Sekelumit Rindu

By bubibupeach

188K 22.1K 809

Tentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjila... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24

Bab 20

7.1K 896 33
By bubibupeach

Satu minggu berlalu, sore ini aku ada janji dengan kak Indra untuk mencarikan kado ulang tahun untuk Nadia. Dia bilang esok lusa Nadia akan pulang dan bingung mau memberi hadiah apa untuk adiknya itu walau sebenarnya ulang tahun Nadia sudah lewat sejak dua hari yang lalu. Aku bersedia membantunya semata untuk membalas budi baiknya yang telah mengantarku ke rumah Tante Lis ketika Ana rewel. Berkat dia, aku bisa sampai di sana. Dan secara tak langsung, berkat dia pula Ana jadi mau makan.

Selesai belanja, kami makan bersama. Menu kali ini adalah makanan jepang, enak, tapi aku sedang tak berselera. Rindu ini, mengapa semakin membuncah. Sedang apa dia sekarang? Apa dia makan dengan baik? Ana, Tante kangen sama kamu sayang.

"Yan, aku nanti mampir ya."

Aku mendongak menatapnya. Seharusnya aku sudah tak terkejut lagi, tapi nyatanya aku masih terbatuk-batuk karena kaget hingga tersedak. Mungkin jika dihitung sudah ada puluhan kali Kak Indra ingin bertemu dengan mama untuk menyatakan keseriusannya berhubungan denganku. Seharusnya aku suka dan bersyukur.

"Aku serius sama kamu. Aku mau kita lanjut ke jenjang pernikahan. Nggak apa kalau kamu masih belum siap, yang penting aku ketemu sama mama kamu dulu."

Kak Indra, terbuat dari apa hatimu itu? Mengapa ada orang yang sesabar kamu? Kurasa, aku telah terlalu lama menggantungkan perasaanmu.

"Iya, Kak. Mama hari ini ada di rumah kok." jawabku pada akhirnya dan membuat senyum manisnya terbit seketika bersamaan dengan lesung pipi yang kukagumi. Hidup dengan pria ini di sisa usiaku, bahagia, itulah satu kata yang langsung muncul dalam benakku. Semoga saja.

Aku mengikutinya menuju parkiran depan. Tak sejajar, aku mengekorinya agak di belakang seperti anak kecil yang mengikuti ibunya. Dari sini aku bisa melihat bentuk badannya. Punggungnya lebar, bahunya tegap, tinggi proposional. Kurasa jika tidak menjadi dokter, dia sangat pantas menjadi abdi negara.

"Hei lihat ada Tante dokter."

Suara yang kukenal mampir di telinga. Aku menoleh ke samping, ternyata ada Ana dengan neneknya yang baru turun dari mobil. Anak ini yang kurindukan sejak tadi, atau lebih tepatnya sejak kemarin-kemarin.

"Yan."

"Sebentar, Kak." ucapku menyahuti Kak Indra. Pria itu malah ikut berhenti. Tak apa, aku hanya ingin memeluk Ana. Ingin menyalurkan kerinduanku. Mungkin ini adalah yang terakhir kali sebelum aku benar-benar menerima Kak Indra.

"Hai Ana." sapaku sambil melangkah mendekati anak lucu itu. "Mau belanja, Tan?" kulontarkan basa-basi kepada Tante Lis. Beliau mengangguk, senyumnya yang selalu ramah terpeta indah di lekukan bibirnya yang dipoles pewarna merah tua yang tak terlalu tebal. "Ana juga mau belanja?" tanyaku lalu agak menunduk agar bisa lebih dekat melihat wajahnya yang cantik. Tanganku mencubit pipinya dengan pelan. Pipinya sudah kembali bulat dan gembul, sangat menggemaskan.

Bergeming. Diam saja. Biasanya dia akan tersenyum, salim kemudian langsung memelukku. Tapi kini dia malah mengacuhkanku. Kedua matanya yang bulat tidak mau menatap padaku. Ya Allah, kenapa dia?

"Ana, salim dulu dong sama Tante dokter dan Om."

Melengos tak acuh kala neneknya memerintah. Bocah itu malah berlari menghampiri ayahnya yang baru keluar dari mobil. Sekilas matanya lalu menatapku, sinis dan tajam. Kenapa kamu, Ana? Tante salah apa?

"Maafin Ana ya, Dian."

Apa ini adalah karma? Dulu aku pernah tak mau menyapa Kak Dean ketika kami -aku dan mama- tak sengaja bertemu dengannya di depan sebuah minimarket. Aku sangat ingat jika waktu itu aku masih marah padanya. Apakah begini yang dulu juga ia rasakan? Sakit karena tak diacuhkan. "Tidak apa-apa, Tante. Mungkin Ana emang lagi nggak mau salim." tuturku menepis rasa ngilu. Aku tak suka diabaikan oleh anak itu. "Kalau begitu aku duluan dulu ya, Tante. Permisi."

Tante Lis mengangguk dan aku pun lantas mundur. Ana, semoga nanti kalau kita ketemu lagi, kamu udah mau ngomong lagi sama Tante.

Kak Indra berjalan menyamaiku, tak di depan lagi seperti tadi. Sengaja melangkah pendek-pendek, aku menanti Ana memanggil namaku. Aku masih belum menerima jika dia benar sudah tak peduli padaku. Ke mana perginya Ana yang mencariku seperti seminggu yang lalu itu. Ana, tante pengen peluk kamu.

Bukan suara kecilnya yang keluar menyebut namaku. Di telingaku malah terdengar suara tangis kecil yang menyayat sembilu. Tak kuasa untuk tak menoleh, dia, Ana masih di sana. Entah apa yang membuatnya jadi menangis seperti itu. Dia tadi terlihat baik-baik saja, kecuali tatapannya padaku. Apa aku punya salah padanya yang tidak disengaja?

"Yan."

Aku tersadar. Kak Indra ternyata sudah berada di depanku sekitar tiga langkah lebih jauh.

"Iya, Kak."

Berat.

Kakiku rasanya berat. Langkahku makin tersendat. Mendengar tangisnya yang semakin kencang membuat hatiku merasa ngilu. Ana, kenapa kamu?

Kak Indra memasukkan barang belanjaan ke dalam bangku penumpang belakang. Dia lalu membukakan pintu untukku. Senyumnya yang sedari tadi terkembang perlahan menyurut. "Yan, kok nangis?"

Menangis? Aku menyentuh pipiku yang ternyata sudah basah.

"Kelilipan apa gimana?"

Dia mendekat, tapi langkahku mundur menghindar. Tangannya yang terulur mulai turun.

"Yan ...."

Aku menoleh ke belakang. Ketiga orang itu masih berada di posisinya tadi. Ana duduk berjongkok, menolak ajakan sang ayah yang sepertinya ingin menggendong. Anak itu terus menatapku dari kejauhan. Tangisnya makin memilukan.

Panas.

Mataku rasanya ikut panas. Meremang lalu buram. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Aku, tidak bisa melihat Ana menangis. Aku... tidak bisa membiarkannya.

"Yan, ada yang lupa belum kamu beli?"

Menoleh kembali kepada pria yang datang bersamaku kemari, aku menggeleng lemah membalas tatapan teduhnya. Aku mundur perlahan. Dapat kulihat dahinya yang berkerut dalam. Kak Indra, maafkan aku.

Aku kembali. Mataku yang panas sudah penuh. Langkahku terus maju. Deraian air mata mengiringi. Semakin kupercepat lajuku ketika tangisnya malah diselingi batuk yang keras. Tujuanku kini hanya satu, Ana. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menenangkannya. Aku tidak ingin mendengar tangisannya lagi.

"Ohok... ohok... Hwook."

Muntah. Dia muntah saat aku sampai di depannya. Ana mengeluarkan cairan putih lewat mulut. Astagfirullah, Sayang. Kuusap-usap punggungnya dengan lembut, setelah mereda aku lalu berlutut. Kugapai dua pipinya. Kuusap bibirnya yang kotor dengan tanganku yang bergetar ketakutan. Aku takut, takut sekali jika terjadi hal buruk padanya lagi.

"Tan-te."

"Iya, Sayang... Ini Tante." Anak itu masih melengkungkan bibirnya ke bawah. Matanya yang basah menatapku. Wajahnya sudah merah. Tak tahan, kupeluk tubuhnya... erat.

Ana balas memelukku. Melingkarkan tangan mungilnya di leherku. Sama eratnya, kami seperti orang yang baru saja terpisah lama. Bahkan pelukanku dengan mama ketika aku baru pulang dari luar negeri saja tak sampai sekencang ini.

"Ana mau sama Tante." serunya lirih disela-sela tangisnya yang masih dapat kudengar. Aku mengangguk, kuciumi dia.

"Iya, Ana minta apa? Ayo Tante beliin."

Kuberi pertanyaan itu, Ana malah menggeleng keras. Tangisnya kembali mengencang. Bahuku didorong kuat. "Ana mau sama Tante Dian. Tante nggak boleh sama Om itu." jeritnya sambil menunjuk ke arah belakangku. Yang kuyakin Kak Indra pasti masih berada di samping mobilnya.

____

Tak jadi pulang. Kini aku memangku Ana, kami bertiga duduk di sebuah restoran tak jauh dari tempat Tante Lis berbelanja. Ana sudah mau diam. Dia tadi juga sudah mau kusuapi makanan. Hanya sisa tangisnya memang masih cukup kentara. Matanya sembab dan merah. Aku mengusap-usap punggungnya lembut, dia hampir tertidur di pelukanku.

"Maaf... udah bikin kamu repot lagi."

Akhirnya, setelah sekitar satu setengah jam ditingggal oleh Tante Lis, pria ini membuka mulutnya juga untukku. Dia tadi memang berbicara, tapi hanya pada anaknya saat menanyai Ana ingin makan apa. Mungkin, aku memang semenjijikan itu sekarang.

"Nggak pa-pa." sahutku lirih. Ada banyak kata yang sebetulnya khusus kusimpan untuknya. Namun, entah mengapa lidahku rasanya seperti mati. Tak berani bergerak demi bisa mengungkapkan segala rasa. Kak Dean, apa di hatimu tidak tersisa sedikit ruang selain untuk Almarhum Mbak Alya? Aku tidak ingin mengantikan dia sepenuhnya, sungguh. Aku hanya ingin kau melihatku sebentar saja.

"Lho, udah tidur."

Mungkin ada sekitar setengah jam dari percakapanku dengan Kak Dean yang sangat singkat tadi. Tante Lis kembali dengan dua kantung besar di masing-masing tangannya. Aku mengangguk membalas ucapannya, Ana memang sudah terlelap pulas.

"Mau makan dulu nggak, Bu?"

"Nggak usah. Udah malem juga, nggak enak sama Dian kalau lama-lama. Nanti bisa kemaleman sampai rumah."

"Nggak pa-pa kok, Tante. Silakan kalau mau makan dulu. Tante pasti dari tadi juga belum makan malam." tebakku. Kami tadi bertemu di parkiran sebelum isya.

"Iya, tadi emang rencananya mau makan di luar. Biar Ana nggak bosen karena makan di rumah mulu." tuturnya jujur lalu duduk dengan mengangkat tangan kanannya memanggil pramusaji. "Kamu mau makan apa, Yan?"

"Terima kasih, Tante, tapi aku tadi udah makan."

Beliau mengangguk-angguk sambil memilih menu. "Oh, udah makan sama pacarmu tadi, ya."

"Ibu."

Aku terkesiap saat Kak Dean mengeluarkan suaranya yang terdengar cukup berat dan kaku. Pria ini seperti ingin menahan kelugasan Tante Lis dalam bertutur kata. Sejujurnya, dulu aku sudah pernah dengar dari Lintang jika ibunya memang suka blak-blakan dalam berbicara.

"Lho kenapa? Emang bener 'kan, Yan. Cowok tadi pacarmu?"

Tante Lis membalas kata tanpa menatap anaknya. Beliau sibuk memesan makanan.

"Pinter kamu cari pacar. Cocok, ganteng sama cantik."

Belum sampai aku menjawab, neneknya Ana ini sudah menyambung perkataannya lagi. Urusannya dengan pramusaji telah selesai. Kini beliau malah mengelus-elus kepala cucunya yang masih berada di pangkuanku.

"Nanti jangan lupa undang Tante sama Ana ya, kalau kalian menikah."

Masih belum selesai ternyata. Bahkan aku saja bingung mau menjawab apa. Kak Indra, astaga... dia tadi bilang ingin bertemu mama.

Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

29.3K 5.2K 34
Disakiti, dihina, dibully, sudah biasa bagi Permata. Kondisi fisiknya memang sering membuat orang lain mengucilkannya. Tapi ketika disakiti begitu sa...
243K 25.3K 46
"Dalam setiap perjalanan hidup selalu ada pertemuan dan perpisahan. Begitu juga dengan sebuah pelajaran." Dua tahun setelah kisah cintanya dengan Dam...
3.9K 395 36
'Saat masa depan ku tetap berpusat padamu' Kisah di mana menyerah menjadi alasan untuk berpisah. Namun, kehidupan baru yang kau jalani kembali berpus...
22.4K 1.2K 52
Dalam sebuah pernikahan setiap orang pasti memiliki sebuah harapan besar. Ingin terus bahagia dan selalu bersama sampai maut memisahkan. Tapi takdir...