Ex Boyfriend | Jung Jaehyun

By selvimeliana

18.2K 1.2K 696

๐‚๐จ๐ง๐ญ๐ž๐ง๐ญ ๐ฐ๐š๐ซ๐ง๐ข๐ง๐ (๐ฌ) ; ๐๐ก๐ฒ๐ฌ๐ข๐œ๐š๐ฅ ๐ญ๐จ๐ฎ๐œ๐ก, ๐ค๐ข๐ฌ๐ฌ๐ข๐ง๐ , ๐œ๐ฎ๐๐๐ฅ๐ž, ๐š๐ฅ๐œ๐จ๐ก๐จ๐ฅ... More

PROLOG
01. Masih Tentang Liana
02. Dia?
03. Mimpi Buruk
04. Masa Lalu yang Kembali
05. Kisah Itu Sudah Berakhir
06. Berawal Tantangan
07. Hari Pertama
08. Hanya Sebatas Bertemu Lagi
09. Realita Mereka
10. Pantas Bahagia
11. Galen Daumzka
12. Serpihan Kebenaran Tentang Aldi
13. Satu Kebenaran Lagi
14. Masa yang Berbeda
CERITA BARU
PEMBERITAHUAN ! ! !
15. Mereka Hanya Masa Lalu, kan?
16. Lekas Sembuh
17. Apa Damai itu Benar Ada?
18. Ending
19. Putus Asa
20. Terima Kasih
21. Reuni Masa Lalu
22. Reuni Masa Lalu 2
23. Deja Vu
24. Lunch
26. Kenangan Masa Lalu
27. Bukan Sekedar Harapan
28. Masih Butuh Waktu
29. Tahapan
30. Tersampaikan
31. Terbalaskan
32. Bagian Masa Lalu
33. Janji
34. Menikmati Waktu
35. Lamaran
36. Terungkap
37. Happy Wedding
EPILOG

25. Hujan Malam Ini

188 24 5
By selvimeliana

Tidak seperti cuaca kemarin yang cerah bahkan sampai matahari menghilang di peraduannya, hari ini malah mendung berkepanjangan sampai akhirnya hujan-pun berjatuhan. Kilatan petir dan suara guntur juga ikut menghiasi langit yang dipenuhi awan kelabu itu.

Mood yang buruk, ditambah cuaca yang buruk pula, kombinasi yang lengkap untuk membuat Galen larut dalam pikiran kelamnya. Dalam keadaan mabuk seperti sekarang saja tidak mampu membuat Galen mengalihkan pikirannya itu.

Apa yang membuat Galen seperti itu? Tentu saja jawabannya tidak lain adalah kelakuannya sendiri.

Emosi yang tidak bisa di kontrol, pikirannya yang sempit, dan keegosiannya adalah musuh terbesar bagi Galen. Sebenarnya Galen juga tidak ingin mempunyai sifat buruk seperti itu. Atau mungkin setidaknya Galen bisa berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih baik. Tapi bagaimana lagi? Galen tidak bisa mengendalikan itu semua sesuai dengan keinginannya. Ini sudah seperti takdir yang sama sekali tidak bisa di tolak oleh Galen.

Galen mungkin hanya tidak berusaha untuk berubah!

Kalian salah jika berpikir Galen tidak berusaha sama sekali. Selama ini, bahkan sebelum mengenal Liana, Galen sudah berusaha semaksimal mungkin agar dirinya menjadi orang normal layaknya orang lain. Cara mengontrol emosi, cara menghargai orang lain, cara berpikiran luas, dan masih banyak cara-cara menjadi orang baik lainnya yang Galen pelajari. Pria itu bahkan tidak mempelajari itu semua sendirian, ia di bimbing langsung oleh seorang Psikiater.

Iya, Galen adalah seorang pria yang mempunyai gangguan kepribadian. Ia selalu ingin menjadi yang dominan dalam segala hal. Itulah yang menyebabkan Galen tidak bisa menghargai orang lain, yang membuatnya bersikap egois dan keras kepala. Ia juga tipikal orang yang tidak mau kalah. Masalah ini tentu hanya diketahui oleh keluarga Galen. Liana maupun orang lain bahkan tidak ada yang menyadari jika sifat-sifat Galen tersebut masuk kedalam gangguan kepribadian.

Masih ingat saat pagi tadi mamah Galen menyuruh pria itu menemui dokternya? Dokter yang dimaksud saat itu adalah psikiater yang selama ini menangani Galen.

Bertahun-tahun menjalani perawatan, nyatanya tidak memberikan perubahan yang besar untuk Galen. Galen jadi muak sendiri sampai berpikir jika dirinya sama sekali tidak bisa berubah.

"Bunda, Bunda, lift-nya udah kebuka. Ayo, Bunda!"

Seruan dari anak kecil tadi membuat Galen tersadar dari lamunannya. Untung saja Galen sadar, jika tidak mungkin saja Galen akan melewati lantai apartemennya.

Galen dengan mata sayunya, memperhatikan anak kecil berambut panjang yang masuk kedalam lift sambil menarik tangan bundanya.

Galen tidak tahu jika ternyata wanita, dan anak kecil itu adalah Oliv, dan Raina.

"Bunda, bau apa ini? Baunya nusuk hidung Rain." Raina, anak kecil itu mencapit hidung menggunakan ibu jari, dan telunjuknya. Sambil menatap Oliv, kening Raina mengerut pelan.

Oliv yang sadar jika bau yang dimaksud Raina adalah bau alkohol, hanya mampu menatap Galen, satu-satunya orang yang berada di lift ini bersama dengan mereka. Oliv menduga didalam hatinya jika bau alkohol itu berasal dari Galen.

Galen nyatanya tidak memperdulikan tatapan Oliv. Pria itu malah menghalangi pintu lift yang hampir saja tertutup. Dan masih dengan tampang tidak peduli, Galen keluar dari dalam lift.

"Bunda!"

"Bukan apa-apa kok, Rain. Nanti juga hilang sendiri baunya."

Galen tidak mendengar lagi percakapan mereka, karena Galen memilih langsung pergi dari sana bersamaan dengan pintu lift yang tertutup.

Tidak butuh waktu lama untuk Galen sampai didepan apartemennya. Galen yang merasa lehernya seperti tercekik, mulai mengendorkan dasinya menggunakan tangan kiri, sedangkan tangannya yang lain sibuk memasukan sandi pintu apartemen.

Setelah mendengar bunyi tanda pintu terbuka, Galen langsung masuk kedalam.

Sesaat setelah Galen menyalakan lampu ruang tengah, Galen mendapati punggung ayahnya yang sedang duduk sendirian sambil mengamati pemandangan kota Jakarta yang tengah di guyur hujan. Galen pikir, ia sedang berhalusinasi saja karena efek dari alkohol yang di minumnya tadi, tapi ternyata tidak. Galen menyadari itu setelah ia mengucek matanya beberapa kali dan masih saja yang ia dapati disana adalah sosok ayahnya.

Dengan langkah kaki yang lunglai, Galen berjalan menghampiri ayahnya. "Sejak kapan Ayah disini?"

Pertanyaan dengan suara parau itu tidak kunjung terjawab.

"Ada apa Ayah sampai kesini?"

Tidak terdengar suara apapun setelah Galen bertanya untuk kedua kalinya. Hal ini membuat Galen terkekeh pelan, entah apa yang lucu, Galen sendiri juga tidak tahu.

Dengan keterdiaman dari ayahnya itu, Galen tidak jadi menghampirinya. Pria itu berputar arah menuju kamarnya masih dengan langkah kaki yang lunglai.

Belum juga Galen sampai didepan pintu kamar, ia malah lebih dulu mendengar suara derap langkah kaki yang tergolong cepat. Tidak lama setelah itu, tubuh Galen tiba-tiba berputar seratus delapan puluh derajat. Galen pikir, hal itu terjadi karena ia sedang merasa pusing, hal wajar yang dialami oleh seseorang yang sedang mabuk sepertinya. Tapi ternyata salah, karena nyatanya ulah ayahnya-lah yang menarik kuat tubuh Galen sampai membuat mereka saling berhadapan.

Plak!

Suara tamparan itu terdengar sangat keras. Tamparan yang berhasil mendarat mulus di pipi Galen. Galen sampai hampir terjatuh jika saja refleks dari tubuhnya tidak cukup baik. Mata sayu Galen tadi juga jadi terbuka lebar, saking terkejutnya.

"BAJINGAN KAMU GALEN!"

Antara sadar dan tidak sadar, Galen menatap wajah bengis ayahnya. Rahang pria itu juga mengeras dengan gertakan gigi yang bahkan sampai bisa Galen dengar. Selain itu, mata ayahnya juga mengilatkan amarah, tidak kalah dengan petir yang baru saja menyambar.

Belum sempat Galen bertanya kenapa ayahnya seperti ini, tapi ayahnya sudah lebih dulu menarik kerah kemeja Galen.

"AYAH PERNAH BILANG, KAMU MEMANG BOLEH MENGGILA SAAT SEDANG JATUH CINTA, TAPI JANGAN SAMPAI MELAKUKAN HAL YANG PERNAH KAKAK KAMU ALAMI SENDIRI!" ayah Galen berseru keras didepan anaknya itu.

Mendengar kata 'Kakak' sudah membuat Galen tahu kemana arah seruan dari ayahnya yang penuh dengan emosi itu.

"KAMU BOLEH MELAKUKANNYA JIKA LIANA MEMANG MAU, TIDAK DENGAN MEMAKSANYA SEPERTI ITU, GALEN!" lagi-lagi ayahnya berseru marah. "Sekarang apa bedanya kamu dengan bajingan yang sudah membunuh kakakmu itu, huh? Kalian tidak ada bedanya!" dan kali ini ayahnya bersuara dengan nada rendah namun terkesan tajam sambil menghempas kuat tubuh Galen.

"Ayah!" Galen malah ikut berseru. Ia tidak menyukai persamaan yang tadi ayahnya maksud. "AKU GAK SE-BAJINGAN MEREKA! AKU UDAH BERHASIL MENCEGAH HAL BURUK TERJADI PADA LIANA, YAH. AKU GAK JADI MEMPERKOSA LIANA!" kali ini Galen berteriak.

"BODOH!" makian itu terdengar sangat lantang. "Tidak jadi bukan berarti kamu benar-banar tidak berniat melakukannya. Kamu hanya sekedar berhenti ditengah jalan saja, jadi jangan bangga dengan hal itu!"

Tahu kenapa Galen sampai mempunyai gangguan kepribadian seperti ini? Jawabannya karena ayahnya sendiri. Ayahnya yang selama ini mendidik Galen dengan keras, seolah-olah Galen tidak boleh kalah oleh siapapun. Inilah kenapa Galen bisa sangat se-egois itu. Awalnya Galen hanya ingin membanggakan ayahnya saja dengan terus mencoba bersikap keras pada siapapun, dalam keadaan apapun, tapi siapa sangka semua itu malah menjadi sebuah kebiasaan yang sulit Galen kontrol? Tidak ada yang menduga itu, bahkan ayahnya sekalipun.

Ayah Galen membuang napas kasar sambil berkacak pinggang. Emosinya kali ini benar-benar sudah diluar batas. "SUDAH CUKUP ANAK PEREMPUAN AYAH YANG MENJADI KORBAN, JANGAN SAMPAI ANAK LELAKI AYAH MALAH JADI PELAKUNYA JUGA!"

Galen tentu tidak akan melupakan kejadian yang pernah menimpa kakak perempuannya.

Glaresia, kakak perempuan Galen yang hanya berselisih umur tiga tahun dengannya. Perempuan yang sangat ceria, baik, dan penurut, intinya sifat yang berbanding terbalik dengan Galen karena Galen, dan Galresia di didik dengan cara yang bebeda. Galen dengan cara keras, sedangkan Glaresia dengan cara lembut. Kontras sekali cara orang tua mendidik mereka.

Perempuan yang disayangi Galen itu telah menjadi korban pemerkosaan oleh sekelompok orang. Bukan sekedar pemerkosaan, Glaresia juga mengalami kekerasan seksual. Kejadian itu terjadi saat Galen sendiri masih duduk di bangku kuliah. Kejadian yang tentunya merubah Glaresia sepenuhnya. Glaresia menjadi pendiam, dan terkadang ia berteriak ketakutan. Mentalnya rusak.

Tidak peduli dengan upaya keluarganya untuk menghukum sang pelaku ataupun usaha untuk memulihkan mental Glaresia, Glaresia malah berujung bunuh diri setelah bertahan dengan mentalnya itu hampir enam bulan lamanya.

Kehilangan Glaresia tentu menjadi pukulan terberat bagi keluarganya, termasuk Galen.

"Apa kamu mau melukai kakakmu dengan melakukan hal seperti itu, Galen?" nada suara ayahnya masih saja tajam, tapi tidak lagi diiringi sebuah teriakan.

"ENGGAK, YAH. KARENA ITU AKU BERHENTI, KARENA ITU JUGA AKU GAK BERANI MUNCUL DIDEPAN LIANA LAGI. AKU MENYESAL, YAH. AKU MENYESAL!"

Kali ini Galen berteriak keras. Menyuarakan perasaannya yang sejak tadi tidak bisa di baca oleh ayahnya yang sama keras kepala dan egois seperti dirinya.

_-_-_-_-_

Begitu selesai membersihkan diri, Liana bergegas menuju tempat tidurnya, membuka layar kunci ponselnya yang tergeletak disana, sampai ia mendapati panggilan sejak setengah jam yang lalu itu masih berlangsung.

Siapa sangka jika kejujuran Liana mengenai ia yang malam ini sendirian di rumah, beserta rasa takutnya apalagi langit terus menjatuhkan hujan dan memperlihatkan kilatan petir serta gertakan guntur, membuat Aldi rela menemaninya walaupun hanya lewat panggilan telpon saja.

Liana amat bersyukur dengan apa yang Aldi lakukan ini. Jika tidak ada Aldi, mungkin saja malam ini Liana lewati dengan ketakutan yang luar biasa.

Walaupun sejak tadi mereka berdua saling diam, tapi setidaknya Liana tidak begitu merasa takut. Awal-awal panggilan berlangsung saja, Liana hanya memanggil Aldi lirih hanya untuk sekedar memastikan jika Aldi masih ada disebrang sana. Dan basa basi terakhir yang mereka lakukan adalah ketika Liana izin mandi tadi.

"Al?" dan kali ini Liana kembali memanggil Aldi. Liana takut jika selama ia mandi tadi, ternyata Aldi ketiduran. Namun ketika mendengar deheman pelan dari pria itu membuat Liana merasa cukup lega.

"Aku pikir kamu ketiduran."

"Enggak. Sambil nunggu kamu tadi, aku ngerjain beberapa tugas kantor."

"Kalo mau udahan telponannya sekarang, gak papa kok, Al. Aku udah cukup ngerasa berani, dan kamu pasti juga masih sibuk."

"Mungkin kamu udah ngerasa berani, tapi aku masih ngerasa khawatir." ucapan Aldi itu di tutup dengan kilatan petir yang sedetik kemudian menggemakan suara guntur. Liana sampai terlonjak kaget karenanya, untung saja ia tidak sampai berteriak.

"Denger suara guntur tadi, aku gak yakin kalo kamu masih ngerasa berani."

Liana menatap layar ponselnya. Perempuan itu tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Jadi biarin aku temenin kamu kaya gini, Na! Masalah kerjaan aku, gak papa, kok. Aku bahkan bisa ngobrol sama kamu sambil ngerjain tugas-tugas ini," di sebrang sana, Aldi sempat tergelak pelan. "Sekarang kamu berusaha buat tidur aja, aku gak akan kemana-mana."

"Aku ngerasa repotin kamu lagi."

"Ini gak sebanding sama aku yang setiap hari repotin kamu, kok. Nyuruh kamu ini itu, minta kamu buat kaya gini, kaya gitu. Gak ada apa-apanya, kan?"

"Itu beda, Al. Aku di bayar buat lakuin itu semua." Liana bergerak untuk rerebahan, lalu ia menyelimuti dirinya yang mulai merasa kedinginan.

Kekehan yang terdengar berat itu terdengar. "Kalo gitu, apa kamu mau bayar aku aja buat ini?"

"Huh?"

"Kalo mau, kamu cukup traktir aku makan kapan-kapan."

Sayang sekali Aldi tidak bisa melihat senyum manis Liana hanya karena ucapan sederhana seperti itu. "Boleh kalo itu," ujarnya. "Maunya makan dimana? Di restoran biasa atau malah di restoran hotel bintang lima?" senyum Liana tidak kunjung luntur.

"Di warung pinggir jalan juga gak papa, kok."

"Kenapa gitu? Kamu gak berpikir kalo aku gak mampu ajak kamu makan di tempat yang paling bagus, kan?"

"Bukan gitu, sih. Sayang aja gitu kalo gaji kamu satu bulan habis cuma buat makan satu kali doang."

Liana mendengus tidak suka. "Itu sama aja," dan ujaran dengan kekesalan itu di hadiahi kekehan Aldi.

Rasanya sudah sangat lama mereka tidak seperti ini. Mengobrol sesuka hati bahkan dari hal yang sepele seperti sekarang.

Suasana diantara mereka kali ini memang terasa lebih hangat, seolah-olah mereka lupa hubungan bisnis yang sudah mengingat mereka sampai seperti ini. Bahkan mungkin saja mereka lupa dengan masa lalu yang sempat membuat mereka sama-sama terpuruk.

Hubungan yang membaik antara dirinya, dan Aldi memang impian Liana semenjak ia kehilangan Aldi. Awalnya sebatas itu, tapi jika terus-terusan seperti ini, Liana takut perasaannya meledak lagi. Liana takut jika nantinya ia ingin memiliki Aldi dengan sepenuhnya. Bagus jika Aldi juga merasakan hal yang sama, tapi jika kali ini hanya dirinya yang jatuh dalam perasaan itu, maka itu akan kembali membuatnya terpuruk. Liana tidak menginginkan itu terjadi.

"Kamu udah tidur, Na?"

Liana baru saja tersadar. Mungkin saat ia melamun tadi, Aldi sudah berbicara beberapa kali. "Belum kok, Al."

"Pejamin mata gih, habis itu berusahalah buat tidur!"

Anehnya Liana menurut begitu saja. Ia mulai memejamkan matanya. "Apa kamu bakalan temenin aku sampai tidur?" pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari bibir Liana.

"Iya, jangan khawatir!" suara Aldi benar-benar menenangkan Liana. "Hari ini kamu udah bekerja keras, jadi hadiahi kerja keras kamu itu dengan tidur yang nyenyak!"

Mujarap sekali ucapan Aldi itu, rasa kantung Liana jadi tiba-tiba datang sendiri.

"Makasih, Al," suara Liana mulai tidak jelas karena ia mengatakannya sambil menahan kantuk.

"Semoga suara hujan malam ini jadi pengantar tidur yang indah. Selamat malam."

_-_-_-_-_

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT

HAPPY EID MUBARAK 💚

MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN JUGA MEN TEMEN WATTPAD. MAAF KALO AKU BANYAK SALAH, BANYAK KHILAF KE KALIAN. APALAGI MAAF KARENA SERING LAMA UPDATE 🙏🏻

SEMOGA KITA DI PERTEMUKAN DI PART SELANJUTNYA ❤

BYE 👋🏻

Kamis, 5 Mei 2022
Selvi Meliana

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
333K 26.2K 57
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
493K 2.7K 19
Warning โš ๏ธ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
6.5M 334K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...