'š’š†š†' š€š¦š›š¢š­š¢šØš®š¬ ļæ½...

By Taratataaa__

19.7K 2.4K 117

Kelas istimewa-kelas yang hanya akan dihuni oleh anak-anak peringkat paralel. Peringkat satu sampai dengan li... More

Prelude
Optis
ā€¢1ā€¢ Apofisis
ā€¢2ā€¢ Bakteri Aerob
ā€¢3ā€¢ Coulomb
ā€¢4ā€¢ Dinasti
ā€¢5ā€¢ Empiris
ā€¢6ā€¢ Fosfat
ā€¢7ā€¢ Gastrodermis
ā€¢8ā€¢ Hafnium
ā€¢9ā€¢ Inersia
ā€¢10ā€¢ Jarak
ā€¢11ā€¢ Kingdom
ā€¢12ā€¢ Lesbianisme
ā€¢13ā€¢ Massa Jenis
ā€¢14ā€¢ Neuron
ā€¢15ā€¢ Oogenesis
ā€¢16ā€¢ Proton
ā€¢17ā€¢ Quasar
ā€¢18ā€¢ Ragam Beku (Frozen)
ā€¢19ā€¢ Silikon
ā€¢20ā€¢ Titanium
ā€¢21ā€¢ Uterus
ā€¢22ā€¢ Vassal
ā€¢23ā€¢ W-Virginis
ā€¢24ā€¢ Xilem
ā€¢25ā€¢ Yupa
ā€¢26ā€¢ Zeolit
ā€¢27ā€¢ Zigospora
ā€¢28ā€¢ Yerkes
ā€¢29ā€¢ Xenon
ā€¢30ā€¢ Waisya
ā€¢31ā€¢ Volcano
ā€¢32ā€¢ Uranium
ā€¢33ā€¢ Tabulasi
ā€¢34ā€¢ Saham
ā€¢35ā€¢ Radula
ā€¢36ā€¢ Quarry
ā€¢37ā€¢ Petrokimia
ā€¢38ā€¢ Oksidator
ā€¢39ā€¢ Niobium
ā€¢40ā€¢ Musci
ā€¢41ā€¢ Labelling
ā€¢42ā€¢ Katabatic
ā€¢43ā€¢ Joule
ā€¢44ā€¢ Iridium
ā€¢45ā€¢ Heuristik
ā€¢47ā€¢ Flagela
ā€¢48ā€¢ Ekspansi
ā€¢49ā€¢ Deklinasi
ā€¢50ā€¢ Candu
ā€¢51ā€¢ Bromin
ā€¢52ā€¢ Ampere
Nawoord
Extra Caput 1
Ekstra Caput 2

ā€¢46ā€¢ Germanium

194 26 3
By Taratataaa__

Kebersamaan adalah memahami. Maka yang tak sabar mendengar dan mengerti, harus sabar dengan sepi dan sendiri.

👑

Germanium adalah unsur kimia dengan simbol Ge dan nomor atom 32. Germanium adalah metaloid berkilau, keras, berwarna abu-abu keputihan dalam golongan karbon,secara kimiawi bersifat sama dengan unsur segolongannya timah dan silikon.

👑

"Oke. Kita sebar sekarang undangannya? Tadi asisten kepercayaan bokap gue anterin undangannya," tawar Alvarez.

"Gue—"

"Kita sama-sama ubah tujuan kita buat nerima ini semua. Bukan karena orang tua kita, tapi karena diri sendiri yang pengin keluar dari rumah itu."

Dizcha menganggukkan kepalanya. Dia menyetujui tawaran Alvarez untuk menyebar undangan acara pertunangannya yang akan dilaksanakan lusa.

Acaranya akan menggunakan tema rustic. Bagi para undangan bisa menggunakan pakaian dengan pilihan warna putih, pink, dan pastel. Agar bisa sewarna dengan dekorasinya.

Cantik. Dizcha menyukai desain undangannya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Cepat sekali ya namanya tertera dalam undangan acara seperti ini.

"Ayo!"

👑

"Ada apa?"

"Ini. Gue masih bingung yang ini, Ra."

Aira memutar kedua bola matanya malas. Karvian masih membahas soal teka-teki teror ini.

"Basi."

"Maksud lo?" tanya Karvian sedikit tersentak.

"Kita gak perlu bahas soal teror ini lagi, Kar. Gue udah tau siapa pelakunya. Ini semua udah basi," jelas Aira.

"Siapa? Siapa pelakunya?"

"Gue gak bisa ngasih tau lo atau siapa pun itu. Gue masih mau rahasiain pelakunya. Sorry. Gue ke kelas dulu," pamitnya.

Karvian menatap nanar satu novel di tangannya yang dia buka di halaman paling belakang. Terdapat sketsa gambar yang tidak terlalu jelas.

Satu pria dewasa, satu wanita dewasa, dua gadis kecil yang terlihat hampir seumuran, dan satu pria kecil yang terlihat seperti seorang kakak dari dua gadis tadi.

Novel-novel yang didapatkannya masih Karvian simpan dengan baik. Bahkan Adel yang notabenenya itu pecinta novel tidak dia izinkan untuk membaca novel-novelnya.

Leiron Biru.

Begitu lah nama penulis yang tertera di cover novel di tangannya. Apa mungkin itu adalah nama penanya?

"Oke, terserah. Gue udah gak peduli."

👑

"Diam-diam menghanyutkan ya lo, Rez. Pantesan aja waktu itu—"

"Berisik, diem!"

Liora langsung merapatkan bibir. Ia kaget mendapatkan undangan acara pertunangan Dizcha dan Alvarez.

Dizcha dan Alvarez membagikan undangan langsung di dalam kelas. Yang dia undang hanya murid-murid yang masuk ke kelas istimewa dari kelas sepuluh sampai dengan kelas dua belas. Serta anggota inti geng Loridz angkatan dua belas.

"Anaknya sih gak terlalu pendiem, bahkan bisa dibilang terlalu banyak tingkah, tapi dia bisa ya diem-diem sebar undangan gini?" komentar Graysia.

"Bisa lah! Emangnya elo udah jomblo dari lahir," ledek Alvarez membalas.

"Ya mending lah jomblo dari lahir daripada pacaran, cuma nabung dosa. Kesenangan sesaat aja bangga."

"Gue gak pacaran ya, Mbak Abu-abu! Gue tuh langsung tunangan," koreksi Alvarez.

"Jangan-jangan lo dijodohin ya, Rez?" tanya Anelis penuh selidik. Kedua matanya memicing.

Dizcha dan Alvarez langsung saling pandang. Tidak mungkin mereka mengatakan hal yang sebenarnya. Takut-takut nanti nama orang tua mereka yang diolok-olok.

Gizca tertawa renyah hingga membuatnya menjadi dipandang dengan kerutan di dahi oleh teman-temannya sekelasnya. Berbeda dengan Dizcha dan Alvarez yang justru tengah takut Gizca mengatakan yang sebenarnya.

"Alvarez emang udah suka sama Dizcha dari dulu kali, An. Tapi, dia baru berani ungkapinnya tuh waktu si Dizcha mau berangkat ke Sydney. Karena mereka gak mau pacaran, saking gercepnya si Alvarez malah ngusulin buat tunangan," ucap Gizca membuat dua sejoli itu membuang napasnya lega.

Lo hampir bikin jantung gue merosot, Gizca, ucap Dizcha dalam hati.

Untung calon adek ipar, kesal Alvarez.

Gizca juga tidak mungkin membocorkan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Dia hanya ingin membantu Dizcha agar tidak dicecar lagi oleh teman-teman sekelas.

"Kapan? Kok gue gak tau?" tanya Liora. "Kalian rahasiain ini dari gue? Jahat banget!"

"Drama!" Aina menoyor pelan kepala Liora.

"Ya sorry lah. Btw kalian mau pakai dress atau jas warna apa guys dari tiga pilihan itu?" tanya Liora menatap yang lainnya satu persatu.

"Kompakan aja gimana? Maksud gue gini deh ... kelas sepuluh warna putih, kelas sebelas warna pink, nah kelas dua belas warna pastel," saran Louissa.

"Bagus juga ide lo, Lou. Biar di sana kita bisa bedain kelasnya dari warna dress atau jasnya. Tapi masalahnya ini yang punya acaranya setuju gak nih?" tanya Erayla menyetujui saran dari Louissa.

"Terserah aja. 'Kan dari awal juga kita kasih pilihannya ya warna-warna itu. Mau kalian warna-warni gak sesuai sama kelasnya juga gak apa-apa," jawab Dizcha.

Suasana di kelas ini masih sedikit terasa canggung, apalagi di antara Aina, Aira, Dizcha, dan Gizca. Sampai sekarang mereka belum bertegur sapa seperti dulu lagi.

Rasanya aneh ketika suatu circle persahabatan yang tiba-tiba saling diam. Itu yang akan membuat seluruh kelas terasa canggung dan pergerakan mereka terbatas, bukan mereka yang terlibat dalam persahabatan itu saja.

"Pastel itu 'kan ada banyak warna. Sama aja nanti warna-warni ujung-ujungnya juga," kata Zelena yang masih duduk di kursinya.

"Nyaut mulu lo, Len! Makanya kita lagi diskusiin ini, makanya simak baik-baik," kesal Anelis.

Zelena tak merespon apa pun lagi. Dia hanya merotasikan kedua bola matanya lalu menyandarkan kepala ke dinding lantaran posisi tempat duduknya di pojok.

Aina membuka ponselnya. Membuka aplikasi galeri di ponsel. Mencari-cari foto yang pernah dikirimkan sang mama.

"Yang warnanya kayak gitu. Biar hampir senada sama warna kartu undangannya. Di butik mama gue ada banyak warna kayak gitu dan berbagai model. Kalau mau nanti bareng gue sama Aira, gue juga mau ke sana," usul Aina menunjukkan gambar foto di galerinya.

"Bagus tuh idenya. Tapi, diskon 'kan, Ai?" Graysia mengerlingkan matanya membujuk.

"Hm. Sepuluh persen."

"GILA! LUMAYAN LOH SEPULUH PERSEN!" teriak Graysia heboh.

Flavia meraup wajah Graysia sedikit kasar. Ia kesal mendengar teriakan Graysia sedaritadi. Benar-benar memekakkan telinga.

Dizcha juga memesan gaun di butik milik Lila dengan warna yang senada dengan kartu undangan. Walau pun dia tidak benar-benar menyambut dengan baik pertunangannya dengan Alvarez, dia juga menyiapkan semuanya dengan baik.

"Nyebelin lo, Fla," sungut Graysia mencebikkan bibir.

"Berisik tau gak?"

"Lo tuh sama aja kayak Liora, sensi kalau sama gue."

"Gue 'kan udah sekongkol sama Lio," sahut Flavia asal.

👑

"Pak Dean kok ada di sini?"

Ingat dengan pria yang menjadi tutor lesnya Aira? Dia saat ini tengah duduk di kursi yang ada di teras rumah keluarga Garaga dengan segelas kopi di atas meja dan beberapa camilan yang sepertinya sengaja dihidangkan oleh salah satu ART.

"Menemui kamu," jawab Pak Dean santai.

"Pak, tapi—"

"Sudah satu minggu lebih kamu tidak datang ke tempat les, ke mana saja?" tanya Pak Dean merubah raut wajah menjadi lebih serius.

Aira merutuki dirinya sendiri karena lupa memberitahu Pak Dean perihal ia yang mengikuti olimpiade tingkat internasional di Jepang.

Biasanya, Aira selalu menceritakan hal-hal seperti ini kepada Pak Dean. Berada di tingkat apa pun perlombaan yang diikuti olehnya, Aira selalu memberitahu Pak Dean.

"Saya—"

"Selamat atas kemenangannya. Saya sudah tahu soal itu. Sebenarnya saya ke sini bukan untuk menanyakan alasan kamu tidak datang ke tempat les, melainkan karena saya ingin mengucapkan selamat secara langsung. Maaf jika saya telat mengucapkannya," sela Pak Dean.

"Tidak masalah, Pak. Terima kasih karena Bapak sudah rela datang ke rumah saya hanya untuk mengucapkan selamat secara langsung," balas Aira tersenyum tipis.

Apa pun kondisinya, senyuman yang ditunjukkan Aira selalu sebuah senyuman tipis.

"Ada alasan lain juga, Aira."

"Apa, Pak?" tanya Aira penasaran.

"Saya ... saya adalah teman kakak kamu, Angkasa. Sebelumnya apa kamu sudah tahu soal ini? Apa Angkasa pernah memberitahukan soal saya kepadamu? Karena Angkasa pernah bilang pada saya bahwa adiknya yang bernama Aira lah yang paling dekat dengannya."

Aira mencoba mengingat-ingat percakapan beberapa tahun yang lalu bersama Angkasa. Walau pun sakit, Aira tetap memaksakannya.

"Ang–Angkasa gak pernah cerita soal Pak Dean. Maaf, saya baru tahu soal ini, Pak."

Lengkungan tipis tercetak di bibir Pak Dean. Dia mengusap lembut puncak kepala Aira.

Aira membeku di tempat. Usapan di kepalanya dari tangan Pak Dean hampir sama rasanya seperti usapan tangan Angkasa. Ah ... Aira jadi merindukan Angkasa.

"Maaf saya sudah membuka kembali kenangan soal Angkasa," ujar Pak Dean.

Pak Dean menghentikan tangannya yang mengusap lembut kepala Aira. Ia kembali berdiri tegak. Selayaknya saat seorang guru berhadapan dengan muridnya.

"Saya menjadi temannya Angkasa sejak berada di panti asuhan. Sejak kecil berarti. Kami bersahabat. Angkasa itu sosok yang baik. Dia bilang pada saya, kalau dia sangat menyayangi dua adiknya yang masih kecil. Dia juga bercerita kalau adiknya itu perempuan dan kembar. Saat itu saya benar-benar excited mendengarkan cerita Angkasa. Karena di panti asuhan, jarang sekali saya melihat ada anak kembar. Maka dari itu saat Angkasa menceritakan soal adik kembarnya, saya benar-benar bersemangat mendengarkannya," cerita Pak Dean.

Aira mendongak. Kaget. Untuk menetralisir rasa kagetnya, Aira mempersilakan Pak Dean untuk duduk kembali di kursi yang tadi diduduki oleh pria itu.

"Katanya ... Angkasa ditinggalkan di panti asuhan oleh kedua orang tuanya. Itu berarti orang tuamu, 'kan? Kalau boleh, saya ingin bertemu dengan orang tuamu. Saya ingin membicarakan sesuatu tentang Angkasa."

Aira melirik jendela rumah yang di belakangnya. Kedua orang tuanya dan Aina sedang bersenda gurau di dalam sana.

Aira takut jika Pak Dean menemui orang tuanya dan membicarakan soal Angkasa, itu hanya akan merusak momen di rumah saat ini. Ia takut Lila memarahinya. Ia takut Lila sedih dan teringat kembali dengan Angkasa.

"Mama—"

"Iya, saya dengar. Saya juga tidak bisa merusak momen kebahagiaan mereka. Tapi, ini penting, Aira. Angkasa berpesan pada saya untuk memberitahukan soal ini kepada mereka," sela Pak Dean lagi.

"Pak, mama saya belum benar-benar bisa mengikhlaskan Angkasa. Saya tidak mau kalau Bapak datang menemuinya dan membahas soal Angkasa justru akan membuat mama saya sedih. Tolong tunggu sampai mama saya bisa benar-benar mengikhlaskan Angkasa," mohon Aira menangkup kedua tangannya di depan dada.

"Aira ... mungkin saja pembahasan nanti itu yang akan membuat mama kamu bisa benar-benar mengikhlaskan Angkasa. Kasihan Angkasa di sana. Jika kamu terus menghalangi proses mama kamu mengikhlaskan kepergian Angkasa, lalu akan sampai kapan beliau bisa ikhlas? Angkasa selalu datang ke mimpi saya, Aira. Dia selalu berkata kalau dia kecewa pada saya karena saya belum menyampaikan pesannya kepada orang tuanya."

Kini giliran Pak Dean yang meminta dan dengan sedikit memohon.

Aira terdiam sejenak. Bahkan Angkasa jarang mendatangi mimpinya. Apa ini karena Angkasa terlalu sering datang ke mimpinya Pak Dean?

Apa Aira juga harus membuat Angkasa kecewa terlebih dahulu baru dia akan selalu datang ke mimpinya? Aneh. Itu sangatlah tidak wajar.

"Baik, Bapak boleh bicara dengan mama saya. Tapi, dengan satu syarat, Bapak harus berbicara dengan diselingi beberapa candaan. Saya tidak mau kalau mama sampai sedih berlarut-larut lagi sama seperti saat Angkasa baru meninggalkan kami."

Akhirnya ....

Pak Dean menghela lega. Benar kata orang-orang, Aira sangat mudah menurut padanya. Seperti beberapa waktu ke belakang, saat gadis itu sedang keras kepala, dia hanya akan mau menuruti perintahnya. Bahkan perintahnya untuk meminta maaf pada orang tuanya pun langsung Aira turuti padahal saat itu Aira sedang benar-benar sulit untuk dibujuk.

"Terima kasih, Aira."

Aira hanya mengangguk kecil. Bingung harus merespon apalagi. Ia masih takut kalau mamanya akan berlarut-larut dalam kesedihan lagi seperti waktu itu.

👑

"KERAS KEPALA!"

"Sudah, Az, kamu jangan terus menyalahkan pilihan Liora. Kita harusnya mendukung Liora, bukan seperti ini," lerai Aldert berusaha meredakan emosi istrinya yang kembali tersulut saat memergoki Liora yang tengah membaca informasi tentang salah satu universitas di Belanda melalui internet.

"Aku bisa saja mendukung pilihan dia, tapi asalkan jangan Belanda. Sudah berulang kali aku bilang, JANGAN BELANDA! Kalau perlu, kembali saja ke Australia, kuliah di sana. Aku lebih mendukung Liora menimba ilmu di sana daripada harus di Belanda. Aku tidak mau kalau Liora bertemu dengan salah satu anggota keluargamu di sana, Al!" sentak Azrifa membalas.

Aldert memijat pelipisnya. Pusing sekali. Ia sudah kehabisan cara untuk membujuk sang istri agar mau menyetujui dan mendukung pilihan Liora.

Saat mendengar teriakan sang mamah, Liora langsung mematikan ponselnya. Kaget juga.

"Mereka tidak akan tahu kalau Liora itu putri kita. Kamu lupa? Kamu lupa dengan tujuan kita memberikan putri kita nama Liora Bestiela? Tanpa nama belakang salah satu dari kita, Az ... tujuan kita, agar jika suatu saat anak kita pergi ke Belanda dan tidak sengaja bertemu dengan keluarga kita, mereka tidak mengenali siapa itu Liora. Kamu ingat?" tanya Aldert masih berusaha sabar.

Azrifa terdiam. Ia selalu ingat itu. Setiap momen dan apa pun yang berkaitan dengan Liora dan keluarga Aldert, ia ingat semuanya. Dari hal terkecil sampai yang terbesar.

"Tapi lama kelamaan juga mereka akan mengetahuinya, Al. Kita juga tidak akan diam saja di sini dan menunggu telepon dari Liora. Pasti sesekali kita akan menjenguknya di sana. Jika kita sedang bersama dan bertemu dengan anggota keluargamu, bagaimana?"

"Kamu itu, Az ... selalu memikirkan hal terburuknya. Belum tentu juga itu akan terjadi. Memangnya jika kita bertemu dengan mereka kenapa? Mereka juga keluarga kita, aku berasal dari sana. Tanpa adanya mereka aku tidak akan ada dan kita tidak akan bersama. Sudahlah, Az, lupakan kejadian dulu. Aku tau kamu sudah memaafkan mereka, kamu hanya merasa takut secara berlebihan. Liora berbeda dengan kita, Az. Dia bukan kita yang akan diam saja saat direndahkan oleh orang lain. Walau pun mereka itu keluarga kita, aku yakin, Liora akan membalasnya jika mereka sudah keterlaluan."

"Kamu tau sebesar apa ketakutan yang aku rasakan? Lebih dari apa yang kamu kira. Tidak selamanya anak yang berkarakter seperti Liora akan melawan saat direndahkan oleh orang yang menjadi keluarga kita, nenek dan kakeknya. Apalagi mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku yakin Liora akan berpikir ulang untuk melakukan itu. Dia masih ingin bertemu dengan nenek kakeknya. Dia masih ingin dicap baik oleh mereka, Al."

Liora menggigit bibir bawahnya. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi ia takut. Walau pun dia keras, dia juga perlu berpikir sebelum berbicara. Apalagi berbicara dengan orang tuanya sendiri.

"Katakan, Li," pinta Aldert.

Liora menoleh. Papahnya tahu kalau ia ingin mengatakan sesuatu.

"Katakan saja apa yang ingin kamu katakan."

"Kalau Mamah gak mau bayarin kuliah Lio di Belanda, gak apa-apa, Lio bisa coba pakai jalur beasiswa. Mamah gak akan keluar biaya. Terus kalau Mamah gak mau kasih uang buat kehidupan Lio di sana, Lio bisa sambil kerja," ucap Liora meyakinkan.

"Belanda itu bukan Indonesia, Liora ...."

"Lio tau. Tapi, Lio bakalan berusaha buat lulus cepet, jadi sarjana, kerja buat ngumpulin biaya S2, terus lanjut kuliah lagi. Doain Lio. Kalau pun Lio gak dapet izin dari Mamah, Lio udah dapet izin dari Papah. Lio bakalan tetep kuliah di sana, Mah. Apa pun kondisinya, mau Mamah gak izinin Lio pun, Lio bakalan berangkat. Kalau Mamah gak izinin Papah buat kasih Lio uang buat beli tiket, Lio bakalan pinjem sama Papah. Kalau tetep gak dikasih, Lio pinjem sama Aina," putus Liora sembari menyebutkan rencana kehidupannya yang akan mendatang.

Aina—langsung membuat Azrifa teringat akan sosok Lila. Tidak! Anaknya tidak boleh sampai meminjam uang pada Aina.

Azrifa tahu kalau Liora dan Aina itu bersahabat. Tapi, ia tidak akan membiarkan Liora sampai meminjam uang pada Aina hanya untuk membeli tiket pesawat.

"Terserah."

👑






























WOW UPDATE NIH, BESTIE!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA YAW ><

BEBERAPA CHAPTER LAGI TAMAT NIH! SEBELUM HIATUS HARUS UDAH TAMAT DULU BIAR PAS UJIAN GAK ADA BEBAN WKWKW🤭

BABAY, SEE YOU <3

Continue Reading

You'll Also Like

159K 4.2K 30
Orion berada di perjalanan, berjuang demi mengharumkan nama jurusan Bahasa yang dianggap sebelah mata di SMA Nusa Cendekia. Namun, di tengah itu semu...
7.4M 206K 22
It's not everyday that you get asked by a multi-billionaire man to marry his son. One day when Abrielle Caldwell was having the worst day of her life...
706K 2.7K 66
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!
The change By yaharv1

General Fiction

22.4K 57 3
The story of how a boy turned into a nappy wearing girl