Sekelumit Rindu

By bubibupeach

188K 22.1K 809

Tentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjila... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24

Bab 18

6.6K 905 67
By bubibupeach

Lintang Ayu Puspagiri, amat sangat cantik dengan dandanan minimalis dan juga kebaya putih hijau mudanya. Sahabatku yang satu itu sudah akan melepas masa lajang. Yang kudengar darinya dua minggu yang lalu saat ia datang ke rumah, si Samsat, calon suaminya sekaligus mantan musuh bebuyutannya itu sekarang sudah menjadi seorang dokter bedah. Benar bukan, dokter berpasangan dengan dokter tidak akan pernah habis masa jodohnya.

Acara pernikahan Lintang dilaksanakan di sebuah gedung hotel tak jauh dari tempatnya tinggal. Aku tak tahu bagaimana mereka bisa mempersiapkan acara pernikahan ini sebegitu cepatnya. Hanya tiga minggu, ya... tapi kurasa semuanya akan mudah jika uang sudah berkuasa. Uang bisa memerintah siapa pun dengan mudah.

Dua hari lalu aku sempat ingin mengingkari janjiku pada Lintang. Aku akan berpura-pura ke luar kota dan tak bisa menghadiri pernikahannya. Namun, Aku mengurungkan niat jahatku itu. Kami sudah lama berteman baik, tidak mungkin aku membuatnya kecewa. 

Aku, jujur tidak siap bertemu kak Dean lagi setelah kejadian di undakan anak tangga di depan rumah mas Arya. Waktu itu ternyata ada kak Raka yang memergoki tingkah konyolku. Dia yang sedang membukakan pintu mobil untuk mbak Tiara malah berteriak tak tahu aturan, bapak empat anak tersebut menyuruhku berkedip diiringi tawa jenaka. Kurasa aku memang tak berkedip saat menatap kak Dean yang berjalan naik. Dan parahnya saat aku menoleh ke belakang, kak Dean dan Ana masih ada di halaman. Rasanya waktu itu aku ingin tenggelam saja ke dalam lautan. Saat acara akikahan berlangsung, aku bahkan tak berani mengangkat kepala. Untung mbak Tiara yang duduk di dekatku tidak membeberkan semuanya. Bebeda dengan kak Raka, dia selalu menggodaku saat mendapatkan kesempatan. Kak Raka juga pura-pura menanyai Ana, apakah anak itu mau ibu baru atau tidak, sambil melirikku. Aku malu, sumpah.

"Tante."

Ana menyadarkanku dari ingatan konyolku. Aku menatapnya, dia mengangsurkan sebuah anting emas padaku.

"Copot." ucapnya singkat dan aku langsung paham. Kupasangkan anting itu di telinga kirinya. Anak ini sejak pagi tadi memang selalu menempel padaku. Tante Lis dan ayahnya sibuk menyambut para tamu undangan.


___

Kak Dean duduk di hadapan calon adik iparnya. Tidak ada wajah slengean seperti yang dulu lagi. Dia yang sekarang juga irit bicara. Pria itu sangat tampan dan nampak berwibawa. Setelan jas hitamnya melekat pas pada tubuhnya yang tinggi. Rambutnya pun ditata rapi. Kutundukkan pandanganku. Oh Allah, maafkan aku yang sudah zina mata ini.

Prosesi ijab kabul berjalan cepat dan lancar. Tak perlu mengulang sampai kata sah terucap dan langsung disambung dengan doa. Kak Dean yang menjadi wali dari adiknya pun menunaikan tugasnya dengan apik. Acara langsung disambung dengan resepsi. Padat merayap, itu karena waktu libur si mempelai pria tak begitu banyak, katanya lusa mereka sudah akan berangkat bulan madu. 

Aku terus memperhatikan Ana ketika ayah dan neneknya sibuk di atas pelaminan. Sepasang pengantin itu sedang sungkem. Kak Dean tetap menggantikan posisi Almarhum ayahnya. Dan aku di sini, semakin tak bisa mengelak dari perasaan. Aku ingin dia, bersanding berdua seperti Lintang dan Samudra.

Gundah, galau, merana menderaku selama tiga minggu ini. Aku terus saja memikirkannya. Bayang-bayangnya selalu hadir kapan saja. Ditambah bayangan anak selucu Ana. Ya Tuhan, sungguh aku ingin jadi ibunya.

Aku meninggalkan kerumunan teman seperjuanganku di kampus dulu, mereka juga diundang oleh Lintang dan baru datang saat acara resepsi. Kugiring Ana seusai ia berfoto bersama pengantin, menuju meja di sisi kanan gedung. Kuambilkan makanan untuknya. Sejak tadi pagi aku belum melihatnya makan nasi. Semua orang sibuk sendiri hingga melupakan perut kecilnya juga harus diisi.

"Hmm, enak." Ana mengacungkan jempolnya padaku.

"Kamu kelaperan ya, Sayang." Kuusap bumbu rendang sapi yang mengotori ujung bibirnya. Aku selalu menikmati momen kecil kebersamaan kami.

Ana mengangguk dengan kedua pipi yang menggembung. Bersemangat ia mengunyahnya, mungkin memang sudah sangat lapar. "Enak karena disuapin Tante dokter lagi." ucapnya setelah menelan semuanya. Senyumnya menggodaku ingin mencubit pipinya lagi. Tidak, aku harus menahannya karena dia sedang makan.

Aku balas tersenyum, aku tidak akan menolak jika setiap hari bisa menyuapinya. "Ayo aak lagi." Kusodorkan sendok yang sudah terisi dengan potongan daging. Saat kutanyai tadi dia ingin makan dengan lauk apa, dia hanya menunjuk rendang daging sapi. Dia selalu menggeleng kala kutawari lauk yang lain.

Ana selesai makan. Perutnya terlihat lebih besar dari sebelumnya. Kuberi ia air mineral dalam gelas kemasan. Ana lalu menengadahkan kedua tangan, dia berdoa seusai makan. "Pinternya Ana ...." Aku memujinya sambil mengusap lelehan keringat yang membasahi dahi. Sejauh pengamatanku, Ana memang mudah berkeringat.

"Wah, ini calon mama baru Ana, ya."

Aku menoleh, datang segerombolan ibu-ibu yang memakai kebaya seragam. Yang kutahu pasti, mereka adalah saudara Tante Lis. Tidak ada saudara dari Almarhum ayahnya, kata Lintang, keluarganya sudah putus kontak dengan kakek dan nenek dari pihak sang ayah tak lama setelah beliau meninggal.

"Kok Dean nggak ngenalin ke kita ...."

"Namanya siapa?" tanya seorang perempuan bertubuh ramping dan masih muda dari yang lainnya. Kutaksir usianya tak jauh dariku.

"Dian, Kak." jawabku lirih sambil berdiri. Sungkan jika hanya aku yang duduk di antara mereka.

"Wah cocok. Dean sama Dian." seru perempuan yang lain. Sanggulnya bulat, pas sekali dengan wajahnya yang juga bulat. Sementara yang lain malah bertepuk tangan.

"Kenalkan, kami ini Budhenya Dean. Kalau yang ini sepupunya." sahut satu yang lain, sanggulnya juga bulat, tapi wajahnya agak lebih tirus. Dia menunjuk perempuan yang paling muda saat mengucap kata sepupu. Mereka lalu menyalamiku, satu per satu mencium pipi kanan dan kiri seolah mengakrabkan diri. 

"Saya temannya Lintang, Tante." Aku tersenyum canggung. Kukatakan yang sejujurnya kepada mereka sebelum kesalahpahaman ini makin berbuntut panjang.

Sejenak mereka terbengong. "Oh, Budhe kirain calonnya Dean. Lha ini Ana dari tadi nempel banget sama Mbaknya." seru seorang wanita yang bertubuh agak gempal. Wajahnya mirip sekali dengan Tante Lis.

Bingung harus menjawab apa. Kuberikan senyum kecil saja. Aku memang ingin jadi ibunya Ana, tapi tidak mungkin jika kujawab jujur pada mereka. Mukaku mau ditaruh di mana. Ember pun pasti akan menolak jika aku mengatakan keinginanku yang sebenarnya.

"Jangan diambil hati."

Kuangkat kepalaku. Menoleh ke samping kiri tempat Ana duduk tadi yang kini sudah diduduki oleh bapaknya. Anak itu sudah tidak ada. Hilang bersama Budhe-budhe tadi sepertinya. Aku pun kembali duduk. Di atas pelaminan, sepasang pengantin masih berfoto.

"Mereka emang suka bercanda."

Kak Dean melanjutkan ucapannya, tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. Sakit sekali rasanya. Padahal, dulu dia tidak pernah bersikap sedingin ini padaku. Pasang matanya selalu berbinar ketika berhadapan denganku. Ya, dulu dan sekarang memang sudah jauh berbeda.

"Kenapa emangnya? Apa aku nggak cocok kalau jadi mamanya Ana? Apa aku harus jadi janda dulu supaya bisa jadi ibunya?" tanyaku berani dengan sedikit penyesalan dalam diri. Sesak di dada lebih mendominasi daripada akal sehatku sendiri.

Kak Dean menoleh padaku, hanya sebentar dan ia kembali menatap lurus ke depan. 

"Aku suka sama Kak Dean. Aku pengen jadi ibunya Ana" Sudah kepalang basah, lebih baik sekalian menceburkan diri saja. Biarlah jika nanti kak Dean akan menganggapku tak tahu malu. Toh ucapanku yang tadi juga tak bisa kutarik lagi. "Aku pernah baca novel. Katanya, jodoh itu nggak jauh-jauh dari temen. Kalau bukan temen itu sendiri, bisa jadi kakaknya temen atau malah temennya kakak." Aku menatapnya, menunggu respon darinya. Bahunya nampak naik turun dengan ritme teratur cenderung cepat. Apa dia sedang menahan emosi? Apa dia marah karena aku menyatakan cinta?

Kak Dean beranjak berdiri. Diam sejenak sebelum berbalik memandangku. Pun sangat sebentar dan kemudian pergi menjauhiku. Aku menunduk, setetes air mataku turun. Panas, buram, sesak dan sakit memenuhi rongga dada. Mengapa dia mengabaikanku? Apa ini artinya aku sudah ditolak? 

___________

Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan kini. Aku malu. pun menyesali ucapanku yang terlalu berani pada kak Dean. Tadi aku langsung pulang, berbohong kepada Lintang jika aku tak enak badan. Dia mengijinkanku pulang sembari minta maaf karena sudah memaksaku menemaninya sedari pagi. Ini bukan salahnya, ini adalah salahku sendiri.

Salahku yang tak tahu malu menyatakan cinta kepada kakaknya.

Salahku yang tak tahu diri ingin menjadi ibunya Ana.

Salahku yang tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri.

Salahku yang dulu sudah menolaknya.

Semua ini... adalah kesalahanku.

Bersambung.

Uwooooww Dian 🙈
Bisa-bisanya ngomong begitu ke Dean 🤐

Komen sebanyak-banyaknya di bab ini. Vote-nya jangan lupa juga, tembus 350 aku langsung up bab selanjutnya 🤗🤗

Continue Reading

You'll Also Like

243K 25.4K 46
"Dalam setiap perjalanan hidup selalu ada pertemuan dan perpisahan. Begitu juga dengan sebuah pelajaran." Dua tahun setelah kisah cintanya dengan Dam...
3.9K 395 36
'Saat masa depan ku tetap berpusat padamu' Kisah di mana menyerah menjadi alasan untuk berpisah. Namun, kehidupan baru yang kau jalani kembali berpus...
22.4K 1.2K 52
Dalam sebuah pernikahan setiap orang pasti memiliki sebuah harapan besar. Ingin terus bahagia dan selalu bersama sampai maut memisahkan. Tapi takdir...
235K 38K 25
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...