan 5 sendok garam ke dalam teh hijau yang di minum oleh Gus Rahsya.

"Hawa, itu cowok ngasih salam. Jawab kenapa sih, masa iya gue yang jawab?" Bisik Azarine.

Hawa mendekatkan bibirnya ke arah telinga Azarine. "Dia Ustad Rahsya."

"Anjir!" Pekik Azarine tanpa sadar.

Hawa melotot kesal. "Tolol." Maki gadis itu lewat gerakan bibir.

"Assalamualaikum Hawa, kewajiban umat muslim terhadap muslim yang lainnya. Salah satunya adalah menjawab salam loh." Perkataan Gus Rahsya terdengar halus, namun agak sarkasme.

"Waala—"

"Gus Rahsya, apakah kamu baik-baik saja? Tadi aku denger katanya kamu berantem sama pengunjung Cafe." Tiba-tiba saja Ning Zhafira datang, bersama Rayan.

Gadis itu memang sangat ingin ikut. Bahkan ada kyai Husein dan juga Kyai Azhar. Semua menjadi di luar rencana. Kyai Husein terlihat sangat terkejut, tapi ekspresi pria itu langsung berubah.

Tidak bisa di pungkiri, ia sangat senang. Bisa melihat menantunya, apalagi saat ini Hawa dan Gus Rahsya sedang saling berhadapan.

"Gus?" Gumam Hawa, ia seperti agak familiar dengan kata-kata Gus.

"Hawa, salam saya belum di jawab." Ujar Gus Rahsya, tidak merespon perkataan Ning Zhafira.

Hawa mendongak perlahan, menatap kedua manik mata Gus Rahsya. "Waalaikumsallam Ustad, untuk soal kemarin. Hawa minta maaf, Ke Ciamis makan teri. Kemarin Hawa terlalu berseri-seri. Jadi salah masukin gula, kirain Hawa itu gula. Eh ternyata garam, Ustad gak amandel kan? Kalau Ustad amandel, Hawa tanggung jawab deh asal bukan minta tanggung jawab jadi istri." Cerocos Hawa, tanpa mengerem sedikit pun. Gadis itu berkata, sambil menatap mata Gus Rahsya.

Terdengar suara tawa yang terdengar begitu merdu. "Kamu sangat lucu, tenanglah. Saya tidak apa-apa Hawa." Ucapan dari Gus Rahsya membuat Hawa menghela nafas lega.

"Makasih Ustad, ayo kita temenan!" Hawa menjulurkan tangan kanannya, agar bisa bersalaman dengan Gus Rahsya.

Saat Gus Rahsya akan membalas salam Hawa. "Maaf, di antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram. Tidak boleh bersentuhan." Ning Zhafira tiba-tiba saja menimbrung, membuat Gus Rahsya tersadar.

Tersadar, bahwa pernikahan Hawa dan dirinya masih di rahasia kan dari semua orang.

"Siapa sih nih cewek, baju nya kaya mau kondangan. Pinky pinky item, cakep sih. Tapi cakepan gue lah." Gumam Hawa dalam batin.

"Tad, itu siapa?" Tunjuk Hawa ke arah Ning Zhafira.

"Dia an—"

"Saya calon istri Gus Rahsya mba." Ning Zhafira menyela perkataan Gus Rahsya.

"Pokonya Hawa gak mau mengaji dengan Ustad Rahsya!"

Sejak pulang kuliah, gadis itu mengamuk tidak jelas. Membuat Aliza merasa pusing, entah lah tidak biasanya Hawa mengamuk. Biasanya gadis itu jika memang tidak menyukai sesuatu, akan merengek seperti anak kecil.

"Kenapa lagi sih Hawa?" Sahut Aliza, dengan sabar ia bertanya.

Hawa menatap Aliza. "Ustad Rahsya anak kyai ya?"

"Hah?" Beo Aliza.

"BUNDA HAWA GAK MAU NGAJI SAMA USTAD RAHSYA!" Aliza menutup kedua telinganya. Hawa hari ini bersikap sangat aneh.

Untung saja Hanan sedang bekerja, jika pria itu ada di rumah. Hawa pasti akan di ceramahi habis-habisan.

"Gak bisa, semua Ustad kena mental sama kamu. Makanya jangan nakal jadi cewek, jail lagi. Tobat aja kenapa sih, Bunda pusing. Masa punya anak gadis, gak bisa ngaji. Shalat susah, kamu hidup di dunia ini kalau gak ibadah mau ngapain?"

Mengingat bagaimana masa lalu Aliza. Wanita itu tidak ingin putrinya mengalami hal yang sama. Sungguh, jauh dari agama bukan suatu hal yang menyenangkan. Selalu ada rasa penyesalan di benak Aliza, bahkan ketika usianya sudah cukup tua. Ia masih belum mengetahui banyak tentang agama.

Hawa menunduk, "Kenapa agama kita harus Islam?"

"Lisan kamu jaga!" Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari ujung pintu. Hanan datang dengan raut wajah memerah, pria itu berjalan menuju Hawa.

"Ayah cape! Kenapa kamu harus lahir, kalau kamu tumbuh jadi anak gak berguna kaya gini!" Teriak Hanan, jari telunjuk itu membuat nyali Hawa menciut.

"Mas! Kamu kenapa, jaga bicara kamu!" Wanita itu menyembunyikan Hawa di balik tubuhnya, Hanan memejamkan matanya sejenak.

"Saya cape Aliza, kapan Hawa bisa mengaji? Kapan anak kita bisa sadar! Setiap hari selalu saja ada ulahnya, ngaku sama Ayah. Minggu kemarin kamu pergi ke club malam kan?!" Hanan tidak habis pikir, Hawa sudah terlalu jauh.

Jika saja Aliza tidak terlalu memanjakan Hawa. Pasti sejak awal, Hanan sudah tegas memasukan putrinya ke dalam pesantren. Namun, rasa takut di dalam relung hati Aliza masih tidak bisa hilang.  Wanita itu takut, jika putrinya mengalami sesuatu yang buruk.

"Jawab!" Sentak Hanan.

Hawa meneguk salivanya dengan susah payah, ia  tidak berani menatap kedua manik mata sang Ayah. "I—tu Hawa gak sengaja Ayah, Hawa kira itu tempat bermain anak-anak."

"Ayah gak bodoh! Nilai kamu selalu anjlok, shalat lima waktu saja kadang-kadang. Siapa yang di salahkan dalam hal ini? Pasti orang tua, kapan kamu kasian sama Ayah dan Bunda. Kapan Haw—"

"Ayah!" Pekik Aliza dan Hawa secara serentak, saat Hanan menyentuh dada sebelah kirinya. Nafas pria itu terasa sempit, dadanya terasa sangat nyeri.

"Masuk lah ke kamar kamu, biar Bunda yang tangani Ayah." Ujar Aliza, setelah itu ia membopong tubuh Hanan dengan perlahan sendirian.

Meninggalkan Hawa yang terdiam, "Kapan sih Ayah ngerti, Hawa pengen bebas. Cuman ini yang bisa Hawa lakukan, bahkan Hawa selalu di jaga ketat. Pulang gak boleh malem, makan selalu yang sehat-sehat. Cape Yah, cape."

Gadis itu berjalan menuju kamar, duduk di depan meja rias. Menatap dirinya sendiri, lalu tertawa. "Kenapa gue harus lahir, kenapa gak ikut mati aja bareng kelima kakak gue?" Katanya berkata dengan nada lirih.

Hati Hawa hancur berkeping-keping, ia bagaikan Rapunzel. Selalu di kurung di dalam menara, makan selalu di atur, jajan tidak boleh bebas. Berteman harus dengan perempuan, bahkan saat sekolah ia tidak mempunyai satu teman pun. Aliza-Hanan memang orang tua yang baik, namun hidup di dalam kekangan orang tua bukan lah hal yang mudah.

Gadis itu meraih sesuatu, di dalam laci meja rias. Hawa mulai terisak menangis, sebenarnya sejak semalam ia ingin menangis. Walaupun tidak di berikan pukulan apapun, perkataan Hanan-Aliza benar-benar pedas. Di tambah saat berangkat kuliah ia hanya di beri uang lima ribu rupiah, jika saja tidak ada Azarine mungkin gadis itu akan kelaparan.

Gunting berwana hitam ber ukuran sedang itu, dengan perlahan mulai memotong helai demi helai rambut Hawa. Setiap kali merasa sedih ataupun stres, Hawa selalu memotong rambutnya sendiri hingga pendek.

"Gak ada yang bisa gue lakuin selain ini."

Aliza membekap mulutnya sendiri, ketika ia tak sengaja mendengar segala ucapan Hawa. "Maaf Hawa, Maafkan Bunda. Bunda dan Ayah, hanya takut kamu terkena karma dari apa yang telah Ayah dan Buma perbuat di masa lalu."


Continue Reading

You'll Also Like

282K 14K 37
"GW TRANSMIGRASI? YANG BENER AJA?" ... "Klo gw transmigrasi,minimal jangan di peran antagonis lah asw,orang mah di figuran gitu,masa iya gw harus mat...
146K 13K 99
bertahan walau sekujur tubuh penuh luka. senyum ku, selalu ku persembahkan untuknya. untuk dia yang berjuang untuk diri ku tanpa memperdulikan sebera...
112K 4K 35
menceritakan tentang perjodohan antara laki laki cantik dan seorang CEO tampan namun kasar, tegas, dan pemarah #bxb #homo jika salah lapak langsung...
398K 5.6K 17
Megan tidak menyadari bahwa rumah yang ia beli adalah rumah bekas pembunuhan beberapa tahun silam. Beberapa hari tinggal di rumah itu Megan tidak me...