Sekelumit Rindu

By bubibupeach

188K 22.1K 809

Tentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjila... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24

Bab 11

6.3K 736 21
By bubibupeach

Acara dimulai ketika semua tamu undangan yang tak seberapa ini telah hadir semua. Anak-anak sudah memakai topi kerucut berwarna-warni. Senada dengan hiasan pita-pita dan balon yang dipasang memeriahkan tempat ini. Lagu ulang tahun dinyanyikan bersama-sama, belum sampai selesai, lilin sudah ditiup oleh Juni terlebih dulu, mendahului si bintang utama.

"Cuniiiiiiiiiiil!" Teriakan dari Kafka membahana. Wajahnya nampak merah padam, kedua tangannya mengepal, marah.

Pluok ....

Kafka mengambil kue tart langsung dengan tangannya lantas melemparkannya kepada Juni. Tepat di bagian perutnya. Mengenai taburan manik-manik yang terpasang cantik di gaun pesta warna biru muda.

"Papa... Bajuku... Huaaaaaa ...."

Pecah. Seketika acara menjadi riuh. Anak-anak lain tertawa sambil menunjuk muka Juni yang menangis kencang. Ara bahkan sampai memegangi perutnya sendiri. Pun begitu dengan Gibran, Juna dan Juno. Ana meraih kotak tisu dan memberikannya kepada Kak Raka yang berjongkok di depan sang puteri, membersihkan gaun pesta anaknya, tapi bahunya juga berguncang karena ikut tertawa. Di dekatnya ada Mbak Tiara yang sepertinya tak sanggup menahan tawa.

Kafka, badannya sudah ditahan oleh Mas Arya lagi. Anak itu masih ingin melempari Juni dengan kuenya sehingga Mama berinisiatif segera menjauhkannya agar tak bisa dijangkau oleh cucunya tersebut. Sementara Mbak Kinan, dia berdiri di depan anak lelakinya dan membersihkan tangan Kafka yang belepotan krim kue. Mbak Kinan tersenyum sangat lebar, mungkin ingin ikut tertawa tapi masih ingin menjaga perasaan anaknya. 

Aku, aku menutup kedua telinga Janu. Anak ini tertidur di pangkuanku sejak tadi. Mataku menyapu seluruh sudut. Tak sengaja, aku melihat Kak Dean yang duduk di salah satu kursi yang mengitari meja bulat di taman. Meja kursi yang khusus disiapkan untuk tamu undangan di acara ini. Pasang matanya memang menatap ke arah kerumunan anak, tapi tak ada tawa macam yang lainnya. Jangankan tertawa, seulas senyum pun tak nampak. Aneh, dulu biasanya dia yang sering sekali tertawa bahkan jika tak ada hal lucu sekalipun.

Mataku enggan berpaling darinya. Lancang, aku memindai perubahan dalam dirinya yang bisa kutangkap. Kak Dean sekarang jauh lebih kurus dari yang kuingat delapan tahun lalu. Pipinya yang dulu agak berisi kini menirus, mempertegas garis rahangnya, jambang halus menghiasi. Rambutnya juga nampak agak berantakan. Dia seperti tidak mau mengurus badannya sendiri. Mendadak aku ingat kepada seseorang, Mbak Alya, ke mana dia sebenarnya? Kenapa tidak ikut kemari merayakan pesta ulang tahun Kafka?

Cukup lama aku hanya terdiam. Tiba-tiba Kak Dean menoleh, menatapku.

Cepat saja aku menunduk. Beberapa detik kami sempat bersitatap. Dia memergokiku yang sedang memperhatikannya. Oh Tuhan, harus ditaruh di mana mukaku ini ....

___

Acara selesai lebih awal. Para tamu undangan telah meninggalkan rumah ini tak terkecuali keluarga sahabat-sahabat Mas Arya. Tinggal aku dan mama yang masih tinggal. Kami nanti memang berencana akan menginap di sini. Hari sudah hampir magrib, sebentar lagi gelap. Aku pun malas menyetir mobil untuk pulang.

Anak-anak cukup senang meski kue utama telah hancur dan tak layak untuk dimakan. Cupcake yang dipesan Mbak Kinan juga sama enaknya dengan kue ulang tahun Kafka. Aku yakin jika anak-anak dari keluarga berada ini pasti sudah sering memakan kue, tapi menurutku yang namanya anak-anak tetaplah anak-anak. Kue dan bingkisan tetap jadi hal pertama yang dinanti-nantikan dari sebuah acara ulang tahun.

"Istirahat, Nan. Dilurusin kakinya."

Sambil ikut membantu para pekerja di rumah ini membersihkan sisa pesta yang urung terlaksana, Mama terus saja mengingatkan menantunya. Padahal kaki Mbak Kinan sudah diluruskan sejak tadi. Sedang kupijit-pijit pelan.

"Iya, Ma." Mbak Kinan menyahut lirih.

"Pusing ya, Mbak?" Aku menerka karena Mbak Kinan memijit pelipisnya sendiri.

"Badannya udah nggak enak. Pegel semua, Dek... Dikit-dikit aja dong, Sayang."

Mbak Kinan melihat anak-anaknya yang berjalan menaiki tangga. Ara dan Gibran membantu memindahkan kado-kado yang didapatkan ke ruangan pribadi sang adik. Kafka si bintang utama sudah dibawa Mas Arya ke kamarnya di atas.

"Mbak aku mau tanya sesuatu deh."

Lidahku sudah gatal, benar-benar gatal ingin menanyakan tentang Mbak Alya. Kupikir jika aku bertanya dengan Mbak Kinan, itu tidak akan apa-apa. Mbak Kinan pasti tidak akan membocorkan kekepoanku pada orang lain. Aku sangat yakin Mbak Kinan bukan orang yang bermulut besar

"Tanya apa? Kaf sama Juni emang sukanya berantem. Jarang-jarang aja mereka bisa akur."

"Bukan itu, Mbak." Tidak diberi tahu pun aku sudah tahu. Kejadian tadi telah menjadi bukti. Kafka dan Juni jika diibaratkan sudah seperti kucing dan tikus. "Mbak Alya ke mana sih, Mbak? Aku perhatiin dia tadi nggak ikut dateng ke sini. Waktu Ana sakit juga aku nggak pernah lihat. Mbak Kinan pas jenguk Ana ke rumah sakit waktu itu juga nggak ketemu 'kan sama Mbak Al .... "

"Dek." Aku terdiam ketika Mbak Kinan menyela ucapanku. Menyentuh lenganku yang masih terjangkau darinya. "Kamu belum tahu kok ya?"

"Tahu apa?" Tak paham dengan entah pertanyaan atau pernyataan dari kakak iparku itu.

"Mbak Alya udah nggak ada."

Gerakan kedua tanganku di kakinya terhenti seketika. Nggak ada? Maksudnya apa?

"Mbak Alya udah meninggal, udah ada sekitar empat tahun kayaknya."

Aku menoleh kepada Mbak Kinan untuk mencari kebohongan yang mungkin sedang ia perankan. Namun, itu tidak mungkin. Aku tahu Mbak Kinan bukan orang yang suka berbohong. Lagi pula tidak mungkin dia berbohong untuk hal seserius ini. Empat tahun... berarti saat aku sudah berangkat ke luar negeri.

"Waktu Ana umur dua tahun, Katanya Almarhum ngejar Ana yang lari ke jalan. Terus jatuh."

"Habis jatuh terus ketabrak apa gimana, Mbak?" Aku masih belum paham. Keingintahuanku belum usai.

"Mbak Alya waktu itu lagi hamil lima bulan.

Aku terdiam membisu setelah mendengar penuturan Mbak Kinan. Perutku memdadak terasa nyeri.

"Yang Mbak denger sih katanya Almarhum nginjek ujung gamisnya. Terus ya ...."

Mbak Kinan menggeleng, tidak mau melanjutkan ucapannya lagi. Aku tahu, akan jadi masuk akal jika Mbak Alya terjatuh dengan perutnya dulu yang terbentur ke permukaan jalan. Mbak Alya, tolong maafkan aku yang kemarin sudah berburuk sangka sama mbak. Maaf, aku tidak tahu.

Aku kini mulai paham dengan perubahan yang terjadi pada Kak Dean. Dia jadi pendiam, kurus tak terurus seperti itu mungkin karena ditinggal oleh Mbak Alya. Aku tahu, karena mama pun dulu juga sampai sangat kurus ketika papa pergi. Belahan jiwanya telah tiada, sama saja membawa separuh nyawa.

_______

"Tipe cowok kamu yang gimana?"

Aku menoleh ke samping kiri, melihat seorang pria yang tengah mengaduk-aduk sotonya. Kak Indra, untuk apa dia bertanya seperti itu?

"Aku mau berusaha jadi cowok idaman kamu." sambungnya sambil terkekeh geli setelah sejenak melirikku.

Aku tahu jika dia serius dengan ucapannya. "Kak, kakak ngerasa nggak kalau Kak Hanum itu kayaknya suka sama kakak?" Berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku belum siap menjawab pertanyaannya yang tadi. Aku tidak sedang asal bicara. Dokter kandungan bersurai hitam dan panjang itu sering sekali menempel kepada Kak Indra. Di mana pun lelaki itu berada.

Dia mengangguk-anggukan kepala lalu menggeleng. Membuat aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Kuaduk sotoku yang baru kukucuri tetesan kecap manis dan sambal. Kami sedang makan siang bersama di kantin rumah sakit. Aku memang tidak pernah mau jika diajak keluar saat jam istirahat. Bagiku, makan di kantin saja sudah lebih dari cukup.

"Kamu ngerasa nggak kalau aku juga suka sama kamu?"

Makin lama Kak Indra semakin blak-blakan. Mengingatkanku kepada seseorang di masa lalu yang sedikit banyak juga seperti dia. Huft, Kak Dean.

"Kakak ditanya serius juga, malah becanda aja." gumamku yang pasti masih bisa ia dengar. Jarak kami cukup dekat, meski kami duduk berseberangan.

"Aku juga serius sama kamu, tapi kamu nganggepnya cuma biasa aja."

Ternganga. Buru-buru kusuap mulutku dengan sesendok nasi soto pedas manis ini. Lalu Kak Hanum datang dan bergabung di meja kami sehingga aku tak perlu menjawab pertanyaan Kak Indra. Terima kasih Kak Hanum, kau penyelamatku.

Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

4.8K 1.2K 23
♡Cerita terakhir dari Single Father♡ Zaverio, pemuda 17 tahun dengan sifat Introvert yang menjadi Most Wanted sekolah tak peduli sepopuler apa dirin...
52.9K 5.9K 38
Biru, sosok lelaki yang tempramental, hoby-nya marah-marah, mengalami trauma soal percintaan. Karena hubungannya kandas dengan alasan yang sangat jar...
238K 38.3K 25
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
58.6K 4K 23
Setelah kepindahanya ke Jogja dan kini bekerja di kantor Notaris dan PPAT, Ailani Aqilah hanya dibuat sibuk memikirkan hal yang membuat ia illfeel te...