'๐’๐†๐†' ๐€๐ฆ๐›๐ข๐ญ๐ข๐จ๐ฎ๐ฌ ๏ฟฝ...

By Taratataaa__

19.7K 2.4K 117

Kelas istimewa-kelas yang hanya akan dihuni oleh anak-anak peringkat paralel. Peringkat satu sampai dengan li... More

Prelude
Optis
โ€ข1โ€ข Apofisis
โ€ข2โ€ข Bakteri Aerob
โ€ข3โ€ข Coulomb
โ€ข4โ€ข Dinasti
โ€ข5โ€ข Empiris
โ€ข6โ€ข Fosfat
โ€ข7โ€ข Gastrodermis
โ€ข8โ€ข Hafnium
โ€ข9โ€ข Inersia
โ€ข10โ€ข Jarak
โ€ข11โ€ข Kingdom
โ€ข12โ€ข Lesbianisme
โ€ข13โ€ข Massa Jenis
โ€ข14โ€ข Neuron
โ€ข15โ€ข Oogenesis
โ€ข16โ€ข Proton
โ€ข17โ€ข Quasar
โ€ข18โ€ข Ragam Beku (Frozen)
โ€ข19โ€ข Silikon
โ€ข20โ€ข Titanium
โ€ข21โ€ข Uterus
โ€ข23โ€ข W-Virginis
โ€ข24โ€ข Xilem
โ€ข25โ€ข Yupa
โ€ข26โ€ข Zeolit
โ€ข27โ€ข Zigospora
โ€ข28โ€ข Yerkes
โ€ข29โ€ข Xenon
โ€ข30โ€ข Waisya
โ€ข31โ€ข Volcano
โ€ข32โ€ข Uranium
โ€ข33โ€ข Tabulasi
โ€ข34โ€ข Saham
โ€ข35โ€ข Radula
โ€ข36โ€ข Quarry
โ€ข37โ€ข Petrokimia
โ€ข38โ€ข Oksidator
โ€ข39โ€ข Niobium
โ€ข40โ€ข Musci
โ€ข41โ€ข Labelling
โ€ข42โ€ข Katabatic
โ€ข43โ€ข Joule
โ€ข44โ€ข Iridium
โ€ข45โ€ข Heuristik
โ€ข46โ€ข Germanium
โ€ข47โ€ข Flagela
โ€ข48โ€ข Ekspansi
โ€ข49โ€ข Deklinasi
โ€ข50โ€ข Candu
โ€ข51โ€ข Bromin
โ€ข52โ€ข Ampere
Nawoord
Extra Caput 1
Ekstra Caput 2

โ€ข22โ€ข Vassal

220 32 0
By Taratataaa__

Kadang, luka sementara akibat perpisahan itu lebih baik dibandingkan luka yang akan semakin bertambah kala mempertahankan sebuah kebersamaan yang semu.

👑

Vassal : Seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasa—biasanya dalam bentuk dukungan militer, perlindungan bersama (mutual protection), atau pemberian upeti dan menerima jaminan dan imbalan tertentu sebagai gantinya. Sistem ini telah ada sebelum hingga berakhirnya feudalisme di Eropa pada abad pertengahan. Selain di Eropa, sistem yang mirip juga ditemukan pada kekaisaran Mongolia, Jepang (Gokenin), dan lainnya.

👑

"Aina!"

Gadis itu berbalik ke belakang, menyorot penuh ke arah adiknya yang juga tengah menatapnya.

Mereka sudah berada di hotel dan berada di kamar yang sama.

"Lo—"

"Fokus kompetisi aja dulu, Ra. Soal itu bisa kita bahas nanti," potong Aina. Membereskan kembali pakaiannya ke dalam lemari.

"Gue penasaran, Aina ...."

Aina menarik napas panjang. Ia memilih duduk di tepi tempat tidur yang kemudian diikuti juga oleh Aira.

Tepat di hadapan mereka adalah cermin. Keduanya tak ada yang menatap ke arah cermin, sama-sama mengarahkan pandangan ke lantai.

"Same as before. Lo pasti ngerti maksud gue."

"Mama?"

"Apa perlu gue jawab iya biar benar-benar jelas?"

"Gak perlu. Dari mana mama tau?" tanya Aira penasaran.

"Lo lupa? Mama punya banyak mata-mata yang selalu ngawasin kita. Do you know something about this? Gue juga dapat teror yang sama kayak lo," jawab Aina.

Aira menolehkan kepalanya cepat ke arah Aina yang juga dibalas Aina dengan menatapnya.

"Kapan?" tanya Aira.

"Gue lupa waktu tepatnya. Tapi, gue pikir ... kayaknya jarak waktu teror lo sama teror gue gak jauh-jauh amat. Gue juga mikir kalau pelakunya sama," jawab Aina lagi.

"Sama? Maksud lo? Bukannya punya lo pakai bahasa asing? Kok lo bisa nebak gitu? Lo 'kan enggak ngerti—"

"Jeva tau artinya, Ra." Lagi. Aina memotong ucapan Aira.

Mereka masih saling tatap.

"Lo—"

"Apa salah kalau gue kasih tau Jeva? Lo sendiri juga ngasih tau Karvian, 'kan? Impas 'kan sekarang?" tanya Aina.

Aira diam membisu.

Mereka sama-sama memberitahu teman dekat mereka.

Aina membuang napas kasar. Merebahkan tubuhnya ke kasur dengan manik mata yang menatap ke langit-langit kamar.

Nyaman. Tapi asing.

"Je suis content de t'avoir retrouvé. Kata Jeva artinya aku senang bisa menemukanmu kembali," ucap Aina. "Bahasa Prancis."

Aina melirik sebelah tangan Aira yang menggenggam sebuah pulpen. Ia meminjamnya. Menuliskan kode yang ada pada kertas miliknya waktu itu.

[•

"Kalau dari sandi pramuka, itu huruf L," lanjut Aina menjelaskan.

"Karvian dapat petunjuk dengan kode 311280 ... menurut lo ... dugaan gue salah gak kalau itu adalah tanggal lahir si pelaku?" tanya Aira.

"Gue gak bisa bilang itu benar atau salah. Tapi, kalau dipikir-pikir masuk akal juga kalau itu tanggal lahir pelakunya," balas Aina berpikir.

Aira bergerak, ikut merebahkan tubuhnya di samping Aina yang tengah mencoba memejamkan matanya.

Kakaknya itu tidak sedang berusaha untuk tidur, tapi sedang berusaha untuk memikirkan soal kode-kode itu.

"Ulang tahun mama."

"Maksud lo?" Aina membuka kedua kelopak matanya dan mengernyit bingung.

"31 Desember 1980 ... hari di mana mama lahir."

Aina yang tersentak kaget langsung terbangun dari posisinya. Ia mencoba mengingat kembali.

Benar. Mamanya lahir tepat dengan kode yang ditemukan oleh Karvian.

"Ra, itu kode bukan sembarang kode 'kan? Maksud gue ... itu bukan akal-akalannya Karvian? Eh, Karvian nemu kode itu di mana?"

"Dari novel yang bertemakan soal teror. Karvian juga gak tau siapa yang ngasih novel-novel itu. Di setiap halaman paling belakang novelnya, ada kode-kode petunjuk. Ada juga kode yang sama kayak yang gue dapetin. Sembilan puluh derajat ... sama persis, Ai," terang Aina.

Aina memutar otaknya. Mencoba memikirkan soal kode yang dimaksud Aira barusan.

"Sudut sembilan puluh derajat itu siku-siku. Menyerupai huruf L. Mirip kayak yang punya gue," tutur Aina.

Aira diam. Tak merespon apapun. Huruf L? Ya ... memang memiliki sudut sembilan puluh derajat.

Lila?

Mamanya?

Apa mungkin?

Lalu tadi kata Aina apa maksudnya? Soal Lila yang memiliki mata-mata untuk mengawasinya dengan Aina.

Tidak mungkin juga Lila menyuruh orang untuk memata-matai jika Lila sendiri pelakunya.

Looks impossible.

Huruf L bisa jadi inisial namanya.

Lila?

Liora?

"Lio ... menurut lo gimana?" tanya Aina tiba-tiba.

Sepertinya Aina memiliki isi pikiran yang sama seperti Aira.

"Kayak enggak mungkin, Ai, tapi bisa jadi juga."

"Lo lagi ada masalah sama Lio?" tanya Aina.

Aira menggeleng keras. Seingatnya sebelum Liora berangkat ke Lisbon waktu itu tidak ada masalah apapun antara dirinya dengan Liora.

Perdebatan kecil memang ada. Tapi, teror itu sudah lama sekali.

"Mungkin lo punya masalah sama Lio?" Aira membalikkan pertanyaan Aina.

"Nothing! Walaupun gue sama dia jarang keliatan bareng, gue gak ada masalah serius sama dia," jawab Aina.

Aina, Aira, Dizcha, Gizca, dan Liora memanglah bersahabat sejak kelas sepuluh. Mereka memang jarang terlihat bersama karena seringkali terpisah.

Aina, Dizcha, dan Gizca selalu bersama.

Sedangkan Aira dengan Liora.

Walaupun begitu, terkadang mereka berkumpul dan tidak pernah ada masalah serius.

"Wait ... kalau emang iya Lio pelakunya, isi surat itu malahan keliatan gak nyambung, Ai. Menemukanmu kembali ... emangnya sebelum di SGG kita udah pernah ketemu sama Lio? Gak pernah, Ai."

"Dulu ... waktu kecil seingat gue gak ada teman yang namanya Liora," balas Aina mencoba berpikir kembali. Memecahkan teka-teki ini lebih sulit daripada mencari jawaban soal-soal kimia menurutnya. "Mama ... itu juga keliatan gak nyambung, Ra. Kita dari kecil sama mama terus."

"Terus siapa pelakunya?"

Aira terlihat sudah mulai frustrasi memikirkannya. Dia yang memulai pembahasan ini, dia juga yang pusing.

"I don't know. Udahlah, kita fokus kompetisi aja dulu. Jangan pikirin ini dulu, Ra, takutnya gak fokus dan ngecewain nanti hasilnya."

Aina menyudahinya. Menarik napas panjang, rasanya sedaritadi seperti tidak bernapas sama sekali lantaran memikirkan soal kode-kode itu yang berhasil membuat kepala pusing.

Aira mengangguk menurut. Ia memilih memasukkan pakaian miliknya ke dalam lemari yang sama seperti Aina tadi.

Tok tok tok!

Pintu kamar diketuk. Aina melangkah untuk membukakan pintu. Ternyata Bu Dini, tutor sekaligus guru pendampingnya di sini.

"Ayo makan siang," ajak Bu Dini.

"Eh iya Bu, sebentar saya panggil Aira dulu."

Aina memanggil Aira dan mengajaknya untuk makan siang lebih dulu.

👑

Gizca mengingat kembali perpisahannya tadi dengan Nevan. Berat, tapi mau bagaimana lagi?

Tidak akan lama. Hanya lima hari. Tidak seperti Aina dan Aira.

"Kak Belvita," panggil Gizca. Mungkin dengan mengobrol bisa menghilangkan sesak yang dirasakannya.

Belvita—perempuan itu—yang menjadi pembawa acara saat LCC waktu itu kini menjadi pendampingnya ke Paris.

Belvita menoleh dengan senyum yang tercetak tipis. "Ada apa?"

"Aku sedikit lapar," ringisnya.

Tadi Belvita memang meminta agar Gizca tidak perlu berbicara formal saat bersamanya. Anggap saja sedang berbicara dengan kakakmu, itu kata Belvita tadi.

"Tahan sebentar, Gizca," pinta Belvita.

Gizca mengangguk pelan. Sebenarnya ia belum lapar sama sekali. Ia hanya bingung harus membuka obrolan dari mana.

Walaupun ini bukan pertama kalinya mereka bertemu, melainkan yang kesekian kalinya, rasanya tetap berbeda. Pertemuan sebelumnya hanya sebatas peserta LCC dengan si pembawa acara.

"Kak Belvita pernah ikut IHO?" tanya Gizca.

"Pernah. Tapi gagal. Semoga kamu berhasil, Gizca," harap Belvita.

"Aamiin. Bunda juga berharap gitu hehe."

"Pasti lah. Orang tua mana yang gak berharap anaknya menang lomba," kekeh Belvita.

"Iya, gak ada pastinya," timpal Gizca.

👑

"Hari ini final. Kamu siap?"

"Siap!"

Hari ini adalah hari terakhir Liora mengikuti kompetisi. Beruntung dia sampai ke final.

Mr. Ernest sedaritadi terus memberikan kata-kata semangat dan juga saran yang justru membuat Liora bosan sendiri.

"Besok kita pulang atau orang tua kamu jemput ke sini?" tanya Mr. Ernest.

Pertanyaan ini ... pertanyaan yang pernah dilayangkan olehnya saat di pesawat waktu itu.

"They won't come," jawab Liora singkat.

"Oh, maaf. Lagi-lagi saya menyinggung soal itu. Saya tidak bermaksud apa-apa, Lio." Mr. Ernest mencoba menjelaskan baik-baik agar Liora tidak salah paham kepadanya.

"Gak apa-apa, udah biasa."

Liora meninggalkan Mr. Ernest seorang diri untuk masuk ke sebuah ruangan. Ruangan tempat dirinya mengikuti kompetisi di tahap final ini.

Mr. Ernest sempat diam beberapa saat sampai akhirnya mengikuti langkah Liora masuk ke dalam ruangan.

Pada tahap final ini akan dilakukan layaknya lomba cerdas cermat, siapa cepat dia dapat.

"Kalau gue dapat tiga besar, mamah pasti bakalan bangga. Semoga bakalan buat mamah kembali bersikap kayak dulu," harap Liora bergumam pelan.

👑

Hari pertama untuk para siswa baru di SGG. Untuk siswa yang sudah dari awal bersekolah di sekolah ini terlihat tidak suka melihat orang-orang yang lewat di koridor.

Tidak ada satu pun siswa yang setuju akan keputusan konyol yang berdampak siswa di SGG bertambah seperti ini.

Graysia menatap satu persatu orang-orang yang masuk ke kelasnya. Pikirnya mereka adalah siswa baru peraih peringkat lima belas besar saat tes kemarin.

Louissa melirik sinis pada salah seorang dari mereka. Teman satu sekolahnya saat di SMP dulu.

"Hai, Lou!" sapanya.

Louissa tak membalas, dia hanya mengedikkan bahunya. Walaupun dulunya mereka adalah teman, sekarang ia terlihat tidak menyukainya.

"Lou, lo ingat gue, 'kan? Em ... kalau lo lupa, kita kenalan ulang deh. Gue Zelena Afichel dari SMA Wiramandala, teman dekat lo waktu SMP," ucapnya tanpa malu.

Beberapa anak Class Crown lainnya menatap gadis bernama Zelena itu dengan kesal.

"Gue gak ingat."

Setelah mengucapkan tiga kata itu Louissa menjauh dari Zelena dan memilih untuk menghampiri Jeva yang tengah duduk di depan kelas.

Jeva menyambutnya dengan senyuman. Melihat wajah Louissa yang tertekuk tidak membuatnya merasa heran karena ia juga sempat mendengar samar-samar ucapan Zelena.

"Jangan ketus-ketus gitu, Lou. Kasian anak orang," kekeh Jeva menegur.

"Habisnya gue kesal, Jev," keluh Louissa mengerucutkan bibirnya.

"Mereka enggak tau apa-apa. Jangan lampiasin rasa kesal lo ke mereka." Jeva mencoba memberikan penjelasan dengan sebaik mungkin supaya Louissa tidak marah.

"Iya gue tau. Tapi, kalau aja mereka enggak tanggapi pendaftaran itu, hari ini gak akan kejadian. Sekolah gak akan seramai ini. Kelas kita gak akan penuh. Oke, lebih baik murid pengganti deh daripada kayak gini," gerutu Louissa.

Jeva tertawa pelan. Mau bagaimana pun juga semuanya sudah terjadi. Sekarang mereka hanya bisa menerima kenyataan saja.

Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Mereka yang datang tidak bisa dipaksa pergi.

Singkatnya diusir. Itu tidak mungkin.

"Waktu itu lo gak setuju soal murid pengganti, terus gak setuju juga sama keputusan sepihak ini. Eh tiba-tiba lo setuju soal murid pengganti. Gimana sih? It's weird lol!"

Louissa membuang napas kesal. Bisa-bisanya Jeva mengumpat tepat di hadapan wajahnya.

"Ya gimana ya, Jev ... kalau dibandingkan antara murid pengganti atau keputusan sepihak, lebih baik murid pengganti," cetus Louissa.

"Aneh! I think mau murid pengganti kek mau keputusan sepihak kek, sama aja. Toh anak-anak kelas istimewa yang lama tetap bisa belajar di kelasnya. Yang penting begitu, 'kan? Lagian ada untungnya juga mereka datang ke sini, sistem belajar kita diubah, siapa peraih peringkat satu sampai dengan tiga puluh ... dialah yang masuk ke kelas istimewa. Kesempatan kita besar," jelas Jeva panjang lebar.

"Who said that if our learning system was changed?" tanya Louissa penasaran.

"Gue tebak lo tipe cewek yang malas literasi. Gih liat mading, di sana tertulis jelas soal perubahan sistem itu."

Louissa berdecak kesal. Jika dia malas literasi, malas membaca buku, bisa habis dia! Apalagi kalau sampai ketahuan orang tuanya di rumah seharian tidak membaca buku sama sekali.

Gadis itu tak beranjak sama sekali. Tanpa melihatnya langsung pun dia percaya kalau Jeva tidak sedang membohonginya.

Lagian jika benar Jeva berbohong, memangnya berbohong untuk apa?

"Berarti—"

"Kita bisa jatuhin mereka, Lou," potong Jeva.

"Maksud lo gimana?" tanya Louissa masih belum mengerti.

"Kita bikin mereka kapok dan mundur dari kelas istimewa. Ya, mirip-mirip lah kayak yang dilakuin Gizca waktu itu."

"Gimana caranya?" tanya Louissa lagi.

"Jangan bikin lima belas orang itu masuk lima belas paralel. Kita sebagai siswa Class Crown yang lama harus tetap bertahan di posisi. Jangan kasih mereka ngerebut posisi kita," ungkap Jeva memberitahu.

Louissa tersenyum miring. Ia mulai mengerti maksud Jeva apa. Sepertinya ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

"Lo licik juga ya ternyata," ejek Louissa pelan.

Jeva tertawa sedikit keras lalu menarik napasnya panjang.

"Jangan salah! Walaupun gue keliatan soft boy, gue juga bisa licik sesekali."

"Ambisius," cibir Louissa.

"Terserah sih orang lain mau anggap gue kayak gimana juga. I choose not to care." Tawa Jeva kembali meledak. Tak ada yang lucu, tapi tawanya mudah sekali untuk dilihat oleh orang lain.

Louissa memutar kedua bola matanya malas. Ia menghentakkan kakinya lalu memilih untuk meninggalkan Jeva sendirian.

👑

Nevan terus memandang ke bawah dengan tatapan matanya yang kosong. Deru napasnya sangat berat.

Satu orang di sampingnya juga tak melakukan apa-apa. Dia hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Nevan.

Lelah. Tubuh Nevan meluruh ke lantai.

Tidak ada perintah apapun, temannya mengikuti Nevan. Duduk di samping Nevan dengan mata yang beralih menatap Nevan.

"Tahan Van, cuma lima hari," ujarnya.

Nevan membuang napas kasar. Tadi dia hampir telat datang ke bandara saat Gizca akan berangkat.

"Dia suka lupa makan, Gra."

"Lo chat dia terus ingetin buat makan," sarannya, Alegra Reinald.

"Waktu Indonesia sama waktu di sana 'kan beda. Kalau di sini udah waktunya makan, gak tau deh kalau di sana."

"Yang penting lo udah ingetin Gizca. Kata lo ... kasih sayang lo ke Gizca gak boleh melewati kasih sayangnya kakak ke adiknya. Nah sekarang, coba lo bersikap biasa aja ke Gizca. Siapa tau nanti pas Gizca pulang lo udah terbiasa," usul Alegra membuat Nevan menatapnya.

"Sulit, Gra ...."

"Dicoba. Kalau lo sendiri belum mencobanya emang keliatannya sulit. Coba lo belajar pelan-pelan, pasti bisa. You have to believe in yourself!" Alegra menepuk pundak Nevan sebagai upaya agar Nevan percaya.

Nevan menunduk sebentar lalu mengangguk pelan. Walau berat akan Nevan lakukan. Walau tidak mau akan Nevan lawan.

Semuanya akan laki-laki itu lakukan sebelum semuanya melewati batas.

👑















Halo! Aku kembali gais🌝🔨

Pa kabar ni? Semoga baik yaw.

Anu loh ... macam biasa ... jangan lupa yaps jejaknya😉🔨

Continue Reading

You'll Also Like

708K 2.7K 66
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!
7.4M 206K 22
It's not everyday that you get asked by a multi-billionaire man to marry his son. One day when Abrielle Caldwell was having the worst day of her life...
The change By yaharv1

General Fiction

22.4K 57 3
The story of how a boy turned into a nappy wearing girl
9.9K 551 6
Life wasn't fair with her starting with the sexual abused she has gone through to be almost forced to marry the man who has committed the sin to fall...