Ada yang Memang Sulit Dilupak...

By aixora_28

1.4K 367 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... More

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Ketujuh
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kesebelas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Satu
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Empat
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Kedua Puluh Sembilan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan
Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

Momen Kedua Belas

40 11 3
By aixora_28

Apakah setiap lagu yang kamu nyanyikan adalah isyarat?
Aku seperti menangkap jika kamu ingin bercerita lewat lagu-lagu yang kamu nyanyikan.
Bercerita tentang apa? Tentang siapa?
***

Ruang Mading sangat sibuk. Kali ini berada di bawah komando Mbak Nura karena Kak Rosiana harus menjadi perwakilan kelas dalam pertandingan basket putri. Bahkan bisa dibilang, hampir semua anggota Mading menjadi perwakilan kelas masing-masing untuk beberapa pertandingan. Kak Reksa masuk ke tim bulutangkis Ganda Putra. Kak Ahmadi mewakili kelasnya sebagai tim voli putra. Kak Agung menjadi satu-satunya peserta cowok dalam lomba mendongeng. Aku tidak sangka jika dia punya kemampuan unik begitu. Jiwa kebapakan sekali, 'kan?

Ini hari ketiga Porseni. Pertandingan yang akan dihelat meliputi basket putri, bulutangkis Ganda Putra dan Tunggal Putri, menyanyi solo, dan mendongeng. Sejujurnya aku ingin meliput lomba mendongeng, tetapi Mbak Nura justru memintaku liputan di arena lomba menyanyi.

"Entah kenapa, Mbak penginnya kamu ngeliput arena lomba nyanyi, Tha." Begitu alibi Mbak Nura.

Aku hanya menepuk dahi. Mentang-mentang yang bertanggung jawab, jadi sesukanya saja dia, tuh, menaruh per bagian liputan.

Masing-masing peliput dibekali kamera yang selain bisa mengabadikan momen dalam bentuk foto, sekaligus memvideo setiap penampilan. Bukan cuma dijadikan bahan berita yang akan muncul dalam majalah edisi khusus, tetapi sebagai file simpanan yang akan dihimpun ke dalam CD album kenangan SMA. Nanti tinggal dipilah saja penampilan mana atas nama siapa untuk angkatan keberapa.

Aku melihat Raga duduk santai di salah satu bangku khusus peserta. Total ada 18 orang yang akan mengadu keberuntungan dengan suara mereka. Agaknya, setiap kelas mengirimkan perwakilan untuk lomba yang satu ini. Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang mengharuskan setiap kelas mengirim perwakilan di sektor lomba mana pun.

Raga juga sebenarnya bisa menolak, terlebih sudah menjadi perwakilan untuk cabang bulutangkis. Namun, ya, pada akhirnya cowok itu mengikuti kemauan The Leader alias Akmal. Kelas kami mengirimkan perwakilan untuk setiap pertandingan dan beberapa di antaranya berhasil meraih kemenangan. Semoga kali ini Raga pun bisa menyumbangkan title juara untuk kelas kami, entah itu di sektor lomba menyanyi solo atau pertandingan bulutangkis.

Selain merekam dan memfoto, peliput juga bisa mewawancarai peserta yang bertanding. Sebagai pemanasan, aku mewawancara seorang senior sebelum lomba dimulai. Menanyai bagaimana perasaannya menjadi perwakilan--yang ternyata bukan kali ini dia ikut lomba menyanyi di Porseni. Tampak cewek itu sangat percaya diri jika lomba kali ini bisa dia menangkan. Hm, tidak salah kalau dia begitu percaya diri karena rekor kemenangannya lumayan.

Ingin juga mewawancarai Raga, tetapi ada segan yang menyentil. Mungkin nanti setelah lomba berakhir saja aku wawancara cowok itu. Syukur-syukur dia juara--aku sangat berharap dia juara--agar namanya menjadi pesona tersendiri di rubrik Bintang Porseni majalah terbit nanti.

Aku sangat menikmati setiap suguhan suara dari peserta. Jujur, semuanya bersuara bagus. Namun, yang paling menyita perhatian adalah penampilan Raga. Cowok itu akan tampil akustik dengan memetik gitar sendiri. Belasan penampilan sebelumnya hanya menggunakan instrumen dari keyboard. Jelas ini akan menjadi nilai plus untuk Raga. Jangan khawatir soal kelihaiannya memetik senar-senar gitar. Untuk seusia Raga sudah dibilang sangat jago.

Tentu saja. Selain mendapat nilai lebih di mata juri, Raga menjadi tokoh paling diminati dalam lomba ini oleh gadis-gadis yang menonton. Semua mata tertuju untuk Raga.

"O, dia yang waktu itu nyanyi di Persami, 'kan?"

"Iya, dia cowok itu."

"Wah, kerennya enggak pernah luntur, ya?"

"Beuh, bukan lagi. Dia kalau udah pegang gitar, tuh, pesonanya mirip Ji Hoo tau."

"Iya, ih. Ganteng juga, tapi rada dingin gitu ekspresinya, ya."

"Masih jomblo katanya."

"Hah, serius?"

"Iya. Gih, deketin!"

"Boleh kali, ya, PDKT-in."

Kekehan terdengar di antara dua cewek yang sedang menggosipi Raga. Aku hanya menepuk dahi, tidak habis pikir dengan tingkah mereka. Mana suara diskusinya cukup keras. Ya, aku yang kebetulan di samping dua cewek ini dapat mendengar dengan jelas obrolan mereka.

Senyap seketika begitu Raga mengalunkan intro. Cowok itu membawakan lagu Rahasia Hati dari Element Band.

Aku menengok sekitar. Cewek-cewek yang sejak tadi sibuk menggosipi Raga pun terdiam dengan tatapan lekat untuk cowok yang duduk di bangku tinggi di depan sana.

Raga sempat memergokiku sebelum lomba dimulai, tetapi hanya sepintas tatap. Dia memilih sibuk mengobrol dengan salah seorang peserta yang mungkin kenalannya. Namun, begitu dia tampil di sana, begitu suara petikan gitarnya mengudara, tatapannya tertuju ke arahku. Entah memang menatapku atau hanya kebetulan aku berada tepat di depannya. Yang jelas, kami beradu tatap.

Waktu terus berlalu tanpa kusadari yang ada hanya aku dan kenangan
Masih teringat jelas senyum terakhir yang kau beri untukku

Tak pernah 'ku mencoba dan tak ingin 'ku mengisi hatiku dengan cinta yang lain
'Kan kubiarkan ruang hampa di dalam hidupku

Bila aku harus mencintai dan berbagi hati
Itu hanya denganmu
Namun bila 'ku harus tanpamu akan tetap kuarungi hidup tanpa bercinta

Apa-apaan tatapannya? Kenapa dia mengirim tatapan seperti itu untukku? Eh, untukku? Masa?

Aku menoleh ke kanan dan kiri, bahkan belakang. Ya, mungkin saja tatapannya bukan untukku, 'kan? Aku saja yang kegeeran.

Hanya dirimu yang pernah tenangkanku dalam pelukmu
Saat aku menangis ....

Sayangnya, tatapan Raga menjurus tepat kepadaku. Kenapa? Ada apa dengan tatapan itu? Apakah dia sedang mengirim pesan tentang isi hatinya?

O, ayolah! Jangan membuatku selalu bingung dengan yang dia lakukan!

Bila aku harus mencintai dan berbagi hati
Itu hanya denganmu
Namun bila 'ku harus tanpamu
Akan tetap kuarungi hidup tanpa cinta

Aku segera berbalik. Tidak mau berlama-lama menantang tatapannya. Pun untuk menghindari dugaan gosip yang mungkin muncul karena sikap Raga tadi cukup jelas dan mengundang kekepoan para gadis yang menonton.

Daripada menjadi sasaran dugaan, aku memilih segera kabur dari arena lomba menyanyi solo. Liputan tadi sudah cukup untuk rubrik spesial Porseni. Nanti tinggal wawancara juaranya saja. Seketika aku berubah pikiran. Tidak berharap Raga menjadi juara. Kalau sampai juara, jelas aku harus mewawancari cowok itu yang artinya ....

Ah, sial! Kenapa, sih? Kenapa dengan dia? Kenapa denganku? Kenapa dengan kami?

"Loh, Tha? Kok, kamu di sini? Lomba nyanyi solo udah selesai?"

Aku menoleh ke pintu masuk. Mbak Nura datang dengan membawa satu kamera. Sepertinya dia juga sudah selesai liputan.

Sebagai jawaban, aku menyeringai sambil menggaruk kepala. "Belum, sih, Mbak. Tapi kalau aku lanjutin ... ngeri."

"Hah? Ngeri gimana?" Mbak Nura tampak heran dengan omonganku.

"Yang jelas, sudah ada beberapa peserta yang aku liput, kok." Eh, ya. Tadi sudah sempat kurekam belum, ya, penampilan Raga?

Segera kucek file rekaman dan ....

Astaga! Belum terekam? Ya ampun, Talitha! Bodohnya dirimu! Kok, sampai belum terekam, sih?

Aku menepuk dahi berkali-kali. Bisa kena omel Kak Rosiana, nih, nanti.

"Kenapa, Tha?"

Aku menatap Mbak Nura dengan tatapan nelangsa. "Penampilan puncak enggak kerekam."

Mbak Nura pun menepuk dahi.

***

Majalah edisi khusus Porseni akan diedarkan setelah libur panjang. Yang artinya, liburan kali ini aku tidak bisa berleha-leha. Tidak lagi bisa menonton rangkaian anime dan film-film spesial libur Natal dan Tahun Baru karena Kak Rosiana mengagendakan pengerjaan untuk majalah edisi khusus ini. Setidaknya, hanya dari pukul 8 pagi sampai 12 siang. Sisanya aku harus menjaga toko Mbak Ginuk.

Sebagai hukuman karena aku tidak merekam penampilan puncak di lomba menyanyi solo kemarin, Kak Rosiana menugaskan sesi wawancara juara menyanyi solo. Mau tidak mau aku harus menurut sebagai tebusan atas kelalaian tempo hari. Sialnya lagi, juara pertama lomba menyanyi solo dianugerahkan kepada Raga Jiwa Asmarandana. Meski aku sudah menduga, tetap saja. Entah bagaimana wawancara itu akan berjalan.

"Kali ini enggak boleh ada kelalaian lagi, ya, Tha." Kak Rosiana mengingatkan sebelum aku mendatangi Sang Juara. "O, ya. Sekalian wawancara double pertandingan. Kan, Raga juga juara di bulutangkis."

Aku menyeringai sambil mengangguk. Raga menjadi satu-satunya murid yang bisa juara di dua sektor pertandingan dalam Porseni semester ini.

Semua juara di ajang Porseni mendapat sesi wawancara khusus. Aku pun diwawancara karena menjuarai Cerdas Cermat oleh Rashaka. Selama mengobrol beberapa menit hanya berdua dengannya, aku sedikit tahu bahwa cowok ini sangat dingin. Hanya mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Bahkan, selama sesi latihan setiap Sabtu, dia jarang sekali nimbrung untuk sekadar mengobrol basa-basi. Tidak seperti Kak Reksa atau Kak Agung yang selalu mengundang tawa setiap kali kami mumet dengan beragam bagian yang dibebankan. Padahal, Rashaka cukup ganteng. Bisa jadi, nih, dia akan menempati posisi cowok populer untuk angkatan selanjutnya, meski bukan di urutan pertama.

Apa cowok ini punya masalah hidup yang pelik sampai-sampai untuk senyum saja jarang?

"Rashaka?" panggilku ketika sesi wawancara kami berakhir.

Cowok ini sudah beranjak duluan dan hampir keluar ruangan.

"Iya?"

Aku menarik kedua sudut bibir dengan kedua jari telunjuk. "Smile!"

Kerutan di dahinya muncul. Aneh mungkin melihat tingkahku yang sok akrab. Tanpa membalas apalagi mengikuti gerakanku, cowok itu berlalu.

Kuembuskan napas frustrasi. Benar, deh. Cowok ini punya masalah berat dalam hidupnya sampai lupa buat senyum.

Pikirkan saja masalahmu, Tha! Setelah ini, kamu harus bertemu dengan Raga.

Kembali kuembuskan napas frustrasi. Gusti, kenapa Kau ciptakan hari berat untukku sekarang? Apa Raga sadar kalau sikapku kemarin karena tak bisa memandangnya lama-lama? Apa mungkin aku mulai jatuh ke pesona cowok itu?

"Tha?"

"Eh, iya?" Aku tergagap mendengar panggilan.

Itu suara Kak Rosiana yang berdiri di ambang pintu.

"Enggak jadi wawancara Raga?"

"Jadi, kok!" Aku segera beranjak. "Ini mau nyamperin orangnya."

"Bagus! Buruan samperin jangan sampe dia keburu pulang."

Aku mengangguk cepat, meraih buku, bolpoin dan perekam, lalu bergegas mendatangi cowok itu.

Eto ... di mana dia memangnya? Sejak datang pagi tadi, aku langsung ke ruang Mading dan belum sempat mampir ke kelas. Lagi pun tidak ada yang harus dikerjakan di sana.

Ada di mana? Aku mau wawancara buat majalah edisi khusus Porseni.

Aku mengirim SMS ke nomor Raga. Daripada mencari tidak jelas dan menghabiskan tenaga, 'kan? Manfaatkanlah teknologi sebaik mungkin!

Di taman belakang.

Oke, aku ke situ. Jangan ke mana-mana!

Aku bergegas menuju taman belakang. Agaknya, setelah Porseni berlalu, kebanyakan murid memilih diam di rumah sebelum pembagian rapot. Sejak tadi berjalan sepanjang koridor ke taman belakang, aku tidak menemukan anak-anak X-5. Ada kesempatan boleh tidak masuk, ya, mereka akan dengan senang hati menjalani.

Jadi, begini alurnya.

Setelah ulangan umum, ada jarak dua minggu sebelum pembagian rapot. Nah, satu minggu pertama diisi dengan sesi remedial berdampingan acara Porseni. Satu minggu berikutnya bebas. Yang masih punya tanggungan tugas, bisa diselesaikan pada minggu ini. Yang free dari tugas-tugas mapel semacam aku ini, bisa tidak masuk. Asal saat pembagian rapot nanti seluruh murid diharuskan hadir. Biasanya, murid-murid yang masih berlalu lalang di sekolah adalah yang berkepentingan dengan ekskul dan OSIS.

Aku menemukan Raga terbaring di salah satu bangku besi panjang.

"Duduk, hei!" gubrisku ketika berdiri di hadapannya.

"Udah PW, Tha." Wajahnya menyeringai.

"Duduk, Raga. Aku mau wawancara. Enggak ada bangku lagi di sini. Masa iya aku duduk di bawah? Udah kayak babu Tuan Muda aja," sungutku.

"Iya, iya." Cowok itu segera bangkit.

Aku duduk di bekas baringan kepala Raga tadi; mengeluarkan perekam, buku, dan bolpoin.

"Harus banget apa pake sesi wawancara?" tanyanya heran.

"Harus karena aku lupa merekam penampilan kamu kemarin."

"Kenapa kamu sampai enggak merekam penampilanku?"

"Kabur."

"Kok, kabur?"

Iya, bagaimana tidak kabur kalau sepanjang dia bernyanyi tatapannya tertuju kepadaku?

"Ada yang manggil dan butuh bantuanku." Bohong, deh.

"Masa?"

"Iya. Eh, kok, malah kamu yang wawancarain aku? Kan, aku yang mau wawancarain kamu."

"Terus, kok, kamu enggak liput pas aku tanding bulutangkis?"

"Bukan bagianku. Kan, dibagi-bagi."

"Yakin kamu kabur karena ada yang manggil? Perasaan, aku lihatnya kamu kabur gitu aja."

"Iya, kok. Memang ada yang manggil."

"Bukan karena tatapanku kamu kabur, 'kan?" Raga tidak peduli dengan usahaku untuk mengembalikan topik.

"Dih, ya, enggaklah!" Iya banget padahal.

"Kamu jarang banget natap aku kalau kita ngobrol berdua."

"Karena kita jarang ngobrol berdua." Faktanya memang begitu, 'kan?

Aku sedikit mengintip lewat sudut mata apa yang sedang dia lakukan. Sejak tadi, aku mencoba berpura-pura sibuk untuk menghindari bertatapan langsung dengannya.

"Bener juga." Raga mengelus-elus dagu. "Tapi, kan, beberapa kali kita sering ngobrol berdua dan kamu enggak pernah mau natap mataku."

Karena aku enggak pernah bisa natap mata kamu. Takut. Takut terjatuh ke hal yang tidak seharusnya.

"Perasaan kamu doang." Padahal, sejak tadi kami mengobrol pun aku belum menatap langsung ke matanya. Sibuk mengeluarkan ini dan itu. Sibuk menyiapkan ini dan itu.

"Sekarang aja begitu. Kamu pura-pura sibuk nyiapin buku dan perekam biar enggak natap mataku, 'kan? Nakutin, ya?"

Tuh, tau jawabannya! Ngapain nanya, Bung?

"Bisa kita kembali ke topik semula, Pak Raga." Aku menengadah setelah tadi sibuk menyiapkan perekam.

Entah sejak kapan, tetapi tatapan Raga seolah tidak beranjak sejak beberapa menit lalu. Aku menemukan tatapan itu. Tatapan yang sama ketika dia menyanyikan lagu Rahasia Hati-nya Element. Tatapan yang membuatku kabur dan melupakan tanggung jawab liputan.

"Padahal, Tha. Aku selalu ingin lihat iris mata kamu langsung. Mata almond dengan warna cokelat terang yang enggak semua orang sini punya. Mata tajam yang galak, suka mengintimidasi, tetapi menyimpan rasa sayang. Mata yang ingin aku jaga untuk tidak menangis, Tha."

Menurut kalian, bagaimana perasaan seorang gadis mendengar penuturan semacam itu dari cowok yang selalu mengantarnya pulang?

***

Continue Reading

You'll Also Like

1M 33.4K 45
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
252K 28.2K 64
[[Completed]] 💓Cover by @Jeean2602💓 Claudia Loveli alias Cloud (25 tahun) ingin sembuh dari latahnya yang melelahkan, hidup normal, punya pacar da...
33K 2.4K 16
Gemuk? Hey, tidak perlu lah minder... Wulan saja bisa menjalani hidupnya dengan sangat santai dan tidak memusingkan apapun. Yeah, walau pada akhirnya...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.3M 73.7K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...