Ex Boyfriend | Jung Jaehyun

By selvimeliana

18.1K 1.2K 696

๐‚๐จ๐ง๐ญ๐ž๐ง๐ญ ๐ฐ๐š๐ซ๐ง๐ข๐ง๐ (๐ฌ) ; ๐๐ก๐ฒ๐ฌ๐ข๐œ๐š๐ฅ ๐ญ๐จ๐ฎ๐œ๐ก, ๐ค๐ข๐ฌ๐ฌ๐ข๐ง๐ , ๐œ๐ฎ๐๐๐ฅ๐ž, ๐š๐ฅ๐œ๐จ๐ก๐จ๐ฅ... More

PROLOG
01. Masih Tentang Liana
02. Dia?
03. Mimpi Buruk
04. Masa Lalu yang Kembali
05. Kisah Itu Sudah Berakhir
06. Berawal Tantangan
07. Hari Pertama
08. Hanya Sebatas Bertemu Lagi
09. Realita Mereka
10. Pantas Bahagia
11. Galen Daumzka
13. Satu Kebenaran Lagi
14. Masa yang Berbeda
CERITA BARU
PEMBERITAHUAN ! ! !
15. Mereka Hanya Masa Lalu, kan?
16. Lekas Sembuh
17. Apa Damai itu Benar Ada?
18. Ending
19. Putus Asa
20. Terima Kasih
21. Reuni Masa Lalu
22. Reuni Masa Lalu 2
23. Deja Vu
24. Lunch
25. Hujan Malam Ini
26. Kenangan Masa Lalu
27. Bukan Sekedar Harapan
28. Masih Butuh Waktu
29. Tahapan
30. Tersampaikan
31. Terbalaskan
32. Bagian Masa Lalu
33. Janji
34. Menikmati Waktu
35. Lamaran
36. Terungkap
37. Happy Wedding
EPILOG

12. Serpihan Kebenaran Tentang Aldi

255 27 43
By selvimeliana

Niat Aldi berkunjung ke rumah Vero kali ini berjalan dengan lancar, tidak seperti waktu itu. Aldi berhasil bertemu dengan kedua orang tua Vero berkat janji temu yang mereka buat lebih dulu sebelum akhirnya Aldi berkunjung.

Alasan Aldi menemui kedua orang tua Vero kali ini bukan hanya sekedar untuk bersilaturahmi saja, tapi ia juga berniat membahas beberapa hal mengenai perusahan yang ditanganinya sekarang. Sebelum berpindah tangan kepadanya, perusahaan itu memang dikelola oleh ayah Vero atas persetujuan ayah Aldi waktu itu.

Perusahaan yang bertahun-tahun dikelola oleh orang lain, tentu membuat Aldi harus belajar lebih mengenalnya lagi. Ia harus mengenal beberapa masalah berusahaan, dan berbagai hal lainnya yang terjadi saat perusahaan dikelola ayah Vero.

Setelah membahas perusahaan, Aldi berbincang-bincang tentang banyak hal di ruang keluarga rumah Vero. Ibu Vero yang tadi sempat bergabung, kini sudah pergi ke dapur untuk memasak makan siang nanti.

"Nanti sekalian makan siang disini saja, Al," ajak ayah Vero kepada cucu dari kakak ibunya itu.

"Boleh, om."

"Vero juga nanti pulang pas makan siang, jadi nanti kita makan sama-sama," ucapan ayah Vero kali ini hanya bisa dibalas senyum oleh Aldi. "Om sudah dengar apa yang terjadi sama kalian. Om harap hubungan kalian bisa cepat membaik."

Aldi meremas-remas tangannya. Pria itu sempat menunduk, sebelum akhirnya kembali menatap ayah Vero. "Semua salah aku, om jadi wajar aja kalo Vero marah bahkan membenci aku."

Ayah Vero menghela nafas. "Kenapa tidak kalian bicarakan baik-baik saja daripada harus pakai tenaga?"

"Udah terlalu lama sampai aku gak tau harus mulai cerita darimana ke Vero, om."

"Jadi sampai sekarang kamu belum kasih penjelasan kenapa kamu waktu itu pindah, dan menghilang tanpa kasih kabar?"

"Belum, om."

"Om memang tidak tau juga alasan kamu mengenai itu semua, tapi om juga yakin kalo kamu punya alasan kuat. Om juga yakin kalo Vero mau dengar penjelasan kamu walaupun itu sangat terlambat."

Selain menghilang tanpa kabar di mata teman, dan juga sahabatnya, Aldi juga menghilang dari semua anggota keluarganya. Segala media sosial yang menghubungkan Aldi dengan mereka, Aldi hapus tanpa sisa dan setelah itu Aldi juga tidak membuat akun media sosial lagi. Tidak ada yang tahu kabar Aldi, dan Aldi sendiri juga tidak mencari tahu kabar mereka.

Selama bertahun-tahun, hanya kedua orang tuanya yang masih berhubungan dengan keluarganya yang ada di Indonesia, tapi itu pun tidak sering. Mereka hanya sesekali memberi kabar, terutama saat ada hal penting saja.

"Ngapain disini?"

Lamunan Aldi menghilang seketika setelah ia kembali mendengar suara berat yang dulu selalu terdengar menyebalkan. Aldi menatap pria yang berdiri tidak jauh dari sofa yang didudukinya, dan tebakannya benar jika itu memang Vero.

"Vero, yang sopan sedikit!"

"Gak banget harus sopan sama dia."

Kalimat seperti itu dulu selalu Aldi dengar dari Vero. Tapi sekarang berbeda, kalimat itu tidak lagi terdengar seperti candaan. Kalimat itu terdengar serius. Aldi bisa merasakannya dari tatapan Vero yang terlihat sangat enggan saat menatapnya.

"Vero, jangan seperti anak kecil lagi!"

"Siapa yang kaya anak kecil sih, yah?" Vero terlihat sangat kesal. Dari nada bicara ke ayahnya juga sudah terdengar jelas.

Didalam hati Vero yang paling dalam, ia bukan hanya kesal dengan Aldi saja. Ia juga kesal dengan ayahnya.

Waktu itu kedua orang tuanya tahu tentang kepindahan keluarga Aldi, dan mereka sama sekali tidak memberi tahu Vero. Bahkan kedua orang tuanya tahu Aldi pindah kemana, tidak seperti dirinya yang tidak tahu apa-apa. Dari sini, Vero merasa benar-benar tidak dianggap. Ia marah, dan rasanya itu wajar.

Dulu, sempat berkali-kali Vero bertanya kepada orang tuanya apa mereka mendapat kabar dari Aldi, dan jawabannya tidak. Katanya, mereka hanya berkomunikasi dengan orang tua Aldi saja. Vero tidak tahu mereka berkata jujur atau tidak.

Vero kesal mengingat itu semua.

Ayah Vero melambai-lambaikan tangannya sebagai isyarat agar Vero mendekat. "Sini, duduk dulu! Kita ngobrol tanpa bawa emosi."

"Aku gak mau, yah."

"Vero!"

"Udah, om gak papa kok, om jangan sampai kebawa emosi." Aldi berusaha menyudahi ini semua. Ia tidak mau sampai melihat sepasang ayah, dan anak itu bertengkar hanya karenanya.

"Liat, yah!" Vero menatap remeh kearah Aldi, lalu ia kembali menatap ayahnya. "Dia aja gak masalah, kok," lanjutnya.

Ayah Vero memijat pangkal hidungnya mendapati Vero yang seperti ini. Vero sedari kecil memang sudah nakal, keras kepala, dan susah diatur. Tapi sekarang Vero sudah dewasa, seharusnya pria itu tidak sekeras kepala seperti dulu.

"Ayah gak suka lihat hubungan kalian merenggang seperti ini, Vero."

Vero yang tadi sempat berjalan hendak meninggalkan dua orang itu, kini menghentikan langkahnya. Pria itu membalikan badannya, lalu menatap ayahnya sambil terkekeh. "Dia penyebabnya, yah. Jangan salahin Vero!"

Ayah Vero menatap putranya itu. "Ayah tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Tapi ada baiknya kalian bicarakan masalah kalian dengan kepala dingin. Bersikap lah dewasa, kalian bukan anak kecil lagi." ayah Vero menatap Vero, dan Aldi secara bergantian.

"Susah, yah." Vero menjawab singkat sambil memperhatikan Aldi yang hanya menunduk. "Udah terlalu lama aku gak di kasih penjelasan kaya gini, bakalan aneh kalo tiba-tiba dia kasih penjelasan," kekehnya yang berhasil membuat Aldi menatapnya.

"Gue sadar, dan dari itu gue tetep diem kaya gini." Aldi menjawabnya.

Vero kembali terkekeh. "Bagus, pendem aja itu semuanya, gue udah gak peduli," ucapnya terdengar enteng. "Gue gak peduli rahasia apa yang lo sembunyiin dari gue lagi. Masalah lo pindah, lo hilang gak ada kabar, lo nikah, bahkan udah punya anak. Gue gak peduli."

"Vero, apa yang kamu maksud?"

Vero menatap ayahnya. Dari raut wajahnya, amarahnya benar-benar sudah memuncak. "Ayah juga, berhenti pura-pura gak tau semua ini! Ayah pasti tau semua ini, kan? Sedari awal ayah tau Aldi dan keluarganya pindah, tau mereka pindah kemana, tau kalo Aldi disana bahkan nikah, dan punya anak. Ayah tau semua itu tapi tetap gak ngasih tau aku. Apa sih alesan kalian tutupin itu semua dari aku? Aku itu masih hidup, masih jadi keluarga kalian!"

Aldi menyentuh tangan ayah Vero disaat pria paruh baya itu mau berdiri dan menjawab semua ucapan Vero. "Biar aku, om."

Aldi berdiri dari duduknya. Pria itu mendekati Vero yang wajahnya sudah memerah, tangannya juga mengepal kuat dikedua sisi tubuhnya. "Lo boleh benci gue, Ver. Gue tau kalo gue salah dan terlalu pengecut buat ngomong semuanya ke elo, juga ke mereka. Tapi lo harus tau, dari dulu lo tetep sahabat gue, keluarga gue." Aldi mengutarakannya dengan begitu tulus. "Walaupun lo gak bisa maafin sikap gue yang lari gitu aja dari permasalahan waktu itu, dan sikap keterdiaman gue selama ini, gue akan tetep minta maaf ke elo. Maaf, gue buat lo kecewa."

"Bangsat lo!" maki Vero tidak peduli jika disana masih ada ayahnya. "Enak banget ngomongnya."

"Dan masalah nikah, gue cuma bisa ngomong kalo gue belum nikah."

"Bangsat, lo bahkan gak ngakuin istri sama anak lo? Setan emang, lo!" hampir saja Vero menghantam rahang Aldi bila saja ayahnya tidak cepat-cepat bertindak meraih tangan kanan Vero yang sudah melayang dan terkepal kuat.

"Cukup, Vero!" lerainya membentak. "Aldi sudah mengaku, kamu jangan seperti ini!"

Vero menghempas tangan ayahnya. Ia masih begitu marah. "Ngaku apa sih, yah? Jelas-jelas dia udah punya istri, dan anak. Vero liat sendiri dengan mata Vero, yah. Jadi, berhenti belain dia terus, yah!"

"Aldi memang belum menikah, Vero! Ayah juga gak mungkin gak cerita ke kamu kalo Aldi mau menikah. Kamu bahkan tau sendiri, selama keluarga Aldi di Spanyol, kita cuma dapet kabar kalo kakaknya Aldi yang menikah. Ardi, bukan Aldi."

"Tapi, yah_"

"Mereka bukan anak, istri gue." Aldi menegaskannya yang membuat Vero menatapnya bingung dengan mata tajam, dan wajah yang masih memerah.

"Non, masuk aja atuh, non jangan berdiri disitu aja!"

Mereka bertiga yang sedang bersitegang di ruang keluarga, mengalihkan perhatiannya kearah sumber suara yang ternyata berasal dari pembantu rumah Vero. Wanita paruh baya itu terlihat sedang berjalan membawa sekantung plastik berisi belanjaan, dan akhirnya dia melewati seorang perempuan yang berdiri di ambang pembatas antara ruang keluarga, dengan ruang tamu.

"Den Vero, ini ada temennya cariin aden." wanita paruh baya itu berjalan mendekati Vero.

Vero jelas terkejut melihat Liana yang entah sedari kapan sudah ada disana. Tidak hanya Vero, Aldi  bahkan lebih terkejut lagi.

Apa mungkin Liana mendengar semua pembicaraan mereka?

Liana menghampiri mereka semua dengan senyum kecilnya. "Siang, om," sapa Liana dengan begitu sopan kepada ayah Vero.

Liana hanya menyapa ayah Vero, ia tidak menyapa Aldi sama sekali yang jelas-jelas berdiri tidak jauh darinya.

"Siang juga,"

"Kalo begitu, bibi pamit ke dapur dulu." wanita paruh baya tersebut segera meninggalkan ruang keluarga.

Vero berdehem pelan. Tubuhnya yang tadi tegang, kini mulai terasa lebih santai. "Na, sejak kapan kesini?" tanyanya ragu.

"Baru aja, kok."

"Ada apa nih, Na? Tumben sendiri, gak ngabarin lagi?"

"Masalah reuni." Liana sekilas melirik kearah Aldi yang diam saja. "Si Bela hantuin gue terus suruh kelarin masalah undangannya sama elo. Soalnya tempat, dan waktu juga udah ditentuin. Tapi keliatannya lo lagi ada tamu, deh jadi gue langsungan aja, ya? Kita bahas besok aja." Aldi yang kali ini Liana maksud.

"Tidak apa Liana, sudah jauh-jauh kesini kok, masa mau langsung pulang." ayah Vero berujar.

"Iya, Na. Lagian dia tamu ayah, bukan tamu gue." Vero melirik sengit Aldi yang masih diam saja. "Kita bahas di ruang keluarga lantai atas aja, yuk!"

Liana membungkuk sopan menatap ayah Vero. "Permisi, ya om," ujarnya tanpa menatap Aldi yang sejak tadi menatapnya.

Aldi hanya memperhatikan kepergian Liana, dan Vero. Didalam hatinya, ia berharap jika Liana tidak mendengar apa yang dikatakannya tadi.

_-_-_-_-_

Langkah kaki Liana saat menaiki undakan tangga di rumahnya terlihat begitu tidak bertenaga. Tatapannya juga tidak fokus memperhatikan setiap langkah kakinya sampai beberapa kali Liana tersandung yang untungnya tidak membuatnya terjatuh.

Pikirannya penuh, itu penyebab kenapa Liana seperti ini. Dan Liana sangat membenci alasan kenapa pikirannya penuh seperti ini. Aldi, pria itu berhasil memenuhi pikirannya sejak Liana mendengar percakapan Aldi, Vero, dan ayah Vero di rumah Vero tadi. Liana ingin menganggap apa yang didengarnya itu sebagai angin lalu, tapi Liana tetap tidak bisa. Kebenaran yang terungkap kali ini justru membuat Liana sangat penasaran dengan kebenaran-kebenaran lainnya yang Aldi pendam selama ini.

Jika Oliv bukan istri Aldi, dan Raina bukan anak Aldi, lalu mereka semua siapanya Aldi? Kenapa mereka terlihat seperti keluarga pada umumnya? Dan kenapa baru kali ini Aldi menyangkal asumsi tersebut?

Bukan hanya teman-temannya saja yang salah paham tentang ini semua, tapi orang-orang kantor juga, karena selama ini Aldi memang diam saja.

Sebenarnya apa alasan Aldi dibalik ini semua?

"Ah, kepala gue." Liana mengeluh karena kepalanya sakit.

Sejak pagi ia sudah tidak enak badan, tapi tetap ia paksakan bertemu dengan Vero. Dan ditambah dengan kenyataan yang ia dengar kali ini. Itu semua berhasil membuat kepalanya sakit.

"Sayang."

Liana membalikan badannya dengan salah satu tangan yang masih berpegangan pada pegangan tangga. Saat ia balik badan, ia mendapati Galen yang sudah berdiri diujung tangga.

"Galen, kamu kesini?"

Galen mengangguk singkat. Pria itu berhenti tepat dibawah satu undak tangga yang dipijak Liana. "Kamu kenapa? Kenapa pucat gini?" Galen bertanya dengan nada khawatir sambil mengusap lembut bibir bawah Liana yang pucat.

"Gal." Liana mengalungkan kedua tangannya di leher Galen. Perempuan itu memeluk leher Galen dengan tiba-tiba. Liana juga Menumpukan dagunya tepat di pundak kiri Galen. "Aku gak enak badan, Gal. Kepala aku sakit," dagu Liana turun, kemudian perempuan itu mencium pundak Galen dan menghirup bau tubuh Galen yang selalu wangi.

Liana sesekali memang suka manja kepada Galen apalagi jika sedang sakit seperti ini. Alasannya sederhana, Galen menyukai manjanya Liana. Pria itu tidak pernah mengeluh sedikitpun walaupun manjanya Liana pernah diluar batas.

Liana tidak tahu sikapnya ini benar atau salah disaat dirinya sendiri tidak pernah menaruh rasa lebih dari sekedar rasa sayang kepada, kakak, dan sahabat untuk Galen. Tapi Liana memang merasa nyaman, dan nyaman jika seperti ini.

Galen yang sejak tadi sudah membalas memeluk pinggang Liana, kini pria itu mengusap lembut pinggang tersebut. Sesekali pria itu juga mencium puncak rambut Liana. "Tau sakit kenapa maksa ke rumah Vero segala? Udah gitu disuruh tungguin aku, malah ngeyel. Aku gak suka, ya, sayang."

"Gal, aku lagi sakit loh."

"Jangan diulangi lagi! Sekarang, istirahat aja aku temenin."

Liana melepaskan diri dari dekapan Galen tapi tidak membuat tangannya lepas dari leher Galen, begitu pun dengan Galen yang tetap setia memeluk pinggang Liana.

"Mau aku gendong?"

Liana menggeleng. "Gal, aku minta tolong boleh?"

Mengusap lembut pipi Liana, Galen mengangguk. "Minta tolong apa?"

"Ambilin obat demam di tempat biasa sama air putih buat minum obatnya, dong? Aku ke kamar duluan."

Cup

Satu kecupan berhasil Galen curi yang membuat Liana terkejut. "Manis banget cara minta tolongnya kamu. Aku sampai gak kuat." Galen tersenyum yang membuatnya terlihat semakin tampan. "Aku ambilin dulu."

Sepeninggalan Galen, Liana masih berdiam diri ditempatnya sambil memegangi bibirnya.

Sudah berkali-kali Galen menciumnya, tapi rasanya tetap aneh dan juga salah.

Tidak ingin membuat kepalanya semakin sakit, Liana memilih melanjutkan jalannya menuju lantai dua.

Setibanya di lantai dua, Liana melihat mamahnya baru saja keluar dari kamar. Wanita paruh baya itu terlihat rapi walaupun hanya memakai baju rumahan. "Mah, Liana pulang." Liana menyapa terlebih dahulu sebelum mamahnya melihat kehadirannya.

Mamah Liana tersenyum sekilas setelah mendapati keberadaan anaknya, lalu ia berjalan mendekati Liana. "Gimana, udah kelar masalah reuninya?" tanyanya.

"Hampir, mah," jawaban Liana terdengar lesu.

"Kamu kenapa, Na? Kok lesu gini, pucat lagi. Kamu sakit?" tangan mamah Liana menyusuri setiap bagian wajah Liana. Dan pergerakannya tiba-tiba berhenti setelah memegang kening Liana. "Kamu demam, Na."

"Iya, Mah." Liana memegang keningnya sendiri yang memang terasa lebih hangat dari biasanya. "Itu Galen juga lagi ambilin obat buat aku, mah. Habis minum obat, pasti langsung sembuh."

"Jadi Galen disini?" wanita paruh baya itu bertanya, karena ia tidak melihat Galen sejak tadi. Bahkan ia tidak tahu kapan Galen datang ke rumahnya ini.

Liana mengangguk pelan. "Dia baru aja dateng kok, mah," jawabnya. "Liana ke kamar dulu ya, mah."

Mamah Liana menepuk pelan bahu Liana dengan senyum kecil yang kembali ia perlihatkan. "Ya udah, kamu istirahat aja. Kalo nanti demam kamu makin tinggi, kita harus cepet-cepet ke dokter."

"Iya, mah. Aku duluan."

Setelah berpamitan, Liana berjalan kearah kamarnya yang terletak berlawanan arah dengan kamar orang tuanya.

Setibanya di kamar, Liana langsung terduduk diatas kasurnya dengan tubuh yang bersandar di kepala ranjang. Kakinya sudah ia luruskan, lalu kedua kelopak matanya juga mulai terpejam. Dengan ini, Liana bisa merasakan suasana damai, dan tenang.

Tidak lama setelahnya, Liana mendengar suara pintu kamarnya dibuka. Walaupun Liana mendengar langkah kaki yang mulai mendekatinya, Liana tetap mempertahankan posisinya dengan mata yang terus terpejam. Liana berfikir jika yang masuk ke kamarnya itu adalah Galen, jadi ia tidak begitu ambil pusing karenanya. Liana menduganya karena aroma yang masuk kedalam hidungnya saat orang itu masuk kedalam kamar ini adalah aroma tubuh Galen yang sudah sangat dikenalinya.

"Sayang, minum obatnya dulu!"

Dengan sedikit malas akhirnya Liana membuka kedua kelopak matanya dan ia mendapati Galen sudah duduk ditepi tempat tidurnya.

Liana menerima satu tablet obat yang diberikan Galen. Tanpa pikir panjang, Liana melemper tablet tersebut kedalam mulutnya, dan sedetik setelahnya ia meraih gelas berisi air putih yang diberikan Galen.

"Pelan-pelan." Galen mengusap rambut Liana pelan ketika Liana minum dengan rakus.

Liana memberikan gelas yang hanya menyisakan seperempat air minum itu kepada Galen yang langsung Galen letakan diatas nakas dekat tempat tidur Liana. Mata perempuan itu terus memperhatikan gerak gerik Galen sampai kedua mata mereka saling beradu pandang. Dan Liana melihat Galen tersenyum lebar kearahnya.

"Istirahat, ya!" saran Galen tanpa menghentikan usapan lembut di rambut Liana. "Dibawa tidur biar cepet sembuh,"lanjutnya yang sekarang mulai menarik tubuh Liana mendekatinya, lalu pria itu membetulkan letak bantal Liana sebelum akhirnya membantu Liana untuk merubah posisinya menjadi tiduran.

Liana mulai merasa tidak enak kepada Galen sehingga membuatnya meraih salah satu tangan Galen untuk ia genggam dan ia bawa keatas perutnya. "Gal," panggilnya saat Galen sedang memegang kening Liana untuk memastikan apakah Liana deman tinggi atau tidak.

"Untung aja demam kamu gak tinggi."

"Gal, maaf ya kamu udah kesini tapi harus aku tinggal tidur."

Galen tersenyum manis. "Gak papa, sayang. Lagipula aku bisa nunggu kamu sampai bangun lagi." Galen menyelimuti tubuh Liana sampai sebatas dada perempuan itu. "Sekarang kamu tidur," lanjutan dengan kecupan singkat yang ia berikan tepat di kening Liana.

Liana tersenyum dan mengangguk.

Liana menyukai Galen yang seperti ini.

_-_-_-_-_

Pandangan Aldi terlihat kosong saat matanya menatap pintu apartemen yang ada didepannya. Entah sudah berapa menit Aldi berdiri didepan pintu itu sambil memikirkan beberapa hal yang singgah dipikirannya.

Aldi akhirnya menghela nafas berat karena merasa percuma saja memikirkan apakah Liana mendengar percakapannya tadi atau tidak. Aldi tidak akan mendapatkan jawaban hanya jika memikirkannya saja.

Sebelah tangan Aldi yang tidak memegang kantung plastik berisi belanjaan, digunakan untuk menekan bel apartemen itu. Sebelum datang kesini, Aldi memang sempat berbelanja disalah satu swalayan yang ada didekat apartemen. Aldi tidak mungkin berkunjung dengan tangan kosong, itu yang sempat terpikirkan oleh Aldi.

Tidak butuh waktu lama, Oliv sudah membukakan pintu apartemen untuknya. Wanita berpakaian rumahan itu tersenyum saat melihat kehadiran Aldi. "Masuk, mas!" ajak Oliv yang langsung membuka lebar pintunya.

"Raina, liat siapa yang dateng!"

Aldi berjalan mengikuti Oliv menuju ruang tengah yang terbilang luas itu. Disana ia melihat Raina yang ternyata sedang sibuk bermain dengan mainannya. Saat kedua mata mereka bertemu, Aldi tersenyum lebar. "Halo, Rain."

"Ah, ayah." Raina segera berlari dan memeluk Aldi yang sudah berjongkok siap mendapatkan pelukan dari Raina. "Ayah kemana aja?" tanya gadis kecil itu setelah melepaskan pelukannya dari Aldi.

"Ayah kerja, dong buat beli ini." Aldi menunjukan sekantung plastik penuh berisi jajanan."Jajan buat Raina," lanjutan tersenyum lebar.

"Yey." Raina terlihat begitu bahagia apalagi setelah melihat isinya. "Makasih, ayah," senyumnya terlihat begitu manis di mata Aldi. Senyum yang mampu membuat Aldi ikut tersenyum tidak kalah lebarnya.

"Sama-sama, sayang." Aldi mengusap lembut rambut sehat Raina.

"Rain, ayahnya disuruh duduk dulu dong."

Mereka berdua menatap Oliv yang baru saja keluar dari dapur dengan dua cangkir teh diatas nampan yang ia bawa.

"Ayok, yah duduk!" Raina menggandeng tangan Aldi untuk duduk di sofa, dan dirinya sendiri memilih duduk diatas pangkuan Aldi.

"Aku buatin teh buat, mas."

"Makasih, Liv."

"Ayah, katanya ayah mau sering dateng kesini, tapi kok sampe seminggu ayah gak dateng-dateng, sih?" Raina memanyunkan bibirnya sambil memainkan kerah leher baju Aldi. Ternyata gadis kecilnya Aldi sedang merajuk.

"Eh, ternyata Rain beneran udah bisa ngomong r, ya? Coba, dong ngomong r lagi!"

Beberapa hari yang lalu, Aldi mendapat kabar dari Oliv jika Raina sudah bisa mengatakan huruf (R) walaupun masih terdengar sedikit aneh. Aldi sempat mencoba menelfon Raina, dan berusaha membuat Raina mengatakan (R), tapi saat itu Raina terus menolaknya. Dan setelah bertemu langsung, ternyata Raina mau mengatakannya sendiri tanpa ia minta dulu.

"Gak mau, ayah harus jawab pertanyaan aku dulu, dong!"

Oliv yang melihat mereka berdua hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Wanita itu bahagia dengan interaksi mereka berdua yang sudah seperti seorang ayah, dan anak.

Karena situasi sudah seperti ini, Aldi memilih pura-pura kecewa terhadap Raina. Pria itu menghembuskan nafasnya berat dengan sorot mata yang ia buat sendu. "Ya udah, deh. Maafin ayah ya, karena jarang kesini. Kerjaan ayah bener-bener lagi numpuk gak bisa di tinggal. Tapi coba aja kalo Rain tetep di rumah ayah, pasti Rain tetep bisa ketemu sama ayah walaupun ayah sibuk." Aldi mengatakannya dalam sagu tarikan nafas. Dan jangan lupakan dengan bibir yang ia usahakan mengerucut.

"Mas, jangan ngomongin itu!" tegur Oliv yang hanya dibalas senyum kecil oleh Aldi.

"Salahin bunda, dong yah. Kan, yang ajak aku tinggal disini itu bunda."

Melirik kearah Oliv yang terlihat terkejut dengan jawaban Raina, Aldi jadi tertawa lepas. Ia juga tidak menyangka jika Raina akan memberikan jawaban seperti itu. Ini diluar dugaannya. "Jangan keras-keras, Rain nanti bunda kamu ngambek lagi," bukannya membuat Raina berhenti memojokan Oliv, Aldi justru semakin menjadi.

Melihat Aldi yang menaruh telunjuk tangan kanan di bibirnya, membuat Raina ikut melakukan apa yang dilakukan Aldi itu. "Hussttt," ujar Liana sambil tersenyum.

Kedua orang itu melirik kearah Oliv yang sejak tadi hanya diam. Wanita itu sudah bersedekap dada sambil memperhatikan keduanya dengan ekspresi kesal tapi bibirnya melengkung membentuk senyuman. "Oh, kalian gitu ya sama bunda," kata Oliv yang mulai mendekati Aldi. "Coba dong, ngomong lagi!" tantangnya semakin dekat dengan Aldi.

"Ini hukuman karena udah ngomongin bunda, ya. Rasain ini." Olive menggelitiki pinggang Raina yang berhasil membuat Raina tertawa dan duduk tidak tenang dipangkuan Aldi.

Aldi ikut tersenyum dengan kedua tangan yang berusaha keras menjaga Raina agar tidak sampai terjatuh dari pangkuannya.

"Ayah, ayah, tolong Raina! Hahaha."

Dalam hitungan ketiga, Aldi menggendong Raina dan membawa Raina pergi menjauhi Oliv. Aldi pikir itu sudah berakhir, tapi ternyata tidak. Oliv ikut berdiri dan berlari mendekati Aldi, dan Raina yang membuat Aldi berlari menjauhinya. Mereka berdua terlibat kejar-kejaran dengan Raina yang ada di gendongan Aldi tertawa puas melihat bundanya berlari mengejar ayahnya.

"Mas, udah dong!" mereka berdua sempat kejar-kejaran sampai beberapa menit sebelum Oliv berhenti dengan dada naik turun karena merasa lelah.

"Yah, bunda kalah dong." Raina tersenyum bahagia. "Yah, ayah kita menang hore." Raina mengangkat kedua tangannya dan berteriak bahagia.

Aldi berjalan mendekati Oliv yang masih membungkukan badannya sambil memperhatikan senyuman Raina. Setelah berdiri tepat didepan Oliv, Aldi mengulurkan tangannya kearah Oliv.

Tepat setelah Oliv menerima uluran tangan Aldi, Aldi tersenyum. "Kita menang, bunda." Aldi ternyata mengejek Oliv.

Aldi membawa Raina duduk di sofa tadi yang diikuti juga oleh Oliv.

"Ayah, aku mau lanjut main dulu ya." Raina turun dari sofa dibantu oleh Aldi. Gadis kecil itu kembali mendekati mainannya yang sudah berserakan didepan televisi.

Aldi juga merasa lelah, dan juga haus karena acara kejar-kejaran tadi, sehingga ia meminum teh buatan Oliv yang menurutnya rasanya selalu pas di lidahnya. "Gimana sama apartemen ini, Liv?" sambil kembali meletakan cangkir teh keatas meja, Aldi bertanya kepada Oliv.

"Nyaman, kok mas. Ini udah lebih dari cukup."

"Sebenernya lebih baik kamu sama Raina tinggal di rumah aku, bukannya pisah kaya gini."

"Aku udah bilang berkali-kali, mas. Mas udah banyak bantu aku sama Raina, jadi aku pikir aku gak mau lagi memberatkan mas."

"Tapi gimana pun juga Raina masih jadi tanggungan aku, keluarga aku, Liv. Aku juga seneng kalo kalian tinggal bareng aku."

Oliv mengangguk. Ia juga paham dengan apa yang Aldi maksud itu. "Iya, mas aku tau. Tapi gak enak juga kalo aku harus terus-terusan tinggal sama mas. Nanti justru malah ada kabar yang enggak-enggak tentang kita," entah sudah berapa kali alasan ini yang Oliv berikan kepada Aldi. "Aku juga udah ngabarin ini ke mamah sama papah."

"Iya, aku tau itu. Beberapa hari yang lalu aku sempet telfonan sama mereka." Aldi menatap Oliv. "Tapi kamu harus pegang omongan kamu, kalo ada apa-apa langsung kasih tau aku!"

"Iya, mas." Oliv tersenyum sambil mengangguk.

"Dan kamu beneran mau kerja di perusahaan?"

"Iya lah, mas aku juga harus cari nafkan juga disini." Oliv segera menghentikan Aldi yang hendak menjawabnya dengan bahasa isyarat. "Cuma Raina yang punya hak atas uang mas, dan keluarga mas sedangkan aku enggak, mas. Mas harus inget itu."

Aldi menghela napasnya pasrah.

"Kalo gitu aku akan cari baby sister buat ngasuh Raina. Aku akan cari posisi baik buat kamu diperusahaan, karna gimana pun kamu juga berhak atas perusahaan keluarga aku. Dan aku gak terima penolakan dua hal tersebut, Liv."

Kali ini Oliv yang terdiam pasrah dengan ucapan Aldi.

_-_-_-_-_

BISA BERTAHAN YOK MALAUPUN GAK ADA YANG BACA. JANGAN SAMPE KE HAPUS JUGA INI CERITA KAYA LAPAK-LAPAK YANG DULU ITU YOK, BISA YOK SEMANGAT. BERDOA AJA ADA KEAJAIBAN TIBA-TIBA ENTAH KAPAN UDAH BANYAK YANG BACA, HUHUHUUU 😥😩😭

SEMOGA KITA DIPERTEMUKAN DI PART SELANJUTNYA 🖤

BYE 👋🏻

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

966K 145K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
7.2M 350K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
963K 95.4K 26
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
1.8M 88.9K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...