SCANDAL PROTECTION

By Aini_yah

8.2K 754 138

Dibesarkan seperti Putri dan Dididik seperti Ratu. Itulah gambaran dari seorang Azalea Baskara, putri tunggal... More

Prolog
1. Diskusi
2. Ketemu!
3. Aaron Bramana
4. Menarik (01)
5. Menarik (02)
6. Hari Pertama
7. Bingung
8. Macan Betina
9. Belanja (Pertemuan ke 2)
10. Gossip
11. Rapat
12. Rencana
13. Pindahan
14. Sekutu Baru?
15. Sandiwara
16. Pria Baik
17. Orang Tak Diundang
18. Makan Malam (Pertemuan ke 3)
19. Perpustakaan
20. Bicara
21. Menghindar
22. Salah Faham
23. Pertemuan Tak Terduga
24. Aneh
25. Teror
26. Penyelidikan
27. Insiden
29. Keluarga Bramana
30. Lamaran
31. Rasa Bersalah

28. Pengelakan

150 15 0
By Aini_yah

Selamat membaca, dan jangan lupa vote!

❄________________________❄
💙__________________💙
❄____________❄
😻

.

Lea menunggu dengan gelisah di depan ruangan tempat Aaron di periksa. Lorong Rumah Sakit di malam hari semakin membuat Lea semakin gelisah, bukan karena takut hantu atau semacamnya, Lea tidak sepenakut itu. Tapi karena tidak ada seseorang yang menemaninya di saat-saat seperti ini, membuatnya semakin larut dalam pikirannya. Tentang Siapa yang tega melakukan ini pada Aaron? Dan Bagaimana keadaan Aaron sekarang? Dia butuh genggaman tangan seseorang, kejadian tadi benar-benar membuatnya shook. Bahkan dia sampai tidak sempat membersihkan darah Aaron yang masih mengotori tangannya.

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Lea begitu saja, tubuhnya langsung bangkit menghampiri Dokter. Baru saja ia ingin bertanya, sosok Aaron yang ikut keluar dengan kepala di perban membuat Lea mengurungkannya.

"Terima kasih dokter!" ujar Aaron sambil menjabat tangan dokter berjas putih itu.

"Sama-sama tuan Aaron." Dokter itu langsung pergi dari sana.

Lea menatap interaksi mereka dengan pandangan aneh. Bagaimana tidak bukankah dua jam yang lalu keadaan Aaron begitu gawat, Lea bahkan masih ingat darah yang mengucur di pelipis pria itu.

"Tunggu, anda gak di rawat inap?" tanya Lea.

"Dokter bilang gak perlu."

"Meski kepala anda bocor kayak tadi?"

Aaron hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Tapi gadis itu justru menatapnya khawatir.

Pria itu terkekeh melihat ekspresi Lea. "Saya tidak apa-apa Lea, Dokter cuma nyuruh saya istirahat selama beberapa hari. Saya tidak selemah itu sampai harus di rawat inap."

"Tapi tadi darahnya banyak banget!" seru Lea, tanpa sadar ia kembali mengingat kejadian itu. Pecahan kaca yang pecah di kepala Aaron, darah yang mengucur di pelipisnya, bahkan senyum tipis Aaron yang menyuruhnya untuk tidak khawatir. Gadis itu tahu Aaron sedang berbohong agar tidak semakin membuatnya khawatir. Mungkin karena itulah ia tetap merasa khawatir meski dokter sudah membolehkannya pulang.

"Lea, trust me! Saya sudah baik-baik aja." Aaron menggenggam tangan Lea dengan lembut, mencoba menenangkan rasa kalut gadis di depannya ini.

Lea merasa malu, seharusnya dirinyalah yang menenangkan Aaron yang terluka, tapi justru pria itu yang membuatnya tenang. Genggaman tangan itu membuat rasa gelisah yang ia rasakan selama berjam-jam, melebur begitu saja.

"Jadi kita pulang sekarang?" tanya Aaron.

"Apa anda tinggal dengan ayah anda?" tanya Lea balik bertanya.

"Tidak, saya tinggal sendirian di Penthouse," jawab Aaron.

"Berarti gak ada orang yang bisa rawat anda selama di rumah?!"

Aaron menggeleng, "gak ada!"

Ini tidak bisa dibiarkan, Lea sudah cukup terkejut Aaron di bolehkan pulang begitu saja. Tapi membiarkan dia tinggal sendirian dengan luka di kepalanya itu membuat Lea frustasi.

"Kalau gitu ijinkan saya merawat anda selama sakit!" pinta Lea, entah permintaannya ini akan ia sesali atau tidak.

"Merawat saya?" tanya Aaron heran.

"Iya, saya tahu anda merasa diri anda kuat meski sudah di pukul dengan botol kaca. Tapi status anda masih pasien sebelum anda benar-benar sembuh. Apa lagi membiarkan orang sakit sendirian di rumah itu juga bukan hal yang bagus. Jadi saya menawarkan diri untuk merawat anda, sampai anda sembuh," ujar Lea.

"Tapi-"

Lea mengangkat tangannya tepat di wajah Aaron. "Ini memang penawaran Aaron, tapi saya tidak menerima penolakan! Saya akan tetap merawat anda sampai anda sembuh, titik! Itu keputusannya."

Setelah menyelesaikan kalimatnya gadis itu melenggang pergi dari tempatnya. Aaron tersenyum sebentar melihat tingkah Lea. Siapa juga yang mau menolak tawarannya? Aaron justru merasa senang bisa di rawat oleh gadis yang dia sukai.

"Ayo!" ajak Lea setelah sadar Aaron masih diam di posisinya.

Gadis berparas cantik itu benar-benar melakukan apa yang dia mau. Dia sepertinya tidak peduli jika Aaron menganggapnya gadis yang plin-plan. Dirinya sendiri pun sadar, jika sikap cueknya selama ini sudah ia rubah dalam waktu semalam saja. Dia hanya seorang gadis yang tidak bisa melihat pria yang ia sukai terluka.

Itu terbukti dalam tiga hari setelah kejadian itu saja Lea selalu menyempatkan waktunya untuk merawat Aaron di Penthouse milik pria itu. Saat makan siang atau sepulangnya ia dari Fly Entertaimen. Dia bahkan tidak membiarkan Aaron menyentuh laptop atau dokumen yang di antarkan Felix, seperti sekarang.

"Bukannya tadi saya nyuruh anda untuk istirahat?" tanya Lea begitu masuk ke kamar Aaron yang terlihat terbuka. Disana juga ada Felix yang berdiri di samping Aaron yang tengah terduduk di tempat tidurnya.

"Selamat malam nona Lea," sapaan Felix hanya dijawab anggukan oleh Lea.

"Saya hanya memeriksa beberapa dokumen saja, tidak lama." Tangan Aaron kembali membalik beberapa dokumen di pangkuannya dan kembali fokus membaca. Oh kini Lea bisa melihat sendiri bagaimana gila kerjanya pria itu, bahkan di saat sakit seperti ini. Gila!

Dengan cepat Lea mengambil alih dokumen itu. "Tapi sekarang sudah malam, dan waktunya pasien untuk istirahat!" ujarnya tegas.

"Hanya sebentar Lea, ini dokumen penting yang harus saya tanda tangani," rengek Aaron seakan barang kesukaannya tengah direbut. Dia bahkan berusaha merebut dokumen yang disembunyikan Lea di balik punggungnya.

"Oh ya? Lebih penting mana dengan kesehatanmu?"

"Sangat penting karena besok sudah harus digunakan untuk presentasi," jawab Aaron.

"Em.. sebenarnya Presdir, dokumen ini bisa di tanda tangani nanti," kata Felix mulai membuka suara.

"oh ya?" tanya Aaron yang sudah berhenti mengambil dokumen itu dari Lea.

"Iya karena presentasinya di undur sampai minggu depan."

"Kenapa kamu gak bilang?"

"Sebelum saya kemari saya sudah bilang itu, tapi Presdir bersih keras untuk membawanya kemari," jelas Felix dengan jujur. Sepertinya setelah mendapat pukulan di kepalanya Aaron menjadi pelupa.

Seperti mendapat dukungan Lea tersenyum senang. "Dengar kan? Jadi gak ada alasan lagi untuk gak istirahat. Kenapa sih susah benget buat istirahat? Kemarin aja kamu sampe ngerasa pusing karena terlalu lama di depan laptop, sekarang kamu mau ngulangi lagi. Dokter kan udah bilang untuk istirahat dulu selama seminggu," omelnya panjang lebar. Felix seperti melihat seorang Ibu yang tengah mengomeli anaknya.

"Tapi sekarang kan saya gak pusing, terus kenapa kamu selalu marahi saya? kan yang antar dokumen itu Felix," ujar Aaron sambil menunjuk Felix. Merasa tidak terima Felix menggelengkan kepalanya saat Lea menoleh kearahnya.

"Iya, tapi karena perintahmu kan? Dia Sekretarismu udah pasti dia akan nurutin atasannya."

Aaron tidak bisa mengelak lagi, yang dikatakan Lea memang benar, dirinyalah yang membuat Felix datang kemari. Tapi dia justru ingin menjadikan Felix kambing hitam demi melindunginya dari amukan Lea.

"Felix sampai lima hari kedepan tolong jangan antar pekerjaan apapun ke sini. Dia harus istirahat total sampai luka di kepalanya benar-benar baik," perintah Lea dengan tegas tak mau dibantah. Lalu ia mengambil laptop yang berada di nakas dan nyerahkannya pada Felix. "dan bawa laptop ini jauh-jauh!"

"Baik nona, saya mengerti!" jawabnya setelah menerima laptop itu.

Aaron merasa tidak terima melihatnya, kenapa sekretarisnya begitu patuh pada Lea?

"Felix kenapa kamu begitu patuh? Atasanmu itu saya atau Lea"

"Tentu saja anda Presdir," jawab Felix cepat. "Tapi yang dikatakan nona Lea memang ada benarnya, anda harus istirahat total. Masalah pekerjaan itu bisa di lakukan saat anda sudah kembali sehat," sambungnya lagi membuat Aaron pasrah.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Presdir." Felix melangkah pergi dari kamar Aaron dengan di antar oleh Lea.

Begitu sampai didepan lift Lea berkata pada pria berkaca mata itu dengan pandangan menyesal. "Felix saya minta maaf kalau saya terlihat semena-mena sama kamu tadi! Saya harap kamu gak tersinggung."

Pria itu menggeleng cepat. "Tidak sama sekali nona, saya justru senang ada seseorang yang bisa membuat Presdir istirahat. Kadang saya selalu khawatir jika sifat gila kerjanya itu membuat kesehatannya terganggu. Tapi sepertinya saya tidak akan merasa khawatir lagi, karena ada anda yang merawatnya"

"Syukurlah kalau begitu," balasnya sambil tersenyum ramah.

Suara lift yang terbuka membuat Felix kembali berpamitan. "Kalau begitu saya permisi nona, selamat malam."

"Selamat malam," balas Lea.

Baru saja berbalik, dia sudah menemukan Aaron yang tengah menuruni tangga. Gadis itu tidak habis fikir setelah ia menyuruhnya untuk istirahat, Aaron masih saja keluar dari kamarnya?

"Bisa gak kamu diam di kamar aja?" tanya Lea sambil menghampiri pria yang tengah memakai kaos hitam itu.

"Saya sudah seharian di dalam kamar, apa saya juga tidak boleh menonton televisi?" tanya Aaron sambil mendudukkan diri di sofa ruang keluarga.

"Apa kamu lupa kalau di kamarmu juga ada televisi?" tanya Lea mengingatkan, bahkan dirinya yang baru beberapa kali kemari saja hafal tata letak Penthouse-nya.

"Itu berbeda, kalau saya nonton di kamar, saya gak bisa nonton sama kamu."

"Alasan!" cibirnya sambil bersedekap.

"Sini!" pinta Aaron sambil menepuk sisi sofa di sampingnya, Lea tidak bergeming. "Ini permintaan pasien, kamu gak mau kabulin?" Aaron menunjukkan wajah memelasnya. Apa dia benar-benar Aaron Baramana yang di takuti para karyawannya itu? Sungguh?!

Dengan malas Lea pun duduk disamping Aaron, entah kenapa selama tiga hari ini Lea menjadi gadis penurut untuk Aaron. Merasa puas pria itu mulai memindah chanel tv untuk menonton pertandingan basket kesukaannya.

"Hanya satu jam habis itu kembali istirahat lagi," putus Lea tanpa menoleh pada Aaron.

"Tapi ini baru aja mulai Lea," protes Aaron tidak terima.

"Tapi kesehatanmu juga penting Aaron!" kali ini Lea menoleh pada Aaron, pandangan mereka bertemu beberapa detik terlebih suasana yang sepi semakin mendukung kebersamaan mereka.

Aaron kini merubah posisinya dengan menghadap Lea, satu tangannya ia letakkan di atas sandaran sofa. "Selain tentang istirahat dan kesehatanku kamu gak mau bahas hal lain apa? Misalnya tentang perkataan saya sebelum kepala saya di pukul, kamu gak mau jawab sesuatu?"

Lea mengerti arah pembicaraan Aaron ini. Selama tiga hari ia merawat Aaron, selama itu pula ia berharap jika pria itu tidak membahas masalah ini. Tapi sepertinya ini sudah waktunya.

"Apa yang mau saya jawab, itu pernyataan bukan pertanyaan."

"Oke kalau gitu saya ganti jadi pertanyaan." Masih dengan posisi yang sama, Aaron mengulurkan tangannya lalu menggenggam tangan Lea dengan kedua tangan besarnya itu.

"Azalea Baskara, mau menikah dengan saya?"

Tubuh Lea menegang sambil menunjukkan ekspresi terkejutnya, bahkan bibirnya terasa kelu ia hanya bisa membukanya tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya. Lea tidak pernah seterkejut ini, pasalnya ini pertama kalinya ia mendapat lamaran dari seorang pria. Jika itu adalah pertanyaan untuk menjadi kekasih mungkin ia akan bisa mengontrol ekspresinya. Tapi ini berbeda, ini sebuah lamaran dan Aaron lah yang sudah melamarnya.

Rasa menggelitik diperutnya kembali lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya sampai-sampai membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tapi apa yang ia rasakan justru berbanding terbalik dengan apa yang terucap di bibirnya.

"Saya gak bisa," jawabnya sambil tertunduk.

Kembali, ingatan tentang Jane membuat Lea menjadi gadis yang plin-plan.

"Kamu gak bisa meski sudah merubah cara bicaramu sama saya? Meski kamu begitu khawatir tentang kesehatan saya?"

Lea baru sadar jika bahasanya saat bicara dengan Aaron memang tidak seformal seperti biasanya. Menandakan jika batas yang ia bangun sudah lenyap di antara mereka. Tapi dia tetap tidak bisa melupakan masalah Jane.

Aaron memegang kedua pundak Lea agar gadis itu mau menatap dirinya. "Lea, saya tahu kamu juga punya perasaan yang sama seperti saya. Tidak bisakah kamu jujur sama perasaanmu sendiri?"

"Ini gak sesimpel itu Aaron!" tekannya sambil melepas kedua tangan Aaron dan mengalihkan pandangannya ketempat lain.

Seandainya ia bisa, mungkin dia akan melakukan itu dari dulu. Saat Aaron memakai parfume pilihannya, saat ia berdansa dengan Aaron, atau saat mereka pertama kali bertemu di depan lift. Sungguh, Lea benar-benar ingin melakukan itu tapi dirinya tidak bisa. Kesetiaannya pada sahabatnya membuat semua itu tidak mungkin ia lakukan.

"Apa ini karena Janeita Putri?"

Pandangan Lea langsung tertuju pada Aaron. "Kamu-"

"Iya saya tahu Jane adalah sahabat kamu dan dia tengah hamil sekarang. Tapi saya berani sumpah Lea, saya bukan Ayah dari bayi itu," potong Aaron. Tidak perlu waktu lama sampai seorang Aaron Bramana mengetahui hal ini, terlebih dia punya Felix yang selalu melaporkan apa yang Aaron perintahkan dengan detail dan lengkap. Dari sanalah dia tahu hubungan antara Lea dan Jane. Aaron juga bisa menyimpulkan jika ini adalah masalah utama dari sikap Lea yang selalu menjauhinya.

Lea tersenyum sinis setelah mendengar kalimat terakhir Aaron. "Anda berusaha mengelak agar saya terima lamaran anda kan? Wow akhirnya anda menunjukkan sifat asli anda," balas Lea kembali menggunakan bahasa formalnya. Tanpa sadar pengelakan Aaron membuatnya emosi.

"Haruskah saya mengingatkan jika anda sudah merendahkan sahabat saya dengan memberikan cek kosong? Sekarang anda juga tidak mau mengakui anak anda sendiri. Hebat!" lanjutnya sambil bertepuk tangan.

"Tapi itu memang bukan anak saya!" tekannya sedikit frustasi.

"Kalau anak yang dikandung Jane memang bukan anak anda, terus kenapa anda memberinya cek kosong untuk membuatnya tutup mulut?"

Pria itu terdiam, harus Aaron akui tindakannya dengan memberi Jane cek kosong adalah hal buruk yang ia lakukan pada gadis itu. Wajar jika Lea begitu marah padanya.

"Anda gak bisa jawab karena memang anda yang menghamilinya."

"Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Aaron.

"Kan anda sendiri yang memberikan cek kosong itu pada Jane sebagai uang tutup mulut. Anda meminta untuk merahasiakan tindakan bejat anda padanya, Apa anda lupa? Bahkan cctv hotel pun merekam kalian saat keluar dari hotel bersama."

"Jadi karena saya terlihat keluar bersama Jane di cctv Hotel kamu berfikir kalau saya yang meniduri Jane? Terus apa kamu dapat rekaman saat saya dan Jane memasuki Hotel?" Lea terdiam.

"Lea apa kamu gak sadar, kamu cuma menemukan rekaman saat saya keluar hotel bersama Jane, tapi tidak saat saya masuk bukankah itu aneh?" sambungnya lagi dengan tatapan memohon.

Lea ingat betul, Scantion memang hanya menemukan rekaman saat mereka keluar Hotel saja. Ini memang aneh, tapi dia masih berusaha untuk menepisnya.

"Mungkin saja karena orang suruhan anda lupa menghapusnya." Lea mengalihkan pandangannya ke jendela.

Aaron menggeleng. "Saya bukan seseorang yang akan mempekerjakan orang ceroboh Lea. Kamu ingin tahu yang sebenarnya? Itu karena saya masuk saat pagi hari itupun sendiri bukan bersama Jane."

Gadis itu kembali menatap Aaron, kali ini dengan tatapan remeh. "Dan anda fikir saya akan percaya begitu saja? Saya tidak sebodoh itu Tuan Aaron Bramana, kalau memang kanyataannya kayak gitu terus kenapa di hapus? Sebagai seseorang yang tidak mempekerjakan orang ceroboh gak mungkin itu disengaja untuk memfitnah anda"

Aaron menjentikkan jarinya. "Tepat! Kamu memang gadis yang pintar, dan saya harus melindungi seseorang yang sudah menfitnah saya."

"Alasan yang menarik tuan Aaron, untuk apa juga anda melindungi orang yang sudah menfitnah anda? Apa orang itu lebih berpengaruh dari anda yang seorang Presdir Asta Group yang tak tersentuh ini?" tanya Lea yang terkesan mengejek. Tapi Aaron sama sekali tidak tersinggung, dia mewajari setiap kekesalan yang di tunjukkan gadis itu padanya.

"Kalaupun saya beri tahu sekarang, kamu tidak akan percaya apa yang saya katakan. Tidak sekarang Lea, tapi saya akan memberitahumu di waktu yang tepat"

"Dan sampai waktu yang tepat itu mungkin saya gak akan datang kemari lagi!" Lea beranjak dari tempatnya sambil membawa tas yang ia bawa. Aaron berniat untuk menahannya, tapi ia mengurungkan niat. Pria itu sadar menahan Lea yang sedang emosi bukanlah keputusan yang tepat.

Getaran handphone dari saku celananya membuat Aaron memeriksanya, sebuah pesan dari sang Ayah membuatnya semakin gusar.

"Besok datanglah ke rumah untuk makan malam keluarga!"

.

😻
❄____________❄
💙__________________💙
❄________________________❄

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!!

Continue Reading

You'll Also Like

180K 526 45
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
127K 8K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
179K 1.3K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

113K 16.8K 45
hanya fiksi! baca aja kalo mau