Sekelumit Rindu

By bubibupeach

188K 22.1K 809

Tentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjila... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 24

Bab 23

7.4K 965 77
By bubibupeach

Aku membantu Ana memakai sepatunya. Kami sudah selesai menunaikan ibadah magrib. Tinggal menunggu Kak Dean yang belum kunjung keluar. Setelah membayar tadi, Kak Dean mengajakku ke mushola restoran. Aku kembali dibuat ternganga. Almarhum Mbak Alya sungguh hebat, dia bisa merubah Kak Dean menjadi sangat amat baik sekarang. Dia yang dulu membiarkanku sendirian mencari mushola, kini malah dia yang menuntunku kemari.

"Langsung pulang, ya."

Aku menoleh, lantas menunduk cepat. Kak Dean sudah duduk di sampingku dan memakai sepatunya. Jantungku berdegup tidak karuan. Mungkin jika Ana sedang memegang stetoskopku, dia akan bilang kalau dadaku sedang berteriak.

"Masa' mainnya cuma sebentar."

Ana memeluk pinggangku. Kami jadi seperti tersiram lem hingga saling menempel erat. Anak ini tengah merajuk.

"Tante Dian pasti capek, Sayang. Tante harus istirahat, besok masih kerja lagi. Ana besok juga masuk sekolah 'kan?"

Aku yakin saat berucap, Kak Dean menoleh ke arah kami. Suaranya amat sangat dekat, embusan napasnya bahkan dapat kurasakan membentur jilbabku. Jarak kami memang tidak sampai menempel, tapi cukup dekat.

"Hoam."

"Tuh, udah ngantuk juga 'kan? Tadi siang disuruh bobo dulu aja nggak mau." 

Serunya lagi ketika Ana menguap satu kali. Kuusap-usap punggungnya perlahan-lahan. "Besok-besok kita bisa main bareng lagi, Sayang." tuturku menambahi. Ana mendongak, matanya sudah berair dan agak merah. Sepertinya dia memang sudah kelelahan.

"Janji ya, Tante."

Ana menunjukkan jari kelingkingnya yang kecil. Apa anak ini sedang meniruku? "Iya Tante janji." Kutautkan jariku di sana. Kami tertawa lagi dan tiba-tiba dia mencium pipiku.

"Makasih, Tante cantik."

"Sama-sama Ana cantik."

___

Aku dan Ana duduk di belakang karena anak itu benar-benar tidak bisa menahan kantuknya. Kepalanya di pangkuanku, kuusap pelan-pelan, tidurnya sudah pulas meski di dalam kendaraan yang sedang berjalan. Sedari tadi banyak menunduk membuat leherku terasa pegal. Aku mengangkat kepalaku hanya agar leherku tak semakin kaku. Tak sengaja mataku melihat kaca tengah dalam mobil. Bertepatan dengan Kak Dean yang juga sedang menatap di objek yang sama. Tatapan kami kembali bertemu lewat pantulan kaca. Dia tersenyum simpul lalu kembali fokus mengemudi. Aku, aku memilih kembali menunduk. Ya Tuhan, mengapa jika berada di dekatnya membuatku jadi seperti kutu yang siap dipithes begini.

"Coba nangis lagi kayak kemarin."

Suaranya yang pelan tetap terdengar di telingaku, sangat jelas karena suasana memang hening. Deru mesin ataupun bunyi dari luar tak sampai masuk ke dalam mobil ini. "Apaan, sih." sewotku kesal. Kenapa kejadian kemarin harus diungkit lagi?

"Lho kok ke rumahku dulu?" tanyaku saat mobil melaju lurus, harusnya berbelok jika akan ke rumahnya.

"Kamu mau berduaan sama aku?"

"Kak, aku serius. Nanti kalau aku turun duluan, terus Ana gimana?"

Di saat seperti ini dia masih saja bisa bercanda. Jika aku pulang dulu, siapa yang akan memegangi badan Ana yang tertidur ini.

"Gampang, nanti bisa dibangunin dulu."

Ucapannya tak bisa kubantah. Ana dan mobil ini adalah miliknya. Terserah dia mau apa.

"Aku mau ketemu sama Tante Ratri."

Hah? Bertemu dengan mama?

"Aku mau lamar kamu."

Pipiku memanas lagi. Dia mau melamarku? Secepat ini?

"Boleh nggak?"

"Eng... Iya bo-leh."

Ada apa dengan diriku ini? Aku merasa jadi seperti ayam betina yang tengah masuk masa petelur dan ngebet mendekati pejantan. Kak Indra yang berulang kali meminta ijin saja selalu kularang. Sementara dia, baru satu kali dan tanpa berpikir panjang langsung kuiyakan. Mungkin nanti aku harus membenturkan kepalaku ke tembok dulu satu kali. Ke mana perginya Aisha Dianitha Pramono yang seharusnya menjaga sikap layaknya seorang perempuan baik-baik?

___

"Iya, Arya kemarin udah bilang sama Tante."

Mama menjawab pernyataan keseriusan Kak Dean setelah mereka tadi sempat berbasa-basi sebentar. Pria itu tadi bilang jika dia mencintaiku dan ingin mempersuntingku. Sejujurnya, aku tak begitu seksama memperhatikan. Di dalam perutku seperti ada sepasang kupu-kupu yang berputar-putar. Lalu di samping kanan kiriku seolah ada peri-peri kecil yang menabur butiran sihirnya. Aku tadi sudah hampir melayang tak bisa memijak lantai jika Ana tak mengeliat di pangkuan, menyadarkan jika aku masih di dunia nyata. Anak ini masih lelap meski telah berpindah tempat.

"Kalau Tante sih terserah sama kalian berdua. Kalian udah sama-sama dewasa. Pasti udah tahu gimana baiknya."

Mama menjawab dengan bijak sambil mengusap kepala Ana yang menelungkup di lenganku. Mama memang sudah dekat dengan Ana, jauh sebelum aku pulang ke Indonesia. Tak hanya dengan Ana, mama pun dekat dengan Triple Jun dan Jan adiknya. Mereka semua sudah dianggap cucu sendiri oleh mama.

"Tapi Dean, kalau kamu benar mau menikah sama Dian. Kamu harus siap satu hal."

"Siap apa, Tan?"

Aku memasang telingaku baik-baik. Jangan sampai aku lemot di saat mama menjawab.

"Siap ketambahan anak lagi, Dian kadang-kadang masih kayak anak kecil."

"Mama ...."

"Engghh... Papa ...."

Ana terbangun setelah aku menggerutu. Aku, seperti anak kecil? Mungkin iya, kemarin malam itu adalah salah satunya.

_________

Hari pernikahanku dengan Kak Dean sudah ditetapkan. Masih sekitar dua bulan lagi. Kedua keluarga sudah saling bertemu. Tante Lis dan mama malah seperti teman yang lama tak bertemu, mereka langsung bisa akrab. Sejak awal mama memang tak mempermasalahkan siapa pria yang kupilih. Mbak Ari sekeluarga sudah pulang. Pas sekali dengan kontrak kerja suaminya yang telah selesai. Kakak iparku itu tak memperpanjangnya lagi. Katanya dia ingin tinggal kembali di Indonesia dan dekat dengan seluruh keluarga besarnya. Lalu Lintang, dia menjerit-jerit saat sambungan video kami terhubung. Tak menyangka jika kami akan jadi saudara ipar sekarang.

Oleh Kak Dean, aku diajak mengunjungi makam Almarhum Mbak Alya yang ternyata berada di Sukabumi. Kak Dean bilang jika dulu ayah Mbak Alya yang memutuskan tempat peristirahatan ibunya Ana tersebut. Beberapa hari yang lalu aku juga diajak menemui ayah dan ibu Mbak Alya. Kak Dean meminta ijin untuk menikah lagi pada mereka berdua.

"Al, apa kabar?"

Aku yang berjongkok di samping Kak Dean hanya bisa terdiam, mendengarkan.

"Hari ini aku ke sini sama Dian. Aku harap kamu nggak marah ya, Al."

Menunduk dalam, setetes air mataku turun tanpa bisa ditahan. Mbak Alya, aku minta maaf.

"Aku mau menikah sama Dian, Al. Dua bulan lagi. Aku juga udah ajak Dian ketemu Papa Dedi dan Mama Melati. Mereka udah kasih restu. Ana juga udah lengket sama Dian."

Aku melirik Kak Dean ketika isakan kecil mulai terdengar. Pria ini tertunduk, kedua bahunya berguncang. Aku ingin mengusap punggungnya, mungkin hal itu bisa sedikit menenangkan, tapi aku tidak berani. Aku tidak berani menyentuhnya. "Assalamualaikum, Mbak... Ini Dian." Kubuka mulutku, aku juga ingin meminta ijin kepada Mbak Alya. "Mbak, aku mau minta maaf. Aku sayang sama Ana, aku juga sayang sama Kak Dean. Aku bukan mau ngerebut posisi Mbak Alya kok. Karena aku yakin kalau di hati Kak Dean sama Ana, Mbak Alya nggak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun, termasuk Dian." 

Kuusap pipiku, menyesal, aku dulu juga pernah merasakan kebencian tak berdasar pada Mbak Alya. Benci karena dia menikah dengan Kak Dean. Namun, saat suatu hari dia mendatangi rumah sakit semasa aku menempuh pendidikan koas, rasa iriku langsung menguap hilang. Mbak Alya dengan perutnya yang sudah besar mengajak Lintang untuk makan siang bersama, pun memaksaku untuk ikut serta. Mbak Alya memintaku mengusap perutnya, katanya dia ngidam. Entahlah, sebetulnya aku juga tidak terlalu percaya. Mana mungkin ada ibu hamil yang ngidam aneh seperti itu. Terlebih aku bukanlah siapa-siapanya, aku bukan bagian dari keluarganya.

"Aku janji, Mbak. Aku akan berusaha jadi ibu yang baik buat Ana. Akan jagain Ana semampu yang aku bisa. Nggak pa-pa ya, Mbak?"

Bertanya atau meminta persetujuan kepada orang yang sudah tidak ada sebenarnya adalah hal yang tidak berguna, karena pastinya tidak akan mendapatkan jawaban. Tapi aku hanya ingin Mbak Alya tahu jika aku sungguh-sungguh menyayangi Ana. Aku mau jadi ibunya.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Tangis Kak Dean sudah reda, tapi dia masih diam dan aku pun telah kehabisan kata.

"Kita pamit ya, Al. Nanti kalau libur kita ke sini lagi."

Sampai di dalam mobil, Kak Dean menelungkupkan wajahnya di atas kemudi. Bahunya berguncang lagi, kali ini lebih kencang dari yang tadi. Hatiku merasakan nyeri, bukan cemburu karena Kak Dean masih memikirkan Almarhumah istrinya, tapi karena aku tidak sanggup melihat pria yang kucintai serapuh ini. Kak Dean, tolong berhentilah menangis.

____

Kami sampai di Jakarta seusai azan asar. Mampir ke masjid untuk beribadah lalu mencari makan siang yang sudah sangat terlambat. Setelah itu, Kak Dean membawaku ke makam papa. Katanya, dia harus meminta ijin juga.

"Om, ini Dean, Om."

Setelah mengirim doa dan menabur bunga, Kak Dean mengawali tujuannya kemari. Aku, lagi-lagi hanya bisa terdiam di sampingnya.

"Dean mau minta ijin, Dean akan menikahi Dian, Om. Dean janji akan jagain Dian dengan baik."

Tetes air mataku kembali turun. Papa, jika papa masih ada, pasti kebahagiaanku akan sangat sempurna. Papa, aku janji akan jadi istri yang baik. Seperti mama yang berbakti sama papa. Aku akan selalu ingat nasihat papa dulu tentang seorang istri yang tidak boleh membantah perintah suami. Aku tidak akan mengecewakan papa di sana. Aisha minta restunya ya, Pa.

"Dek ...."

Aku mendongak, lalu meraih sapu tangan yang kembali diulurkan oleh Kak Dean. Mengusap air mataku yang masih bercucuran. Ini semua salah Kak Dean, harusnya kami mengunjungi makam mbak Alya dan papa di hari yang berbeda, tangisku tadi belum kering, kini sudah tak bisa ditahan-tahan lagi.

"Nggak mau ngomong sesuatu?"

Aku menggeleng. Aku sudah mengungkapkan semuanya di dalam hati. Aku yakin papa sudah mendengar semuanya. Aku, aku tidak kuat jika mengucapkannya langsung. Papa, aku merindukanmu.

"Ya udah, ayo pulang."

Kak Dean berdiri dan aku pun mengikutinya.

"Kami pamit pulang dulu, Om. Terima kasih."

Bersambung.

Udah sampai bab 23 aja, nih. Gimana? Masih mau baca lagi?

Continue Reading

You'll Also Like

37.4K 5.2K 31
#1 in Bali (7 Desember 2021) #1 Pertemuan (11 Juni 2022) Aditya Putra. Dia rela melepas jabatannya sebagai pasukan khusus dalam dunia kepolisian kare...
235K 38.1K 25
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
52.9K 5.9K 38
Biru, sosok lelaki yang tempramental, hoby-nya marah-marah, mengalami trauma soal percintaan. Karena hubungannya kandas dengan alasan yang sangat jar...
3.9K 395 36
'Saat masa depan ku tetap berpusat padamu' Kisah di mana menyerah menjadi alasan untuk berpisah. Namun, kehidupan baru yang kau jalani kembali berpus...