Sekelumit Rindu

By bubibupeach

188K 22.1K 809

Tentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjila... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24

Bab 15

6.1K 902 44
By bubibupeach

"Alhamdu ...."

"Lillah."

Aku dan Ana selesai makan. Kuusap lagi sisi-sisi bibirnya yang agak belepotan. Ana makan banyak karena diam-diam aku tadi telah menambahkan sate dan potongan lontong milikku ke piringnya.

"Ayo minum dulu."

Kuberikan botol air mineral yang tadi kupesan, kepadanya. Dia meminumnya dengan hati-hati dan tak sebanyak tadi. Pasti perutnya yang kecil sudah sangat penuh. Setelahnya, aku lalu mengangkat tanganku memanggil pramusaji. "Berapa, Mbak?" tanyaku sembari mengambil dompet di dalam tasku. Wanita hamil itu pun menyebutkan total harga makanan yang sudah kami habiskan. Aku membayarnya dengan selembar uang merah. Dia kembali ke mejanya, memintaku untuk menunggu sejenak selagi ia mengambil kembalian.

"Maaf, Bu. Apa saya boleh meminta sesuatu kepada Ibu?"

Dahiku mengernyit bingung seraya menerima uang darinya. "Minta apa ya, Mbak?"

"Saya lagi hamil, Bu."

Tidak diberitahu pun aku sudah tahu. Perutnya sudah besar sejak aku datang tadi.

"Saya suka sama anak Ibu. Apa boleh saya minta kalau anak Ibu yang cantik ini pegang perut saya? Se-kali aja, Bu. Biar nanti anak saya ketularan cantik kayak adiknya ini."

Tubuhku menegang. Anak Ibu? Anakku? Menikah saja belum, mana mungkin bisa punya anak? Lagipula, bagaimana bisa hanya lewat sentuhan di permukaan perut bisa menularkan kecantikan? Sentuhan tangan itu bisa menyalurkan virus dan kuman, bukan rupa wajah. Ternyata wanita hamil yang ngidam ingin dielus perutnya itu bukan hanya isapan jempol belaka. Aku, dulu juga pernah mengelus-elus perut besar seorang wanita hamil, atas permintaannya sendiri.

Aku baru ingin menanyai Ana, tapi anak itu malah sudah memegang perut wanita pramusaji tersebut. Tak hanya satu kali. Ana malah mengusapnya berulang kali. "Ada dedek bayinya ya, Tante?" Ana bertanya kepada wanita itu, bukan padaku. Wanita itu mengangguk semangat. Matanya yang tadi sayu, mungkin karena kelelahan, mendadak bersinar cerah. Ana memang anak ajaib. "Kayak perut Tante Kinan." sambung anak itu lagi. Tak kalah semangat dengan si wanita hamil.

___

Kami telah sampai di taman tempat, berpisah dengan Lintang tadi. Jarum pendek pada jam di pergelangan tanganku telah mencapai angka lima, tapi batang hidung sahabatku itu belum nampak. Ke mana dia, apa dia lupa jika meninggalkan seorang keponakan di sini. Aku lalu mengajak Ana duduk di sebuah bangku sambil berusaha menghubungi Lintang. Bukan bangku di bawah pohon, tapi bangku semen yang berada tak jauh dari mobilku. Aku mendekap tubuh Ana dari samping ketika angin sore berembus makin kencang. Anak itu tadi hanya memakai dress selutut berlengan pendek. Aku tak mau kalau dia sampai kedinginan.

Baru aku ingin mengajak Ana kembali masuk ke dalam mobil. Rencananya aku akan mengajaknya pulang, nanti aku akan menghubungi Lintang agar menjemputnya di sana saja. Namun, sepasang kaki panjang membuatku urung berdiri. Aku mendongak, Kak Dean, berdiri di depan kami dengan setelan kerjanya yang masih lengkap.

"Papa ...." Ana menjerit lalu meloncat menghambur ke dalam pelukan Kak Dean.

Aku berdiri dengan kikuk. Entahlah, mau digoreng atau direbus, aku akan pasrah. Ini bukan sepenuhnya salahku, tapi aku tetap merasa tak enak hati. Aku sudah mengajak Ana bermain terlalu jauh dari rumahnya, sampai sore begini. "Kak, tolong jangan marah dulu, tadi Lintang minta ak ...."

"Makasih udah mau jagain Ana. Lintang tadi telpon suruh jemput Ana di sini."

Kak Dean menyela ucapanku dengan nada suara yang datar. Dasar Lintang jelek. Bisa-bisanya dia mengumpankan aku hingga harus menghadapi kakaknya sendirian di sini. Awas, aku akan membuat perhitungan denganmu nanti. Tunggu saja!

"Iya, Kak. Sama-sama." balasku mencoba melawan kegugupan yang tiba-tiba mendera. "Kalau gitu aku permisi dulu." imbuhku sambil mengangguk kecil lalu beranjak.

"Tante dokter."

Langkahku terhenti karena pergelangan tanganku ditahan oleh Ana. Anak itu mendongak menatapku. Aku lalu memilih berjongkok, daripada harus sejajar dengan ayahnya yang tinggi. "Ada apa, Ana?"

Bukannya segera menjawab, Ana malah memeluk leherku kencang. Beberapa saat hanya begitu hingga aku pun mulai mengusap punggungnya. "Ana seneng bisa jalan-jalan sama Tante. Ana juga seneng bisa disuapin sama Tante lagi."

Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Aku pun merasakan hal yang sama dengan apa yang telah ia rasakan. "Tante juga seneng bisa main bareng sama Ana. Sekarang Tante pulang dulu ya. Ana juga harus pulang, mandi terus istirahat."

"Heem." Pelukan di leherku mulai merenggang, tapi belum sepenuhnya terlepas. Tiba-tiba Ana mencium pipiku, bergantian kanan dan kiri. "Ana sayang sama Tante."

Canggung, aku bingung harus menjawab apa. Terlebih ada bapaknya di sini. Aku tidak mau jika dikira cari perhatian. Tapi aku juga tidak mungkin mengecewakan Ana jika aku tak membalas dengan kata yang sama. "Tante juga sayang sama Ana." balasku pada akhirnya. Masa bodohlah dengan penilaian Kak Dean tehadapku, itu tidak penting. Yang paling penting sekarang adalah menjaga perasaan gadis cilik ini. Dia tadi baru saja bersedih karena merindukan ibunya.

___

Gawaiku berdering saat mobilku mulai melaju cukup jauh dari taman. Kulirik layar yang menyala. Tertera sebuah nama, Lintang AP sedang memanggil. Kuabaikan panggilan itu. Aku tidak sudi, aku sedang marah pada sahabatku tersebut. Setelah sampai di rumah nanti aku janji akan mengganti namanya menjadi Lintang Jelek.

Ting.

Denting ponsel berbunyi satu kali lalu diikuti denting lainnya. Pas sekali dengan lampu lalu lintas yang menyala merah. Kuraih gawaiku yang teronggok di samping kiriku. Langsung membuka aplikasi berbagi pesan tanpa mengecek notifikasi di layar atas. Siapa lagi yang hobi mengirimiku pesan jumlah banyak dalam se-kali waktu jika bukan sahabatku yang jelek itu.

Lintang AP

[Di...

Di mana?

Aku udah sampai taman.

Maaf nggak jadi cuma sebentar, aku tadi lupa waktu.]

Barisan terakhir diikuti gambar telapak tangan yang mengatup, jumlahnya banyak. Tak sudi aku menghitungnya, tidak penting. Aku lalu memasang handsfree, kupanggil ia melalui sambungan suara. Aku menangkap sesuatu yang ganjil di sini sekarang.

"Assalamualaikum, Di... Di mana?" Lintang lantas menyerocos ketika sambungan sudah terhubung.

"Wa alaikumussalam. Ana udah pulang sama Kak Dean." Kulajukan mobil agak pelan agar fokusku yang terbagi ini tidak membahayakan diriku sendiri, pun pengendara lain.

"Lho kok bisa sama Kak Dean?" tanyanya terdengar amat panik di telingaku. Nadanya naik dua oktaf. Melengking menggebrak gendangku.

"Kan kamu sendiri yang nyuruh Kak Dean jemput Ana. Kamu tadi aku telponin juga nggak diangkat-angkat. Chat pun nggak ada yang kamu bales." balasku menggebu demi menyalurkan kekesalanku tadi.

"Aku mana berani nyuruh Kak Dean jemput Ana, Di ...." 

Rengekan mulai terdengar. Sungguh tidak beres anak ini. "Katanya kamu sendiri yang telpon Kak Dean."

"Aku nggak ada telpon Kak Dean!"

Lintang malah membentakku, dasar tak tahu terima kasih. "Dia tadi bilang begitu, Lin!" Aku pun bisa membentaknya. Di sini aku lah yang menjadi korban, mengapa malah dia yang marah-marah?

"Ya Allah, Di... mati beneran aku ini nanti sampai rumah. Habis deh akau dicincang sama Kak Dean."

Rengekannya kembali terdengar. Entah kenapa aku malah senang mendengarnya. "Nanti kalau udah selesai dicincang jangan lupa telpon aku lagi."

"Mau ngapain telpon kamu lagi?"

"Nanti aku bantuin taburin bumbu." sahutku sambil terbahak. Kekesalanku tadi jadi menguap entah ke mana, berganti dengan kebahagiaan kala membayangkan Lintang akan segera mendapat balasannya.

"Diaaaaan ...."

"Jangan jerit-jerit, ini udah mau magrib. Kamu sendirian 'kan di situ. Hiiii."

Terdengar decakan pelan dari bibir Lintang. "Aku serius, Di. Kak Dean kok bisa tahu Ana di sini sama kamu, ya?"

"Kalau kamu aja nggak tahu, apalagi aku Bu Lintang." sahutku enteng. Dua detik kemudian baru aku mulai tersadar, benar kata Lintang, bagaimana Kak Dean bisa tahu Ana di taman jika Lintang bahkan tak memberitahunya. "Lin, mending kamu buruan pulang deh. Aku yakin sih kalau yang tadi itu beneran Kak Dean. Soalnya Ana juga langsung meluk dia gitu. Tapi ...."

"Tapi apa?"

Mendadak bulu kudukku berdiri semua. Kutelusupkan tanganku di bawah jilbab dan menyentuh leherku yang tiba-tiba merasa dingin. "Aku takut kalau yang tadi itu cuma makhluk jadi-jadian yang nyamar jadi Kak Dean. Lin, buruan pulang sekarang!" bentakku keras. Jika benar itu tadi adalah setan, berarti keberadaan Ana sekarang tidak diketahui. Bukan hanya Lintang yang akan dicincang, tapi aku juga.

___

Sampai di rumah, aku tak segera mandi. Sengaja karena menunggu kabar dari Lintang terlebih dulu. Cemas, satu kata yang menghantuiku kini. Aku takut jika perkiraan konyolku tadi benar adanya. Aku takut Ana berada dalam bahaya.

Aku memeriksa gawaiku kembali. Pesan yang kukirimkan pada Lintang sesampainya aku di garasi tadi belum mendapatkan balasan. Jangankan dibalas, centang dua berwarna abu itu masih belum berubah warna. Akhirnya aku memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dulu karena aku harus segera menunaikan ibadah sholat magrib. Tak baik jika aku menundanya terlalu lama.

Selesai sholat, aku lantas berlari menggapai gawaiku. Tepat sekali dentingnya berbunyi kala aku sedang melepaskan mukena.

Lintang AP

[Di...

Alhamdulillah, Ana udah di rumah.

Bener Kak Dean yang jemput.

Makasih ya Didi suyung.]

Hati warna merah mengekori pesan yang terakhir. Aku mengusap dadaku dengan pelan, lega. Ternyata yang tadi itu bukan setan. Kuletakkan gawaiku kembali di atas meja tanpa membalas pesan dari Lintang. Aku yakin, jika kubalas dia nanti malah akan membalasnya lagi dengan curhatannya, curhat karena dimarahi Kak Dean. 

Bersambung.

Halo, Kakak semua. Terima kasih untuk 250+ vote-nya, ya. Nggak nyangka masih bisa dapat segitu. Bab ini kira-kira bisa dapat 260, nggak, ya?
Nanti kalau udah dapat 260 aku langsung up bab 16, deh. Kencengin juga komentarnya biar aku makin semangat 😁
Oiya, kalau udah lewat 260, tapi aku belum update... kalian bisa gedor aku di Instagram-Bubibupeach.

Continue Reading

You'll Also Like

4.8K 1.2K 23
โ™กCerita terakhir dari Single Fatherโ™ก Zaverio, pemuda 17 tahun dengan sifat Introvert yang menjadi Most Wanted sekolah tak peduli sepopuler apa dirin...
2.7K 308 18
Delapan tahun menunggu seseorang nyatanya tidak membuat Syafira lelah. Ia tetap menunggu kembalinya Adimas dan janji mereka untuk bersama. Saat Adima...
2.1K 237 8
menceritakan perjalanan hidup seorang gadis yang bernama ๐˜๐ž๐จ๐ง ๐๐จ๐ซ๐š๐ฆ, gadis ini juga memiliki saudara kembar Yang Bernama Yeon Bora. mereka m...
306K 17.5K 23
Story Kedua Neo Ka๐Ÿฐ Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...