Shy Shy Jwi ✔️

A-GOLDIES-2005

10K 1.8K 302

Park Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong... Еще

01. Seterang Bintang
02. Sekelam Malam
03. Keputusan Takdir
04. Pejuang dan Cobaannya
05. Si Tameng Baru
06. Patah Mimpi
07. Dia Bukan Aku
08. Jisung, Dulu, dan Mimpi
09. Sang Tuan Kesalahan
10. Dia, Kim Hoseung
11. Cara Untuk Bangkit
12. "Si Kebaikan"
13. Hai, Kesedihan
14. Korban Lainnya
15. Kaum Kesengsaraan
16. Luka Tak Terkisah
17. Langkah Pertanggungjawaban
18. Awal Dan Akhir
19. Jendela Kerapuhan
20. Jisung; Misteri
21. Semanis Madu
22. Jelmaan Seorang Korban
23. Monster Deonghwa
24. Monster dalam Mimpi
25. Peringkusan Pukul 4 Pagi
26. Dari Seorang Kakak
27. Secuil Arti Teman
28. Perumpamaan Dari Chenle
29. Chae Eun; Muara Pertikaian
30. Chenle; White Lies
31. Human Can't Be Perfect
32. Kata Kim Doyoung
34. Broken Childhood II
35. Dia Berevolusi
36. Buah Pengkhianatan
37. Terlanjur Hancur
38. Let The World Feel
39. Tumbuh Di Atas Luka
40. Kisah Anyar

33. Broken Childhood I

126 24 1
A-GOLDIES-2005

Namanya waktu. Sesuatu yang menjadi satu-satunya alasan mengapa dunia kejam ini bisa berjalan. Menggores banyak kenangan. Menorehkan banyak rentetan cerita. Bergulir, dari tiap detiknya, ke menit, ke jam, ke hari, ke bulan, lalu ke tahun. Sesuatu yang selalu ada mendampingi tapi kamu tidak terlalu menyadari. Sesuatu yang amat dibutuhkan. Sesuatu yang amat disesali bila manusia mengabaikannya. Garis besarnya adalah sesuatu yang mustahil dikembalikan kehadirannya bila sudah terlepas.

Waktu membawa banyak kisah. Tidak usah muluk-muluk, masa muda misalnya. Sebuah saat yang mana amat dinanti-nantikan anak-anak dan sebuah saat yang paling dirindukan mereka orang-orang yang mulai senja.

Katanya, masa muda itu bagian paling terbaik dari sebuah rangkuman cerita hidup. Kamu bisa mengerti tentang bagaimana dunia sesungguhnya. Tidak usah khawatir, masa muda itu saat yang tepat bila kamu merindu dengan yang namanya kebahagiaan. Identik dengan kebebasan yang membawa segala beban hidup seakan melenyap walau dalam satu kedipan mata.

Seandainya ada seseorang, menghampirimu, membawakanmu sebuah pertanyaan, "ada yang lebih baik dari masa muda?"

Ada. Untuk sebagian orang, mereka dilanda kenestapaan kala tak bisa merasakannya. Saat bocah-bocah menggemaskan dengan pipinya yang menyerupai mochi tengah saling berebut robot atau ketika salah satu di antaranya jatuh sementara yang lain sibuk menderaikan tawanya.

Masa kanak-kanak. Beberapa orang kehilangan masa itu. Beberapa orang terhantuk akan kenyataan berat karena tak sempat merasakannya. Beberapa orang yang direnggut oleh kejamnya waktu tidak bisa merengek, meminta dirinya menyusut untuk kembali ke masa lalunya.

Dan Park Jisung salah satunya.

ꗃꠂꠥ

15 November 2011

Kotak kardus menjadi satu-satunya objek yang paling mendominasi. Di sana, di tengah-tengah ruangan, kotaknya dijejer asal-asalan. Kemudian, bagai kuncup bunga yang mekar membawa sejuta kebahagiaan, sosok mungil muncul dari tumpukan kardusnya. Dia berdiri. Tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi si jagoan kesayangannya; Iron Man. Mulutnya mengerucut. Mengudarakan bebunyian semacam terpaan angin.

"Wuussss." Tubuh mungilnya meliuk-liuk. Menukik ke atas. Pura-pura berkelit ke samping ketika musuhnya mengejar dari belakang. Berusaha menggapai-gapainya untuk dilumpuhkan.

"Tunggu aku Iron Man! Kamu pasti kalah! Rawrr!"

Jisung—yang kini berguling-guling laksana trenggiling—tak terlalu menyadari ancaman sang musuh. Berjarak satu jengkal, kawannya menerjang. Tapi Jisung lebih dulu bangkit. Jadi si bocah berambut batok—Lee Sol—tersungkur. Mengeluh pelan sebab keningnya mendarat kasar.

"Aww, sakit." Dia terduduk. Membiarkan sang Hulk di genggaman tangan kirinya dibiarkan nelangsa. Kepalanya menunduk. Tangan kanannya terangkat meraba-raba keningnya sendiri. Barangkali ada sesuatu yang paling ia benci—warna merah pekat dan baunya amis menjijikkan—keluar dari sana.

Jisung dengan hati mulianya segera menghambur. Dia jongkok, berusaha memerankan seorang dokter dadakan untuk pasiennya. "Kepalamu kenapa? Sakit banget? A-aku minta maaf."

Kehilangan ketenangannya, Sol menyendu. Dia mulai terisak. "Huhu, sakit banget. Kepalaku bocor kayaknya. Huhuhuhu."

Kalimat itu bagai serangan anak panah yang terus menghujam. Menghabisi semua kewarasan Jisung yang masih tersisa. "K-kalau gitu aku tambal, ya? Eu-eum, pakai kain! Iya kain! Tunggu sebentar, Sol." Tubuh mungilnya bangkit. Masih setia menggenggam Iron Man-nya, dia melesat masuk ke dalam rumah.

Tapi Sol agaknya punya strategi mengelabui yang cukup bagus. Ketika Jisung terbirit masuk ke dalam, dia mengejar. Bagai Cheetah yang sukar kehilangan mangsanya, dia menerkam. Hulk-nya membalas. Menghajar Iron Man habis-habisan. Jisung terkejut-kejut saat jagoannya terdampar bersama bunyi debum kecilnya.

Dia berbalik.

Dor! Sosok Lee Sol yang mulanya tersedu-sedu meratapi keningnya, kini berdiri sekokoh gedung pencakar langit. Bersama Hulk-nya yang dilayangkan tinggi-tinggi. Dia terbahak. Puas mengelabui Jisung.

"Hahaha! Kamu kalah Park Jisung! Iron Man-mu udah mati! Hulk yang menang! Yeay!" Sol meraung-raung. Dia kelewat senang. Sebagai perayaan kemenangan, kaki-kaki mungilnya melangkah. Berlari mengitari ruangan bersama segudang rasa bangganya untuk sang Hulk.

Jisung di tempatnya tak lebih dari seorang bocah kecil mengenaskan yang diterpa penyesalan. "Kamu curang." Tak mau mengakui kemenangan musuhnya, dia mencari alibi. "Mana boleh kayak gitu? Pertarungannya nggak adil." Lantas bersikeras.

"Kamu juga curang udah buat keningku sakit." Sol balik menyerang. Menuding-nuding keningnya bersama tangan kiri yang berkacak pinggang laksana seorang ibunda tengah menghakimi anaknya.

"Itu kan kecelakaan!" Nada bicaranya meninggi. Jisung keras kepala. Sulit menyerahkan kemenangan semudah itu untuk lawannya. Lihat betapa mengenaskannya Iron Man itu terkapar. Lewat matanya, Jisung seakan tengah menyaksikan tangis pilu dari jagoannya. "Pokoknya aku mau diulang lagi."

Tak mau memberikan kesempatan kedua, Sol menggeleng tegas. "Nggak! Nggak ada kesempatan."

"Ada! Kamu curang barusan! Jadi, yang paling adil kita tanding ulang." Pupil itu membulat. Jisung melotot. Berusaha mengintimidasi kawan merangkap musuh bila menyangkut pertarungan.

"Nggak ada!"

"Ada!"

"Nggak!"

"Ada!"

"Nggak ada, Jisung! Aku bilang nggak ya nggak!"

Jisung melangkah. Satu jengkal kaki, dia mendekat. Tiba-tiba, benaknya menuntun pada jalan keluar yang lain. Yang lebih berbahaya, yang lebih menjurus pada keributan parah. Bila Iron Man kesayangannya kalah, maka si Hulk jelek ini juga harus kalah.

Tangan kanannya baru melayang di udara. Siap merampas tokoh andalan Sol di genggamannya. Tapi sesuatu lebih dulu mencegah. Menjeda segala kericuhan yang mungkin kian diperparah.

Kim Doyoung dalam versi 15 tahun menyeruak masuk. Dia sibuk meraup oksigen banyak-banyak. Membiarkan bocah kecil itu menatapnya dengan mata yang berkedip-kedip lucu.

"Hyung, kalau bertamu ke rumah orang itu lebih baik diawali pakai ketuk pintu." Jisung menegur. Mengingatkan yang lebih tua tentang sepenggal nasihat yang pernah dituturkan sang ibu padanya.

Tapi Doyoung tak tergiur meladeni atau bahkan sekedar mengucap kata maaf. Ketika nafasnya mulai teratur seperti yang seharusnya, dia melangkah. Menghampiri Sol lantas menyergap kedua pundaknya.

"Sol, kamu bisa pulang dulu?"

Yang ditanya mengerjap. Kepalanya menoleh, menilik gurat wajah Jisung saat itu. "Tapi aku belum selesai berantem sama Jisung."

Normalnya, Doyoung pasti tergelak. Sibuk menderaikan tawanya sebab rentetan kata yang menggelitik perutnya. "Berantemnya nanti lagi, kan bisa disambung. Kamu barusan dicari Mama, katanya kamu habis dibeliin es krim. Cepet pulang, nanti keburu meleleh."

Dalam satu detik, mata itu disulap penuh dengan binar terang. Kecintaannya pada es krim mengalahkan hasratnya untuk terus melanjutkan sekelumit pertengkaran tentang Iron Man melawan Hulk miliknya. Tak sempat meluncurkan basa-basi untuk pamit, Sol lebih dulu memecut langkahnya. Meninggalkan Jisung bersama si kakak sepupu.

"Hyung, aku juga mau es krim."

Tipikal anak-anak yang sulit mengatasi rasa cemburunya, Jisung menunduk. Sebentang senyum tipis yang tak disadari Jisung keberadaannya, terbit untuk sekejap. "Kamu mau juga?"

Lantas, kepala itu mendongak. Senyum lebarnya mengembang. Melupakan pasal Iron Man-nya yang masih tercampak tak berdaya. "Mau!" Jisung berseru. Dilahap oleh semangatnya yang agaknya sulit padam kecuali disuguhi es krim manis kesukaannya.

"Kalau gitu, ayo ikut." Doyoung menggaet tangan Jisung. "Tapi janji sama Hyung, jangan nangis nanti ya." Kalimatnya melambat bersama dengan nada bicaranya yang melirih.

"Kenapa nangis? Kalau ada es krim, aku pasti ketawa."

Harusnya begitu. Harusnya yang hadir cuma seulas senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. Yang lebih manis ketimbang es krim di genggamannya. Yang lebih candu ketimbang es krimnya. Yang lebih menghangatkan hati, bukannya mendinginkan.

Jisung versi 8 tahun tak ada bedanya dengan yang sekarang. Dia masih banyak menyimpan penasarannya yang seringkali timbul, memaksanya untuk mencari tahu.

Saat Doyoung melintasi jalan yang mengantarkannya pada kedai es krim favorit Jisung, dia mulai dikuasai oleh tanda tanya. Ketika Doyoung menuntunnya masuk pada bangunan tinggi yang paling dibenci anak-anak, Jisung mulai ketakutan. Dia mencicit sembari mulai menyembunyikan diri di balik punggung si kakak sepupu.

"Sejak kapan rumah sakit jual es krim, Hyung?" Kalimatnya lirih. Nyaris kalah akan bisingnya deru kendaraan di belakangnya. Doyoung bungkam. Semakin menyiksanya dengan praduga buruk yang ia tak suka kehadirannya. "H-Hyung nggak bakal minta aku buat disuntik dokter kan? Nggak mau! Aku nggak mau minum obat! Aku sehat, aku nggak perlu diperiksa." Dia mulai meronta. Menolak masuk ke dalam tempat yang paling dibenci.

Doyoung menoleh. "Nggak, Jisung. Nggak akan. Kamu kan anak kuat, jadi nggak bakal diperiksa dokter. Kita cuma mau liat keadaan seseorang."

Pelan-pelan rasa takutnya melenyap walau masih menyisakan jejak. Doyoung membimbingnya. Masuk ke dalam sana. Melintasi banyak ruangan yang selalu penuh dengan bebauan obatnya. Menyengat, Jisung tidak suka. Jadi dia menjepit hidungnya dengan tangan kanan.

Mereka berbelok. Menjumpai seorang wanita paruh baya yang terduduk sembari menopang kepala. Itu Yeo Minwol, ibunda Kim Doyoung yang hobinya marah-marah—kata Jisung.

"Jisung." Kepalanya mendongak. Sungai-sungai kecil karya air matanya membekas. Mengalir melintasi pipinya yang mulai dipenuhi kerutan. "Duduk." Dia menuntun. Menepuk kursi kosong di sebelahnya untuk ditempati.

Tak banyak pertanyaan, Jisung menyanggupi. Dia menghempaskan diri. Di samping Minwol, dia membiarkan lautan tanda tanya nyaris menenggelamkannya. Kemana es krimnya? Kenapa aku di sini? Kenapa harus ada yang nangis?

"Seharusnya Jisung masuk ke sana." Minwol mulai berceloteh dengan suaranya yang selirih gesekan angin. Telunjuknya diangkat, mengarah pada sebuah ruang yang senyap tak berpenghuni. "Ke dalem sana. Tapi kamu masih kecil, masih 8 tahun. Itu kenapa nggak boleh masuk."

Sebentar, Jisung melongok ke sana. Dia menelisik. Auranya gelap, suram dan penuh dengan kabut mengerikan. Kepalanya menggeleng pelan. "Lagipula aku nggak mau masuk ke sana."

"Jisung, denger." Menyita atensi si bocah cilik, Minwol menyergap lengan mungil milik Jisung. Mata itu mengerjap. Penuh dengan kepolosan yang membawa ketidak-tegaan terus menggempurnya habis-habisan. Tapi mirisnya, ini harus sampai padanya. Pada sang anak semata wayangnya. "Tadi waktu mau pulang, Mama bilang, jangan nakal ya jadi anak. Harus jadi anak yang suka ngalah dan selalu nurut sama orang tua."

5 detik, Jisung bungkam. Dia menangkap adanya sebuah titik janggal yang mulai mengusik ketenangannya. "Kenapa Mama nggak bilang langsung ke aku?"

"Itu karena dia nggak sempet."

Lagi, mata itu mengedip. "Nanti kalau pulang, Mama atau Papa bisa sendiri bilang ke aku. Mereka sekarang kan lagi pergi, nanti pasti pulang. Kenapa nggak langsung bilang ke aku?" Kepalanya menoleh. Menatap Doyoung yang masih membiarkan mulutnya dikunci.

Pelan, wanita paruh baya satu-satunya menggeleng. "Nggak, Jisung." Dengan dua kata singkat itu, Jisung menegang. "Mama sama Papa pergi. Kamu tahu kan setiap orang pasti bakal pergi? Nggak pulang. Dan itu udah waktunya buat Mama sama Papa."

Nggak pulang.

Jisung amat sangat tersiksa hanya lewat serangan kata itu. Dia nyaris meluruh. Enggan mempercayai kejutan takdir yang kelewat tiba-tiba. Lebih keras kepala dari pertengkarannya melawan Sol, Jisung menggeleng. "Mama bilang cuma mau pergi ke toko swalayan sama Papa buat belanja kok! Dia pasti pulang! Dia juga janji bawain marshmellow yang banyak buat aku."

"Itu rencananya, Jisung." Minwol berusaha memberi pengertian.

Tergiur untuk ikut campur, Doyoung membungkuk. "Mama sama Papa pergi bukan karena dia nggak sayang sama Jisung. Mereka malah sayaaang banget. Nggak mau kamu sendirian. Kamu pasti juga sayang mereka kan?" Bersama air mata pertamanya, Jisung mengangguk. "Tapi, coba tebak. Ada yang lebih sayang Mama Papa daripada kamu. Mereka pergi karena lebih disayang Tuhan daripada manusia lainnya. Mereka mau dikasih surga lebih dulu daripada orang lainnya. Mereka mau dikasih kebahagiaan dulu. Mereka orang baik, makanya dikasih imbalan paling awal daripada kita. Kamu tau kan?"

Gagal melaksanakan janjinya untuk tidak menangis, Jisung tersedu. Kepalanya menunduk, tak sanggup untuk menatap dunia yang kini beralih kejam memperlakukannya. Tangisnya pilu tak tertahan. Menggema memenuhi lorong penuh kesenduan. Bahunya bergetar. Dia amat sangat terguncang. Ini berita buruk yang tak pernah ia duga secepat ini datangnya.

"M-MAMA!"

Bocah mengenaskan itu bangkit. Dia berlari. Mengacuhkan larangan masuk untuk anak-anak di bawah 12 tahun. Ruang yang mulanya tak pernah ia sukai, yang ia bilang tak pernah mau ia kunjungi, malah menjadi ruang yang amat sangat menyiksa. Melilitnya dengan tali keputusasaan. Semakin erat, semakin erat sampai dia nyaris lupa bagaimana cara bernafas yang baik.

Tangannya menempel. Di sana, pada kaca gelap yang menampilkan Mama Papanya tertidur lelap tanpa mau membuka kelopak matanya. "Mama! Aku masih mau sama Mama! Mama harus bangun! Mama nggak boleh males-malesan! Mama nggak boleh tidur terus!" Teriakannya meraung-raung. Berharap butir-butir keajaiban muncul membawa kembali sang Mama yang mulai membiru.

"Mereka kecelakaan. Mobilnya rusak parah dan nggak bisa diselametin." Doyoung membimbing. Berusaha menarik si bocah untuk menjauh dari kawasan yang tak seharusnya ia datangi.

"Papa! Papa ayo marahin Mama! Kalian harus buka mata! Aku di sini! Kalian harus bangun!" Tangannya mengepal. Memukul-mukul kacanya. Berharap ia punya kekuatan sehebat Iron Man untuk meruntuhkan kacanya yang setebal sendu. "BANGUN! BANGUN! BANGUN MAMA! PAPA! AYO BANGUN!" Pukulannya membabi-buta. Kakinya berjinjit. Sesekali tubuh mungilnya berusaha menghancurkan lawangnya. Merindukan pelukan hangat sang Mama. Merindukan gendong tinggi dari sang Ayah.

"Jisung, tenang. Katanya nggak mau nangis. Anak hebat, jangan nangis." Memerankan seorang kakak yang baik, yang tidak segan menampung air mata adiknya, Doyoung mendekap. Menggantikan peluk hangat milik sang Mama di dalam sana.

"Hyung, aku nggak mau sendirian. Nggak mau. Nggak mau. Nggak mau." Kepalanya menggeleng heboh.

"Kamu nggak sendirian. Ada Hyung. Tinggal sama aku lebih seru. Nanti kita main perang-perangan setiap hari, ya?" Kalimat penenang itu meluncur. Berusaha menghancurkan sangkar kesedihan milik yang lebih muda. Tapi gagal, dinding itu malah menebal. Jisung kian lupa bagaimana cara menyetop air matanya.

Orang bilang, kehilangan adalah momen tersulit dari sebuah kisah hidup. Dan ini yang pertama kalinya. Jisung dibebani kehilangan yang sangat besar. Melepas orang tuanya. Bukan cuma kehilangan sosoknya, tapi kasih sayangnya, bagaimana lembutnya ia menuntunnya pada kebajikan.

Jisung kehilangan itu. Dunianya runtuh. Bagai lego yang sukar dibangun kembali.

ꗃꠂꠥ

Bagi Park Jisung, eksistensi Kim Doyoung hampir menyamai sang tuan matahari di atas sana. Dia bersinar, tak tergantikan dan selalu dibutuhkan. Satu kali waktu itu, saat Doyoung mengantarkannya pada gerbang sekolah, bersiap melambai pergi, Jisung mencegah. Dia menyempatkan untuk menghadiahi si kakak sepupu dengan untaian kalimat indahnya. Katanya, makasih banyak udah mau selalu sama aku, Hyung.

Kalau Jisung diminta mendongengkan Kim Doyoung, dia akan dengan lapang dadanya mengungkapkan bahwa Doyoung anak yang baik. Hatinya lembut, senang menemaninya bermain robot-robotan dan tetap menyunggingkan senyum walau Jisung sulit memahami soal matematika yang diajari.

Yang seperti Kim Doyoung di dunia ini, hanya ada 1. Dan Jisung kelewat bersyukurnya ketika Tuhan mengirimnya meski orang tuanya direnggut sebelum dia mengutarakan kesanggupannya ditinggalkan.

Pagi hari, ketika matahari mulai menyembul pelan-pelan, menampakkan sinarnya yang memikat, Doyoung ada di dapur. Dia akan menyapa dengan senyumnya yang cerahnya mengalahkan matahari. Kemudian menanyai bagaimana tidurnya semalam. Berakhir dengan segelas susu yang ia hadiahi setiap pagi untuk bocah cilik menggemaskannya.

Siangnya, Doyoung akan datang ke sekolah Jisung. Kedua tangannya merentang lebar-lebar. Jisung menghambur, menyambut dekapannya. Berbagi banyak kisah, menderaikan tawa.

Gampangnya, Kim Doyoung itu obat rindu yang Jisung dapat sebagai salah satu bentuk kebaikan dunia padanya.

Jisung kecil waktu itu, belum tahu tentang kebahagiaan yang temponya sementara. Akan ada masanya dimana dia kehilangan Kim Doyoung dan sejuta kebaikannya. Dan sekali lagi, merasa kehilangan itu laksana menusuk dadanya sendiri dengan samurai tajam yang berhasil mengoyak semuanya.

Ketika matahari mulai pamit undur diri. Mengawali kepergiannya dengan lembayung senjanya, Jisung disambar badai dahsyat. Kaki mungilnya berpaku di depan pintunya yang tertutup sempurna. Tangan kanannya baru melayang ke udara, siap memutar kenop pintunya. Tapi tubuhnya terjengit kaget bersama kelopak matanya yang sontak terpejam saat suara seseorang lantang menggema.

"Jangan terlalu sering ngurusin dia, Doyoung!"

Suaranya bagai sirine ambulan. Darurat, ada situasi darurat di dalam sana. Jadi, Jisung membeku di tempatnya.

"Kalau kamu terus ngurusin dia, nganterin dia ke sekolah, jemput dia, main sama dia terus, gimana bisa kamu jadi anak pinter kalau jarang belajar?!"

Kalimat itu menerjang tiba-tiba. Tahu persis kemana dan siapa orang yang ditujukan atas rentetan kata itu. Tapi Jisung masih belum sepenuhnya meyakini asumsinya sendiri. Nggak, nggak mungkin. Itu pasti bukan buat aku. Bukan. Iya, pasti bukan. Bukan kan?

"Dia butuh itu, Ma. Kalau aku nggak nemenin dia, dia mau sama siapa? Nggak baik kalau anak kecil kayak dia udah kesepian."

"Dia udah besar, Doyoung! Jisung bukan anak 3 tahun yang nggak tahu jalan pulang! Dia udah bisa ngurus dirinya sendiri. Dia punya temen, itu cukup buat bikin dia nggak kesepian. Kalau kamu terus ngurusin dia, masa depanmu mau gimana?!"

Ah, benar rupanya.

Jisung luluh lantak. Badainya semakin membabi-buta. Menghancurkan semuanya. Satu-satunya orang yang menjadi alasan hidupnya masih berlanjut, di ambang kesulitannya. Kesulitan dalam bentuk manusia. Bocah cilik ini, yang hobinya cuma bisa tertawa, bermain dan enggan belajar. Bocah cilik ini, yang kini tengah menunduk menyita semua air matanya untuk tetap pada rumahnya dan jangan tumpah.

"Belakangan ini nilaimu turun terus!"

"Aku janji bakal perbaiki nilainya, Ma. Nggak perlu nyalahin Jisung. Dia cuma anak kecil malang yang ditinggal orang tuanya dan butuh pendamping. Masa depanku nggak bakal hancur cuma karena nemenin dia."

Jisung amat membenci suara ini. Ketika bentakan itu mengalahkan deru sirine yang meraung-raung, tubuhnya berbalik. Kakinya melangkah. Mulai menjauh dari sang mentarinya yang tengah berusaha memperjuangkan eksistensinya untuk tetap pada sisinya. Tangannya mengepal. Menggenggam sebuah harap yang kian meredup.

Benaknya yang kusut semakin dililit erat oleh sebuah kata sepele yang sayangnya berdampak besar untuk kelanjutan hidupnya.

Kemana?

Kemana dia melabuhkan semua lukanya? Kemana dia bisa membuang sendu yang selalu rajin mengisi torehan hidupnya? Kemana dia bisa mengadu? Kemana dia bisa menemukan seseorang semacam Kim Doyoung?

Mama, aku sendirian.

Ini mengenaskan. Dibuang. Jisung mengerti betapa mengerikannya arti kata tersebut. Dibuang berarti kamu tidak lagi diinginkan. Kamu tidak bermanfaat. Kamu tidak membantu apapun. Kamu semacam parasit. Dan kemungkinan terburuknya, kamu dibenci.

Jisung benci dibenci.

Lembayungnya mulai pamit. Ini waktunya untuk memamerkan seberapa menawannya bintang-bintang yang menyebar bagai titik berlian penuh kemilau di atas hamparan langit kelamnya. Bahkan Tuhan menciptakan para bintangnya untuk terus berdampingan bersama kawan-kawannya.

Kenapa Jisung tidak? Kenapa tidak dengannya?

Tungkai kakinya mulai melemas. Energinya lenyap dilahap sendunya sendiri. Jadi, bocah mengenaskan itu terduduk di pinggir jalan. Bagai seonggok sampah yang tidak lagi diinginkan.

Tangannya dilipat. Ditaruh di atas lutut kemudian kepalanya disembunyikan di sela-selanya.

Doyoung pernah bilang, anak hebat jangan nangis. Jisung tak bisa menyanggupinya. Pelupuk matanya penuh oleh genangan air mata pilunya. Dia terisak kecil. Berusaha meredam kenestapaannya lewat lipatan tangannya sendiri. Sungai-sungai kecilnya mulai terbentuk. Dialiri deras oleh air matanya. Turun, turun, dan terus turun sampai akhirnya menetes dari dagunya. Menghantam tanah pijakannya.

Papa, aku kangen Mama. Mama, aku kangen Papa.

Jisung hampir tak punya alasan untuk menghentikan tangisnya. Tapi tahu-tahu, derap langkah seseorang mengisi rungunya yang penuh kesunyian. Ada segumpal harap yang mulai terbit lagi. Letaknya dalam. Di pangkal hatinya, yang paling dasar, Jisung mengucap pinta konyolnya.

Semoga itu Mama. Semoga itu Papa yang bakal bilang mereka rindu sama aku.

"Hei."

Bukan. Bukan suara Mamanya. Bukan suara Papanya. Bukan pula suara Kim Doyoung. Itu suara baru, asing yang seketika membuat Jisung was-was karenanya.

Dia mendongak. Menjumpai seseorang menjulang di hadapannya. Dia laki-laki. Matanya nyaris menghilang saking sipitnya. Rambutnya hitam mengkilap. Terlalu panjang sampai ujung poninya menghalang pandangannya sendiri. Bersama sebuah mobil kecil warna metalik di genggaman tangan kanannya, dia menyapa.

"Kamu sendirian?"

Jisung tidak serta-merta menjawab. Sebab nasihat lain dari Mamanya mengatakan, jangan ngomong sama orang yang nggak dikenal.

"Kamu nangis? Kenapa?" Kepalanya melongok ke bawah. Menelisik bocah lain yang usianya lebih muda darinya. "Kamu nyasar? Kasihan. Coba bilang kamu darimana, atau dimana alamat rumahmu, aku mungkin bisa anterin kamu pulang."

Sebentar, sekitar 10 detik, Jisung mengamati. Anak di depannya nampak baik. Orang jahat dalam gambaran benaknya adalah mereka-mereka yang mana awaknya kekar mengerikan. Telinganya ditindik, jemarinya mengapit rokok yang tak pernah padam dan setelan bajunya yang serba gelap.

Tapi anak ini tidak. Jadi, dia bukan orang jahat kan?

Jisung menggeleng pelan, kelewat lemah. "Nggak tahu."

Anak di depannya lantas bungkam. Mengunci mulutnya. Dia cukup pintar untuk menganalisa. Jisung bukan tengah mengajukan jawabannya perihal alamatnya yang dia akui tidak tahu dimana persis letaknya. Jawabannya mengarah pada sesuatu yang lain. Yang mana sempat menggetarkan hatinya untuk sesaat.

Sekelibat memori yang menyakitinya, berniat mencakar-cakarnya. Berniat menjerumuskannya pada laut kesenduan untuk terus menenggelamkannya. Mengikis semangat hidupnya lalu dia menyerah.

"Aku juga nggak punya rumah." Katanya sembari melirik mobil kesayangannya yang masih nyaman ia genggam. "Seandainya mobil-mobilan ini bisa ditinggalin, aku bakal tinggal di sini aja." Kemudian kekehan gelinya dilontarkan.

Jisung mengerjap. "Kalau mau pulang? Hyung pulang kemana?"

"Tapi sekarang udah punya rumah. Rame, sama temen-temen. Banyak mainan."

Jisung menunduk. Meratapi tangannya yang kosong tanpa apapun. Tangan yang biasanya menggenggam banyak macam mainan. Tangan yang biasanya melayangkan Iron Man kebanggaannya sampai langit ketujuh, kini hampa tanpa apapun.

"Banyak mainan?" Dia menggumam sendu.

"Iya. Banyak." Anak itu menegaskan dengan sekelumit senyumnya. "Kamu mau mampir sebentar? Main sama kita, kenalan sama kita biar temenmu makin banyak. Nanti kalau kamu pulang, aku bakal anterin. Gimana?"

Jisung mendongak. Binar matanya dicampur antara ketertarikan dan was-was yang hadir kembali. Pupilnya yang setengah membulat membuat anak di depannya menggeleng cepat.

"Tenang aja. Aku anak baik kok. Aku nggak bakal culik kamu." Tangan kanannya diulurkan selepas mobil metalik kesayangannya dipindah ke tangan kiri. "Aku Lee Jeno. 10 tahun." Senyum lebarnya yang menggemaskan diulas. Menenggelamkan matanya yang melengkung indah.

Menyambut uluran tangannya, Jisung balas memperkenalkan diri. "Park Jisung, aku baru 8 tahun."

Masih setia dengan lengkungan matanya yang memikat, Jeno mengulang tawarannya. "Jadi, gimana Jisung?"

ꗃꠂꠥ

Продолжить чтение

Вам также понравится

4.9K 804 20
Kecelakaan itu benar-benar tak terduga. Kecelakaan itu merenggut satu nyawa. Seseorang yang seharusnya berada di dunia, hidup bahagia dengan keluarga...
The 13 Club peterchan

Детектив / Триллер

607 88 7
Berawal dari perjalanan menuju pos 3 hingga munculnya peristiwa dan teror yang mengancam nyawa.
1M 84.4K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
Yo Dream | Nct Dream✔(Pre-order) ikey🐻

Подростковая литература

190K 19.4K 49
Mempersembahkan sebuah cerita dari 7 pemuda pemilik mimpi yang berbeda-beda namun satu tujuan. 'Punya uang banyak, hidup sejahtera, membahagiakan ke...