Shy Shy Jwi ✔️

By A-GOLDIES-2005

10K 1.8K 302

Park Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong... More

01. Seterang Bintang
02. Sekelam Malam
03. Keputusan Takdir
04. Pejuang dan Cobaannya
05. Si Tameng Baru
06. Patah Mimpi
07. Dia Bukan Aku
08. Jisung, Dulu, dan Mimpi
09. Sang Tuan Kesalahan
10. Dia, Kim Hoseung
11. Cara Untuk Bangkit
12. "Si Kebaikan"
13. Hai, Kesedihan
14. Korban Lainnya
15. Kaum Kesengsaraan
16. Luka Tak Terkisah
17. Langkah Pertanggungjawaban
18. Awal Dan Akhir
19. Jendela Kerapuhan
20. Jisung; Misteri
21. Semanis Madu
22. Jelmaan Seorang Korban
23. Monster Deonghwa
25. Peringkusan Pukul 4 Pagi
26. Dari Seorang Kakak
27. Secuil Arti Teman
28. Perumpamaan Dari Chenle
29. Chae Eun; Muara Pertikaian
30. Chenle; White Lies
31. Human Can't Be Perfect
32. Kata Kim Doyoung
33. Broken Childhood I
34. Broken Childhood II
35. Dia Berevolusi
36. Buah Pengkhianatan
37. Terlanjur Hancur
38. Let The World Feel
39. Tumbuh Di Atas Luka
40. Kisah Anyar

24. Monster dalam Mimpi

117 23 6
By A-GOLDIES-2005

Suaranya yang mirip siulan melengking itu menyambangi udara. Detik jamnya masih mengalun, melengkapi secelah jeda yang sekali-kali membentang. Sangkar sunyi itu roboh tapi hanya untuk 10 menit lamanya. Kemudian, ketika si ketel senyap tak lagi mendendangkan instruksi mendidihnya air di dalam sana, dia diangkat. Isinya dituang ke dalam gelas bening yang lalu dibawa pergi.

Jisung menilik. Dini hari sementara di luar sana gelap masih belum menunjukkan tanda-tanda kepergiannya. Matanya tiba-tiba dipecut untuk terus melotot. Rasa kantuknya hilang. Mimpi buruk sialan itu benar-benar mengusir waktu rehat yang seharusnya.

Maka, Jisung merebah di atas sofa yang kulitnya mulai mengelupas. Tuk, gelasnya disimpan di atas meja. Tangannya giliran meraih remot. Dalam sekon berikutnya, layar kaca yang dinaungi keremangan itu menyala sempurna. Ibu jarinya berperan besar untuk menangkap channel menghibur. Mendorong potongan mimpi yang mengerikan jadi dia bisa melupakannya semudah membalikkan telapak tangan.

Tik, ganti. Tik, ganti. Tik, ganti.

Sampai berakhir pada hembusan nafas berat yang tak nyaman untuk didengar. Punggungnya merebah pada sandaran sofa. Tangan kirinya menyibak surainya yang terkadang jatuh nyaris menenggelamkan penglihatannya.

Memilih televisi untuk ditonton dini hari bukan opsi yang bagus. Seharusnya Jisung tahu bahwa di pukul itu, semua berita akan ditayangkan tanpa jeda. Yang mana membawa artian bahwa dia dipastikan segera mendapat kegagalan untuk tujuan menghibur diri.

Sekali lagi, mata itu mengerling ke jendela. Masih rapat tertutup tirai biru gelap. Tidak ada apa-apa di luar sana. Sekedar malam yang biasanya menyapa bumi diiringi nyanyian burung hantu samar atau gonggongan anjing bermeter-meter jauhnya.

Apa yang harus ditakuti?

Benda pipih yang ukurannya pas di tangan supernya itu dicampakkan; remote tv. Jisung meraih gelasnya. Teh hangat itu disesap. Manisnya yang pas dan suhunya yang membawa kehangatan untuk menyelimuti, sedikit ampuh melahirkan benih-benih kenyamanan. Pelan-pelan, takut yang tidak beralasan itu mulai pamit undur diri.

Saat obsidian gelapnya berkeliaran bak seekor kucing yang tertarik mengikuti perginya kupu-kupu cantik, Jisung menimbang-nimbang. Ponselnya terbaring tepat di sisi kiri remot tivinya. Kemudian tanpa alasan yang jelas, seseorang muncul berikut sebuah ide yang mengelibat sekilas.

Zhong Chenle. Dini hari begini, kira-kira dia masih bangun atau meringkuk lucu layaknya seekor anak anjing yang kedinginan?

Tubuh itu terdorong ke depan, menggapai ponselnya lalu kembali terduduk nyaman dalam posisi malas-malasan. Cahaya lain yang asalnya dari ponsel menyorot wajah. Si sobat Cina tampil dalam sebuah jepretan foto yang tepat dipasang sebagai profil. Tahu-tahu, Jisung bimbang.

Hubungi, tidak. Hubungi, tidak. Hubungi, tidak. Hubungi?

Jemari itu terangkat satu per satu untuk memutuskan lewat cara sederhananya. Lucunya begitu sampai pada keputusan akhir, kepala itu malah menggeleng.

Nggak, ah. Kasihan barangkali dia udah tidur.

Maka, Jisung berniat mengacuhkan ponselnya. Bukan masalah besar. Lagipula dia masih punya layar kaca yang siap menyapanya dengan 1001 kebosanan.

Tapi tiba-tiba, coba kirim chat deh.

Goyahnya ia malah menarik tali kesepakatan yang berbeda. Di pojok kanan, ibu jarinya siap menekan icon pesan untuk mengarahkannya pada obrolan. Mungkin sekedar pesan pendek yang mana isinya panggilan kecil atau ucapan selamat malam? Seandainya si konglomerat itu tiba-tiba membuat ponselnya berdenting, berarti itu takdir kecil yang sedang bersahabat dengan seorang Park Jisung.

Lalu, tut tut tut...

Yang hadir berikutnya malah dengungan lama. Jisung menganga. Dia salah pencet! Bagaimana seandainya Chenle terganggu? Yang mulanya bergelung nyaman di dalam selimut ratusan won miliknya tahu-tahu dikacaukan oleh telepon iseng Park Jisung?

Wah, besoknya Chenle pasti disulap menyerupai lintah darat yang kehilangan tanggul kesabaran sebab orang-orangnya tidak melunasi pinjaman.

Tapi, Park Jisung mana tahu bila seseorang dengan tidak terduganya malah menyahut dari seberang sana?

"Halo?"

Separuh disiram dengan kegembiraan dan separuhnya lagi ditimpa penyesalan, Jisung membalas berawal dengan sebuah dehem kecil untuk mengusir gugupnya. "Kamu belum tidur atau kebangun?"

"Aku? Tidur jam segini? Mana bisa. Ini masih sore buat Zhong Chenle." Suaranya amat meremehkan dari sana. "Baru jam 2. Biasanya aku tidur jam 3 atau yang paling lambat jam 5."

Jisung mengerjap-ngerjap. Pupilnya membulat membawa keterkejutan. "Hei! Itu nggak sehat! Kamu harus tidur dengan waktu yang bener."

Setengah malas, Chenle menanggapi. "Iya, iya. Lain kali aku tidur jam 4 sore bangun jam 6 pagi. Itu udah cukup sehat belum?"

"Terlalu sehat." Jisung menyahut sebelum Chenle menghadirkan grasak-grusuk kecil.

"Aku ragu kamu belum tidur. Bayi kayak kamu harusnya lagi mimpi jadi pangeran sekarang. Biar aku tebak. Kamu kebangun? Kenapa? Mimpi buruk? Lagi ketakutan makanya nelpon aku?"

Genggaman tangan kirinya mengerat pada si gelas bening. Diusap-usap seakan benda yang tengah ia pegang bisa meraup semua ketakutannya layaknya sebuah magnet. Birai bawahnya dikulum ke dalam, berusaha menipiskan kabut gugup yang tahu-tahu kembali bertamu.

"Ya.... Semacam kayak gitu." Enggan mengakui nyali yang tak setebal Chenle, Jisung tidak tergiur mengungkapkan dalam cara yang gamblang. "Aku ganggu ya? Maaf, tadinya cuma mau kirim pesan tapi malah kepencet telepon dan kamu keburu angkat."

Nun jauh di sana, Chenle berdecak. "Hei, ahjussi! Berapa kali aku bilang, kalau kamu nggak perlu kata maaf atau makasih sama aku? Denger ya, aku bisa jadi apapun buat kamu. Kakak, aku bisa. Gurumu, aku bisa. Motivator juga aku hafal. Kalau ibu, mungkin bakal aku coba. Kecuali peran buruk, aku nggak bisa. Maklum, aku anak baik."

Satu kekehan renyah dari Jisung mengudara. "Jadi kamu tidur sekitar jam 3?" Lagi, bola mata itu pergi sekejap untuk menilik jarum jamnya yang masih setia bergerak mengikis waktu.

"Aku bisa tidur kapanpun kalau aku nggak ngantuk. Kamu nggak perlu takut, aku nggak akan ninggalin kamu sendirian dan bikin kamu ngobrol sama angin. Apalagi ketakutan sampai mojok di kolong meja. Hahaha, dasar penakut!"

Jisung menyahut jengkel. "Mimpinya serem tahu! Emangnya kamu nggak pernah mimpi buruk?" Dia menyalak tak terima.

"Pernah."

Tiba-tiba, Jisung tertarik berperan sebagai pendengar. "Apa? Mimpi jadi miskin?"

"Bukan. Aku mimpi buruk jadi orang paling kaya sedunia. Kasihan Papa, nanti makin pusing gimana cara ngehabisin uangnya."

Kecil, Jisung mencicit. "Nggak normal."

Untungnya Chenle tak sepeka itu untuk menangkap dumelan kecil dari si sobat. "Kalau kamu?"

"Kenapa kamu harus tanya itu?! Bantu aku lupain, bukannya ngingetin! Aish." Lontaran kalimat berdasar kekesalan itu keras menyambangi udara. Chenle terbahak sementara Jisung berusaha mengantisipasi kabut ketakutan yang mulai menaungi dengan alibi menikmati tehnya.

"Iya, maafin aku bayi kecil~" Suaranya mendayu-dayu bagai bunda yang tengah mengasuh putra kebanggaannya. "Jadi, sekarang kamu lagi ngapain?"

"Minum teh sambil nonton tv sekaligus teleponan sama kamu. Aku multitalenta kan bisa ngelakuin 3 hal itu sekaligus?" Guyonan kecil itu disematkan.

Sayangnya, respon Chenle tak sesuai. Alih-alih menderaikan tawa atau setidaknya meluncurkan kritik bahwa candaannya berpuluh-puluh tingkat lebih rendah dari level-nya, dia malah menghela nafas. "Teh punya kandungan kafein, Jwi. Nggak lebih banyak dari kopi, sekitar 47 miligram. Tapi sama aja punya persentase buat cegah kamu ngantuk. Kenapa kamu minum teh? Jangan bilang kamu nggak tahu?"

Yang diberi ceramah singkat menunduk. Cairan bening itu sisa seperempat gelas. Sementara Jisung dibuat terpaku.

"Kenapa nggak minum susu? Kamu bakal lebih cepet tidur."

Menentang, Jisung menggeleng. "Nggak. Kamu pikir aku balita yang kalau tidur harus minum susu?"

Lagi, Chenle berdecak. "Sadar atau nggak, kamu emang kayak balita." Nada bicaranya mulai jengah. "Minum susu bukan berarti kamu masih kayak bocah kecil. Siapa yang bilang kayak gitu? Emangnya susu haram buat orang dewasa? Lucu banget kamu." Tak tergiur memberi Jisung pembelaan konyol, Chenle melanjutkan. "Kompor. Kompormu udah dimatiin kan?"

Berapi-api, Jisung menyahut keras. "Udah. Udah aku matiin, kanjeng!" Setengah kesal, dia membalas. "Chenle, kamu terlalu ngeremehin aku nggak sih? Jangan gitu dong, aku juga orang dewasa. Kamu bikin aku kelihatan kayak anak kecil."

"Dasar nggak tahu diri."

Jisung melotot. "Heh! Aku denger it-"

Bentakan itu tak pernah terselesaikan. Di dalam huniannya yang nyamannya mengalahkan istana, Chenle mengerjap kecil. Punggungnya menegak padahal mulanya dia berbaring dengan beralaskan selimut ketenangan. "Kamu denger? Wah ternyata telingamu peka juga." Kekehan kecil ikut diluncurkan.

Jeda.

Terlalu lama sepi memenuhi rungunya, Chenle dibuat bertanya-tanya. Tapak kaki yang lirih menyahuti kemudian. "Jisung? Kamu masih di sana kan? Ada sesuatu? Kamu liat kecoak?" Satu-satunya harap yang Chenle nanti-nanti hanyalah sebuah jawaban iya untuk tebakan konyolnya.

"Chenle..."

Lebih siap sedia, Chenle mengangguk sigap. "Iya. Ada apa?"

"Ada seseorang di depan rumahku."

Maka, tamat sudah segala pikiran positif yang ia tanam. Chenle sontak dibuat terkejut-kejut. Begitu suara si sobat memelan, Chenle tertular panik yang begitu kejam menghujam. "Orang? Dia nggak mencurigakan kan? Mungkin cuma orang lewat?" Dia turun dari singgasana kebanggaannya; tempat tidur. Membuka lemari, mencari-cari jaket yang ampuh melindunginya dari tusukan dinginnya angin malam. "Jisung, aku beneran bakal pukulin kamu kalau kamu bercanda sekarang."

"Sebentar..." Jisung memberi interupsi. Chenle terkesiap. Menanti-nanti barangkali Jisung terbahak puas sebab berhasil menjahilinya atau semacamnya. Tapi tidak, yang ia pinta tidak pernah terwujud. "Aku kenal dia."

"Kamu kenal? Kamu bener-bener kenal? Sekali lagi, jangan kerjain aku, Jisung. Ini nggak lucu." Chenle masih belum bosan mewanti-wanti.

"Aku kenal. Aku yakin nggak salah orang."

Chenle menarik nafasnya. Oksigen itu dipasok sebanyak mungkin. "Oke, kalau gitu, siapa?"

Satu detik. Dua detik. Tiga, empat, lima sampai nyaris sepuluh, Park Jisung belum mengudarakan sahutan sekecil apapun. Chenle dibuat gemas. Dia kemudian menyentak keras.

"Heh! Park Jisung! Jawab sekarang! Siapa?!" Dia nyaris meraung.

Kemudian, dalam volume yang makin melirih, nyaris menyerupai bisikan, Jisung mengudarakan satu pintanya dalam kelemahan yang melilit erat. "Chenle tolong..." Tidak, ini bukan berita baik. Chenle berani taruhan. Maka, kelewat lincah, dia meraih jaket hitamnya. Diselampirkan asal kemudian memecut langkahnya keluar dari tempatnya berpulang. "D-Deonghwa. Deonghwa di depan rumahku."

Mendeteksi adanya sebuah kejanggalan, Chenle mencecar. "Deonghwa? Ngapain dia di sana?! Jisung, dia nggak ngapa-ngapain kamu kan?! Cari tempat yang aman dan jangan keluar!" Chenle memberi petuah selagi kakinya melangkah lebar-lebar, memburu waktu.

Yang terjadi berikutnya adalah kesunyian. Jisung tidak menyahuti lagi tapi krasak-krusuknya meyakinkan Chenle bahwa bocah itu tengah berusaha menemukan persembunyiannya.

Sayangnya, bagian paling mengerikan yang Chenle dapat bukan pada pengakuan itu.

"D-Deonghwa. D-dia bawa linggis."

Tersentak keras, Chenle mengumpat. "Sialan. Sinting! Ngapain dia bawa benda itu?!" Setengah frustasi, Chenle mengabaikan teriakan sang Papa yang berusaha mencegahnya untuk pergi. "Jisung, dia ngapain?!"

"P-pintuku." Satu tegukan saliva diambil untuk menyingkirkan serangan paniknya. "Dia mau rusak p-pintuku pake l-linggis."

Dikuasai oleh gugup yang semakin membabi-buta, Chenle masuk ke dalam mobilnya. "Jisung! Jisung, dengerin aku. Jangan buka pintu. Tutup semuanya. Tetep di tempatmu dan jangan matiin telepon ini. Aku bakal sampai ke sana sekitar 10 menitan sama polisi. Tenang, oke? Aku ke sana sekarang."

Beritahu Jisung, bahwa orang itu, orang di luar sana yang tengah gigih mencongkel pintu rumahnya itu bukan Deonghwa. Bukan laki-laki polos korban perundungan. Bukan laki-laki kejam yang mampir di mimpinya setengah jam lalu.

Bukan, bukan dia. Iya kan?

ꗃꠂꠥ

(( haha, GO CHENLE! GO CHENLE! GO! ))

Continue Reading

You'll Also Like

117K 12.7K 39
Kini tidak ada Nct Dream, siapa mereka, mereka bukan siapa siapa lagi, bukan lagi 6 / 7 Remaja tampan yang siap menghibur NctZen, bukan lagi BB legen...
190K 19.4K 49
Mempersembahkan sebuah cerita dari 7 pemuda pemilik mimpi yang berbeda-beda namun satu tujuan. 'Punya uang banyak, hidup sejahtera, membahagiakan ke...
107K 10.4K 28
"Kau tak lain hanyalah orang asing disini, jaga bicaramu atau aku tak akan segan memotong lidahmu." "Kalau bukan karena janjiku kepada mendiang ayaha...
945K 45.2K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...