Ada yang Memang Sulit Dilupak...

By aixora_28

1.4K 360 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... More

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kesebelas
Momen Kedua Belas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Satu
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Empat
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Kedua Puluh Sembilan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan
Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

Momen Ketujuh

35 13 2
By aixora_28

Sebenarnya, kamu ingin menjadi siapa? Tukang antar? Tukang jaga? Atau ....
***

Aku tidak menemukan Raga begitu keluar dari toko. Tidak biasanya dia terlambat. Apa mungkin hari ini dia ekskul? Kok, tadi tidak ada omongan atau kirim SMS?

Kirim SMS? Ya, ampun, Tha! Hari ini kamu tidak bawa ponsel. Mana tahu dia kirim SMS atau tidak. Ya, terus bagaimana? Tunggu di sini sampai dia datang? Kalau dia tidak datang karena suatu hal?

Tapi, kalau memang dia ada ekskul dan rencana pulang sampai larut, harusnya tadi bilang langsung saat masih di kelas.

Apa aku nunggu saja? Siapa tahu sebentar lagi dia muncul.

"Kamu enggak pulang, Tha?" tanya Mbak Ginuk yang sudah bersiap di jok belakang motor Mas Gun.

"Dia belum datang, Mbak."

"Eh, iya. Tumben belum nongol. Biasanya, lima belas menit sebelum kamu keluar, dia udah duduk di sini."

Jangankan Mbak Ginuk, aku saja bingung kenapa dia belum menampakkan kepala cepaknya. Fyi, akhir-akhir ini dia selalu memotong habis rambutnya, meski tidak sampai gundul-gundul amat. Sudah jarang sekali aku melihat rambut cowok itu yang agak kriwil.

"Mungkin ada ekskul dia, Mbak. Makanya belum nongol."

"Kamu yakin mau nunggu dia? Bentar lagi ujan, loh, Tha."

Aku menengok langit yang benar-benar gelap oleh mendung, bukan hanya sekadar menjelang magrib. Bahkan, kilatan cahaya disertai gemuruh mulai membahanakan petang. Horor-horor sedap rasanya.

"Tha tunggu sebentar lagi, Mbak. Takutnya, pas Tha balik, dia malah nongol." Inginnya juga aku segera pulang. Namun, kalau nanti dia benar-benar telat, kan kasihan.

"Ya, sudah. Kamu nunggunya agak masuk biar kalau keburu hujan, enggak kehujanan," pesan Mbak Ginuk sebelum mereka pamit.

Sepi. Meski toko Mbak Ginuk berada di jalan perumahan warga, tetap saja jika menjelang petang begini sudah jarang orang keluyuran di luar. Apalagi hujan akan segera turun. Bergelung selimut hangat di dalam rumah bukankah hal paling mengasyikkan? Belum lagi ditemani kopi atau teh hangat. Wah, malam yang sempurna untuk tidak melakukan apa pun.

Sayangnya, aku masih di sini. Menunggu seseorang yang entah akan datang atau tidak. Salahku juga tadi tidak bertanya apakah dia akan datang menjemput. Salahku juga hari ini lupa membawa ponsel. Namun, ini juga salahnya karena dia tidak mengatakan apa pun tentang ekskul yang akan selesai pukul berapa.

Aku hanya tahu dia masuk ekskul bulutangkis, tapi tidak tahu kapan berakhir sesi latihan. Hanya tahu setiap hari Rabu dan Jumat-lah anak ekskul bulutangkis latihan.

Lima belas menit lagi, deh, Tha. Lima belas menit lagi kita tunggu Si Kepala Cepak itu.

Sayangnya, lima belas menit berlalu dan dia tidak juga muncul. Rintik mulai turun, bahkan dalam hitungan detik menjadi deras. Untung teras toko Mbak Ginuk disertai plafon. Jadi, aku cukup aman dari guyuran hujan yang selalu main keroyokan kalau datang.

Lima belas menit kembali berlalu dan Si Kepala Cepak itu tidak kunjung menampakkan batang hidung. Bisa jadi dia lupa untuk menjemputku. Bisa jadi dia belum selesai latihan. Bisa jadi ... apa dia marah kepadaku? Kalau diingat-ingat, hari ini dia tidak banyak bicara. Tadi di kelas pun, dia memilih langsung kabur ke kantin dengan para cowok X-5. Biasanya, kami bertemu sebentar di perpustakaan.

Jika dipikir-pikir, kenapa kami tidak pernah terlihat akrab di depan umum, ya? Cowok itu seperti menyembunyikan hubungan kami dari anak-anak X-5.

Eh? Hubungan macam apa yang kamu maksudkan, Talitha? Dih, keseringan nonton Boys Over Flowers jadi mengkhayal terlalu tinggi.

Aku hanya baru sadar. Raga memang jarang mengajakku mengobrol jika di kelas. Paling sekadar saling tanya masalah pelajaran. Tampak terlihat normal. Sangat berbeda jika hanya ada kami, seperti halnya ketika dia mengantarku pulang. Ada saja obrolan yang hidup sepanjang putaran roda melalui jalanan beraspal ke rumahku.

Lalu, hubungan kami ini sebenarnya apa?
Heh! Lagi-lagi mikirnya yang tidak-tidak!

Tanpa terasa, aku sudah menunggu cukup lama. Satu jam ada kali, ya? Raga benar-benar tidak muncul. Apa boleh buat. Aku harus pulang sekarang meski gerimis masih membumi. Lumayanlah tidak sederas tadi. Aku tidak akan begitu kuyup saat sampai rumah. Untung buku-buku dalam tas sudah masuk ke plastik. Tadi aku berinisiatif meminta kantong plastik ke Mbak Ginuk untuk menyelamatkan mereka. Mengingat sudah memasuki bulan Oktober, musim penghujan mulai memasuki pembukaan. Bisa jadi, besok pun akan turun hujan, meski jam berapanya masih sulit diprediksi.

Sialnya, saat masih setengah perjalanan, hujan kembali menderas. Belum lagi tidak ada tempat berteduh sepanjang jalur pulang. Alhasil, tubuh kuntetku berlari-larian di tengah hujan menjelang malam. Dingin sekaligus berat karena aku membawa tas dengan lima buku cetak setebal di atas 300 halaman.

Begitu sampai rumah, aku segera mandi air hangat. Selesai mandi, segera kunyalakan tungku yang biasa dipakai Ibu untuk merebus air minum. Di rumah, kebutuhan air minum kami tidak dengan membeli. Ibu lebih suka merebus air yang sumbernya dari air tanah. Lagian, kalau harus membeli, pengeluaran rumah tangga akan semakin membengkak.

Kebetulan, stok air minum kami menipis. Sembari merebus satu panci besar air, aku meletakkan sepatu yang basah di atasnya. Aku belum sempat membeli sepatu cadangan. Jika tidak dipanggang begini, aku tidak punya sepatu kering untuk besok.

Sambil menunggu air mendidih dan sepatu cukup kering, aku menyeduh teh. Untung masih ada sisa air hangat di termos.

Jika kalian bingung kenapa ada tungku di dalam rumah, maka jawabannya karena rumahku masih amat sederhana. Masih berdinding bata merah dengan lantai yang hanya diplester halus. Sementara dapur masih berlantai tanah karena Bapak belum memiliki biaya untuk merenovasi. Lantai plester halus saja baru satu tahun belakangan. Jendela rumah kami masih jendela dari bambu yang dilapisi plastik transparan. Semua masih tampak sederhana karena biaya pembangunan hanya pas-pasan.

Kata Bapak, "Yang penting kita sudah tidak numpang di rumah Nenek. Sekalipun masih sangat sederhana, kita harus bersyukur karena sudah punya rumah sendiri. Kita enggak kepanasan juga enggak kehujanan. Meski masih banyak nyamuk karena beberapa bagian belum tertutup sempurna, ini sudah lebih baik. Nanti fokus dirapikan setelah Mbak Tha dan Mbak Isma lulus. Kalau masih pada sekolah, Bapak fokusnya ke biaya sekolah kalian dulu."

Ah, Bapak. Kenapa beliau semangat sekali menyekolahkan kami?

Agak susah jika mengeringkan bahan sepatu hanya dengan menempelkannya di atas panci panas. Meski aku patut bersyukur karena sudah tidak basah-basah amat. Mungkin kalau kubiarkan semalaman di atas panci panas, besok pagi sudah jauh lebih kering.

Aku masuk ke kamar untuk segera beristirahat dengan lebih dulu menyiapkan buku-buku pelajaran esok hari. Syukurnya aku punya tas cadangan. Tas yang basah tadi akan kucuci besok sebelum berangkat sekolah.

Begitu melihat tumpukan buku di meja belajar--jangan membayangkan meja belajar mewah sekelas Olympic karena meja belajar yang kupunya hanya meja sederhana seperti yang ada di sekolah, itu juga meja bekas pemberian tetangga--aku melihat ponsel yang tadi pagi tertinggal.

Gegas aku membukanya dan menemukan beberapa pesan dari beberapa orang, salah satunya Raga. Ada pesan Mbak Ginuk yang diterima beberapa menit lalu. Menanyakan aku sudah pulang atau masih menunggu. Segera saja kubalas kalau aku sudah sampai rumah.

Ada empat SMS dari Raga.

Tha, kalau jam lima nanti aku belum nongol, langsung pulang aja, ya. Jangan nunggu.

Pesan yang diterima pukul setengah lima.

Tha, langsung pulang, ya. Aku selesai latihan jam setengah tujuh.

Pesan yang diterima pukul setengah enam sore.

Tha? Sudah pulang, 'kan?

Pesan yang diterima pukul enam sore.

Tha? Marah, ya?

Aku menahan tawa. Geli dengan kekhawatiran cowok ini. Bagaimana kalau besok aku pura-pura marah? Apakah dia akan merasa bersalah?

***

Aku datang lebih awal pagi ini. Semalam suntuk diguyur hujan membuat jalanan cukup tergenang air. Positifnya, udara terasa lebih sejuk, bahkan cenderung dingin. Kukenakan satu-satunya jaket katun yang kumiliki hasil lengseran Mbak Ainun. Agak sedikit kebesaran karena postur Mbak Ainun jauh lebih tinggi dariku. Tak apalah daripada kedinginan. Kampung tempatku tinggal merupakan salah satu daerah yang berada dekat dengan gunung. Jika musim penghujan tiba, udara jelas akan lebih dingin, bahkan sering muncul kabut tebal pada pagi hari. Setidaknya, kampung ini masih sedikit terlindungi dari polusi udara. Memang sudah mulai banyak rumah-rumah yang memiliki kendaraan pribadi hingga mencapai lebih dari satu. Akan tetapi, penggunaan yang masih dalam batas wajar tidak memengaruhi kondisi udara. Kami masih bisa menikmati udara bersih yang menyegarkan paru-paru setiap pagi.

Kelas masih sepi begitu aku sampai. Satu kebiasaan yang kami sepakati jika musim penghujan tiba adalah tidak memakai sepatu di dalam kelas agar lantai tidak terkotori bekas lumpur atau tanah basah akibat guyuran hujan. Pun, kelas kami selalu melakukan piket setiap pulang sekolah. Jadi, kondisi kelas pada pagi hari akan selalu bersih cemerlang. Sayang, dong, kalau harus terkotori oleh jejak sepatu yang menginjak tanah basah?

Kami juga meminta para guru untuk mencopot sepatu mereka dan menggantinya dengan sandal jepit yang sudah disediakan kelas. Bahkan, ada beberapa guru yang tanpa diminta pun selalu memakai sandal khusus saat memasuki ruang ajar jika musim sudah masuk penghujan. Mereka sangat menghargai cara kami memelihara kelas.

Sejujurnya, aku ingin tidak berangkat sekolah karena merasa sedikit tidak enak badan. Tengah malam tadi aku merasa demam. Pagi harinya, aku bersin-bersin sehingga membuat hidung sedikit memerah. Namun, karena hari ini ada ulangan harian Fisika, aku tidak ingin melewatkannya. Malas saja kalau harus ulangan susulan di ruang guru. Ngeri dengan atmosfer kegugupan yang melonjak di atas normal.

Jadi, ya, dikuatkan-kuatkan saja. Minimal sampai ulangan Fisika terlewati dan aku bisa minta izin ke UKS untuk istirahat lebih nyaman.

Saking beratnya kepala, begitu sampai di bangku kebesaran, aku langsung menjatuhkan kepala ke atas meja; miring menghadap tembok karena aku duduk di sisi yang berdekatan dengan tembok utara.

Langkah-langkah mulai terdengar melewati koridor, meski belum ada yang terarah masuk ke kelas ini. Tentu saja. Kebanyakan makhluk penghuni kelas X-5 adalah pemuda-pemudi teladan yang mana suka telat datang dan pulang duluan.

Kelas X-5 akan ramai pagi-pagi jika:
1. Pelajaran Kimia pada jam pertama.
2. Ada PR Matematika yang belum selesai.
3. Hari Senin.
4. Ulangan mata pelajaran susah; Matematika, Kimia, Fisika, Ekonomi, dan Bahasa Inggris.

Nah, berhubung ulangan Fisika hari ini jatuh pada jam pertama, maka mungkin sebentar lagi kelas X-5 akan ramai.

Samar aku mendengar langkah tergesa-gesa di koridor depan kelas X-5. Arahnya masuk ke kelas sini, tetapi aku malas menengok karena sudah posisi nyaman. Semakin jelas langkah itu menghampiri posisiku.

"Kenapa enggak balas SMS-ku?"

O, teman semejaku sudah datang rupanya. Tumben sepagi ini. Biasanya, dia orang paling santai masuk kelas, tidak peduli dengan empat ketentuan yang kusebutkan tadi.

"Enggak ada pulsa." Kudengar dia sibuk mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat dengan risleting yang dibuka. Dari dalam tasnya mungkin, ya. Lalu, kudengar sibakan-sibakan kertas.

Dia hanya sedang mengalihkan situasi agar tidak terlihat berbicara begitu dekat denganku. Kan, sudah kubilang. Dia ini kalau di kelas, ya, seperti tidak mau terlihat akrab denganku. Entah apa alasannya. Mungkin ada gadis yang dia suka di kelas ini dan karena takut menyinggung perasaannya, dia tidak ingin terpergok akrab denganku.

Ya, kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Kok, aku baru ngeh sekarang, ya?

Kadang, otak orang sakit lebih rasional.

"Bukan karena marah makanya enggak mau balas SMS, 'kan?"

Aku menahan tawa. Ya, ampun! Benar, deh. Membuat dia mencemaskan hal-hal remeh itu menyenangkan.

Aku mengendik tanpa jawaban apa pun dari mulut. Sesekali bikin dia merasa bersalah boleh juga.

Mulai terdengar banyak langkah memasuki kelas. Teman semeja yang kemarin membuatku harus pulang sambil hujan-hujanan pun mulai sibuk menyibak-nyibak buku--sepertinya. Bahkan, bilang maaf saja tidak. Dasar cowok!

"Tha, Tha! Jelasin model soal yang ini, dong! Aku belum terlalu ngerti." Nuri menghampiri mejaku.

Meski kadang anak satu ini tidak setia kawan, tetaplah dia teman lama yang cukup pengertian. Dengan kepala masih berat, kucek lembar buku penuh coretan-coretan rumus milik Nuri.

"Waduh! Tuh, hidung kenapa, Tha? Merah amat!" Nuri menahan tawa begitu melihat hidungku. Kan? Bukannya prihatin, malah menahan tawa ini anak saat melihat kondisi temannya.

"Merah banget emang?"

"Nih, lihat!" Nuri menyodorkan kaca kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana. Heran sama anak satu ini. Ke sekolah bawa kaca buat apa?

Aku terbelalak begitu melihat hidung yang merahnya lebih kentara dari kondisi tadi pagi. Wah, pantesan dari tadi meler terus. Flunya tambah parah.

"Iya, iya? Merah amat." Aku meraba-raba hidung yang tidak terlalu bangir itu. Rasa gatal mengundang bersin sebisa mungkin kutahan. Kasihanlah kalau mereka terkena virus fluku.

"Pasti pulang hujan-hujanan," tuding Nuri.

"Kok, tau?"

"Anda tidak ingat pernah jatuh sakit saat SMP karena pulang ekskul sambil hujan-hujanan?"

"Pernah emang?"

"Pernah, Dodol!" Nuri menoyor kepalaku. "Dah, ah! Buruan ini jelasin cara yang bener gimana? Aku enggak nemu-nemu jawabannya."

Aku mencebik. Sudah, mah, minta tolong. Eh, pakai toyor kepala orang. Memang kurang asem cewek satu ini!

Aku pun mulai menjelaskan cara yang mungkin saja benar untuk menyelesaikan contoh soal yang diberikan Nuri. Kenapa mungkin? Ya, aku sendiri tidak tahu pasti apakah jawabanku sudah sesuai dengan yang diinginkan guru nantinya. Setidaknya, ada jaminan 80% kalau cara yang kuberikan benar.

"Paham, Nduk?" tanyaku setelah selesai menjelaskan.

"Paham, paham! Seharusnya, yang jelasin materi ini, tuh, kamu. Jangan Bu Vivi. Otak lemotku enggak sampai."

"Upgrade makanya." Aku kembali mencebik. "Dah, sana balik ke tempat duduk you!" usirku karena ingin kembali merebahkan kepala. Masih 15 menit sebelum pertarungan melawan soal-soal Fisika yang akan membuat kepalaku bertambah mendidih.

Tidur sebentar enak kali, ya?

***

Keberuntungan berpihak kepadaku. Sehabis istirahat, kelas yang harusnya diisi jam Biologi dan Sosiologi, terpaksa dikosongkan karena para guru sedang mengadakan rapat untuk kepengurusan latihan ujian nasional bagi kelas XII. Padahal, ujiannya masih tahun depan. Tahun ini saja belum habis, tetapi sudah riweuh penyusunan soal latihan. Memang, sekolah kami terbilang yang paling rajin melakukan ujian pendadaran sebelum tryout UN asli dari Kabupaten. Syukurlah para guru rapat. Aku bisa istirahat dengan tenang di UKS sebelum lanjut ekskul Mading nanti.

"Mbak Nura, numpang istirahat di sini, ya."

Kebetulan sekali, saat aku masuk ke UKS, di sana ada Mbak Nura, salah satu seniorku di Mading. Dia juga salah satu anggota PMR kelas XI. Di sekolah kami memang boleh memilih dua ekskul sekaligus, asal hari latihan tidak bentrok.

"Loh, Tha? Sakit?"

"Agak enggak enak badan, Mbak. Mumpung jam kosong gitu, makanya ke sini mau numpang istirahat."

"Boleh, boleh. Mau minum obat sekalian?"

"Boleh, Mbak." Kusebutkan salah satu obat warung yang biasa kukonsumsi kalau sedang flu. Dengan ramah, teman tugas Mbak Nura memberikan satu kapsul obat dan segelas air hangat. Setelah meminumnya, aku memilih ranjang paling timur untuk tempat berbaring.

O, ya. Di UKS sini ada tiga ranjang dengan tirai pembatas untuk masing-masing. Jadi, kalau ada yang mau istirahat dan tidak ingin terganggu, bisa tutup tirainya untuk membatasi.

Karena aku tidak ingin diganggu siapa pun, maka kututup tirai pembatas untuk ranjang paling timur--posisi terjauh dari pintu masuk.

"Mbak Nur, kalau nanti UKS mau tutup dan aku belum bangun, minta tolong bangunin, ya," pesanku kepada Mbak Nura biar tidak terkunci di sini. Kan, melas amat kalau sampai terkunci di UKS. Mana besok Minggu. Pertolongan tidak akan mudah datang untuk siswi yang terkunci di tempat ini.

"Beres, Tha. Istirahat aja yang nyaman. Nanti kami bangunkan kalau sudah mau pulang."

"Makasih, Mbak."

... dan, ya, efek obatnya bekerja dengan baik. Kantuk langsung menyerang dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

***

"Heleh! Kamu, tuh, mulai lagi. Sinyal buaya daratmu mulai di-on-kan lagi, Sa?"

Itu suara Mbak Nura ketika aku terbangun. Syukurlah tidak perlu sampai dibangunkan. Sekalipun efek obat bekerja dengan baik, aku memang tipe manusia yang tidak bisa tidur terlalu nyenyak jika bukan di rumah sendiri. Meski masih agak pusing, kayaknya demam sudah agak turun. Tubuhku juga sudah lebih nyaman ketimbang tadi pagi. Memang obat warung yang satu itu paling cocok untukku. Untung di sini juga tersedia.

Alih-alih segera keluar untuk bergegas ke kelas, aku ingin memulihkan tenaga lebih dulu di sini. Tadi sudah cek ponsel dan baru jam setengah dua siang. Masih setengah jam sebelum bel pulang berbunyi.

Omong-omong, Mbak Nura sedang mengomeli buaya mana, tuh? Nguping saja kali, ya.

"Kayaknya kali ini aku mau serius, deh, Nur. Gadis sebaik dia enggak bisa aku sia-siain."

Loh? Itu suara Kak Reksa, 'kan? Ah, aku paham sekarang. Buaya yang sedang diomeli Mbak Nura ternyata teman seekskulnya.

"Halah! Itu ucapan udah kaya ajian. Setiap mau ngedeketin gadis baru juga begitu. 'Kali ini kayaknya aku mau serius, deh, Nur.' Udah berapa kali, Bung, kau bilang begitu, heh?"

Aku ingin terbahak mendengar omelan Mbak Nura. Persis ibu-ibu yang sedang mengomeli anak bujangnya yang ketahuan menyakiti anak gadis orang.

"Eh, tapi beneran aku kesengsem sama dia." Pembelaan lain keluar dari suara Kak Reksa.

Buaya, tuh, begitu. Punya seribu satu alibi untuk membela diri.

"Dia gadis baik-baik. Meski aku belum mengenal lama, aku sudah anggap dia seperti adikku. Aku enggak akan biarkan kamu mainin dia."

"Si Nura enggak percayaan amat, deh."

"Jelaslah! Korbanmu udah banyak. Saking banyaknya, aku sampai pusing mengingat semuanya."

"Ya, enggak usah diingat. Kurang kerjaan aja."

"Dahlah! Keluar sana! Siapin materi buat latihan hari ini. Ada orang lagi istirahat, tuh, di ranjang timur. Curhatanmu jangan-jangan bikin istirahat dia keganggu lagi."

"Siapa yang sakit?"

"Talitha."

Hening. Aku tidak mendengar lagi obrolan mereka. Kok, berhenti? Kan, seru mendengarkan Mbak Nura mengomeli Kak Reksa?

Entah apa yang terjadi, suara tawa Mbak Nura mengagetkan. Apa yang mereka obrolkan diam-diam sampai Mbak Nura terbahak begitu?

Aku hendak keluar dari persembunyian, tetapi tirai lebih dulu tersibak. Di sana berdiri Kak Reksa yang tersenyum canggung.

"Kok, bisa anak manis ini sampai sakit?" Satu tangan Kak Reksa menyangga tangan lainnya yang mengelus-elus dagu. Alisnya naik-turun menunggu jawaban.

Lebih dulu aku duduk di sisi ranjang, kemudian menjawab pertanyaan si Kakak Buaya. "Kemarin pulang kehujanan. Jadilah hari ini kena flu."

"Sekarang udah baikan?"

Aku mengangguk. "Udah. Untungnya UKS punya obat yang biasa aku minum."

"Laper enggak?"

Ini cowok udah kayak petugas dapur umum. Nanya mulu.

"Ini mau ke kantin beli makanan."

"Tunggu di sini aja. Biar Kak Reksa yang beliin."

"Tapi ...."

"Enggak ada penolakan, Anak Manis."

Aku sedang tidak bermimpi, 'kan? Atau jangan-jangan, ini efek obat yang kuminum. Halusinasi, begitu?

Belum lagi aku menyanggah, Kak Reksa sudah beranjak.

"Aku juga, ya, Sa. Beliin bakso aja. Yang pedes."

"Ogah!"

"Dih! Oh, mau kuaduin, nih, ke orangnya."

"Dasar tukang ngancam!"

"Pokoknya, bakso yang pedes plus jus alpukat, ya."

Tanpa menanggapi permintaan Mbak Nura, Kak Reksa bergegas keluar UKS.

Kondisi semacam ini pernah aku lihat dalam sebuah drama. Salah satu cara seorang cowok memikat gadis incarannya adalah dengan mentraktir gadis itu; Melimpahkan perhatian saat gadis itu sedang kesulitan; Bersikap sangat manis untuk menarik simpati si gadis.

Eh, tunggu, tunggu. Maksudnya, si Reksa ....

"Apa Kak Reksa selalu baik begitu, Mbak Nur?" Aku sudah tidak melihat teman tugas Mbak Nur yang tadi.

"Reksa? Sebenarnya, dia tipe cowok yang loyal."

"Ke semua orang?"

"Yaps, terlebih ke gadis yang disukainya."

Aku mengangguk-angguk.

"Rumor kalau Kak Reksa buaya, tuh, beneran?"

Mbak Nura yang sejak tadi mengobrol dengan kondisi membelakangiku, kini berbalik. Senyumnya mengembang sembari bersedekap.

"Yang sebenarnya terjadi adalah cewek-cewek itu yang maksa ingin jadi pacar Reksa. Berhubung bocah itu enggak tegaan, ya, diterima-terima aja. Sebulan dua bulan enggak tahan dalam kebohongan, akhirnya Reksa putusin."

Aku mengangguk-angguk paham.

"Gadis-gadis yang memaksa ingin pacaran dengan Reksa karena mereka punya niat terselubung."

"Hah? Niat terselubung apa?"

"Mereka cuma ingin populer. Sudah tahu, 'kan, kalau Reksa masuk tiga besar cowok paling populer di sekolah ini?"

Aku kembali mengangguk. Seminggu MOS kemarin, aku diberi tahu banyak hal tentang sekolah ini. Cowok-cowok populer yang menjadi dambaan kaum Hawa. Cewek-cewek populer yang jadi dambaan kaum Adam. Ya, selayaknya dunia putih abu-abu. Yang namanya orang-orang terkenal karena wajah dan otak akan selalu ada.

Kak Reksa kembali muncul dengan satu nampan berisi dua mangkuk bakso, satu teh hangat, satu jus alpukat, dan beberapa botol berisi kecap, saus, dan sambal. Meski tadi menolak, pesanan Mbak Nura tetap dibelikan.

"Nah, gitu, dong. Baik sama aku. Makasih banget, loh, ini." Mbak Nura langsung mengambil bakso dan jus alpukat pesanannya.

Sepertinya, Kak Reksa sudah cukup tahu selera bakso Mbak Nura. Buktinya, gadis berkacamata minus itu tidak protes dengan mangkuk di hadapannya.

"Aku enggak tahu selera bakso kamu yang kayak gimana. Jadi, aku bawain yang tanpa tambahan apa pun dulu."

Sebenarnya aku tidak enak mau menerima pemberian Kak Reksa, tapi kalau ditolak, justru akan menyinggung perasaan cowok itu.

"Kok, cuma ditatap doang? Atau mau Kakak suapin?"

"Modusnya si Bapak pinter banget!" Mbak Nura kembali mengoceh.

"Makan. Enggak usah ikut berisik."

"Iyalah makan. Ketimbang dengerin gombalan si Bapak Buaya yang enggak bikin kenyang."

"Berisik, ya, Mbak Nura?"

Aku menahan tawa melihat bagaimana mereka berinteraksi. Baik Mbak Nura maupun Kak Reksa, sebenarnya mereka saling memahami satu sama lain. Atau bahkan saling pahamnya mereka bisa lebih dalam dari yang kuperkirakan.

"Kalian cocok, loh." Aku menatap bergantian ke arah Mbak Nura dan Kak Reksa sebelum mencampur kuah bakso dengan saus dan sambal, serta meminggirkan beberapa potongan seledri yang terlihat.

Bukan tersinggung, Mbak Nuri malah terbahak. Sementara Kak Reksa mencebik.

Kan? Mereka ini cocok tanpa mereka sadari.

***

Continue Reading

You'll Also Like

4.3K 645 11
Rasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
223K 5.7K 10
TELAH TERBIT (REPOST) "Abangku itu gila, yakin kamu mau nikah sama dia?" Medina tertawa. "Mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya." *** Bukan atas dasar c...
1.9K 233 9
📚 KUMPULAN CERITA PENDEK 📚 "Keep love in your heart. A life without it is like a sunless garden when the flowers are dead. The consciousness of lov...