Ada yang Memang Sulit Dilupak...

By aixora_28

1.4K 360 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... More

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Ketujuh
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kesebelas
Momen Kedua Belas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Satu
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Empat
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan
Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

Momen Kedua Puluh Sembilan

50 10 2
By aixora_28

Sampai nanti waktu yang memutuskan. Bertahan mendekap namamu atau mengikhlaskan bahwa benar kamu bukan untukku.
***

Samar aku bisa mendengar suara hujan. Tidak aneh jika sudah Desember. Perlahan, kubuka kelopak mata. Namun, tak ada siapa pun di sini. Hei, ke mana semua makhluk yang tadi beramai-ramai menangisi sebuah film? Jahat sekali mereka meninggalkanku sen ... tidak. Aku tidak sendirian. Masih ada seseorang di sebelahku. Dia tersenyum begitu mendapati tatapanku.

"Tadi Nuri mau bangunin kamu, tapi aku cegah. Kamu lelap banget. Aku enggak tega lihatnya kalau kamu dibangunin."

Aku mengerjap beberapa kali. Perlu beberapa detik untukku mencerna dan mengumpulkan nyawa. Jadi, karena ketidaktegaan dirinya, kami justru terjebak di sini?

"Yang lain udah pulang semua?" kataku karena benar-benar tidak melihat siapa pun di sini selain kami.

Dia mengangguk.

"Seharusnya enggak apa-apa. Biar aja Nuri bangunin aku. Kan, biar kamu juga enggak perlu tunggu di sini."

Omong-omong, kalau dia tunggu di sini, bagaimana pacarnya? Kan, dia harus antar pulang pacarnya itu.

"Jihan udah diantar Rashaka."

O, o. Aku lupa. Dia ini manusia yang bisa membaca apa yang melintas di otakku.

Aku beranjak untuk melihat hujan dari jendela di sisi kanan. Sangat deras bahkan gemuruh petir terdengar. Alih-alih harus pulang sekarang, itu tidak mungkin. Mendung tebal pun masih menghias langit pukul ... pukul berapa sekarang?

Kutengok jam dinding di atas papan tulis. Masih pukul tiga sore? Wah, hujannya tidak akan lekas berhenti kalau mendungnya masih setebal ini.

Di antara deras yang berisik, aku bisa mendengar nyanyian yang pasti berasal dari ruang paduan suara. Anak-anak band sekolah ini mungkin masih di sana untuk menjajal alat musik baru. Syukurlah. Berarti, bukan cuma kami yang masih di sini.

"Aku jadi enggak enak sama Jihan. Seharusnya dia pulang diantar sama pacarnya, malah diantar Rashaka." Aku masih memfokuskan pandangan ke deras yang meluncur melewati genting. Basah di mana-mana. Bahkan, beberapa genangan tampak tinggi. Sepertinya, hujan turun sudah lumayan lama.

"Apa kamu punya hubungan serius sama Rashaka?"

Eh? Lah, kok arahnya ke sana?

"Kenapa kamu tanya itu?"

"Kalian tampak akrab di beberapa kesempatan. Aku pikir kalian sudah ...."

"Kami tidak seperti itu. Kamu sudah pernah dengar sendiri kalau aku tidak akan memikirkan hal-hal romansa saat masih sekolah, 'kan?" Aku menengok kepadanya yang sudah berdiri di belakang, sekitar satu meter.

Diam. Hening menjadi kuasa di antara kami selama beberapa menit. Aku kembali menonton hujan. Derasnya makin jadi. Lagi-lagi aku harus terjebak di sini.

"Aku minta maaf."

Maaf kesekian darinya. Aku saja tidak pernah men-judge apa yang dia lakukan adalah salah, tetapi selalu seperti ini. Dengan sendirinya dia meminta maaf dan itu yang justru membuatku semakin patah.

"Enggak ada yang bisa mencegah kalau hati sudah memilih, Ga. Tolong, jangan sering-sering minta maaf kepadaku karena kamu enggak salah apa pun."

Siapa yang menyalahkan Raga karena keadaan ini? Kalian tidak berhak menilai bahwa apa yang Raga lakukan adalah kesalahan. Hatinya lebih tahu ke mana rasa suka itu dilabuhkan. Masa iya kalian mau menyalahkan orang yang menemukan cintanya? 

"Aku enggak ingin kamu berbeda, Tha."

Aku tersenyum miris. Berbeda katamu?

Aku berbalik. "Berbeda? Begitukah yang kamu rasakan?"

Tadi dia menunduk, entah kenapa. Sekarang, tatapannya menghunjam kepadaku lalu mengangguk. "Aku merasakannya. Aku kehilangan tentang kita. Aku enggak menemukan kamu di setiap aku ingin bicara denganmu."

Aku maju satu langkah untuk memendekkan jarak di antara kami. "Jika kamu merasa berbeda, memang kita harus berbeda untuk beberapa hal. Enggak mungkin seperti kemarin-kemarin karena kamu sudah punya Jihan. Aku enggak mau Jihan salah paham dengan interaksi kita. Aku juga cewek. Tahu bagaimana rasanya kalau orang yang kita sayang malahan dekat dengan cewek lain."

Sakit. Perih. Itu yang kurasakan saat aku melihat kamu selalu bersama Jihan. Bedanya, sakit dan perihku bukan sesuatu yang seharusnya dirasa. Kalau Jihan, dia berhak merasakan sakit dan perih karena kamu pacarnya.

"Berbohong itu sakit, Tha."

Kenapa, sih, dia? Ngoper-ngoper pembicaraan seenak dengkul melulu.

"Aku enggak paham kenapa kamu bicara seperti itu, tapi aku setuju. Berbohong memang menyakitkan. Suatu hari, entah itu kapan, kita harus siap untuk membongkar kebohongan itu." Kembali aku menatap hujan yang kian deras.

Ya, suatu hari nanti jika ketegaran sudah jauh lebih tebal.

"Kamu percaya kalau cinta pertama selalu sulit dilupakan?" Dia bertanya masih dengan posisi di belakang.

"Entahlah. Aku belum benar-benar merasakannya." Kurasakan langkahnya berpindah ke samping kanan. Kami sejajar sekarang.

"Aku pernah bertemu seorang gadis yang memiliki mata seperti almond slice. Gadis itu tidak secantik Kak Lusiana, tetapi aku bisa merasakan kalau dia gadis yang spesial."

Almond slice? Ah, gadis yang dibicarakan Rashaka waktu itu, ya?

"Dia cinta pertamamu?"

"Awalnya aku pikir aku hanya sekadar suka. Namun, semakin lama bayangan gadis itu seperti berjalan bersamaku. Aneh, ya? Padahal, aku hanya bertemu satu kali dengannya saat itu. Dia pun tidak satu sekolah denganku."

Tidak ada yang aneh jika sudah berkaitan dengan cinta. Yang tidak mungkin bisa jadi mungkin.

"Aku pernah membaca sebuah buku. Katanya, cinta pertama memang sulit untuk dilupakan. Dia seperti mengambil tempat tersendiri di salah satu ruang hati yang merasakan. Diusir bagaimanapun, dia akan tetap menetap di sana."

Hening lagi. Deras hujan menjadi satu-satunya musik yang mengalun karena suara band sekolah sudah berhenti. Namun, beberapa saat kemudian, suaranya justru memecah.

Siang hariku bagaikan malam
Pelangi pun berwarnakan gelap
Inikah yang dinamakan patah hati

Tak ingin kujalani cinta yang begini
Yang kutahu cinta itu indah
Tak ingin kurasakan jiwa yang tak tenang
Kumau kau tetap di sisiku

Ya Tuhan, dia memancingku untuk kembali menangis. Mendengar kembali suaranya menyanyikan bagian itu saja sudah membuat embun di mataku.

"Maaf, ya. Padahal aku pernah bilang enggak pengen membuat mata almond kamu menangis, tapi justru aku yang bikin mata indah itu menangis." Usapan jemarinya di pipiku sungguh membuat derai semakin menjadi.

"Aku cengeng, ya, Ga?" Sudahlah. Kepalang tanggung. Mau sok kuat bagaimana jika mata dan hatiku tidak bisa diajak bekerja sama?

Dia menggeleng. "Kamu gadis paling manis yang pernah kutemui."

Ish! Keluar dari topik pembicaraan lagi.

***

Belum ada siapa pun saat aku sampai di kelas. Agaknya, anak IPA 2 mulai tidak peduli dengan aturan Senin yang seharusnya datang lebih pagi karena upacara pertama setelah libur panjang akan dilaksanakan. Mungkin, mereka masih terbawa arus santainya liburan.

Saat aku mendekat ke meja kebesaran, sebuah surat tanpa nama pengirim berada di atasnya. Setelah kubolak-balik, tidak satu pun identitas yang terbaca. Untuk siapa surat ini? Aku atau Nuri? Namun, melihat di posisi mana surat diletakkan, aku menduga itu untukku.

Buka jangan? Buka sajalah. Toh, diletakkan di meja bagianku.

Saya tunggu di taman belakang jam istirahat nanti. Ada yang ingin saya bicarakan.

Di dalamnya pun tidak ada nama pengirim. Yang jelas, tulisan tangan ini bukan dari penghuni kelas XI IPA 2. Aku sudah hafal style penulisan anak-anak sini.

Lalu, siapa? Kenapa ingin bertemu denganku?

Kukesampingkan surat itu dan memasukkannya ke tas. Untuk mengisi waktu, aku kembali membuka materi olimpiade. Jika tidak ada halangan, siang nanti seusai pulang sekolah, kami akan mengadakan ujian sesi pertama bimbingan dengan guru. Aku tidak berharap banyak, tetapi semoga bisa mengerjakannya dengan baik.

Senin pagi ini berjalan normal. Upacara sesuai jadwal karena cuaca sangat cerah. Amanat Pembina Upacara yang tidak lepas dari gerutuan para murid karena terlalu lama, sedangkan terik matahari sudah siap memanggang kami yang di lapangan. Petugas kesehatan yang cukup sibuk karena beberapa siswi pingsan.

Aku jadi penasaran. Orang pingsan, tuh, rasanya bagaimana? Seumur-umur, ya, aku tidak pernah mengalami hal naas macam itu, apalagi di sekolah. Daya tahan tubuhku lumayan juga ternyata.

Seperti yang sudah-sudah, hari pertama masuk usai libur panjang tidak langsung diisi kegiatan belajar dan mengajar. Dua mata pelajaran berlalu tanpa guru. Jam istirahat, aku bergegas menuju taman belakang. Entah, sih, itu surat untukku atau bukan. Cuma, ya, semisal bukan nanti aku tanya saja dia ingin bertemu siapa dari kelas kami. Berhubung itu surat ada di mejaku, ya, aku yang baca dan datang.

"Tha, ke kantin enggak?" Nuri berteriak saat aku melewati kelas XI IPA 3.

Aku berhenti lalu berbalik. "Kalian duluan aja. Aku ada urusan dulu."

"Urusan apa?" Seperti biasa, Ratu Kepo ini tidak melepas begitu saja alasanku.

"Ada, deh. Udah, kalian duluan aja ke kantin. Kalau masih sempat, nanti aku nyusul."

Nuri mengendik lalu menggandeng Tiana dan Melisa, sedangkan Anindya sudah berjalan di depannya.

Aku kembali melangkah menuju taman belakang. Saat sampai, aku melihat seorang gadis duduk di bangku panjang besi yang memang hanya satu-satunya bangku di sana. Postur tampak belakangnya seperti tidak asing.

"Permisi," sapaku membuat gadis itu menoleh.

Jihan? Jadi, penulis surat itu Jihan?

"Halo, Kak."

"O ... hai." Agak canggung rasanya menanggapi sapa gadis ini. "Kamu, ya, yang meletakkan surat di atas meja saya?"

Dia mengangguk.

"Untuk saya?"

Lagi, dia mengangguk.

"Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?"

Gadis itu melengkungkan senyum. "Ini tentang Kak Raga."

Sudah kuduga. Inilah kenapa aku berusaha menjaga jarak dari cowok itu. Aku tidak ingin Jihan berpikir yang tidak-tidak tentang kami nantinya.

Aku menunggu Jihan untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan lebih dulu.

"Bisa Kakak jauhi Kak Raga?" pintanya setelah diam beberapa detik.

"Kenapa saya harus jauhi Raga?"

"Kak Raga seperti enggak bisa melepaskan Kak Talitha."

Aku tersenyum miris. Tidak bisa melepaskan bagaimana? Jika tidak bisa, seharusnya cowok itu tidak perlu berpacaran denganmu, 'kan?

"Kamu salah paham. Saya dan Raga enggak seperti yang kamu pikirkan. Kami hanya teman sekelas biasa."

"Yang terlihat tidak seperti itu, Kak."

"Itu hanya prasangkamu." Aku berusaha membawa pola pikir gadis ini untuk tidak berprasangka buruk. "Sejak saling mengenal, saya dan Raga tidak memiliki hubungan sedekat itu. Kami sewajarnya teman sekelas. Kamu enggak perlu khawatir. Saya bukan perempuan yang tega ambil milik orang."

"Bisa saya percaya dengan omongan Kak Talitha?"

Kembali aku tersenyum miris. "Saya permisi."

Aku tidak ingin berlama-lama bicara dengan gadis ini. Setiap melihat Jihan, bayangan tentang kedekatan mereka kembali memenuhi kepala dan itu membuat dadaku sesak. Aku tidak ingin membencinya. Maka dari itu, aku tidak ingin melanjutkan perbincangan ini.

Langkahku berhenti setelah dua meter dari tempat tadi lalu kembali berbalik untuk menyampaikan hal terakhir kepada gadis itu. "Kamu enggak perlu risau. Saya sama sekali enggak berniat untuk jadi pengganggu dalam hubungan orang."

Tanpa menunggu respons Jihan, aku kembali berbalik dan melanjutkan langkah sambil mengirim SMS ke Nuri.

Masih di kantin?

Masih

Okeh, aku ke situ.

Mau dipesenin apa?

Batagor yang pedes

Siap, Kanjeng Mami

Aku bergegas ke kantin untuk bergabung dengan Nuri and The Ganks. Membicarakan hubungan orang ternyata bikin lapar, ya.

***

Mbak Ginuk menggeretku ke salah satu sudut ruangan yang sepi. Lebih dulu memindai sekitar agar apa yang ingin dia ucapkan tidak terdengar orang yang bersangkutan.

Raga dan Jihan sedang mampir ke sini. Tadi aku melihat mereka duduk di kafe. Semacam lagi nge-date kali, ya.

"Raga, kok, sama cewek? Siapa cewek itu? Jangan bilang kalau ...."

"Pacarnya. Yes, betul. Cewek itu pacar Raga."

Tatapan Mbak Ginuk membulat. "Serius kamu? Jangan becanda!"

Aku terkikik. Geli melihat respons Mbak Ginuk yang agak berlebihan. "Ya, kalau Mbak enggak percaya, tanya aja ke orangnya."

"Kok, kamu santai begitu, sih, Tha?"

"Loh, memang aku harus apa?"

"Ih, Raga kan ...."

"Mbak Ginuk, tuh, terlalu berimajinasi. Sama kayak Nuri. Sama kayak Tiana. Kalian, tuh, terlalu terbawa persepsi masing-masing."

Mbak Ginuk masih memberengut. "Mbak masih enggak habis pikir dengan kenyataan ini."

Aku tersenyum lalu menepuk-nepuk pelan bahu Mbak Ginuk. "Kafe di bawah rame, loh. Gih, urusin."

Meski masih bertampang kurang ikhlas atas info yang beliau dapat, tetapi langkahnya satu per satu menuruni anak tangga. Ekspektasinya selama ini tentang kami sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Ya, mau bagaimana. Takdir memang harus begitu.

Kisah Raga dan Talitha mungkin berakhir di sini. Tidak akan ada lagi Raga yang mengantar Talitha seusai menjaga toko. Mereka hanya akan bertemu di kelas untuk membahas soal-soal rumit yang diberikan guru. Mengobrol hanya tentang praktik-praktik Biologi yang semakin rumit. Selebihnya, kami seperti orang asing. Meski terkadang geng Akmal dengan geng Nuri sering berada satu meja jika di kantin, tetapi aku berusaha untuk tidak bergabung jika ada Raga di sana.

Kenapa?

Aku merasa aku perlu melupakan Raga dengan cara tidak sering-sering berinteraksi dengannya. Setiap orang memiliki proses melupakannya masing-masing, 'kan? Nah, salah satu cara yang kupilih adalah membangun tembok agar aku bisa membatasi pertemuan kami.

Meski akan sangat sulit karena masih ada satu tahun aku satu atap dengannya. Masih bertemu setiap hari. Masih mendengar suaranya setiap saat. Masih menyadari keberadaannya sepanjang beberapa jam di ruangan yang sama.

Tumpukan contoh soal OSK menjadi penyelamat ampuh. Aku lebih banyak sibuk mengulas rumus-rumus memusingkan itu daripada bergabung dengan Nuri untuk mengisi perut ke kantin yang akan berimbas pertemuan dengan Raga karena Akmal and The Ganks juga ada di sana.

"Enggak ke kantin lagi?" Nuri menegurku yang masih nempel di bangku dengan nyaman.

"Nitip aja, ya. Roti sosis sama milkshake cokelat."

"Anak rajin. Kamu yang ngerjain soalnya, aku yang pusing lihat tumpukan buku itu." Nuri mencebik kemudian bergegas menyusul Tiana, Melisa, dan Anindya.

Aku hanya terkekeh menanggapi gerutuannya.

Lain waktu jika bosan, aku mengasingkan diri ke ruang Mading. Kadang memang untuk menyelesaikan tugas editing, mengetik naskah keroyokan, atau hanya menumpang duduk dengan suasana berbeda untuk mengulas soal-soal OSK.

"Kamu serius kamu baik-baik aja?" Suatu ketika Mbak Nura menegur karena berkali-kali melihatku sibuk di Mading.

"I'm okay."

"Mbak ngelihatnya enggak kayak begitu."

Aku tersenyum. "Ini cara Tha untuk membunuh patah, Mbak."

Yang kudengar kemudian hanya helaan napas gadis itu.

Pada suatu waktu yang lain, aku merasa jika Raga ingin berbincang banyak hal denganku, tetapi aku selalu menghindar.

"Maaf, ya, Ga. Lagi buru-buru ke perpus. Ada buku yang harus aku pinjam."

Pada waktu berikutnya ....

"Sorry, Ga. Lagi ngejar ketikan, nih. Aku harus banyak ngendon di Mading."

Kadang, aku merasa bersalah karena terus-terusan mengabaikan cowok itu. Namun, kalau aku memberi peluang kami kembali dekat, itu akan menyulitkan proses yang sedang kujalani. Aku berubah menjadi gadis egois untuk melindungi hati agar tidak patah terlalu parah.

***

Uji pendadaran terakhir sebelum OSK sudah dilalui. Hasil dari jerih payah jungkir balikku menaklukan rumus-rumus rumit itu lumayan membanggakan. Dari tiga perwakilan yang akan dikirim, untuk sementara, nilaiku yang paling tinggi di antara mereka. Patah hati justru membawaku untuk lebih menyeriusi soal-soal OSK. Apa harus patah hati terus, nih, biar aku rajin menyelami soal-soal rumit? Dih, masa begitu?

Langkahku menuju ruang Mading yang masih terbuka. Rashaka bilang lewat SMS, dia menunggu di sana selagi aku berjuang menaklukan soal-soal latihan. Tidak seperti Raga yang hanya menunggu di toko Mbak Ginuk, Rashaka selalu menunggu di sekolah kalau mau mengantarku pulang. Hal yang pernah pula menjadi bahan kekepoan Nuri karena memergokiku dan Rashaka keluar bersamaan dengan motor cowok itu dari sekolah.

"Jadi, Rashaka yang menggantikan tempat si Bego Raga?" Kadang, cara bicara Nuri terlewat kasar. Biasanya dia begini kalau sudah terlalu kesal.

"Menggantikan apa?"

"Kalian dekat begitu. Pacaran?"

Aku menoyor kepala gadis itu. "Talitha itu enggak boleh pacaran. Paham?"

Gadis itu menepuk kening.

Begitulah. Sekalipun terlihat dingin, Rashaka lebih apa adanya. Tidak berkesan menyembunyikan kalau dia mau membantuku. Satu dua kali, dengan terang-terangan, dia mentraktirku makan dan minum saat aku hanya terjebak di kelas untuk mempelajari rumus-rumus itu. Yang pada akhirnya selalu mengundang tanya dari ABG-ABG kepo.

"Serius sama Rashaka?" tanya Anindya.

"Enggak apa-apa, loh, kalau sama Rashaka. Dia juga enggak kalah ganteng, meski rada cuek." Begitu kata Melisa.

"Hm, dilihat-lihat, Rashaka juga okeh, kok, Tha. Baik dan perhatiannya bukan topeng." Tiana ikut berargumen.

Sampai bosan mulutku mengeluarkan kalimat yang sama agar mereka memahami kalau aku dan cowok mana pun yang dekat itu tidak memiliki hubungan lebih dari teman. Mereka sangat peduli dengan kehidupan asmaraku, tetapi mereka sendiri masih jadi gadis-gadis lajang lebih memilih sibuk mengagumi Jang Geun Suk daripada meladeni cowok-cowok yang mendekati.

Dasar ABG!

Eh? Di mana Rashaka? Saat aku masuk ke ruang Mading, tak terlihat batang hidung cowok itu. Dia bilang mau menunggu di sini.

Ke kantin kali, ya, itu anak? Ah, sudahlah. Aku ingin merebahkan diri lebih dulu sebelum pulang. Menghadapi belasan soal penuh rumus bukan saja membuat kepala panas, tetapi perut pun terasa mual. Ya Tuhan, semoga dengan begini aku tidak mengalami trauma untuk menghadapi sepanjang sisa tahun bersama Fisika.

Baru beberapa saat merebahkan kepala di salah satu meja dengan set komputer yang sering kupakai untuk mengetik--meja kerjaku lebih tepatnya, seseorang dari belakang menempelkan botol dingin ke pipiku.

"Dari mana?" tanyaku setelah menengok.

Dengan kode kepala, dia menyuruhku mengambil botol dingin itu. Apa untuk membeli ini dia menghilang tadi?

"Enggak makasih, tuh?"

"Iya, makasih, Bapak Rashaka." Aku mencebik. Pamrih sekali dia.

"Mau makan dulu?" tawarnya yang membuatku terbelalak seketika.

"Traktir?"

"Iya. Kan, biasanya juga begitu, Non."

"Mau."

"Buru bangun."

"Kantin masih ada apa emang?"

"Bakso sama mi ayam. Kalau batagor udah ludes."

Pas banget. Nikmat Tuhan yang tidak boleh ditolak. Setelah berpusing-pusing ria mengerjakan Fisika, melahap bakso dengan kuah super pedas agaknya sangat ampuh untuk mengobati pusing dan mual. Ditraktir pula.

Rashaka sudah beranjak lebih dulu. Aku baru menyusul setelah menyimpan ransel dan tas jinjing serta menutup pintu Mading. Di jalan menuju kantin, kami berpapasan dengan Raga dan Jihan. Dua orang ini rupanya belum pulang juga, to? Hari ini memang hari ekskulnya Raga, tapi Jihan ... dia ekskul apa? PMR kali, ya, kalau dilihat dari syal kuning yang melingkari lehernya. Eh, tapi bukannya dia anak bulu tangkis juga? Hm, ekskulnya apaan, sih, aslinya?

"Sha, Tha." Raga menyapa.

"Belum pulang, Ga?" tanyaku basa-basi. Ya, biar tidak disangka sombong.

"Baru mau pulang, tapi Jihan mau makan dulu katanya."

"Oh." Aku mengangguk-angguk. Sweet amat, Gusti.

Raga tidak akan menanyakan kenapa kami belum pulang. Dia tahu kalau hari ini ada pendadaran akhir untuk olimpiade sains kabupaten. Jadi, aslinya bukan hanya bidang Fisika. Masih ada Biologi, Kimia, Kebumian, Astronomi, dan Komputer.

"Di meja sana aja, ya?" Rashaka menunjuk meja yang berjauhan dari meja Raga dan Jihan.

Aku mengangguk. Ikut sajalah. Daripada mendebat terus batal ditraktir. Kan, sayang.

Tidak ada lagi perbincangan antara kami, aku dan Raga lebih tepatnya. Bahkan satu sama lain tidak berusaha untuk saling membaur. Kan, sudah kubilang. Kali ini, kisah antara Talitha dan Raga usai. Kami sudah memutuskan untuk berjalan ke arah yang berbeda.

***

Continue Reading

You'll Also Like

10.3M 777K 56
Alika Syakilla, gadis polos dan ceroboh yang terpaksa tinggal di rumah keluarga Devin karena sebuah perjodohan. Devin Arya Mahesa, sepupu jauh sekali...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
223K 5.7K 10
TELAH TERBIT (REPOST) "Abangku itu gila, yakin kamu mau nikah sama dia?" Medina tertawa. "Mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya." *** Bukan atas dasar c...
592K 28K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...