Ada yang Memang Sulit Dilupak...

By aixora_28

1.4K 360 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... More

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Ketujuh
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kesebelas
Momen Kedua Belas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Satu
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Kedua Puluh Sembilan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan
Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

Momen Kedua Puluh Empat

29 10 2
By aixora_28

Hari-hari paling menyesakkan pun akan dimulai. Kamu semakin menjauh. Aku semakin mencoba tak peduli. Menyakitkan. Apa kamu juga begitu?
***

"Anak kelas X yang ikut outbound akan kita kasih hadiah kecil-kecilan. Mau enggak?" Kak Reksa mulai berkoar-koar menggunakan toa.

"Mau!"

"Yok, kita mainin semua wahana yang ada di sini. Eits, tapi per grup, ya. Jangan semua diembat. Yang mau flying fox, ikut grup Kak Reksa. Yang mau panjat tebing, ikut Kak Akbar. Yang mau ...."

Satu per satu anak kelas X yang ingin menantang nyali untuk mendapat hampers kecil-kecilan dari kami mulai menempati kelompok-kelompok yang sudah ditentukan.

"Ikut, yuk, Tha!" ajak Anindya.

Aku menggeleng. "Capek, Nin. Gih, kamu aja."

"Sama Mbak, yuk, Nin!" Mbak Nura muncul dari dalam tenda.

Begitu sampai kembali ke perkemahan, aku langsung mengasingkan diri ke tenda. Tidak mau bergabung dengan anak OSIS karena pasti akan menjadi bahan kejailan mereka akibat tragedi tadi.

"Mbak Nura enggak jagain yang pada pingsan tadi?" tanyaku. Bukannya gadis satu ini yang bertanggung jawab di tenda kesehatan?

"Udah ada yang lain. Mbak, kan, juga pengen dapat hampers."

"Bagi-bagi, ya, kalau dapet. Cokelat aja enggak apa-apa." Aku menyeringai.

"Cokelat mulu, Neng." Mbak Nura mengacak rambutku. Orang yang merasa lebih tua kayaknya memang suka ngacak-ngacak rambut junior mereka, ya?

"Tenang, tenang. Akan Anindya libas semua permainan."

Kedua gadis itu segera bergabung dengan tim penakluk outbound. Setelah menenggak setengah botol air mineral, aku menghampiri salah satu pohon besar, duduk di akarnya yang menyembul besar seperti batang, lantas memperhatikan anak-anak menaklukan setiap tantangan. Mereka sangat bersemangat untuk mengalahkan satu sama lain. Bahkan Mbak Nura, Anindya, dan Kak Nola terlihat tidak mau kalah oleh junior mereka.

Hanya dengan melihat gempita yang ikutan outbound, aku sampai tidak menyadari jika waktu berlalu begitu cepat. Jam makan siang datang. Semua yang ikut bermain sudah harus menyelesaikan tantangan. Penampilan mereka sungguh menggelikan. Cemong di mana-mana.

Usai makan siang, kami segera berkemas untuk meninggalkan bumi perkemahan. Tenda-tenda kembali dilipat. Sampah-sampah yang berada di sekitar perkemahan dikumpulkan. Bekas api unggun dibersihkan. Sisa-sisa kayu api unggun kembali dirapikan. Tongkat-tongkat penyangga diikat jadi satu per kelas agar lebih mudah tersimpan dalam bus nanti. Satu sama lain penghuni tenda saling mengingatkan barang-barang kawannya.

Pak Abimana menekankan bahwa saat meninggalkan bumi perkemahan ini, kami tidak boleh meninggalkan sampah. Saat kami datang, tempat ini dalam kondisi yang bersih. Maka saat meninggalkannya, harus pula dalam kondisi bersih.

Setelah yakin tidak meninggalkan apa pun, satu per satu menaiki bus yang sudah ditentukan. Bus OSIS masih sama. Pengaturan duduknya juga tidak boleh berubah dari saat berangkat tadi.

Harus duduk sama Rashaka lagi, deh.

Saat aku masuk bus, cowok itu sudah duduk di bangku yang kemarin. Posisi dekat jendela.

"Sha?" Tatapanku sudah memohon saat menghampirinya.

"Apa?"

"Aku yang di situ, ya?"

Dia menggeleng. "Pas berangkat, kan, kamu udah di sini. Gantian."

"Sha, aku pelor. Bisa terjengkang kalau duduknya di sini." Masih kupasang wajah memelas agar cowok ini tergerak untuk bertukar tempat.

"Kasih kali, Sha. Anak gadis orang itu. Jangan dibuat nangis." Kak Reksa menyahut.

"Tukang paksa dasar!" Meski wajahnya tidak ikhlas, dia beranjak dan menyilakanku duduk di posisi seperti kemarin.

"Makasih." Sebagai anak baik, mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati seseorang itu wajib.

"Jaket kamu ke mana?" tanya Rashaka.

"Hah? O, jaket? Aku simpan di tas. Udah bau. Masa iya mau dipake terus?"

"Enggak bawa cadangan?"

Aku menggeleng.

Mendung yang sejak tadi menggelayuti bumi perkemahan akhirnya turun menjadi hujan saat bus beranjak satu per satu meninggalkan tempat ini. Sebenarnya, sejak kami tiba kemarin, mendung selalu menjadi kanopi di area perkemahan. Tidak perlu heran. Sekalipun memang sedang musim kemarau, karena area ini area gunung, hujan bisa turun kapan saja. Tidak mengenal waktu kemarau maupun penghujan.

Terpaksa tidak jadi membuka jendela karena air hujan bisa tempias dan membasahi tempat duduk kami.

"Pakai ini. Aku mau nyalain AC biar enggak gerah." Rashaka menyerahkan jaket denim kepadaku.

"Kamu enggak pakai?"

Dia menggeleng. "Kamu lebih butuh. Biar enggak masuk angin. Enggak tahan AC buatan pabrik, 'kan?"

Aku mengangguk.

Setelah AC menyala, aku menggunakan jaket Rashaka bukan hanya untuk tubuh, tetapi juga menutupi wajah--jaketnya kalau dipakai pasti kebesaran. Kantuk seketika menyerang saat hawa dingin menguar di sekitar dan sudah menjadi kebiasaan kalau aku tidur dalam kondisi perjalanan begini, harus ada sesuatu yang menutupi wajah. Ya, kan, takutnya pas tidur aku ngiler. Tidak enak dilihat nanti. Ha ha ha.

"Jangan diilerin, loh, jaketku."

Belum-belum sudah mendapat peringatan.

"Iya, iya. Entar aku cuci, deh, kalau sampai keileran."

Dia tidak membalas. Aku pun malas menyambung obrolan dan memilih tidur untuk memulihkan tenaga.

***

"Aduh!"

Seseorang menyenggol lututku yang terluka, membuatku mau tidak mau terjaga. Nyerinya berasa nikmat sampai ke ulu hati.

"Maaf, maaf. Enggak sengaja kesenggol pas ambil botol jatuh tadi." Wajah bersalahnya sangat lucu.

"Lagian botol pake dijatuhin." Aku meringis sambil mengelus-elus lutut untuk meredakan nyeri. Sebelum meninggalkan bumi perkemahan, aku sempat ganti baju dan celana karena merasa kurang nyaman. Bau matahari dan keringat bercampur saat hiking tadi. Nah, begonya Talitha malah pakai rok selutut untuk ganti di hari terakhir kemah.

"Ya, namanya musibah." Rashaka menyimpan botol yang jatuh itu ke bagian belakang bangku di hadapannya. "Masih nyeri?"

Aku mengangguk. Tatapannku beralih ke jendela. Eto ... mobilnya tidak jalan?

"Macet, Sha?"

Dia yang sekarang mengangguk.

"Udah berapa lama?"

"Ada kali satu jam."

Waduh! Bisa-bisa sampai sekolah malam ini. Ya, bagaimana Talitha pulang, dong? Minta jemput Ibu? Ya, mana mungkin! Ibu mana mau menjemputku dengan sepeda Isma.

"Ada kecelakaan, ya?" Biasanya, kalau macet selama ini karena ada kecelakaan kendaraan berat.

"Hu um. Truk nabrak minibus."

Ya Tuhan. Mendengarnya saja sudah membuatku bergidik.

Kuperhatikan seisi bus. Nyaris semuanya tertidur. Satu-dua orang sibuk bermain ponsel. Sebagian sibuk makan snack. Omong-omong, aku juga lapar.

"Sha?"

"Hm?"

"Masih ada cokelat?"

"Enggak tau. Cek aja di belakang."

"Kamu minggiran dulu."

Rashaka bergeser, sedikit menyerongkan posisi agar aku bisa keluar. Untung, ya, aku kuntet. Posisi lutut sedikit lebih ke bawah dari bangku. Jadi, lukaku ini aman dari gesekan dengan jok bus.

Gegas kuhampiri kardus-kardus berisi camilan yang ternyata masih sisa banyak. Kebanyakan, sih, ciki dan biskuit. Sayangnya, tidak kutemukan sebatang pun cokelat. Memang, ya. Barang mahal dan enak itu selalu lebih cepat habis.

Aku kembali ke bangku dengan wajah kecewa. Salah satu alasan kenapa aku lebih suka makan cokelat selama berada di bus adalah untuk menetralisir keinginan mabuk kendaraan. Bukan sekadar penahan lapar.

"Ada?"

Aku menggeleng. Lantas, kulihat dia merogoh bagian belakang jok di depan dan mengeluarkan satu batang cokelat yang diulurkan ke arahku.

"Buatku?"

Dia mengangguk.

Aku segera mengambilnya. Ingin rasa memeluk cowok ini karena sudah begitu baik mau memberikan jatah cokelatnya untukku, tetapi tidak boleh. Tidak sopan peluk-peluk cowok yang bukan saudara.

"Makasih, Sha."

"Hm."

"Aku maafin, kok, kamu yang tadi udah nyenggol lututku."

"Aku juga, kan, udah minta maaf," sungutnya.

Tak pedulilah. Yang penting aku berhasil mendapatkan cokelat ini.

***

Sesuai dugaan, bus memasuki area sekolah sekitar pukul tujuh malam. Padahal, kami berangkat dari sana pukul setengah tiga sore. Harusnya, paling lambat pukul lima kami sudah sampai di sini. Akibat adanya laka lantas, kami terjebak macet.

Tidak ada briefing atau upacara, bahkan absen pun tidak. Pak Abimana meminta kami untuk segera pulang. Sekolah meliburkan satu hari untuk besok mengingat kami cukup kelelahan setelah berkemah.

Tadi, sebelum turun dari bus, Raga bilang akan mengantar. Jadi, saat ini aku menunggu di gerbang luar. Beberapa anak OSIS kulihat pulang bersama, salah satunya Kak Reksa yang membonceng Mbak Nura. Rupa-rupanya, cowok satu itu tidak ingin kehilangan momen dengan gadis yang sedang didekatinya.

"Yuk!" Raga sampai dengan Si Matic tepat di sampingku.

Mereka yang kemarin datang menggunakan kendaraan sendiri akan dititipkan di sekolah sementara mereka Persami. Tenang saja. Ada satpam dan penjaga sekolah jadi semua kendaraan di sini aman. Terpenting, kunci masing-masing kendaraan dibawa pemiliknya.

Namun, saat aku hendak menaiki jok bagian belakang, panggilan itu membuyarkan semuanya.

"Kak Raga, boleh aku ikut?"

Jihan. Suara gadis itu menyela apa yang akan kulakukan.

"Eh? Eng ...."

"Ibu Jihan enggak bisa jemput. Ayah juga lagi enggak ada di rumah. Kita, kan, searah, Kak. Boleh, ya? Jihan takut pulang sendiri."

Tatapan memelas gadis itu sungguh mampu mengambil hati siapa pun yang melihatnya.

"Tapi, Ji. Aku ...."

"Plis, Kak. Tadi, Jihan juga udah bilang kalau mau ikut Kak Raga waktu Ibu telepon dan enggak bisa jemput. Ibu udah tau Kak Raga, jadi beliau enggak khawatir kalau tau Kak Raga yang nganter aku."

Alasan macam apa itu?

"Mending kamu anter Jihan, deh, Ga. Biar Talitha aku yang anter."

Kali ini aku menengok ke arah penunggang sepeda motor matic warna biru metalik. Dia turun dari Si Biru lalu menghampiriku, bahkan membawakan salah satu tas jinjingku dan meletakkannya di bagian cantolan depan motor.

Kesambet apa dia? Tumben baik begitu.

"Ayo, Tha. Udah malam, nih."

Aku menatap lebih dulu Raga yang tampak serba salah. Kutepuk bahunya pelan. "Enggak apa-apa. Ada Rashaka yang nganter aku. Kamu antar Jihan aja. Kalian juga searah, jadi sekalian kamu pulangnya. Enggak perlu bolak-balik lagi."

"Maaf."

Aku tersenyum setulus yang kubisa. Ada sesak memang, tetapi untuk apa diperlihatkan?

"It's okay." Aku beranjak menghampiri Rashaka yang sudah siap, bahkan tidak mematikan mesin sejak tadi. Seperti sangat yakin kalau aku akan ikut.

Ya, ikutlah! Ngeri juga kalau aku pulang sendirian jam segini, meskipun pernah. Ngeri mengingat kalau akhir-akhir ini sekitaran kampungku sedang tidak aman. Banyak rampok yang sedang berkeliaran. Kalau cuma rampok duit, sih, tidak masalah. Yang bikin takut itu kalau sampai si korban diapa-apakan. Ya Tuhan, membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk meremang.

Raga masih belum beranjak saat motor Rashaka melewati.

Aku duluan.

Begitu kalimat yang keluar dari bibirku tanpa suara. Bahkan, sepanjang perjalanan, aku dan Rashaka tak bercakap. Membuatku bertanya-tanya. Cowok ini ikhlas tidak, sih, mengantarku pulang?

"Stop di sini, Sha." Aku menepuk bahu cowok itu sebagai kode, beberapa meter sebelum halaman rumah.

Tampak Ibu dan Isma sedang duduk di kursi teras. Sepertinya sedang menungguku.

"Ini rumahmu?" tanya Rashaka menunjuk rumah di samping rumah Ibu.

"Bukan. Itu yang rumah orang tuaku. Kalau Talitha, sih, belum punya rumah sendiri." Aku menunjuk rumah kami.

"Iya, maksudnya begitu." Rashaka menepuk dahi, tampak frustrasi. "Kalau itu rumah orang tuamu, lah kenapa berhenti di sini?"

"Biasanya emang berhenti di sini."

"Dih!" Dia menatap aneh kepadaku. "Naik lagi."

"Hah?"

"Naik lagi cepetan!" Tatapan galaknya muncul.

Tidak ingin ribut di sini, aku kembali naik dan dia melajukan motor sampai tepat di halaman rumah Ibu.

"Katanya pulang jam lima, Mbak. Kok, sampai jam tujuh begini?" Isma memberondong.

"Macet, Dek. Ada laka lantas. Truk nabrak minibus."

Niat hati setelah turun ingin mengambil tas jinjing yang tercantol di bagian depan motor Rashaka, tetapi cowok itu sudah lebih dulu membawanya. Berjalan santai mendekati tempat Ibu dan Isma.

"Malam, Bu. Ini saya kembaliin Talitha-nya. Enggak kurang apa pun, sih. Cuma karena dia jalan enggak lihat-lihat, lututnya ada lecet."

Aku terbengong di tempat melihat tindakan Rashaka. Itu beneran Rashaka, 'kan? Kok ....

***

Hari-hari kembali berjalan normal. Kegiatan belajar-mengajar di semester ganjil kelas XI lumayan membuat otak bekerja keras. Ada saja pekerjaan rumah yang diberikan pengajar setiap harinya. Ulangan-ulangan yang mulai gencar diadakan untuk membantu para murid menambah nilai. Praktik-praktik yang tak kalah memusingkan dan melelahkan sekaligus menyenangkan. Musim kemarau yang telah beranjak memasuki penghujan.

Satu hal yang membuatku paling bahagia dari sekian kegiatan adalah toko Mbak Ginuk selesai renovasi. Kafe yang diimpikan Mbak Ginuk telah menjadi sasaran lokasi para ABG menghabiskan waktu usai pulang sekolah. Meski belum banyak menu yang dijual, tetapi hampir setiap hari kursi kafe tidak pernah kosong.

"Mbak senang lihat tempat ini mulai diminati."

Aku bisa melihat binar bahagia sekaligus haru di mata Mbak Ginuk. Siapa yang tidak bahagia jika bisa mewujudkan apa yang diimpikan? Aku saja ingin sekali segera mewujudkan impianku; menjadi penulis dan editor.

Selain itu, karena ada kafe, Mbak Ginuk menambah dua karyawan untuk membantu. Satu karyawan ditempatkan di kafe sebagai kasir dan satu lagi di lantai dua untuk membantuku mengurusi bagian buku dan CD, juga sebagai kasir khusus lantai itu. Mbak Ginuk mempercayaiku untuk bertanggung jawab mengenai ketersediaan stok buku dan CD.

"O, jadi ini kafe buku yang ramai dibicarakan anak-anak itu, ya?"

Aku segera menengok ke pintu masuk dan menemukan Nuri, Tiana, Anindya, dan Melisa.

"Hai, Tha!" Tiana melambai ke arahku.

"O, jadi juga kalian ke sini?" Aku menghampiri mereka untuk memberi sambutan. Saat masih di sekolah tadi, mereka sudah berencana untuk mampir dan melihat-lihat tempat ini.

"Jadi. Bukan kita aja. Ada Akmal, Dei, Dwi, Raga, dan Rashaka juga."

Entah bagaimana terjadinya, Rashaka bisa bergabung dengan Boys Over Flower-nya X-5. Mungkin karena Akmal bisa menjadi lem di antara para cowok ini. Ya, meski terkadang aku masih bisa melihat kecanggungan interaksi antara Raga dan Rashaka, tapi Akmal sukses membuat keduanya bisa berada di circle pertemanan yang sama.

"Halo, Mbak Ginuk." Nuri menyapa Mbak Ginuk.

"O, Nuri? Wah, bawa siapa aja, nih?" Mbak Ginuk memang sudah mengenal Nuri karena gadis itu beberapa kali kemari mencari buku bacaan.

Tentu aku yang memperkenalkan mereka.

"ABG XI IPA 2, Mbak."

"Kenalin, dong." Mbak Ginuk memang sangat welcome ke anak-anak yang main ke tokonya. Itu kenapa toko ini tidak pernah kehilangan pelanggan. Mbak Ginuk selalu menjadi pribadi yang asyik. Bahkan terkadang, ada beberapa ABG yang curhat colongan mengenai masalah hidupnya ke beliau.

Aku suka mencandainya dengan menyarankan agar Mbak Ginuk membuka tarif untuk jasa curcol.

"O, pasti." Nuri pun memperkenalkan satu per satu anak ingusan ini kepada Mbak Ginuk.

"O, kalau Raga, sih, Mbak udah kenal lama. Dia, kan, yang selalu nganterin Tha pul ... aduh!"

Aku buru-buru menginjak kaki Mbak Ginuk agar tidak melanjutkan kalimatnya saat diperkenalkan dengan Raga. Sampai detik ini, anak satu kelas belum ada yang tahu momen Raga selalu mengantarku pulang setelah jaga toko karena tidak ada satu pun yang arah pulangnya kemari.

"Apa, sih, Tha? Sakit tau!" sungut Mbak Ginuk.

Aku memberikan tatapan tajam kepadanya agar tidak membocorkan apa yang selama ini beliau lihat.

"Kenapa, Mbak Ginuk? Raga suka ngapain sama Tha? Tha siapa? Talitha ini?" Nuri mulai memberondong. Jiwa keponya susah dibendung.

"Kalian enggak mau nyari tempat duduk apa?" Akmal menginterupsi.

"Eh, iya. Silakan, silakan. Jangan pada berdiri di sini. Ngalangin yang lain."

Nuri masih mengirim tatapan ingin tahu saat Tiana menyeret langkahnya untuk duduk di salah satu set meja yang berisi lima kursi. Karena tidak ingin terpencar dengan para cowok, mereka menjadikan dua meja untuk sepuluh kursi dengan duduk berhadapan.

Aku segera menggeret Mbak Ginuk ke sisi toko kafe yang agak sepi.

"Jangan dibocorin kalau Raga suka nganter aku pulang."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan. Entar jadi gosip."

"Ih, kan enggak apa-apa. Seru juga digosipin pacaran sama orang ganteng."

Aku menepuk dahi frustrasi. "Pokoknya jangan untuk sekarang. Biar mereka tahu dengan mata kepala mereka sendiri."

Mbak Ginuk yang kali ini menggeleng-geleng.

Aku beranjak untuk kembali ke lantai atas.

"Have fun, ya, kalian!" seruku saat menaiki tangga. Kebetulan, meja tempat mereka nongkrong berada di sebelah tangga menuju lantai atas.

"Enggak mau gabung?" tanya Tiana.

"Enggak dulu, Ti. Lagi banyak kerjaan. Dah!" Dengan tergesa kunaiki anak tangga. Tadi, ada beberapa kardus yang baru datang. Aku harus segera memeriksa dan mencocokkan dengan daftar buku dan CD yang sudah diberikan Mbak Ginuk. Semisal ada kekeliruan atau kekurangan, kami bisa langsung segera komplain.

***

Aku cukup terkejut saat turun dari lantai buku dan melihat dua orang itu masih di sana. Kenapa mereka belum pulang? Kan, toko juga mau tutup.

"Yang lain udah pada pulang, 'kan?" Aku bertanya ke Mbak Ginuk sambil mengarahkan jari ke meja di mana Nuri and The Ganks tadi nongkrong.

"Nyisa dua orang itu. Enggak tau mau ngapain." Mbak Ginuk mengerling jail. "Samperin dulu sana. Mbak mau beresin kasir sama gelas-gelas bersih dulu."

"Aku bantu."

"Enggak usah. Mungkin mereka nungguin kamu."

Aku menghela napas. Nungguin aku? Mau ngapain memangnya? Sesuai arahan Mbak Ginuk, maka kuhampiri dua cowok itu.

"Kenapa belum pada pulang?" tanyaku tanpa perlu duduk sambil menatap bergantian ke arah mereka.

"Sore ini kamu pulang sama Rashaka, ya. Aku enggak bisa anter."

Entah apa yang terjadi, akhir-akhir ini memang Raga sering tidak bisa mengantarku pulang dari toko. Aku tidak masalah. Sama sekali. Toh, sebelum cowok itu sok rajin mengantar, aku sudah biasa pulang sendiri. Langit sore ini pun belum begitu gelap. Masih aman untuk seorang gadis berjalan kaki sepanjang jalanan yang sepi.

"Kamu enggak mau kasih tahu dia apa alasannya kamu enggak bisa antar pulang?" Kalimat itu muncul dari Rashaka.

Agaknya, mereka terlibat sesuatu yang aku tidak tahu.

"Ehm, kayaknya aku enggak perlu tahu alasan kenapa Raga enggak bisa antar. Itu hak dia, kok. Lagi pula, selama ini aku enggak pernah mewajibkan dia mengantarku pulang setelah dari toko." Aku hanya ingin meluruskan posisiku bahwa aku tidak pernah meminta siapa pun untuk mengantar pulang.

Entah hanya perasaanku saja atau memang kedua cowok ini sebenarnya sedang bertikai. Aku melihat sorot mata menuntut dari Rashaka kepada Raga. Sementara Raga lebih banyak diam. Seperti bingung untuk menjelaskan sesuatu.

"Mbak udah mau tutup kafenya. Kalian enggak mau pada keluar, nih?"

Aku menoleh ke Mbak Ginuk yang sedang memainkan kunci di tangan. Dari jendela kafe yang tembus pandang, tampak Mas Gun sudah menunggu di atas motor kesayangannya.

"Ayo keluar dulu!" ajakku sambil beranjak mendahului.

Keduanya mengekor tanpa suara lalu mengarahkan langkah ke teras kanan kafe yang juga menyediakan set meja dengan tiga bangku.

"Kenapa mereka?" tanya Mbak Ginuk saat aku membantunya menutup pintu kafe.

Aku mengangkat bahu.

"Jangan pada berantem di sini. Enggak enak sama tetangga."

"Aku tinggal pulanglah kalau mereka berantem."

"Kamu ini." Mbak Ginuk menepuk lembut bahuku. "Dah, ya. Mbak Ginuk permisi. Sudah dijemput suami tercinta."

"Ho oh. Hati-hati di jalan."

Mbak Ginuk sempat melambaikan tangan saat sudah duduk di boncengan, sedangkan Mas Gun hanya mengangguk sebagai salam pamit kepadaku. Kini, aku harus menghadapi kedua cowok yang entah sedang terlibat permasalahan apa sampai menungguku.

"Maaf, Tha." Lirih Raga mengatakannya.

"Untuk? Ah, karena enggak bisa antar. Ya, ampun. Kayak baru kali ini aja kamu enggak bisa antar aku pulang." Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi agar Raga tidak merasa bersalah.

"Mulai sekarang ... aku enggak bisa antar kamu pulang."

"Kenapa?" Pertanyaan itu lolos begitu saja tanpa kuminta.

"Aku ... aku ...."
***

Continue Reading

You'll Also Like

4.3K 645 11
Rasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira...
2.4K 436 13
Jewi merupakan seorang dokter ahli bedah yang jenius dan cekatan. Selain itu, dia juga merupakan salah satu dokter ahli bedah terkemuka di rumah saki...
422K 33.1K 26
[Sebelum baca, harap follow dulu akun ini!] Alexa Queen Ladyana, gadis cantik bak Dewi Yunani yang harus kembali ke kota asalnya, untuk menjalankan s...
591K 27.9K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...