Sekelumit Rindu

By bubibupeach

188K 22.1K 809

Tentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjila... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 22
Bab 23
Bab 24

Bab 21

7.1K 1K 47
By bubibupeach

Kak Dean mengantarku pulang setelah menurunkan Tante Lis dan Ana di depan rumah. Ana tidak ingin lepas dariku ketika kami seharusnya berpisah di depan Mal. Hingga akhirnya aku ikut mereka, mengantar pulang mereka berdua dulu karena jarak rumahnya yang lebih dekat dari pusat perbelanjaan ketimbang ke rumahku. Lagipula Ana sudah harus segera istirahat. Sebetulnya, Ana masih susah dilepaskan. Baru setelah diberi pengertian kalau aku harus pulang dan diberi janji jika besok kami akan bertemu lagi, dia mau berpindah ke gendongan sang nenek. 

"Berhenti di depan aja, Kak. Biar aku pulang sendiri."

Sesak. Dadaku rasanya sangat sesak. Berada dekat dengannya, tapi tak dianggap ada. Lebih baik aku menyudahinya sekarang saja. Mengakhiri rasa sepihakku yang telah lama.

"Udah malem, aku anter sampai rumah."

Aku menatap ke arah jendela, tak mau menoleh ke arahnya yang berada di samping kanan. Mataku sudah mulai panas. Meremang dan siap jatuh hanya dengan satu kedipan. "Nanti aku minta jemput Kak Indra aja. Dia tadi katanya mau ketemu sama mama." Aku mengaku jujur sambil merogoh gawaiku di dalam tas di pangkuan. Semoga saja Kak Indra tidak merasa jika sedang kumanfaatkan. Aku hanya ingin lepas dari pria batu di dekatku ini. "Kak!" teriakku saat tiba-tiba Kak Dean merebut ponselku lalu menaruhnya di sisi kanan badannya. Menindihnya, mungkin.

"Kamu serius sama dia?"

"Balikin hapeku!" Aku mengulurkan tangan, tidak mungkin aku merebutnya. Selain jauh dari jangkauan, akan sangat berbahaya jika aku melakukannya. Kami sedang berkendara di jalan raya.

"Kamu serius sama Indra?"

Suaranya terdengar berat, rahangnya juga mengetat. Kenapa dia? Apa dia cemburu? Apa dia tidak terima?

Aku kembali menatap jendela. Tidak mungkin jika Kak Dean cemburu. Dia sama sekali tidak ada rasa padaku. "Tadinya belum, tapi sekarang mau aku seriusin aja. Toh orang yang aku suka juga nggak peduli sama aku." Kututup mulutku dengan punggung telapak tangan, bukan menyesali ucapan yang baru terlontar. Sudah terlanjur jika aku menarik diri. Harga diriku sudah jatuh sejak aku menyatakan perasaanku padanya di pesta pernikahan Lintang. Air mata mulai menggenang. Aku terisak pelan. Aku memang secengeng itu sekarang. "Berhenti, Kak. Aku mau turun." pintaku lagi. Tidak mungkin aku memaksa membuka pintu di saat kendaraan ini masih melaju. Aku tidak mau mati konyol. Setelah ini aku akan melepaskan rasa yang membelitku. Aku akan hidup bahagia.

Bukannya menepi, kecepatan mobil ini malah semakin tinggi. Tangisku pun semakin deras. Hatiku semakin tersiksa.

"Aku mau pulang. Ngapain malah dibawa ke sini?" tanyaku sambil mengusap pipi ketika dia malah membawaku ke rumah Mas Arya. Apa dia mau mengadukanku pada kakak lelakiku itu? Mengadukan semua kelakuanku selama ini yang menaruh hati padanya? Sungguh, jika dia memang tidak mau menerimaku, dia hanya tinggal mengatakannya saja. Mas Arya tidak perlu tahu. Aku tidak mau menambah beban pikirannya.

"Turun dulu." suruhnya masih terdengar tenang dan malah melepaskan sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya sendiri. Sama sekali tak menggubris permintaanku.

Aku menggeleng. Aku tidak mau sampai Mas Arya tahu. Aku, aku malu.

Pintu di sampingku dibuka dari luar. Aku masih bergeming tak mau berpindah posisi. Kepalaku tadi sudah mendapat ide cemerlang, membuka sabuk pengaman lalu berpindah ke bangku pengemudi. Aku akan mencuri mobil ini untuk kubawa pulang. Namun, ide itu langsung buyar ketika mataku tak menangkap kunci kontak yang terpasang. Si pemilik sudah mencabutnya.

"Turun dulu, Di."

"Mau ngapain ke sini? Aku minta maaf kalau udah gangguin Kak Dean. Tolong jangan bilang apa-apa ke Mas Arya." Aku menangkupkan kedua tanganku, memohon dengan linangan air mata yang sudah tidak bisa ditahan-tahan. Aku sungguh ketakutan membayangkan kemurkaan Mas Arya jika mengetahui adiknya ini kegatelan mendekati seorang duda.

Kak Dean membuka pintu makin lebar. Raut wajahnya sangat datar. Sepertinya memang sudah habis kesabaran. Mendadak aku mendapatkan satu ide yang lain. Aku akan melepaskan sabuk pengaman, turun dari mobil lalu berlari kabur dari sini. Ya, kurasa itu bukan ide yang buruk untuk dilakukan. Jarak rumah Mas Arya dengan gerbang perumahan memang agak jauh, tapi aku yakin bisa pulang dengan selamat. Nanti aku akan meminta tolong penjaga keamanan di depan sana untuk memesankan ojek daring. Ya, ini pasti akan berhasil. Masalah ponsel yang dibawa di tangan kirinya itu, biarkan saja. Aku nanti bisa membeli yang baru.

"Kak!" 

Kakiku baru melangkah dua kali, tapi tangan kanannya malah sudah berhasil menahanku. Selanjutnya, tanpa kata, dia malah menyeretku naik ke teras. Aku meminta tolong kepada satpam khusus di rumah Mas Arya, tapi dia malah menggeleng dan masuk kembali ke dalam posnya.

"Kak, tolong jangan begini. Aku ngaku salah. Aku minta maaf." Aku masih memohon. Sengaja mengakukan badan agar bebannya semakin berat. Cengkeraman di pergelangan tangan kiriku malah semakin kuat dan membuatku kesakitan. Tarikannya juga semakin kencang. Dan dia tetap membisu.

Terlambat. Usahaku memohon telah sia-sia. Pintu tinggi itu sudah terbuka dari dalam, dibuka oleh Mbak Kinan. 

"Lho, Kak... Dek ...."

Aku menutup mulutku dengan satu tanganku yang masih bebas, berjongkok di belakangnya. Menangis sejadi-jadinya. Dapat kulihat Mas Arya yang berjalan ke arah luar. Kututup erat kedua mataku. Tamat sudah riwayatku hari ini.

"Ada ap... Breng***! Lo apain adek gue?"

"Astagfirullah, Mas... Mas."

"Gue suka sama adek lo."

Menghentikan tangisku sejenak, aku lalu membuka mata. Mas Arya sudah menarik kerah kaus Kak Dean, satu tinjunya terhenti di udara, Mbak Kinan berhasil menahannya. Dan apa yang Kak Dean katakan tadi? Dia menyukaiku?

"Gue suka sama adek lo... Gue sayang sama Dian."

Kak Dean mengulanginya lagi dan kini aku pun bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Dia benar menyukaiku? Dia menyayangiku? Rasaku tidak bertepuk sebelah tangan?

Mas Arya menyuruhku masuk. Aku dituntun Mbak Kinan menuju kamar. Bahuku terus diusap-usapnya. Mungkin agar aku bisa lebih tenang. Saat sampai di depan pintu, aku menoleh ke belakang, terlihat dua pria itu yang juga masuk ke dalam rumah. Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka dari sini. Mbak Kinan meninggalkanku sendiri. Hanya sebentar dan ia lekas kembali dengan membawa segelas air minum untukku.

"Udah, cup cup cup."

Mungkin Mbak Kinan menganggapku sebagai salah satu anaknya ketika aku kembali terisak di bahunya. Dia mengusap-usap punggungku cukup pelan. Dan jujur hal itu sama sekali tidak membantu sedikit pun. Aku masih merasa takut. Aku takut kalau Kak Dean dipukul oleh Mas Arya. Aku takut jika nanti setelah memukul Kak Dean, Mas Arya akan gantian mengeksekusiku. Lalu mengadukanku pada mama dan mbak Ari.

Pintu kamar terbuka tak begitu lama setelah aku menyelesaikan tangisku. Selain lelah, kepalaku juga mulai pening. Mas Arya mengulurkan ponselku dan Mbak Kinan lah yang menerimanya. Setelah menaruh gawai itu di sampingku, Mbak Kinan malah beranjak ke luar. Mbak, tolong jangan tinggalkan aku. 

Ujung kasur yang kududuki bergerak ketika Mas Arya duduk di sampingku. Aku tidak bisa menebak suasana hatinya karena aku tidak berani melihatnya. Aku hanya bisa tertunduk dalam. Siap dengan apapun reaksinya.

Cukup lama Mas Arya tak segera membuka suara. Aku ikut diam, untuk bernapas pun aku berusaha sepelan mungkin.

"Kamu juga suka sama Dean?"

Tenggorokanku rasanya serat. Seolah ada kerikil kecil yang tiba-tiba berada di sana. Aku bingung mau menjawab apa. Bingung juga dengan ke mana perginya keberanianku yang tak tahu malu itu.

"Dia bilang sama Mas kalau dia serius suka sama kamu. Dia mau memperistri kamu."

Kepalaku sontak mendongak, menoleh pada Mas Arya. Hanya sebentar dan aku buru-buru menundukkan kepalaku lagi. Apa hanya itu yang Kak Dean katakan? Apa dia tidak mengadukanku? Apa dia tidak membeberkan semua kelakuanku?

"Dean orangnya bertanggung jawab, sayang sama keluarga. Mas yakin kalau dia bisa jagain kamu dengan baik. Mas yakin kalau dia nggak akan nyakitin kamu. Tapi, kamu juga harus siap kalau nantinya nggak cuma kamu yang ada di hatinya."

Mbak Alya... aku tahu maksud Mas Arya. "Aku tahu kok, Mas." cicitku lirih, mengenyahkan kerikil kecil yang mengganjal. Aku tahu sampai kapan pun Mbak Alya tidak akan tergantikan.

"Ya udah, kamu tidur di sini aja. Biar Mas yang telpon Mama."

Aku mengangguk pelan. Kuikuti langkah Mas Arya dengan pandanganku. Pintu ditutup dan kini aku sendirian di kamar ini. Hal yang kutakutkan tadi, nyatanya tidak terbukti. Mas Arya bahkan tidak menyentuhku. Dia nampak biasa saja mengetahui bahwa aku menyukai sahabatnya. Atau memang sebenarnya kakakku itu sudah tahu sebelumnya?

Bersambung.

Pencet bintangnya jangan lupa 🤭
Terima kasih.

Continue Reading

You'll Also Like

14.9K 2.7K 25
Shahreen Shazana memutuskan keluar dari pekerjaannya dan membuka Caragana Bibliocafe & Fleuriste, sebuah kafe yang berkonsep setengah perpustakaan da...
217K 22.5K 37
First update ; June 25, 2019 [15+] Bryan Abrisam, seorang dokter muda, calon penerus pemimpin Kemang Medical Center milik keluarganya kini telah meny...
19.6K 3.4K 30
Seberapa banyak niat yang terpendam, akan selalu kalah dengan yang namanya satu tindakan nyata. Tentang persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Per...
37.1K 3.5K 23
"Jika memilikinya hanya sebuah mimpi, maka Tuhan ... aku memohon, sekali saja, jangan terbitkan matahari tepat waktu."