'š’š†š†' š€š¦š›š¢š­š¢šØš®š¬ ļæ½...

Oleh Taratataaa__

19.5K 2.4K 117

Kelas istimewa-kelas yang hanya akan dihuni oleh anak-anak peringkat paralel. Peringkat satu sampai dengan li... Lebih Banyak

Prelude
Optis
ā€¢1ā€¢ Apofisis
ā€¢2ā€¢ Bakteri Aerob
ā€¢3ā€¢ Coulomb
ā€¢4ā€¢ Dinasti
ā€¢5ā€¢ Empiris
ā€¢6ā€¢ Fosfat
ā€¢7ā€¢ Gastrodermis
ā€¢8ā€¢ Hafnium
ā€¢9ā€¢ Inersia
ā€¢10ā€¢ Jarak
ā€¢11ā€¢ Kingdom
ā€¢12ā€¢ Lesbianisme
ā€¢14ā€¢ Neuron
ā€¢15ā€¢ Oogenesis
ā€¢16ā€¢ Proton
ā€¢17ā€¢ Quasar
ā€¢18ā€¢ Ragam Beku (Frozen)
ā€¢19ā€¢ Silikon
ā€¢20ā€¢ Titanium
ā€¢21ā€¢ Uterus
ā€¢22ā€¢ Vassal
ā€¢23ā€¢ W-Virginis
ā€¢24ā€¢ Xilem
ā€¢25ā€¢ Yupa
ā€¢26ā€¢ Zeolit
ā€¢27ā€¢ Zigospora
ā€¢28ā€¢ Yerkes
ā€¢29ā€¢ Xenon
ā€¢30ā€¢ Waisya
ā€¢31ā€¢ Volcano
ā€¢32ā€¢ Uranium
ā€¢33ā€¢ Tabulasi
ā€¢34ā€¢ Saham
ā€¢35ā€¢ Radula
ā€¢36ā€¢ Quarry
ā€¢37ā€¢ Petrokimia
ā€¢38ā€¢ Oksidator
ā€¢39ā€¢ Niobium
ā€¢40ā€¢ Musci
ā€¢41ā€¢ Labelling
ā€¢42ā€¢ Katabatic
ā€¢43ā€¢ Joule
ā€¢44ā€¢ Iridium
ā€¢45ā€¢ Heuristik
ā€¢46ā€¢ Germanium
ā€¢47ā€¢ Flagela
ā€¢48ā€¢ Ekspansi
ā€¢49ā€¢ Deklinasi
ā€¢50ā€¢ Candu
ā€¢51ā€¢ Bromin
ā€¢52ā€¢ Ampere
Nawoord
Extra Caput 1
Ekstra Caput 2

ā€¢13ā€¢ Massa Jenis

317 34 1
Oleh Taratataaa__

Hanya ada Tuhan. Manusia adalah ilusi optik.

👑

Massa jenis adalah satuan untuk perbandingan antara massa benda dengan volume.

👑

Markas Afectio berada. Wirdzone yang akan datang menemui, itu atas permintaan Zaidan—ketua Wirdzone.

Alvarez berhadapan dengan Zaidan langsung di barisan terdepan. Keduanya saling menatap tajam.

Alegra dan Arvin juga saling berhadapan. Posisi mereka sedikit ke belakang dari ketuanya. Sama, tatapan mereka tajam, tidak ada yang namanya tatapan teduh saat ini. Begitupun dari para anggota.

Markas Afectio ini adalah markas milik Loridz angkatan sembilan. Alvarez meminjamnya dari Alex.

"Mau lo apa sebenarnya?" tanya Alvarez. Rahangnya menegas.

Zaidan tersenyum smirk. Sepertinya saat ini akan sangat mudah untuk memancing emosi Alvarez. Begitulah kira-kira apa yang tengah Zaidan pikirkan.

"Lo nanya maunya gue atau maunya Wirdzone?" Zaidan bertanya kembali.

"Keduanya."

"Oke. Kalau gue maunya itu Aira. Aira pindah sekolah ke SMA gue. Mudah, 'kan? Tapi kalau Wirdzone ... Wirdzone maunya Loridz bubar!" papar Zaidan dengan nada menyentak.

"Halu!" cibir Alva.

Seluruh anggota Loridz tertawa. Benar, halusinasi. Jangankan Zaidan yang berbeda sekolah dengan Aira, banyak para lelaki yang satu sekolah saja kesulitan mendapatkan Aira.

Tapi, ada satu laki-laki yang mungkin bisa mendapatkan gadis itu.

"Galang mana?" tanya Avi kepada Edwin.

"Kabur!" sahut Haiden—anggota inti Wirdzone.

"Galang kabur gara-gara kalian. Kalian tau? Bukan Galang pelakunya! Bukan dia yang udah ngelakuin tindak bullying ke Vika!" bentak Arvin.

Avri lebih dulu maju. Dia menendang perut Haiden cukup keras hingga laki-laki itu meringis kesakitan.

"Apa buktinya?" tanya Malvin.

"Sekarang kita emang gak punya bukti. Tapi ... setelah kita punya bukti, lo ...." Zaidan menunjuk Alvarez tepat ke wajahnya. "... lo harus mengakui kekalahan geng lo ini dan bubarin Loridz!"

Alvarez maju selangkah. Dia memutar sebelah tangan Zaidan hingga lelaki itu mengerang keras.

"Loridz nggak akan pernah bubar asal lo tau," bisik Alvarez tepat di telinga Zaidan.

Melihat Zaidan kesakitan membuat anggotanya naik pitam dan menyerang Loridz. Tapi Loridz tidak tinggal diam. Mereka membalas pukulan demi pukulan yang dilayangkan lawannya.

Freeza menangkis kaki Jayden yang hampir menendang bagian dadanya. Jayden terlihat hampir kehilangan keseimbangannya karena dia hanya berdiri dengan satu kaki.

"Jangan pernah dekati Adel lagi!" peringat Freeza mendorong dan melepaskan kaki Jayden hingga laki-laki itu terjatuh ke lantai.

"Lo nggak berhak larang-larang gue," balas Jayden.

"Elo yang gak berhak buat memiliki Adel. Cuma gue ... cuma gue yang berhak!"

Jayden berdiri lalu memukul wajah Freeza dan membuatnya tersungkur. Dia memanfaatkan kesempatan dan duduk di perut Freeza. Dengan cara ini, ia memukul wajah Freeza sebanyak mungkin dan sekeras mungkin.

Freeza menarik pundak Jayden lalu membalikkan tubuhnya dan sekarang ia yang duduk di atas perut Jayden. Ia membalas perlakuan Jayden tadi, memukulinya lebih banyak dan lebih keras dari yang Jayden berikan.

Denu memukuli lawannya secara membabi-buta. Selain permasalahan Loridz dan Wirdzone, ia juga memiliki masalah pribadi dengan lawannya ini, Jack Megantara.

"Mati lo anjing!" teriak Denu marah.

Dia benar-benar kehabisan kesabarannya. Dari sini ia seperti mendapatkan kesempatan untuk memukuli Jack. Menumpahkan kemarahannya selama ini.

Jack sudah mulai lemah dipukuli oleh Denu. Darah segar sudah keluar dari kedua lubang hidungnya karena tadi Denu sempat memukul tulang hidungnya hingga terdengar bunyi seperti ada yang patah.

"Gue nggak akan mati, Den. Gue gak akan mati sebelum lo mau membuka mata dan hati lo buat nerima gue dan mama." Jack tidak membalas sama sekali pukulan dari Denu yang semakin lama semakin keras saja.

"Nggak usah mimpi, Jack. Semua itu mustahil. Sampai kapanpun gue nggak akan nerima kalian jadi bagian hidup gue. Gak sudi!"

Berbeda dari yang lainnya, Arsen, Rivan, dan David justru saling memukuli padahal mereka itu bersahabat. Mereka sama-sama dari Wirdzone dan sama-sama bersekolah di SMA Renvarica.

Entah apa yang menyebabkan mereka saling memukul seperti itu. Tidak ada yang mengetahuinya karena yang lain juga sibuk melawan.

"Mati lo berdua! Gue benci kalian!" murka Arsen. Dia memukuli dua temannya sekaligus.

"Bunuh gue aja, Sen. Bunuh! Lo bakal puas, 'kan?" sentak Rivan.

"Jelas gue puas! Beban kayak kalian emang harus dimusnahin!"

David tidak tinggal diam, dia membalas pukulan Arsen sekeras-kerasnya dan juga berulang. Dengan melihat wajah Arsen saja seolah mampu membuat emosinya bergejolak.

"Lo boleh pukul gue, tapi jangan pukul Rivan, Sen!" teriak David.

Mereka bertiga memang memiliki sekelumit masalah yang tidak diketahui oleh anggota Wirdzone lainnya, sekalipun itu Zaidan dan Arvin selaku ketua dan wakil ketua gengnya.

Freeza berlari mengejar Jayden yang berlari ke lantai dua dan kembali menaiki tangga ke lantai berikutnya sampai berada di lantai lima.

Mereka kembali saling memukul. Jayden yang saat ini daya tahan tubuhnya sedikit lemah juga wajahnya sudah mulai memucat dengan darah segar yang keluar dari hidungnya.

Jayden memang tidak sesehat yang orang-orang kira, lelaki itu mengidap penyakit hemofilia.

Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah yang diturunkan ibu ke anak laki-laki. Faktor-faktor pembekuan darah di dalam plasma darah dilambangkan dengan angka romawi, contoh: Faktor VIII: Faktor Delapan dan Faktor IX: Faktor Sembilan.

"Sampai kapan pun ... Adel bakalan selalu ada di pihak gue. Lo gak usah berharap lebih, Za. Semuanya udah jelas kalau Adel sukanya sama gue," ucap Jayden meremehkan Freeza.

"Anjing, lo!" Freeza benar-benar murka mendengar ucapan Jayden. Dulu, saat ia mengagumi sosok Aira, menyukainya dalam diam, Jayden juga menyimpan rasa yang sama kepada Aira. Dan sekarang, saat ia ada niatan ingin melindungi adik dari temen seangkatannya itu, Jayden juga memiliki niat yang sama.

Freeza mendorong Jayden ke dinding pembatas. Bisa dibilang inilah ruang terbuka di markas ini. Sekali lagi saja ia mendorong Jayden, bisa jatuh laki-laki itu ke bumi.

Suara derap langkah orang yang berlari mendekati mereka membuat Freeza berbalik ke belakang. Rendra—teman satu gengnya Freeza—ternyata mengikuti mereka berdua ke lantai teratas ini.

Freeza sedikit lengah karena kedatangan Rendra ke sini membuat Jayden memiliki kesempatan. Jayden memukul kepala bagian belakang Freeza menggunakan kepalan tangannya.

Freeza terhuyung ke samping dan jatuh di lantai. Ia menyentuh bagian kepalanya yang barusan dipukul Jayden dan melihat jarinya. Darah ... melihatnya membuat Freeza kembali bangkit.

Belum sempat Freeza membalas apa yang Jayden lakukan, Rendra lebih dulu menahan tangan Freeza yang sudah siap melayang ke wajah Jayden.

Posisinya Rendra tepat membelakangi Jayden, seolah tengah melindungi Jayden yang sudah mulai melemah.

"Enggak fair kalau lo lawan Jayden yang lagi sakit." Seringaian dari bibir Rendra membuat Freeza refleks mendorong Rendra sekuat tenaganya.

"Apa sih yang bikin kalian memisahkan diri dari yang lainnya? Enggak mungkin 'kan kalau cuma karena Alvarez dan Zaidan? Gue yakin ada sesuatu," kata Rendra yakin.

"Gak usah sok tau jadi orang," ketus Freeza memukul rahang Rendra. Ia benci kepada siapapun orang yang sok tau dengan yang terjadi padanya.

"Oh ... atau karena ibu lo yang PSK itu?" tebak Rendra. Ia menutup mulutnya, berpura-pura meminta maaf kalau ia tidak sengaja mengatakan hal itu.

Freeza kembali memukul dengan memberikan dorongan pelan kepada Rendra yang sudah bersandar pada dinding pembatas membuat lelaki remaja itu hampir terjatuh. Menggantung dengan tangan yang memegang kuat dinding pembatas.

"Lo marah? Berarti benar dong apa yang gue bilang?"

Saat keselamatannya berada di ambang batas saja Rendra masih melontarkan perkataan yang membuat Freeza semakin marah.

"Diam atau gue injak tangan lo?" ancam Freeza.

Jika Freeza benar-benar melalukan ancamannya yakni menginjak tangan Rendra yang digunakan bertahan selama terus bertahan di sana agar tidak benar-benar jatuh ke bumi.

Jayden juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah semakin lemas. Rasa pening di kepalanya memperparah keadaannya yang sudah mimisan sejak tadi.

Rendra tertawa keras. Ancaman dari Freeza tak diindahkannya. "Lo pikir gue bakalan takut sama ancaman lo? Kalau gue emang udah takdirnya buat mati ya gue bakalan jatuh ... walaupun kaki lo yang burik itu enggak nginjak tangan gue. Dan sebaliknya, kalau gue belum saatnya mati, gimana pun caranya, gue bakalan selamat ... walaupun Jayden—orang yang sering gue tolongin—enggak mau balas nolongin gue. Masih ada cara lain."

Dari sini masih terdengar keributan dari lantai bawah di mana orang-orang masih saling memukul tanpa tahu apa yang sedang terjadi di atas sini.

"Dasar anak jadah," gumam Rendra mencibir.

"Bangsat!" Tidak, Freeza tidak menginjak tangan Rendra, melainkan memukul wajah Rendra.

Laki-laki bernama Rendra Dewangga itu melepaskan tangannya yang berpegangan di dinding pembatas. Tubuhnya perlahan jatuh ke bawah dan terkapar tak sadarkan diri di bawah sana.

Seketika yang tadi bertengkar di dalam markas pergi ke luar saat mendengar ada suara jatuh.

Jantung para anggota Wirdzone berdetak tak karuan saat melihat siapa yang jatuh.

"Ren!" Zaidan berlari mendekati Rendra. Menepuk-nepuk pipi sahabatnya guna menyadarkannya.

Arvin ikut mendekat. Sebelumnya ia mendongak ke atas dan mendapati Freeza yang melihat kejadian di bawah sana.

Freeza menatap Jayden yang sudah tak sadarkan diri. Dia mengacak rambutnya frustrasi. Apa dirinya kelewatan?

👑

"Aina," panggil Jeva.

Aina menghela napas pelan. Ini panggilan yang ketiga kalinya dari Jeva. Ia bosan sendiri mendengarnya. Ujung-ujungnya laki-laki itu tidak memiliki alasan apapun.

"Ai ...."

"Diam, Jeva!" sentak Aina.

"Lo kenapa sih, Ai? Dari tadi kayak ketus banget ke gue," heran Jeva.

"Lo udah ganggu konsentrasi gue. Gue lagi belajar, Jev, jangan ganggu ... please!" mohon Aina memasang wajah datar.

International Chemistry Olympiad (IChO)—kompetisi akademis tahunan untuk murid SMA. Aina akan mengikuti kompetisi ini di bidang kimia bersama dengan Aira untuk mewakili Indonesia.

Kenapa tidak Dizcha, padahal dia peraih peringkat dua paralel di SGG? Itu dikarenakan Dizcha akan menjadi perwakilan di bidang fisika. Unipa Science Competition—itu nama perlombaan yang diikutinya.

SMA Gold Garuda memang sering mengirimkan siswa-siswinya untuk mengikuti perlombaan-perlombaan akademis seperti itu, apalagi jika untuk mewakili negara, SGG tentu akan mendapatkan bagian.

"Sejak kapan lo ambis?" tanya Jeva.

"IChO ... gue yang jadi perwakilan, lagi. Makanya gue mohon sama lo ... tolong jangan ganggu gue. Seenggaknya sampai gue balik ke Indonesia lagi dan dapetin piala," pinta Aina.

"Balik ke Indonesia? Bukan Indonesia tuan rumahnya?"

Aina menggeleng pelan. Indonesia belum mendapatkan giliran untuk menjadi tuan rumah atas kompetisi tahunan ini, ya, itu selama ia bersekolah di tingkat SMA.

"Lombanya di Osaka–Jepang."

Jeva membulatkan matanya. Osaka? Sejauh itu?

"Berapa lama?" tanya Jeva lagi. Seolah jawaban Aina belum lengkap.

"Lombanya sebelas hari. Enggak tau nanti, katanya orang tua gue bakalan nyusul ke Jepang. Mungkin gue bakalan liburan dulu di sana," jawab Aina.

"Enak ya lomba bareng sama kembaran, punya duit banyak, orang tua bisa ikut nyusul. Selesai lomba liburan lagi," kekeh Jeva pelan. Ia menunduk melihat penampilannya saat ini. "Beda sama gue. Gue enggak punya prestasi. Bertahan di kelas istimewa dua tahun berturut-turut aja udah syukur."

Keluarga Jeva memang keluarga yang sederhana, hidupnya tidak semewah dan tidak seenak hidupnya Aina yang serba ada.

Bukan niat ingin membandingkan, tapi, ini memang kenyataannya. Jeva sadar. Perbedaannya cukup banyak dengan Aina. Beda keyakinan dan beda kasta sudah terlihat jelas, orang tua pun tak akan merestui pastinya.

"Ya udah, semangat! Yang rajin belajarnya, Indonesia pasti bangga punya rakyat kayak lo, SGG juga pastinya bangga punya murid jenius kayak lo. Gue yakin lo bisa pulang bawa piala."

Tiba-tiba rasa bersalah mampir di hatinya. Apa Aina salah bicara?

"Jev, gue gak maksud—"

"Santai aja. Gue ke kelas dulu, bentar lagi masuk jam pelajaran. Lo tetap mau di perpus?"

Aina mengangguk mengiyakan. "Mrs. Kimberly mau bimbing gue latihan."

"Mrs. Kimberly?" Jeva membeo. Kaget mendengar nama kepala sekolah SGG yang akan menjadi guru pembimbing Aina.

"Iya. Tutor yang diajuin sekolah gak bisa datang hari ini, terpaksa Mrs. Kimberly ngegantiin dia. Kenapa emangnya?" tanya Aina kaget sekaligus bingung mendengar respon Jeva yang seperti itu.

"Gak ada apa-apa. Aira ikut bimbingan sama Bu Kepsek itu?"

"Enggak. Aira sama Mrs. Helena. Tutornya dia juga sama, gak bisa datang hari ini. Tolong izinin gue sama Aira ya ke guru mapel nanti," pinta Aina.

"Enggak lo minta juga pasti gue izinin. Atau malah guru mapel juga tau alasan lo gak ikut kelas."

Kimberly Clovis—kepala sekolah SMA Gold Garuda yang juga bisa dibilang jenius, apalagi di bidang kimia. Begitupun juga dengan Helena Kakisina—wakil kepala sekolah bidang akademik, dia juga sangat jenius.

Ketukan langkah dari high heels ke lantai perpustakaan membuat Aina menoleh. Mrs. Kimberly telah tiba membuat ia langsung berdiri dari duduknya.

"Tidak usah berdiri, duduk saja, Aina. Saya tidak gila hormat," ucap Mrs. Kimberly sedikit bergurau.

Jeva cepat-cepat keluar dari perpustakaan memberikan salam kepada Kepala Sekolah dan dibalas senyuman kecil. Sempat melirik Aina sebentar lalu kembali memutuskan kontak.

Beberapa saat Mrs. Kimberly memperhatikan punggung Jeva yang semakin menjauh dan tidak terlihat saat sudah benar-benar keluar dari perpustakaan utama ini.

Mrs. Kimberly mengalihkan fokus kepada anak yang akan mengikuti bimbingan darinya hari ini. "Pacar kamu?"

"Ha? Bu–bukan, Mrs. Cuma teman sekelas," jawab Aina sedikit terbata-bata.

Ini bukan pertama kalinya Aina bimbingan dengan Mrs. Kimberly, tapi rasanya tetap saja takut dan gugup. Waktu itu Aina bimbingan dengannya saat akan mengikuti kompetisi kimia tingkat nasional.

"Bagus. Sekarang fokusmu hanya boleh pada perlombaan yang akan kamu ikuti nanti tanggal 23 Juli–2 Agustus di Osaka. Siap?"

"Siap tidak siap, Mrs. Saya akan berusaha semaksimal mungkin, sisanya saya serahkan pada Tuhan," jawab Aina.

"Kamu pesimis? Sebuah penelitian menyatakan bahwa kita dapat menuai hasil positif jika kita bersikap optimis."

"Maaf. Saya bukannya pesimis, saya hanya bingung nanti harus bagaimana di Osaka sana," kata Aina.

"Kamu tidak pandai bahasa Jepang? Kamu bisa gunakan bahasa Inggris, Aina."

Aina memang tipe orang yang malas belajar bahasa asing, tapi bukan ini yang membuatnya tidak percaya diri.

Tapi, Aira.

Aira Misha Garaga, dia orang yang membuatnya seperti ini secara tidak langsung.

"Bukan itu, Mrs. Saya tidak pusing soal bahasa yang akan saya gunakan di sana. Tapi, Aira ... dia juga akan menjadi perwakilan. Betul 'kan, Mrs? Saya bingung harus berbuat apa. Apa saya harus egois atau mengalah saja," cerita Aina.

Sepertinya akan lebih baik jika Aina terbuka kepada Kepala Sekolahnya ini. Tidak ada salahnya. Semoga saja dia bisa memberikan jalan keluar.

"Maksudmu?"

"Jika saya egois, Aira akan disiksa jika nilai yang dia peroleh jauh dibawah saya. Bagi orang tua saya, minimal nilai kami saling berdampingan. Jika saya yang di atas, Aira harus tepat di bawah saya. Begitupun sebaliknya. Kalau bisa nilai kami seri, orang tua saya sering mewanti-wanti kami seperti itu," jawab Aina sedikit bercerita.

"Lalu jika kamu mengalah? Ah, maksudmu kamu akan menyalahkan jawabanmu, begitu?" tebak Mrs. Kimberly.

"Iya, demi Aira. Saya harus melindunginya. Saya ingin menjadi kakak yang terbaik untuk dia," jawab Aina lagi.

"Cara menjadi kakak yang terbaik untuk adiknya bukan dengan cara seperti itu, Aina. Ini tentang kamu, bukan Aira. Tentang Aira juga bukan tentangmu. Saya bukan mengajarkanmu untuk berbuat jahat, tapi kamu juga sesekali perlu egois. Pikirkan dirimu untuk kali ini saja. Ini bukan hanya tentang namamu saja, tapi juga sekolah dan negara. Kamu perwakilan utamanya, akan memalukan jika kamu kalah oleh wakilmu, Aira," jelas Mrs. Kimberly.

Aina dibuat bungkam dengan penjelasan panjang barusan. Apa selama ini ia terlalu sibuk memikirkan Aira sampai lupa memikirkan dirinya sendiri?

Mrs. Kimberly menarik napas panjang kemudian membuka buku yang dibawanya. Tentu saja buku tentang kimia.

"Saya beri kamu waktu untuk memikirkan apa yang saya jelaskan tadi. Saya tidak akan memaksamu untuk cepat-cepat mempelajari pelajaran. Yang terpenting sekarang soal isi pikiran dan hatimu. Jika terlalu banyak yang kamu pikirkan, percuma, materi yang kamu pelajari tidak akan masuk ke otak. Kamu akan stress sendiri nantinya," ucapnya lembut dan pelan.

"Mrs," panggil Aina.

Mrs. Kimberly kembali menatap wajah anak muridnya yang dibuat bimbang oleh pikirannya sendiri. Dia mengangkat sebelah alisnya.

"Saya butuh waktu," lanjut Aina.

Mrs. Kimberly mengangguk mengerti. Dia menutup bukunya dan berdiri. Senyuman kecil ia berikan. Harapannya saat ini, semoga Aina bisa cepat memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti.

"Pikirkan saja dulu. Besok baru kita bimbingan. Kalau kamu mau ke kelas juga silakan, saya tidak melarang. Kamu bisa meminta saran kepada sahabatmu," ujarnya penuh pengertian.

"Terima kasih, Mrs."

Perempuan berkepala tiga itu mengangguk sebagai balasan kemudian melangkah keluar dari perpustakaan. Dia tidak akan memaksa setiap orang.

👑

"Lo kenapa?" tanya Gizca.

Hari ini dia sudah kembali bersekolah setelah beberapa hari tidak masuk dengan alasan sakit. Padahal sejak satu hari setelah pesta sekolah waktu itu dia sudah sembuh. Tapi, katanya dia butuh waktu untuk bersama dengan Nevan, berdua saja.

"Gue lagi bingung."

Dizcha mengernyitkan dahi. Baru kali ini ia melihat Aina sebingung itu.

"Salah elo sendiri gak pernah cerita ke gue soal masalah lo. Use friends to make friends tell stories. So, cerita aja kali sama kita. Gue sama Gizca setia jadi pendengar lo," kata Dizcha.

Aina menarik napasnya panjang lalu mengembuskannya. Rasa berat sekali untuk bercerita kepada sahabatnya. Padahal tadi pagi ia dengan sangat mudah bercerita kepada Mrs. Kimberly yang bahkan tidak terlalu dekat dengannya.

"Seminggu lagi 'kan gue berangkat ke Osaka, IChO, gue bingung soal itu."

Gizca tertawa renyah mendengar jawaban Aina yang padahal tidak ada lucunya sama sekali.

"Ini nih akibat dari malas belajar bahasa asing. Lo bingung sendiri, 'kan? Pintar sih, tapi sayang, gak bisa bahasa asing. Padahal Jepang tuh mudah loh dipelajarinya," ucap Gizca masih tertawa.

Aina berdecak pelan. Lagi-lagi ada saja yang mengira soal bahasa yang akan digunakan.

"Lo lupa? I can speak English. Lagian, pastinya bukan cuma gue doang kali yang gak bisa bahasa Jepang. Noh Dizcha, dia juga sama malasnya kayak gue kalau disuruh belajar bahasa asing. Just opening the manual, I'm already dizzy, let alone being told to learn it, otak gue ngebul duluan," keluh Aina.

"Halah! Giliran suruh hapalin tuh senyawa kimia dan tetek bengeknya lo bisa. Sama aja kali, tergantung niat," cibir Gizca.

"Nah itu, tergantung niat. Niat gue tuh ya buat ngerjain soal-soal kimia, bukan bahasa asing. Everyone has their own advantages and disadvantages. Lo pintar sejarah, gue kimia, Dizcha fisika, sama toh. Tapi kita bisa sahabatan. Semuanya tergantung otak kita," balas Aina.

Dizcha diam menyimak. Biarkan saja saat ini mereka saling adu pendapat, nanti dia giliran melerai.

"Yang jelas tuh tentang Tuhan, kedua tentang niat kita belajar, ketiga tentang kemampuan kita. Soal otak itu nanti berkembang seiring berjalannya usia kita," lontar Dizcha berusaha melerai.

"Bentar," sela Gizca. Dia mencoba memahaminya. "Yang kedua tadi, niat? What do I mean right?"

Gizca kembali tertawa, tepatnya menertawakan Aina.

Aina sudah mendengkus beberapa kali. Jika Gizca memenangi perdebatan atau pendapatnya lebih banyak mendapatkan persetujuan dari orang lain, dia akan tertawa puas seperti ini.

Menyebalkan.

"Oke, I'm wrong. Anyway ... gue udah ngambil keputusan. Gue mau temuin Mrs. Kimberly dulu, siapa tau dia mau bimbingan sekarang setelah gue kasih tau apa keputusan gue."

👑























Halo!

3007 kata nih buat kalian😇 sebagai ganti karena udah dua minggu gak update HAHAHAHA.

Jangan lupa jejaknya ya, Pren!😉🔨

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

56.8K 985 16
First Story on Wattpad!! (Y/N) is the Little Sister of Tomura Shigaraki, She's 18 years old. I'll stop wasting your time... What are you waiting for...
306K 7.6K 111
In which Delphi Reynolds, daughter of Ryan Reynolds, decides to start acting again. ACHEIVEMENTS: #2- Walker (1000+ stories) #1- Scobell (53 stories)...
157K 4.2K 30
Orion berada di perjalanan, berjuang demi mengharumkan nama jurusan Bahasa yang dianggap sebelah mata di SMA Nusa Cendekia. Namun, di tengah itu semu...
3.5K 97 8
"You like him?" Jaehyun asked. I sighed and nodded. "I could tell." Johnny said, taking a sip of the drink he ordered. "How?" I asked. "Just the w...