BagasRara [END]

By ameliafitri583

3.1M 466K 167K

Spin off Young Parents [Bisa dibaca terpisah] _____ Menjadi seorang Ayah di usia muda tidak pernah terlintas... More

RaraBagas
|1| BagasRara
|2| BagasRara
|3| BagasRara
|4| BagasRara
|5| BagasRara
|6| BagasRara
|7| BagasRara
|8| BagasRara
|9| BagasRara
|10| BagasRara
|11| BagasRara
|12| BagasRara
|13| BagasRara
|14| BagasRara
|15| BagasRara
|16| BagasRara
|17| BagasRara
|18| BagasRara
|19| BagasRara (Flash back)
|20| BagasRara (Flash back II)
|21| BagasRara (Flash back III)
|22| BagasRara (Flash back IV)
|23| BagasRara (Flash back V)
|24| BagasRara (Flash back VI)
|25| BagasRara (Flash Back VII)
|26| BagasRara (Flash back VIII)
|27| BagasRara
|28| BagasRara
|29| BagasRara
|30| BagasRara
|31| BagasRara
|32| BagasRara
|33| BagasRara
|34| BagasRara
|35| BagasRara
|36| BagasRara
|37| BagasRara
|38| BagasRara
|39| BagasRara
|40| BagasRara
|41| BagasRara
|42| BagasRara
|43| BagasRara
|44| BagasRara
|45| BagasRara
|46| BagasRara
|47| Bagasrara
|48| BagasRara
|49| BagasRara
|50| BagasRara
|51| BagasRara
|52| BagasRara
|53| BagasRara
|54| BagasRara
|55| BagasRara
|56| BagasRara
|57| BagasRara
|58| BagasRara
|59| BagasRara
|60| BagasRara
|61| BagasRara
|62| BagasRara
|63| BagasRara
|64| BagasRara
|65| BagasRara
|66| BagasRara
|67| BagasRara
|68| BagasRara
|69| BagasRara
70 BagasRara
|71| BagasRara
|72| BagasRara
|73| BagasRara
|75| BagasRara
|76| BagasRara
|77| Epilog
|78| Extra part

|74| BagasRara

33.7K 6K 2.1K
By ameliafitri583

Jum'at, 25 Februari 2022

Sebelum baca mending siapkan tisu dan hati, part ini sedikit mengandung bawang.

||Happy Reading||

Merasakan operasi caesar untuk kedua kalinya tidak membuat Rara merasa tenang, ketakutan seperti saat operasi pertama sama-sama ia rasakan. Ruangan dingin berbau obat ini Rara rasakan. Terlebih setelah operasi caesar ini selesai, ia akan langsung melakukan operasi selanjutnya. Pengangkatan rahim.

Rara menutup matanya sambil mengatur napas, merilekskan tubuhnya untuk tetap tenang. Saat ini, operasi tengah berlangsung. Para dokter dan suster sedang berusaha mengeluarkan anaknya dari perut. Rara tidak bersuara sejak tadi, ia merapalkan doa untuk semua hal yang terjadi hari ini.

Di sampingnya, Bagas senantiasa menemani. Cowok itu pun sama tidak mengeluarkan suaranya sejak masuk ruang operasi. Bagas hanya diam, kadang menutup mata sambil menggenggam erat tangan Rara.

Bagas kembali ke dalam situasi ini. Berada di ruang operasi menemani istrinya demi melahirkan sang buah hati. Dua tahun lalu dan hari ini sama-sama menegangkan untuknya. Tidak ada rasa tenang dalam hatinya, Bagas menghawatirkan banyak hal. Setiap melihat wajah Rara, ia seakan di tarik untuk terus tersenyum. Namun tak bisa di pungkiri, perasaannya saat ini benar-benar cemas.

Bagas mencium lembut kening Rara dengan mata tertutup. Bau darah mulai tercium di hidungnya, dokter yang tengah bertugas masih sibuk dengan kegiatannya. Bagas dapat melihat kain penutup di sekitar dada dan perut Rara bergerak karena kesenggol tangan-tangan Dokter. Artinya, operasi ini hampir selesai.

"Sakit, gak?" Ia bertanya pelan sambil menatap Rara dalam.

"Nggak berasa apa-apa." Rara menggeleng pelan lalu tersenyum kecil. "Kan, di bius."

"Tapi nanti abis ini sakit, kan?" tanya Bagas lagi.

"Sedikit," jawab Rara.

Bagas menghela napasnya lirih. "Kalau bisa sakitnya di bagi-bagi aku siap nampung rasa sakit kamu," ujarnya membuat Rara tersenyum tipis.

Beberapa saat berlalu, Bagas dapat melihat tangan Dokter itu perlahan mengambil bayi dari perut Rara. Bayi kecil, sangat kecil dan penuh darah. Dokter mengangkat bayi yang baru saja di keluarkannya keatas, memperlihatkannya kepada Bagas dan Rara. Saat itu, tepat detik ke 7 di jam 7 malam suara tangisan bayi berjenis kelamin itu terdengar untuk pertama kalinya.

Rara meneteskan air matanya melihat anak yang tadi masih berada di perutnya kini dapat ia lihat secara langsung. Wajah bayi itu sedikit mengkerut dengan warna kulit merah. Suara tangisannya terdengar membuat hati Rara menghangat. Suara merdu yang perlahan mengecil saat Dokter membawanya untuk dibersihkan.

Sekarang, Rara dapat bernapas lega melihat anaknya lahir sehat dan selamat. Ia berhasil melawan rasa takutnya. Rara menoleh ke samping saat tangannya di genggam erat oleh tangan Bagas. Keningnya dicium lama membuat air matanya kembali menetes.

"Kecil banget anaknya," isak Rara mengingat ukuran bayinya tadi berbeda dengan ukuran Reya waktu lahir.

"Shh... dengerin aku." Bagas menangkup kedua pipi Rara dengan tangannya. "Nggak masalah kecil yang penting sehat dan selamat," tuturnya lembut.

Bagas memajukan wajahnya kembali mencium kening Rara, sebelah tangannya mengelus rambut lepek Rara pelan. "Makasih," bisiknya.

"Makasih sudah berusaha melahirkan anak aku ke dunia." Bagas tersenyum haru. "Makasih sudah memberikan aku jagoan yang tampan," tambahnya lembut.

Kepala Rara mengangguk kecil, bibirnya ikut tersenyum manis. "Sama-sama. Sekarang tugas Rara udah selesai."

Suster datang dan memberikan bayi yang sudah dibersihkan tadi kepada Rara untuk diletakkan diatas dadanya. Sesuai perintah Dokter, Rara meletakkan bayi ini di atas dadanya dengan perlahan. Rasa hangat kembali dirasakan Rara begitu kulit pucat anaknya bersentuhan dengan kulitnya.

Sekarang, Rara bisa melihat jelas wajah anaknya. Mata sipit tanpa bulu mata itu tertutup. Bentuk hidungnya membuat Rara menatap bayinya dan Bagas bergantian, ia tersenyum kecil. Hidung anaknya ini mirip dengan hidung Bagas.

"Assalamualaikum," bisik Rara tepat di telinga sang anak. "Selamat datang ke dunia, sayang."

Bagas ikut mendekatkan wajahnya dengan anaknya ini, ia memandang bayi kecil dan merah itu lama. Tangannya bergerak mengusap pipi tirus anaknya lembut, ia dapat merasakan betapa tipisnya kulit 'Ragas'.

Sepertinya nama Ragas sebentar lagi akan berganti dengan nama aslinya.

"Assalamualaikum, jagoan, Daddy," bisik Bagas mencium kening anaknya lembut.

Bayi itu bergerak pelan lalu disusul suara tangisan kerasnya, sontak hal itu membuat Rara mengerutkan keningnya heran. Suara tangisan anaknya terdengar serak, tubuh kecilnya bergerak seolah tak nyaman berada di pelukan Rara.

Dokter dan suster segera mengambil alih bayi itu, membawanya ke brankar khusus bayi untuk di periksa.

Tubuh Rara bergetar takut, ia meneteskan air matanya sambil memegang tangan Bagas erat.

"Bu, jangan banyak bergerak. Kami sedang menjahit bekas operasi caesar Ibu," ujar Dokter menegur.

"S-saya mau lihat a-anak saya," balas Rara gemetar. "A-anak saya gapapa, kan, Dok?" tanyanya takut.

"Anak Ibu sedang di periksa Dokter lain, harap Ibu tenang."

Jawabn Dokter itu tidak membuat Rara tenang, perasaannya semakin tak karuan begitu dua dokter lain di ruangan ini memeriksa anaknya di sudut ruangan. Rara menelan salivnya kasar, ia menangis dengan hati sesak. Aps yang terjadi dengan anaknya?

"Bagas mau kemana?" tanyanya saat Bagas melepaskan genggaman tangannya.

"Aku mau kesana." Bagas berjalan melihat Dokter yang tengah memeriksa anaknya. Ia menahan napas begitu matanya melihat beberapa alat kini menempel di tubuh kecil itu.

"Ada masalah, Dok?" tanyanya pelan.

"Detak jantung anak bapak tidak normal. Pernapasannya juga tersendat. Anak bapak ini kekurangan oksigen sejak berada di dalam kandungan, dan efek itu terbawa ketika lahir. Kami akan mengecek lebih dalam, harap bapak tenangkan Istri bapak agar tidak kepikiran," jelas Dokter wanita disana menatap Bagas sekilas dan kembali memeriksa.

Bagas meremas rambutnya sambil menutup mata, ia memandang bayi kecil itu sendu, anaknya terlihat lemah dengan berbagai alat menempel di tubuh mungilnya. Kenapa jadi seperti ini? Bukankah tadi semua baik-baik saja?

Anak Daddy kuat, anak Daddy kuat. Kamu belum ketemu kakak kamu. Bangun, ya. Peluk Bunda dan Daddy.

Bagas berbalik ke brankar Rara, ia kembali menggenggam tangan dingin Rara erat. Mencium keningnya seraya menahan air matanya agar tidak turun.

"Kenapa? Nggak kenapa-napa, kan? Baby-nya kuat, kan?" tanya Rara lirih.

"Iya, baby-nya kuat." Bagas tersenyum lembut di hadapan Rara. "Cuma ada sedikit masalah, tapi nanti kita bisa peluk dia lagi. Percaya sama aku," tuturnya.

"Kenapa lama periksanya?"

Bagas menggeleng pelan dengan mata berkaca. "Udah, ya, jangan dipikirin. Sekarang kamu tenang, perut kamu lagi di jahit, jangan banyak gerak. Habis ini kamu langsung operasi lagi, jadi jangan banyak pikiran," ucapnya lembut.

Rara balas memandangnya sendu. "Rara nggak mau operasi kalau gak dengar suara Ragas lagi."

Bagas menutup matanya, membuang muka lalu dengan cepat menghapus air mata di pipinya kasar.

"Iya, Ragas lagi di periksa. Nanti kita dengar suara tangisan dia lagi. Sekarang kamu tenang, ingat ada Reya yang nunggu kita diluar. Reya nunggu kamu peluk dia lagi. Berdoa semoga Ragas nggak kenapa-napa, Bismillah..."

•••

Reya menduselkan wajahnya ke dada Abdul sejak tadi, anak itu seolah enggan melepaskan pelukannya pada tubuh sang kakek. Reya memeluk Abdul erat, diam tanpa mengeluarkan suaranya setelah Rara masuk ruangan operasi.

Surti sudah berkali-kali membujuk cucunya agar pulang bersama, namun Reya akan menangis sambil menggelengkan kepalanya. Terlihat tidak ingin meninggalkan tempat ini sebelum melihat kedua orang tuanya datang.

"Maghrib, sekarang Reya pulang sama Abah, ya," ujar Abdul dibalas gelengan kepala Reya.

Abdul melirik istrinya sekilas lalu menghela napasnya. "Pulang, mandi, terus makan. Habis itu kita balik lagi kesini," bujuk Abdul.

Reya menggelengkan kepalanya tanpa membalas.

"Kalau Reya gak makan, nanti Bubu tau bisa marah. Mau di marahin Bubu?" ucap Abdul.

"Ndak." Reya membalas pelan.

Abdul lantas tersenyum. "Makannya sekarang pulang. Pulang, ya?" ajaknya sekali lagi.

"Mo andi ma Bubu," ucap Reya pelan.

"Nanti kalau Bubu udah sehat baru mandi sama Bubu, sekarang Abah yang mandiin dulu."

"Dadda." Reya mendongak menatap wajah kakeknya sayu. "Tama dadda, mau eluk Dadda."

"Iya, besok baru sama Dadda." Dengan sabar Abdul mengelus rambut Reya dan mengajaknya keluar rumah sakit. Reya tidak bisa terus berada disini, banyak penyakit yang bisa kapan saja menempel di tubuhnya.

Surti tetap menunggu di depan ruang operasi seorang diri, wanita itu menundukkan kepalanya sambil terus berdoa untuk keselamatan menantu dan cucunya di dalam sana. Semoga, semuanya berjalan lancar, doanya sejak tadi.

Apa yang akan terjadi jika Rara ataupun bayinya kenapa-napa. Surti tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Bagas jika hal itu benar terjadi. Ia tau, anaknya sangat mencintai Rara. Bahkan melebihi sayang kepada kedua orang tuanya.

"Ibu, Ibunya Bagas?"

Surti menoleh melihat seorang perempuan di sebelahnya. Dia tidak mengenal siapa perempuan itu. "Iya," sahutnya membuat perempuan di samping tersenyum lega.

"Saya Lia, tetangga Bagas dan Rara. Saya baru dapat kabar kalau Rara dibawa ke rumah sakit dari tetangga rumah. Benar, Bu?" Lia duduk di samping Surti dengan raut khawatir. "Rara kenapa, Bu?" tanyanya sekali lagi.

"Operasi."

Lia melirik pintu operasi lalu kembali menatap Surti. "Maksudnya operasi apa? Caesar?" tanyanya tak mengerti.

Surti mengangguk kecil.

"Kenapa bisa?" Lia menggeleng bingung, seingatnya usia kandungan Rara belum sampai bulan ke sembilan.

"Kamu dekat sama Rara?" tanya Surti.

Lia langsung mengangguk cepat. "Iya, saya tetangga depan rumahnya. Beberapa hari lalu saya liat Rara masih baik-baik aja, kenapa tiba-tiba jadi begini? Bukannya ini belum bulannya Rara lahiran?"

Surti tidak menjawab apa-apa. Bukan hak-nya menceritakan kejadian sebelumnya.

Lia yang tidak mendapat jawaban mendengus kesal. Ia menatap pintu operasi khawatir. Tetangga dekat yang bahkan sudah ia anggap adik sendiri sedang berjuang di dalam sana. Dan bisa-bisanya ia tidak mengetahui ini. Harusnya ia pindah setelah Rara melahirkan, bukan tiga hari lalu. Jika tidak pulang ke kontrakan untuk mengambil barangnya, mungkin ia tidak akan kondisi Rara sekarang.

Lia teringat sesuatu. "Reya mana, Bu?" tanyanya kepada Surti.

"Baru di ajak pulang sama kakeknya."

"Ini kok lama, ya? Rara gapapa, kan?" Lia berdiri ke depan pintu operasi mengintip, namun tidak terlihat apa-apa.

"Seharusnya untuk waktu operasi Caesar ini sudah selesai," ujar Surti.

"Kenapa Rara-nya belum keluar?"

"Saya tidak tau, saya bukan dokter."

"Ra... " Lia menggigit kukunya sambil mondar mandir di depan pintu. Khawatir dan penasaran menjadi satu. "Bagas di dalam, ya?"

Surti mengangguk pelan sembari menarik napasnya panjang. "Berdoa saja semoga semuanya berjalan lancar."

Ra, ayo. Kamu kuat, kamu perempuan terkuat yang pernah aku temuin. Adik teteh, pasti bisa. Lia menutup matanya sambil memegang pintu melapalkan doa berkali-kali.

•••

"Dok, detak jantung bayi melemah!"

Dokter segera melakukan tindakan usai Suster berteriak panik. Di bantu satu dokter lainnya, pemeriksaan dan penanganan dilakukan dengan bantuan beberapa alat yang di tempelkan ke tubuh bayi. Bayi yang tadi sempat menangis kini terlihat diam tak bergerak dengan kulit sedikit membiru.

Rara tidak dapat melihat apa yang dilakukan dokter itu kepada anaknya lantaran perut pasca operasi baru selesai di jahit. Dokter menyuruh tidak banyak bergerak agar tidak membuat bekas sayatan kembali terbuka.

Tidak ada hal yang bisa Rara lakukan selain diam menangis melihat kondisi anaknya sekarang. Hatinya teriris mendengar kalimat kalimat panik dari suster saat memberitahu Dokter. Rara tidak mendengar suara tangisan anaknya lagi, suara yang seharusnya saat ini terdengar kencang.

"Rara mau lihat." Tanpa memperdulikan kondisi tubuhnya, Rara nekat turun sebelum tangannya di tahan Bagas. Dokter juga menegur membuat Rara kembali ke tempat semula dengan perasaan sesak.

"Ibu bisa diam disini, biarkan Dokter dan suster menjalankan tugasnya."

"Nggak bisa." Rara menggeleng pelan. "Rag—"

"Ragas gapapa." Bagas menggelengkan kepalanya memasang senyum menenangkan. "Tenang, kamu tenang jangan banyak gerak," ujarnya lembut.

"Tenang?" Rara menatap Bagas berkaca. "Anak Rara disana kondisinya lemah, gimana Rara bisa tenang?" ucapnya pelan.

Bagas menarik napas banyak-banyak sebelum membalas. "Dia di tangani dokter, dia pasti nggak apa-apa." Bagas memeluk perempuan itu erat. "Ragas kita nggak akan kenapa-napa, percaya sama aku," bisiknya.

Bagas juga menghawatirkan keadaan anaknya, hatinya pun tidak bisa tenang sejak para dokter itu bertugas. Ia juga menghawatirkan kondisi Rara saat ini. Saat ini tubuh Rara tidak dapat dikatakan baik, wajahnya pucat. Dokter juga mengatakan risiko pendarahan hebat akan dialami Rara pasca operasi seperti ini.

"A-anak Rara... " lirih perempuan itu menangis membuat Bagas mengeratkan pelukannya.

"Cek pernapasannya." Suara dokter terdengar lantang yang sontak membuat Rara melepaskan pelukan Bagas.

"Detak jantung semakin melemah."

"Tidak ada napas yang keluar dari hidung, tetapi jantungnya masih berdetak meskipun lemah."

Dokter disana sekali lagi memeriksa detak jantung dan pernapasan, tak hanya sekali bahkan berkali-kali dengan teliti. Salah satu dokter meletakkan jarinya di bawah hidung bayi kecil itu, tak lama dia terdiam dengan ekspresi diam. Matanya melirik ke belakang kemudian mengecek detak jantung sekali lagi. Namun kali ini, semuanya sudah tidak terasa apa-apa. Detak jantung dan napasnya tidak lagi terdeteksi. Tubuh bayi kecil itu perlahan diam tak memberikan pergerakan apapun.

Dokter melirik Suster lalu menghela napasnya pelan. Dia melepaskan alat-alat di tubuh bayi kecil itu dan berjalan ke tempat sang Ibu.

"Maaf, Pak, Bu." Dokter wanita, bername tag Alya Azzahra menatap kedua pasangan di depannya dengan sangat menyesal.

"Anak kalian sudah meninggal. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik."

"M-meninggal?" Bagas membeku lirih.

Dokter mengangguk. "Ada kebocoran pada jantungnya dan kesulitan bernapas. Kami turut berduka cita, pak, Bu."

"Dokter pasti salah periksa!" Rara menggeleng keras, ia memandang dokter dokter di ruangan tajam. "Anak saya masih hidup! Dia nggak meninggal! Dia masih hid... " Rara menepis tangan Bagas di bahunya. Tatapannya melirih sambil menatap dokter wanita di hadapannya kosong. "Hidup. Anak saya masih hidup!" sambungnya penuh penekanan.

Bagas menahan berontakan Rara sambil terus menggeleng. Otaknya seakan kosong saat kabar ini terdengar dari mulut dokter. Bagas terus memegang tubuh Rara yang hendak turun, suara tangisan histeris Rara semakin membuat pertahanannya runtuh. Bagas tidak bisa lagi menahan air matanya turun.

"NGGAK! DOKTERNYA BOHONG BAGAS! RAGAS MASIH ADA! TADI DENGAR, KAN? RAGAS NANGIS, DIA MASIH ADA. DOKTERNYA BOHONG!!"

Rara menggelengkan histeris kepalanya sambil terus mencoba turun. "Dokternya jahat... hiks." Suara Rara kian melemah. "Anak kita masih ada!"

"Ibu masih mempunyai kesempatan melihat wajah anak ibu untuk terakhir kalinya." Dokter Alya mengkode Suster untuk membawa bayi kecil itu dari tempatnya.

Bagas menghapus air mata Rara, sedikit menundukkan tubuhnya setara dengan Rara. Ia menggigit bibir bawahnya agar tidak ada isakan apapun yang terdengar.

"Kita sempat dengar suara Ragas," ucapnya pelan, menarik napas sebelum melanjutkan. "Sekarang, kita ikhlas, ya?"

Rara menangis histeris. "Nggak!" Ia menggeleng tegas. "Rara nggak ikhlas! Nggak boleh ada yang pergi! Nggak Ragas, jangan Ragas! Reya belum lihat wajah adiknya, Ibu dan bapak belum ketemu cucu laki-lakinya. Papa, Papa bel—"

Bagas memeluk Rara meski terus mendapat berontakan.

"Rara yang mengandung delapan bulan nggak rela dia pergi begitu aja," Isak Rara dipelukan Bagas. "Kita udah beli semua perlengkapannya, kita udah beli baju-bajunya. Kita udah siapin namanya. Kita juga udah siapin rumah yang lebih baik buat tempat tinggalnya." Ia kembali menggeleng sembari menangis. "Jangan Ragas, Ragas nggak boleh pergi..."

"Akh! " Rara meringis saat perutnya tiba-tiba sakit. Tubuhnya berasa tak ada tenaga, rasa lemas dan nyeri bekas operasi tadi membuat rintihan keluar berkali-kali dari mulutnya.

Dokter disana dengan cepat memeriksa dan meminta Rara untuk tidak banyak gerak. Jahitan tadi masih sangat basah, akan bahaya jika sampai terbuka. Di tambah, kondisi tubuh Rara yang masih lemas pasca operasi.

Salah satu Suster menyerahkan bayi kecil itu ke tangan Bagas dengan sangat hati-hati. Bayi kecil dengan wajah pucat yang tubuhnya perlahan lahan mendingin.

Air mata Bagas menetes melihat wajah tampan putranya yang tadi masih menangis kini diam bak boneka. Bagas mencium kening putranya lama, ia terisak kecil saat bibirnya merasakan suhu dingin kulit tipis putranya itu.

Ayo nangis lagi, daddy dan bunda mau dengar suara kamu. Batinnya memejamkan mata.

Bagas meletakkan anaknya ke atas dada Rara, dengan pelan sambil memegangi punggung belakangnya. Wajah bayi kecil itu menempel di dada dan mendongak dengan wajah Rara.

Rara menarik napasnya lirih, tubuhnya sekarang tak dapat bergerak banyak selain memeluk anaknya seerat mungkin. Pelukan yang mungkin akan menjadi kesempatan terakhirnya sebelum berpisah untuk selama-lamanya. Rara memandang wajah anaknya lembut, mata yang yang seharusnya terbuka melihat dunia sekarang justru tertutup. Tetes demi tetes air matanya berjatuhan mengenai pipi sang anak.

"Bunda mau dengar suara tangisan kamu lagi," bisiknya bergetar. "Ayo, nangis. Bunda mau dengar."

"Anak Bunda, jagoannya Daddy, adiknya Kakak. Ayo nangis... " Rara mencium kening anaknya lama, tidak bisa menahan suaranya bergetar saat hawa dingin terasa di bibirnya.

"Kasih bunda satu kesempatan untuk dengar suara kamu, terakhir kalinya. Seenggaknya untuk terakhir kalinya, Bunda mohon" pinta Rara lirih.

Bagas menuduk, lalu tak lama ia ikut mencium kepala anaknya lembut. Menahan nangis tidak semudah bayangannya, mencoba terlihat kuat tidak semudah itu. Bagas merasa hatinya teriris melihat permintaan lirih Rara kepada anak mereka yang sudah tidak bernyawa.

"Kamu nggak boleh pergi... " Rara kembali menangis hebat, ia memeluk tubuh anaknya sangat erat. Enggan melepaskan dan kembali disadarkan kalau tubuh diperlukannya ini sudah tidak memiliki nyawa lagi.

"Udah," ujar Bagas segera menghapus air matanya, ia mencium kening Rara sambil mengusap lembut rambut perempuan itu. "Ikhlas, ya? Harus ikhlas, sekarang lepasin pelukannya," ucapnya membuat Rara menggeleng.

"Ra... " Bagas menatap wajah anaknya sendu. "Makin lama makin nggak baik, sayang."

Rara tetap menggeleng sembari terus memeluk tubuh anaknya. Ia belum rela, hatinya tidak ikhlas. Ini nggak adil untuk Ragas, untuk anaknya. Sejak di dalam kandungan Ragas sudah banyak mengalami kesulitan, banyak yang tidak menyukainya. Sekarang, hanya sebentar kesempatannya mendengar suara Ragas. Rara tidak akan pernah rela.

"Nggak mau!" Sambil menggeleng tegas, Rara menahan Bagas yang hendak mengambil alih tubuh Ragas darinya.

"Bu, Ibu harus segera melakukan operasi rahim sebelum terjadi pendarahan hebat pasca melahirkan. Kita tidak bisa menunggu waktu lebih lama lagi. Anak ibu pun harus segera di urus."

"Saya nggak mau operasi sebelum dengar suara anak saya!" balas Rara menolak keras.

Dokter itu menatapnya sendu. "Tapi anak Ibu sudah meninggal, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa terdengar suaranya lagi. Kami meminta Ibu ikhlas, lancarkan semua proses sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Pikirkan kondisi Ibu juga, tubuh Ibu masih sangat lemas," tuturnya memberi pengertian.

"Kenapa saya nggak punya waktu banyak untuk melihat anak saya, dokter?" Rara memandang dokter Alya lirih.

"Kuncinya Ibu harus ikhlas, relakan kepergian anak ibu."

Rara menggeleng. "Tapi saya nggak ikhlas," balasnya kecil.

Ia mengalihkan pandangannya ke Bagas, kembali menggelengkan kepalanya menolak Bagas mengambil anaknya. "Sekali lagi, Rara yakin Ragas dengar suara kita. Dia pasti kembali, dia cuma tidur sebentar," ujarnya meyakinkan.

Bagas mendekatkan wajahnya kemudian mencium kening anaknya lembut, setelahnya ia menatap Rara dan menganggukkan kepalanya. Hal itu membuat Rara tersenyum.

Bagas tidak dapat melakukan hal lain selain menuruti permintaan Rara. Meskipun mustahil, tetapi semoga ada keajaiban kepada anaknya. Bagas berharap, semua ini hanya mimpi.

Bagas memposisikan tangannya agar bisa memeluk Rara dan anaknya bersamaan. "Assalamualaikum" Dengan pelan, ia mengelus wajah anaknya lembut.

"Daddy mau dengar suara tangisan kamu lagi, nak. Ayo nangis, buka matanya. Disini Bunda nunggu kamu," ujarnya berbisik.

"Ayo nangis... " Bibir Rara bergetar melihat tidak ada perubahan apa-apa, tidak ada pergerakan dari anaknya, tidak ada napas yang keluar, tidak merasakan detak jantung anaknya. Tidak ada harapan lagi.

Ia menutup matanya sambil menahan sesak di dadanya. Percuma, apapun yang ia dan Bagas katakan tidak akan dapat merubah takdir Tuhan. Anaknya sudah pergi, pergi sebelum ia sempat melihatnya lebih lama.

"Bunda nggak maksa kamu nangis lagi," ucapnya lirih.

Bagas menatap Rara kemudian mengelus rambutnya lembut. "Udah ikhlas?" Rara mengangguk pelan sebagai balasan.

"Ikhlas." Meski menjawab begitu, namun hatinya terus berkata tidak. Masih mengharapkan keajaiban saat ini sebelum semuanya terlambat.

Perlahan, Rara mengendurkan pelukannya dan menyerahkan Bagas untuk memindahkan dari dadanya. Sebelum benar-benar terlepas, Rara mencium kening anaknya lama. Sangat lama sembari mengucapkan selamat tinggal.

Saat Dokter hendak mengambil bayi itu dari tangan Bagas. Sebuah pergerakan kecil dari tangan mungil itu membuat Dokter tersentak. Suara yang membuat Bagas dan Rara saling tatap, mereka melihat tangan mungil Ragas memberikan pergerakan meski pelan di dalam gendongan Dokter.

"Cepat lakukan tindakan!" Dokter dokter disana kembali memasangkan alat pada butuh bayi itu.

Lalu, disusul dengan suara tangisan serak yang memenuhi ruangan.

Beberapa menit memeriksa. Salah satu dokter menghampiri dengan senyum dan raut bahagia.

"Detak jantung anak kalian kembali berdetak. Suhu tubuhnya pun kembali menghangat. Kami akan melakukan tindakan khusus untuk memeriksa kondisinya lebih detail. Ini sebuah keajaiban, anak kalian mendapatkan kesempatan hidup untuk kedua kalinya."

Rara langsung menangis, kali ini adalah tangisan bahagia. Saat Bagas memeluknya erat, Rara hanya bisa menangis. Saat Bagas berkali-kali mengucapkan kalimat syukur, Rara mengaminkan dalam hati. Mulutnya terlalu kelu untuk sekedar mengeluarkan suara.

Terima kasih sudah memberikan kesempatan kedua.

Rara membalas pelukan Bagas sembari memperhatikan aktivitas Dokter disana memeriksa anaknya. Ia tersenyum haru, rasanya ingin langsung memeluk tubuh kecil itu sekarang. Namun tubuhnya berkata lain, rasa lemas semakin ia rasakan membuatnya seakan tidak memiliki tenaga.

Mata Rara mengerjap lirih tanpa mengalihkan pandangannya dari sang anak. Bibirnya tersenyum tipis, kemudian melengkung ke bawah begitu nyeri di perutnya kian terasa.

Tunggu bunda peluk kamu lagi, tunggu bunda selesai operasi. Jangan tutup mata kamu. Batin Rara sampai perlahan kegelapan merenggut kesadarannya.

"Bhumi..."

Kalimat terakhir yang keluar sebelum kesadarannya benar-benar hilang.

Batas➖➖ Suci

Hai, apa kabar bestie?

Gimana part ini?

Maaf baru bisa update sekarang, kemarin² ada urusan sekola.
Aku ngga mau janji kapan tepatnya update part selanjutnya, tapi mungkin malam Rabu atau nggak malam Sabtu lagi. Tapi bisa jadi lebih cepat, semoga

Apa yang mau di sampaikan ke mereka?

BAGAS

RARA

REYA

RAGAS

Ngga tau mau sedih atau bahagia di part ini, rasanya campur aduk

Follow Instagram untuk mengetahui kabar² terbaru dan spoiler² part
@fitriamelia_101
@bagasabdul61

Vote and Coment
Next part 👉

Welcome to dunia baby B 👐

Cieee yang udah jadi kakak 😄

Continue Reading

You'll Also Like

600 62 5
Menikah dengan kakak kelas bad boy yang jadi musuh bebuyutan semasa SMA bukanlah sebuah impian yang indah. Tetapi hal itu di rasakan oleh Lavina Pram...
219K 34.2K 35
Bagaimana rasanya menjadi orang tua dadakan ketika usiamu masih menginjak delapan belas tahun? Menyebalkan bukan? Itulah yang di rasakan Erlan selepa...
4M 300K 48
Dipersatukan oleh ikatan yang sah! Siapa sangka, orang yang ia suka selama 2 tahun itu tiba tiba bisa menjadi suaminya. Aksa si cowok cool yang penuh...
9.8M 433K 90
Terpaksa dijodohin sama siKetos letoy, Elisa rasanya hampir gila! Elisa si troublemaker disekolahnya. Suatu hari dijodohkan dengan Reynald ketos rama...