Ada yang Memang Sulit Dilupak...

Por aixora_28

1.4K 360 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... Más

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Ketujuh
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kesebelas
Momen Kedua Belas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Empat
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Kedua Puluh Sembilan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan
Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

Momen Kedua Puluh Satu

32 9 4
Por aixora_28

Setelah hari ini, masihkah ada esok untuk kita? Sebab, kedatangannya menjadi jembatan yang nyata.
***

Hari ini sama. Raga tidak menjemputku. Mungkin, dia kembali bertemu dengan Jihan di tengah jalan lalu memilih datang bersamanya. Ya, apa boleh buat. Olahraga ekstra lagi, ya, Tha. Terakhir kali bawa ransel penuh muatan sambil jalan kaki selama tiga puluh menit, tuh, kapan ya? Satu tahun lalu mungkin, ya?

Langit masih cukup gelap saat aku menapaki jalan beraspal menuju sekolah. Aroma embun yang melingkupi daun-daun padi memenuhi udara. Segar dan menenangkan. Meski kemarau, pagi di kampung kami masih sangat dingin karena dekat dengan gunung. Namun, justru ini yang mengasyikkan. Saat mengembus napas, uap dari dalam mulut ikut keluar. Persis seperti yang sering kulihat dalam drama-drama korea kalau adegan mereka bertemu musim dingin.

Aku berpapasan dengan Raga tepat di depan gerbang. Aku ingin baik-baik saja. Tidak ingin mempermasalahkan kenapa akhir-akhir ini dia jarang menjemput. Toh, siapa aku sampai memprotes keputusannya yang tidak bisa menjemput? Namun, rasa tidak nyaman justru hadir mengingat--entah bagaimana--akhir-akhir ini kami jarang mengobrol.

"Tha ...."

"Tha!"

"Anin!" Aku berseru saat melihat Anindya sudah di lapangan basket.

Gadis itu melambai, bahkan dengan wajah semringah memintaku untuk mendatanginya lewat kode tangan.

"Aku duluan, Ga!" Tanpa menunggu balasan dari Raga, aku bergegas menghampiri Anindya. Aku ingin menghindari Raga untuk sementara waktu.

"Aku udah izinin kita ke guru piket. Udah naro kertas izin juga di kelas."

Kita yang dimaksud Anindya adalah aku, dirinya, Rashaka, dan Raga. Tuhan menakdirkan kami untuk satu kelas selama dua tahun ke depan. Sungguh menggelikan nasib ini!

"Oke. Makasih, ya, udah sekalian dimintakan izin." Aku memeluknya.

"Ish, kayak sama siapa aja, ih! Kan, kita sekelas."

"Yok, barang-barang anak OSIS masukin ke bagasi. Kita pakai mobil yang itu, ya!" Kak Reksa mengomandoi sambil menunjuk salah satu bus pariwisata.

OSIS memang diminta berkumpul lebih dulu di lapangan sementara menunggu anak-anak kelas X baru berdatangan. Ada beberapa pengarahan dari Pak Abimana dan guru pendamping lain yang ikut acara ini. Tidak semua guru ikut, jadi KBM hari ini tetap berjalan, meski mungkin hanya setengah hari. Beberapa anak kelas XI dan XII yang ikut ekskul pun harus ikut Persami hari ini karena merupakan hari penentuan untuk memilih ekskul bagi anak kelas X.

Hematku, sih, seharusnya diliburkan saja, ya?

Tepat pukul tujuh, anak-anak kelas X diminta berbaris di lapangan basket sesuai gugus masing-masing. Sebelum berangkat, kami harus mengecek kondisi sekaligus persyaratan dan kelengkapan berkemah yang harus mereka bawa.

"Tenda kalian ada semua, 'kan?" tanyaku kepada seluruh anak di Gugus Hijau.

"Ada, Kak!"

"Obat-obatan? Yang pegang bagian obat-obatan, bagaimana? Dibawa, 'kan?"

"Bawa, Kak!" Seorang anak perempuan menyahut.

"Okeh, sip! Setelah ada komando dari Pak Abimana dan Kak Reksa, kalian boleh masuk ke bus yang sudah ditentukan. Jangan lupa cek barang masing-masing sebelum masuk bus, ya?"

"Siap, Kak Tha!"

Selama MOS, gugus ini memang sepakat untuk memanggilku Kak Tha alih-alih Kak Talitha. Mereka bilang kalau manggil Kak Talitha, tuh, kepanjangan. Ya, sudahlah. Terserah saja.

Untuk pengawas dalam bus anak-anak kelas X akan diambil alih oleh beberapa guru yang ikut. Sebagian besar guru-guru yang ikut Persami adalah mereka yang memegang tanggung jawab sebagai pembina sebuah ekskul.

Aku masuk ke bus paling akhir--atau begitulah perkiraanku--karena harus memenuhi panggilan alam lebih dulu. Berharap aku bisa duduk dengan Anindya atau Mbak Nura, eh, malah dua orang itu duduk bareng. Mana ambil yang hanya dua bangku. Menyebalkan sekali mereka. Tidak setia kawan.

"Curang enggak ngajak-ngajak!" protesku saat melewati bangku mereka.

"Maafkan." Mbak Nura menangkup dua tangan di depan dada, tetapi tersenyum jail. "Lagian, salah sendiri telat."

"Kan, panggilan alam. Enggak bisa ditolak." Aku memberengut.

"Kan, masih ada bangku kosong, Tha. Tuh, di belakang." Anindya menunjuk deretan dua bangku yang masih kosong atau lebih tepat memang bangku itu yang tersisa. Hanya satu bangku, di sebelahnya karena di sebelah lagi sudah ada pemilik. Entah siapa karena hanya ada jaket yang tersampir. Sementara seluruh bangku sudah terisi tas, jaket, dan anak OSIS lainnya.

Ya, apa boleh buat.

Aku menukar posisi. Jaket yang tersampir tadi berada di bangku pinggir jendela, sedangkan aku tidak bisa duduk di bangku dekat orang lalu-lalang. Kalau nanti dia protes, aku harus mengeluarkan jurus rayuan macam apa, nih?

Ah, masa bodoh. Biar itu dipikirkan nanti. Aku duduk di sana, membuka sedikit jendela agar udara masuk, lalu menutup wajah dengan jaket. Kalau tidak salah, perjalanan menuju lokasi butuh 2 jam. Kan, lumayan kalau dipakai untuk tidur.

Eh, iya. Titip pesan dulu ke Anin atau Mbak Nura biar membangunkanku saat bus sampai lokasi.

"Anind!" panggilku sambil melongok dari bangku samping.

Bangku Anindya dan Mbak Nura berjarak tiga bangku di depan.

"Apa?"

"Bangunin aku kalau udah sampai lokasi, ya?"

"Beres!" Jempolnya sampai mengacung.

Sip! Tidak perlu khawatir kalau begitu. Yosh! Mari kita nikmati perjalanan ini dengan bobo. Bodo amat siapa yang jadi teman perjalananku ini. Eh, omong-omong. Anak OSIS cowok belum semuanya masuk, ya? Waduh, otomatis yang duduk di sini cowok, nih. Bisa-bisanya rebut tempat duluan, tetapi orang menghilang entah ke mana.

***

Sayangnya, pesanku untuk Anind tak menjadi nyata. Aku malah terbangun lebih dulu. Pada dasarnya memang tidak bisa begitu nyaman tidur jika bukan di kasur sendiri. Apalagi tidur sambil duduk begini. Sangat kurang nyaman.

Aku merasakan dingin yang berbeda. Jendela bus yang tadi terbuka sedikit pun, kini tertutup sempurna. Begitu mendongak, aku paham dari mana udara dingin itu berasal. Baru ngeh juga kalau ternyata bus pariwisata yang ini pakai AC. Perasaan, pas masuk tadi aku tidak menyalakannya--memang sudah menyala lalu aku tidak tahu atau seseorang menyalakannya saat aku tertidur.

Aku menengok ke samping untuk tahu siapa teman duduk sepanjang perjalanan kali ini. Jaket yang tadi tersampir di bahu bangku sekarang malah menutupi wajahnya. Iseng dan penasaran, kusingkap sedikit jaket itu. O, ternyata Si Manusia Dingin anak Mading.

"Ngapain buka-buka? Ganggu orang tidur aja."

Eh, dia kebangun?

"Maaf. Kan, pengen tahu siapa yang duduk di sebelahku." Syukurlah bukan Raga yang di sini.

"Kalau udah tau, mau apa emang?"

"Hmm ...."

Aku memiringkan kepala, pura-pura berpikir keras. "Gangguin."

"Kamu, kan, emang suka gangguin orang."

"Gangguin kamu, baru bener."

Ekspresinya datar saja. Tidak ada mencebik, senyum, apalagi tawa. Heran. Kok, bisa ada cowok yang tahan dengan ekspresi datar begitu. Beban hidupnya sebanyak apa, sih?

Kembali kubuka jendela dan mematikan AC. Aku tidak terbiasa diterpa dingin AC. Bisa masuk angin nanti. Mending AC alami yang langsung diembus alam.

"Kok, dimatiin?" tanyanya.

"Aku enggak tahan dinginnya. Enggak apa-apa, ya, aku matiin? Jendelanya aku buka, kok, biar enggak gerah."

Dia tidak bersuara, sedangkan aku memilih menikmati pemandangan sepanjang jalan; atap-atap rumah yang saling berdempet, jalanan yang mulai menanjak, pohon-pohon pinus yang berjajar menguarkan aroma khas, serta embusan angin gunung yang menyejukkan. Harmoni alam yang memanjakan mata.

"Kamu lapar enggak?" Rashaka kembali bertanya.

Eh, tumben amat dia perhatian begitu.

"Sedikit."

Dia tidak membalas, tetapi malah beranjak ke bangku paling belakang. Aku melongok dari bangku yang dia duduki karena penasaran. O, ternyata di bangku paling belakang khusus meletakkan stok makanan dan minuman anggota OSIS.

Rashaka kembali membawa beberapa camilan: cokelat, roti, ciki, dan dua botol minuman rasa teh. Masing-masing item berjumlah dua.

Rashaka memasukkan beberapa item ke bagian belakang bangku di depannya--tahulah, ya, kalau jok bus bagian belakangnya seperti apa.

"Terserah mau ambil yang mana," katanya sambil mencomot satu bungkus roti lalu melahapnya.

"O, kamu bisa makan juga?" Aku merasa takjub seketika. Kupikir, cowok datar seperti Rashaka ini tidak bisa makan--atau tidak mau makan di depan orang.

"Aku masih manusia. Ya, bisa makanlah." Ada dengkus samar yang terdengar dari cowok ini.

Aku terkekeh singkat sambil mencomot satu batang cokelat yang meskipun gede, tetapi tidak rela untuk bagi-bagi.

"Kupikir, kamu alien yang enggak bisa makan makanan manusia."

"Kebanyakan nonton film kamu. Kayak Kak Akbar."

"Habisnya, kamu dingin banget jadi orang. Punya masalah hidup apa, sih? Sampe buat senyum aja jarang." Aku mendadak cerewet kalau sudah mengomentari ekspresi Rashaka.

"Emang aku keliatan dingin?"

Aku sampai tersedak mendengar pertanyaan cowok di samping. Dia tidak menyadari ekspresinya sendiri?

Aku terbahak seketika. Mungkin buat orang lain tidak lucu, tetapi untukku lucu. Sungguh! Bagaimana bisa ada orang yang tidak sadar akan ekspresi sendiri?

"Tha, kesurupan?" Seseorang mencolek kepalaku dari belakang.

Aku menengok dan menemukan Kak Reksa.

"Enak aja! Ini, loh. Ada manusia yang enggak sadar sama ekspresinya sen ...."

Mulutku sudah lebih dulu disumpal potongan roti oleh Rashaka.

***

Aku belum berbincang dengan Raga. Sama sekali sejak keluar dari bus. Dari gelagat yang sempat kucuri-curi pandang saat keluar bus tadi, tampak cowok itu ingin mengatakan sesuatu. Namun, aku membuatnya urung berkata karena sudah menghambur ke kerumunan OSIS cewek; bergabung dengan Mbak Nura dan Anindya untuk segera membenahi peralatan dan mendirikan tenda karena kami satu naungan.

Tidak marah. Hanya saja, aku merasa sedikit sungkan untuk saat ini. Entahlah. Seharusnya aku biasa saja, 'kan? Seharusnya, aku bersikap seperti biasanya, 'kan? Toh, selama ini, bukan untuk pertama kali dia tidak datang menjemput, 'kan?

Lalu, kenapa? Kenapa hari ini begini? Kenapa denganku yang saat ini?

"Aku bagian belakang, ya." Anindya sudah mengklaim lebih dulu posisi mana yang ingin ditempati.

"Aku samping Anindya, deh. Padahal pengen di belakang juga." Mbak Nura pun tak ingin ketinggalan. Ya, ampun mereka ini. Tidak bisa dipisahkan apa?

"Aku samping Nura." Kak Nana, anak OSIS perwakilan Paskibra pun turut ambil posisi.

Ketiga gadis itu menyeringai karena pada akhirnya yang menjadi penjaga pintu adalah aku. Satu tenda ini diisi empat orang. Rata-rata memang diisi empat orang, tetapi karena jumlah anggota OSIS ganjil, jadinya ada yang empat ada yang lima.

Setelah berhasil mendirikan tenda, kami berkumpul untuk briefing. Acara hari ini akan dimulai setelah semua tenda didirikan, istirahat selama lima belas menit, lalu upacara pembukaan Persami. Setelah itu ada permainan, pembacaan surat pemberian dari adik kelas untuk kakak kelas favorit, makan siang bersama, lalu istirahat sambil menikmati suguhan beberapa demo dari beberapa ekskul. Selesai demo, kami bersih-bersih lalu bersiap untuk pentas seni dan api unggun.

"Anak OSIS ada yang bisa masak?"

Aku mendengar suara Kak Reksa di antara tenda-tenda anak OSIS. Meski sebenarnya aku bisa memasak, tetapi kali ini aku tidak mau unjuk diri. Biar saja mereka. Sudah pusing aku memikirkan dialog apa yang akan kukeluarkan saat pertunjukan teater sederhana nanti, masa iya masih disuruh mikir masak menu juga?

Untungnya, Mbak Nura, Kak Nana, dan Kak Alisa dari ekskul Pramuka mengajukan diri untuk membantu dapur umum.

Setelah memberesi beberapa barang di tenda, aku menghampiri Gugus Hijau. Raga dan Rashaka sudah di sana,  bahkan sedang membantu kelompok siswi yang kesulitan membuat tenda.

"Semua perlengkapan aman, 'kan?" tanyaku ke kelompok cowok yang tendanya sudah jadi lebih dulu. Bahkan bentuknya sangat rapi dan nyaman. Agaknya, mereka cukup terlatih sebagai orang-orang yang biasa bertenda di alam terbuka.

"Sudah, Kak Tha." Seorang cowok menjawab. "Eh, iya. Yang tadi udah dikumpulin, kemariin," katanya sambil mengomandoi beberapa kawan yang kebetulan duduk di belakang dia.

Seorang cowok datang membawa satu kresek penuh entah berisi apa.

"Dari Gugus Hijau buat Kak Talitha, Kak Raga, dan Kak Rashaka. Diterima, ya."

Aku menanggapi kresek hitam berisi ... banyak sekali camilan, minuman botol beragam rasa, dan beberapa kado. Wah, wah, wah. Aku tak sangka mereka sangat care kepada kami. Padahal, selama mengawasi mereka, kami sering dibuat pusing. Agaknya, mereka ini The Next-nya X-5, deh.

"Wah, makasih, loh, Adik-adik Ganteng." Ya, sesekali dipuji sedikit tak apa.

"Sama-sama, Kak Tha Cantik."

Aduh, aku tersipu dipuji anak bujang! Cantik dari mana? O, pantas. Mata mereka pada minus rupanya.

Selesai mengecek anak-anak ini, aku menghampiri Raga dan Rashaka yang sepertinya telah selesai membantu kelompok cewek. Kuserahkan bingkisan tadi ke Rashaka.

"Dari siapa?" tanyanya.

"Anak-anak cowok. Care banget ternyata mereka."

"Dari kami, Kak Tha. Lebih tepatnya begitu." Seorang gadis berkepang sepuluh mengoreksi.

"O, ya. Dari Gugus Hijau lebih tepatnya." Aku menambah kekehan sebagai jawaban.

"Kalian awasi mereka, ya. Aku mau keliling bentar." Karena sedang menghindari Raga, aku tidak mau lama-lama bersama mereka.

Aku pernah bilang kalau di tempat ini ada beberapa gazebo yang biasa dipakai untuk tempat istirahat para wisatawan, 'kan? Nah, aku menghampiri gazebo itu untuk menikmati suasana alam di sini. Udara gunung memang beda, ya. Sejuk sekaligus dingin, tetapi menyamankan. Rasanya betah tinggal di tempat seperti ini. Kampungku memang dingin, tetapi tidak sedingin di tempat ini. Aku bisa membayangkan akan semenggigil apa besok pagi. Jajaran pohon pinus, lumut-lumut yang mendiami bebatuan dan tanah, serta pakis-pakis liar menjadi aroma khas yang berkelindan di udara.

"Sendirian aja, Neng? Abang godain, mau?"

Aku menengok ke suara buaya yang sedang berdiri di salah satu tiang pintu gazebo. Jangan tanya atau bingung itu suara siapa, ya? Tahulah pasti makhluk mana yang kupanggil buaya, 'kan?

"Enggak level, Bang. Gih, minggat!"

"Galak amat, Gusti." Cowok itu menepuk dahi lalu berjalan menghampiriku; duduk di ruang kosong tepat di samping kanan.

"Enak, ya, suasananya?"

"Hu um. Dingin-dingin gimana gitu." Aku merapatkan jaket untuk menangkal hawa dingin menggigit kulit.

"Jarang-jarang, loh, sekolah kita Persami outdoor. Beruntung, nih, tahun ini kebagian."

"Biasanya berapa tahun sekali ngadain Persami outdoor?"

"Pokoknya, selang-seling. Kalau tahun ini outdoor, tahun depan enggak."

"Berarti, Kak Reksa dua kali outdoor, dong?"

Cowok itu mengangguk.

"Enaknya." Aku mencebik iri. "Berarti, aku kebagian cuma sekali. Tahun depan enggak, dong?"

Lagi, cowok itu mengangguk.

Agak bikin iri, tetapi bersyukur karena duitku aman. Eh, lagi pula belum tentu tahun depan aku bisa masuk OSIS lagi. Inginnya, sih, tidak. Melelahkan.

"Kak Reksa perhatiin, kamu agak menjauh dari Raga. Lagi berantem?" tanyanya yang cukup membuatku terkejut.

Loh, dia memperhatikan? Perasaan, aku sendiri berusaha untuk tidak memperlihatkan.

"Enggak. Biasa aja, kok." Aku mencoba berkelit.

"Jangan bohong. Kakak enggak bisa dibohongin."

Aku kembali mencebik. Apa semua cowok punya jiwa paranormal, ya? Kok, selalu bisa menebak jalan pikiranku?

Aku menghela napas. Bingung sendiri. Aku merasa hanya butuh menarik diri dulu dari cowok itu.

"Enggak berantem, kok. Beneran." Aku sampai mengacungkan dua jari membentuk huruf V untuk meyakinkannya. "Cuma, mungkin, ya ... aku hanya harus menjaga jarak lebih jauh lagi dari dia." Eh, kok, malah curhat?

"Berarti memang ada sesuatu yang mengganggu di antara kalian."

"Eng--"

Telunjuk Kak Reksa teracung. "Kita enggak mungkin merasa terganggu tanpa sebab. Sekecil apa pun, pasti ada pemantik yang membuat perasaan kita terhadap seseorang sedikit berbeda. Selama ini, Kakak selalu lihat kalian baik-baik aja. Dalam arti enggak secanggung hari ini. Makanya, Kakak tanya ini ke kamu."

Berasa punya abang kandung. Aku bahkan tidak menceritakan apa pun karena aku sendiri tidak paham, tetapi Kak Reksa seolah tahu bahwa aku bermasalah dengan kondisi ini.

Kuarahkan tatapan ke barisan pohon pinus di depan. Dari sini aku bisa melihat kolam ikan yang biasa dipakai wisatawan untuk terapi. "Entahlah, Kak. Tha saja bingung bagaimana bisa bersikap begini."

"Dasar, Anak Kecil!" Kak Reksa mengacak rambutku lalu beranjak. "Udah mau upacara pembukaan. Ayo ke lapangan!"

Padahal, aku masih ingin berlama-lama di sini. Rupanya waktu selalu tahu bagaimana mengganggu keasyikan seseorang.

***

Setelah upacara pembukaan, kami dibebaskan untuk istirahat makan siang. Ada yang memilih jajan di tempat itu--beberapa kedai memang berdiri di sini. Ada yang sudah membawa bekal dari rumah. Ada yang menikmati suguhan hasil racikan teman sendiri, seperti anak-anak Pramuka dan OSIS.

Aku kembali mengasingkan diri setelah mengambil satu mangkuk nasi dengan kuah sup, sambal, dan tahu goreng. Memilih menikmati makan siang di gazebo tadi. Ada suasana bagus, kenapa tidak dimanfaatkan?

"Mau ke mana, Tha?" Anindya menegur saat aku melewatinya.

"Ke gazebo sana." Aku menunjuk gazebo tadi. "Mau ikut?"

"Enggak, ah. Capek. Mau makan di sini aja."

"Ya, sudah. Aku ke sana, ya."

"Gih!"

Aku kembali melangkah. Beberapa adik kelas menyapa saat kami berpapasan. Populer juga rupanya aku ini. Saat sampai di gazebo, rasanya aku ingin berbalik karena menemukan dia di sana. Namun, tidak bisa karena tatapan cowok itu seperti menuntut agar aku tetap ke sana.

***

Seguir leyendo

También te gustarán

55.5K 7.5K 35
Series ~ New Adult "Begitu banyak ragam manusia di dunia ini Gendis, mungkin bakal banyak hal yang mengagetkanmu kelak. Aku pernah seumuranmu, seumu...
2.6M 131K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
46.9K 898 9
Bagi Lana, Nathan Curtiss adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan suami. Pria itu tampan, kaya raya, baik hati, dan yang penting, ia tergila-gila p...
1.9K 230 9
📚 KUMPULAN CERITA PENDEK 📚 "Keep love in your heart. A life without it is like a sunless garden when the flowers are dead. The consciousness of lov...