Shy Shy Jwi ✔️

By A-GOLDIES-2005

10.1K 1.8K 302

Park Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong... More

01. Seterang Bintang
02. Sekelam Malam
03. Keputusan Takdir
04. Pejuang dan Cobaannya
05. Si Tameng Baru
07. Dia Bukan Aku
08. Jisung, Dulu, dan Mimpi
09. Sang Tuan Kesalahan
10. Dia, Kim Hoseung
11. Cara Untuk Bangkit
12. "Si Kebaikan"
13. Hai, Kesedihan
14. Korban Lainnya
15. Kaum Kesengsaraan
16. Luka Tak Terkisah
17. Langkah Pertanggungjawaban
18. Awal Dan Akhir
19. Jendela Kerapuhan
20. Jisung; Misteri
21. Semanis Madu
22. Jelmaan Seorang Korban
23. Monster Deonghwa
24. Monster dalam Mimpi
25. Peringkusan Pukul 4 Pagi
26. Dari Seorang Kakak
27. Secuil Arti Teman
28. Perumpamaan Dari Chenle
29. Chae Eun; Muara Pertikaian
30. Chenle; White Lies
31. Human Can't Be Perfect
32. Kata Kim Doyoung
33. Broken Childhood I
34. Broken Childhood II
35. Dia Berevolusi
36. Buah Pengkhianatan
37. Terlanjur Hancur
38. Let The World Feel
39. Tumbuh Di Atas Luka
40. Kisah Anyar

06. Patah Mimpi

420 90 9
By A-GOLDIES-2005

Sejak tahu seberapa pahit skenario yang menimpanya atau seberapa keras tamparan fakta yang tak pernah berhenti menyadarkannya, Jisung tak lagi punya sebuah mimpi. Dokter, polisi, tentara, arsitek, pilot, penyanyi—tidak dengan semua itu. Tujuan hidupnya berubah. Tak lagi punya secuil tekad untuk meraih mimpinya.

Berapa kali harus ditegaskan bahwa hidup Park Jisung itu sesederhana kubus yang tak punya banyak sisi.

Bukan dokter, bukan aktor, bukan pula penyanyi yang punya banyak penggemar. Setiap detik mengelukan namanya, tidak Jisung tak lagi menginginkan semua itu. Kalau ditanya untuk apa dirinya hadir di dunia ini maka Jisung sekedar akan menjawab, menjadi manusia bermanfaat sehingga aku dihargai.

Jisung bukannya mengenyahkan segala mimpi yang sempat menggelayuti jiwanya, yang sempat memecut semangatnya. Bahkan untuk mendambakan lenyapnya mimpi itu pun Jisung tak pernah. Tapi tahu-tahu, yang sempat menghujaninya sampai bermandikan keringat, menjanjikan masa depan yang lebih baik—yang namanya mimpi itu—pupus dengan sendirinya. Seakan tak mau berpulang pada tuannya yang tak bisa dihargai orang.

Kepalanya menunduk. Tubuh semampainya tak lagi dibalut kemeja putih dan celana biru laut serta dilengkapi dasi kotak-kotak biru senada. Bukan lagi seragam Seiyeon yang menjadi saksi ukiran hidupnya. Tersingkirkan, kemeja yang seringnya ditimpa macam-macam noda itu kini digantikan kehadirannya dengan blazer maroon yang warnanya memikat. Sedikit mewah ketimbang yang sebelumnya.

Sekarang, pertanyaannya adalah, kali ini, dengan seragam yang ini, Jisung bisa melanjutkan skenarionya dengan kisah yang bagaimana?

Eksistensi Zhong Chenle, hadirnya ia, datangnya ia sebagai figuran baru dalam drama hidupnya bukanlah satu-satunya hal yang bisa mengubah segala tentangnya. Totalitas tanpa terlewat sedikitpun. Seumpama zamrud yang ratusan tahun terkubur, Chenle seajaib itu, semenawan itu. Kalau Jisung menggenggamnya, memanfaatkannya dengan baik, yang ia inginkan bisa terwujud dalam satu kedip mata.

Tapi yang dia butuhkan bukan harta apalagi tahta.

Coba tebak! Park Jisung hanya ingin dikirimi banyak orang. Mereka yang membutuhkannya, mereka yang menggelayutinya, mereka yang ada untuknya. Ini alot untuk diakui. Tersendat-sendat, Jisung dipaksa untuk jujur. Kenyataan bahwa seorang Zhong Chenle tak cukup untuk kelanjutan skenario hidupnya yang terjal.

Sekarang tertawalah. Manusia yang bahkan tak bisa bermanfaat, manusia yang hidupnya hanya bisa mengeluh, manusia yang tak bisa mengukir apapun, manusia ini malah kian serakah alih-alih tersadar.

Jisung mengakuinya. Tapi jujurlah, memangnya siapa yang bisa bertahan dengan satu teman sementara kamu selalu dihantui akan kesepian yang tak tahu sampai kapan akan berakhir? Katakanlah kalian akan menjawab, aku bisa, yang penting aku punya teman. Lalu tahu-tahu takdir ingin bermain-main, satu-satunya yang kamu sebut teman melarikan diri karena temannya yang baru, yang katanya lebih baik atau yang katanya lebih bisa mengerti dirinya. Kamu terpuruk, tersedu-sedu. Saat itu tiba, kemana kamu mengadu?

Angan-angan yang sempat singgah di benaknya; tentang kerumitan hidupnya sendiri, tentang dirinya, atau tentang masa depannya nanti, terburai menyisakan debu tak kasat mata ketika sesuatu menghancurkan. Bunyinya memekakkan telinga. Bus tumpangannya tiba dengan deritnya yang bukan main nyaringnya. Jisung melangkah. Tangannya lebih dulu menyentuh pintu bus, tapi seseorang menyerobot. Tergesa-gesa, dia mendului si Park yang telah membuang waktunya sampai belasan menit.

Dia laki-laki. Pemuda yang tingginya hampir menyambangi Jisung. Sesuatu yang mengejutkan mengambil alih atensi Park Jisung. Tubuh itu, tubuh di hadapannya itu sama-sama mengenakan seragam yang persis miliknya.

Tangannya merogoh-rogoh. Agaknya tengah terlarut menyusuri dasar kantung celananya sendiri. Mencari-cari. Kemudian ditarik keluar. Tapi hasilnya tak semestinya. Alih-alih recehan yang ia korek selama tadi, genggamannya malah diisi uang kertas yang mana nominalnya kelewat besar.

"Pak, hari ini bisa nggak aku tinggalin bon buat besok? Hehe, bapak bisa catet bon ku yang pertama, aku janji besok aku bakal lunasin." Seakan tengah berikrar, kalimat terakhirnya serius dilontarkan.

Tapi si pak tua yang tengah memeras keringat demi mengais rezekinya itu terlalu kejam. "Nggak bisa. Siapa tahu besok kamu nggak naik ke bus ini lagi. Bayar sekarang atau pergi."

Si pemuda nelangsa itu nampak ketar-ketir. Bukannya merelakan, genggamannya malah kian mengerat. Seolah tak ingin melepas satu-satunya harta yang ia bawa. "Aku bisa aja bayar pakai uang ini tanpa kembalian. Tapi pak, ini uangku buat sebulan ke depan. Kalau hari ini habis cuma buat bayar bus, besok aku ke sekolah naik apa? Besok aku makan apa?" Dia merengek, mungkin nyaris putus asa. "Pak tolong, satu kali aja. Aku janji besok aku bakal naik bus ini lagi. Tolong ya pak." Kedua tangannya ditangkupkan. Memohon tanpa kenal lelah.

"Nggak. Kalau memang nggak ada ongkos, kamu bisa pergi. Kasihan orang di belakangmu ngeliatin kamu ngemis kayak gitu."

Si pemuda yang masih anonim itu menoleh. Mulutnya membulat kecil sebelum menggemakan kata maaf yang samar lirihnya. Dia menyingkir. Membuka jalan untuk Jisung.

Terlampau lamban ia bergerak, Jisung pelan mendekati kotak kaca kecil yang menampung jerih payah si supir bus. Belum banyak, hanya ada 10 uang koin dengan 5 uang kertas yang baru mengisi. Tangannya terangkat, siap menjatuhkan ongkosnya ke dalam sana. Tapi tahu-tahu hati kecilnya terketuk. Dia menoleh. Setengah ragu, pertanyaan itu mengudara.

"Hei, kamu murid Minhwa juga kan?" Diawali dengan pertanyaan konyol, Jisung menyapa.

Lawan bicaranya mengerjap sebelum kepalanya beralih membawa sebuah anggukkan kecil.

Jisung mengulas senyum tipisnya. Kali ini tanpa paksaan. Kemudian kepalanya menoleh balik ke tempat dimana si pak tua diberikan tahta. "Buat 2 orang ya pak." Lantas—klontang! 3 buah uang koin beserta satu lembar uang kertas resmi menyapa teman-temannya di dalam satu kotak yang sama. "Ayo naik." Jisung mengajak.

Si pemuda lainnya yang sedari tadi masih betah terbengong-bengong itu buru-buru menyusul. Tangannya menggapai-gapai. Berhasil meraih ujung blazer si malaikat penyelamatnya. "Ka-kamu bayar ongkosku juga?"

Jisung mengangguk.

Raut wajah yang mulanya mendung, murung bagai burung yang dipaksa tinggal di dalam sangkar selamanya itu berubah. Pancar sinar bahagianya menyapa netra. Kemudian ketika Jisung menyaksikan itu, gelenyar yang sama ikut menggelayutinya. Pemuda itu, dia tersenyum karenanya.

"Makasih, makasih banget. Kalau kamu nggak ada aku nggak bakal bisa berangkat hari ini atau malah nggak makan besok karena uangnya buat bayar bus ini." Tangannya kuat mengguncang Jisung.

Kekehan itu terlontar kecil. "Iya, sama-sama."

"Aku Choi Jeonghyun."

Belum bisa melenyapkan senyumnya, Jisung membalas. "Park Jisung."

Kemudian, hari selasa yang mulanya tak membawa arti secuil apapun, berubah menjadi hari paling bahagia yang tak pernah Jisung duga sebelumnya. Jeonghyun berujar. Mengungkap banyak kisah tentangnya. Melintasi gedung-gedung yang tingginya nyaris menyentuh langit. Didampingi suara riuh penumpang. Didukung celotehan Jeonghyun, Jisung tahu bahwa menjadi alasan bahagia seseorang itu seperti ini rasanya.

Kalau mereka bahagia karena aku, aku juga ikut bahagia. Jadi Park Jisung, ayo terus buat mereka ketawa! Terutama....Zhong Chenle.

ꗃꠂꠥ

Orang-orang itu bilang, kalau kamu berhasil memainkan peran untuk skenario hidup Zhong Chenle—walau seujung kuku—maka kamu tak punya apalagi untuk diminta. Mulanya Jisung mengira mereka terlalu membesar-besarkan sosok Chenle, si konglomerat asal China. Sebab Jisung mengerti bahwa tak ada satu pun manusia yang bisa dinyatakan lahir dalam kesempurnaan. Tapi semuanya diputarbalikkan. Tak peduli kekurangan apa yang turut menghinggapi si Zhong, Jisung tetap menyukai hatinya yang besar.

Dia mengayomi, dia melindungi, dia siap mati terkoyak untuk membuatnya merasa aman. Chenle masih memerankan sosoknya yang menyerupai singa sementara Jisung masih terjerat pada seekor kelinci liar.

Seharusnya Jisung memang dibuat sadar bahwa Chenle cukup untuk mengisi torehan hidupnya yang melompong dihias coretan pena merah darah mengerikan.

Tuhan bersama takdir-Nya tak pernah bisa ditebak walau kamu berusaha memecahkannya 1000 hari sebelumnya. Mulanya, Jisung mengira-ngira. Hari ini mungkin si tengil Kim Hoseung kembali memamerkan batang hidungnya. Mungkin membalas tingkahnya yang kelewatan kemarin kemudian Chenle akan kembali menjadi ibu peri yang selalu melindunginya.

Tapi, 30 menit lamanya singgah di dalam kafetaria, membiarkan rungu disambar cuap-cuap yang tak pernah berujung, yang namanya Kim Hoseung belum juga nampak. Tidak, itu bukan berarti Jisung mendambakan kehadirannya.

Lantas, sekali lagi Jisung diberi kesempatan untuk menerka-nerka. Hari ini pasti akan disulap menjadi hari terbaik untuknya. Alam, kalau kamu mendengar terkaan ini, tolong bawa angin yang berdesir sebagai jawaban. Tahu-tahu, senyum setipis benang muncul tanpa dipergoki. Ketika angin berhembus kecil, Jisung tersentak. Itu berarti Tuhan menjawab lewat sang angin bukan?

"Aku pikir Hoseung bakal muncul buat mencak-mencak karena masih merasa nggak terima soal kemarin." Lebih berani ketimbang hari pertamanya, Jisung berkembang dengan menciptakan topik perbincangan.

Chenle menoleh. "Biang kerok kayak dia cuma modal omongan doang padahal nggak cukup baik buat ngejek orang lain." Sahutannya berupa cibiran yang disemati sedikit rasa ketidaksukaan.

"Kamu pernah diganggu?"

Bersamaan dengan langkah yang berbelok, Chenle terkekeh kecil. Sepele, Jisung bukannya mengumbar kemampuannya berkelakar tapi lewat untaian kalimatnya, Chenle dibuat geli. Kata diganggu yang meluncur barusan seakan menyudutkan Hoseung—atau setidaknya—melukiskannya dalam peran setan jahat.

"Nggak tuh." Kepalanya menggeleng. "Tapi kalau dia cari gara-gara, nanti Yangyang yang bakal balas dendam. Sampai sekarang mereka nggak pernah damai."

Kelas yang tadinya kosong melompong, kini mulai kembali dijamah orang-orangnya. Mereka masuk. Terduduk merutuki perutnya yang mulai membengkak akibat terlalu banyak melahap makanan atau mengeluh perihal pendingin ruangan yang mulai rusak.

Sampai di bangku nomor 3 dari depan, perbincangan itu terputus. Jisung tak lagi tergiur mengimajinasikan rupa Yangyang sebenarnya. Sebab obsidian itu lebih dulu menangkap sebuah benda. Berdiri kokoh, ukurannya sebesar genggaman tangan orang dewasa, warnanya hijau muda dengan bentuk kotaknya yang tak terlalu tinggi; susu melon.

"Wah, apaan nih? Kamu bawa susu melon, Jisung?" Chenle mempertanyakan. Tangan kanannya meraih si tokoh utama yang tengah menciptakan kebingungan.

Yang ditanya menggeleng. Raut wajahnya menyatakan tidak sebagai jawaban yang teramat jelas. "Bukan, itu bukan punya aku. Dari rumah aku nggak bawa makanan apapun." Tangannya ikut diayunkan ke kanan-kiri. "Bukan punyamu? Aku kira itu malah punya kamu."

Chenle ikut menggeleng. "Aku lebih suka strawberry ketimbang melon." Mulutnya mencicit kecil. "Kalau gitu ini punya siapa? Kamu punya pengagum rahasia ya?" Kemudian pertanyaan itu berubah menjadi tuduhan yang nadanya dibuat mendayu-dayu. Jisung gelagapan.

"Nggak. Mana ada yang kayak gitu." Dia menyangkal. "Punya orang lain, mungkin dia lupa taruh itu di bangku kita."

Chenle menelisik. Tangannya menelisik kemasannya. Barangkali tulisan tangan tersemat di salah satu sisinya. Tapi sayangnya, tidak ada. Yang berhasil ditemukan hanyalah tanggal kadaluarsa, komposisi dan kandungan vitamin.

"Yeorin!" Chenle memanggil. Si sahabat sejati rambut cepak yang terduduk di bangku depan menoleh. Alisnya diangkat naik sebagai gantinya pertanyaan yang tak ia utarakan. "Ini punyamu?" Tangannya mengangkat tinggi sekotak susu melon yang nyaman digenggam.

Sama halnya, Yeorin menggeleng. "Loh, bukannya itu punya Jisung?" Keningnya mengerut. Telunjuknya mengarah, berpulang pada sosok semampai di sisi kanan Chenle.

"Aku nggak beli susu kotak ini." Jisung meluncurkan pembelaan. Takut kalau-kalau Chenle menuduhnya sebagai pembohong.

"Kamu memang nggak beli, tapi ada yang kasih." Yeorin menyahuti. "Dari Choi Jeonghyun, katanya makasih udah bayar ongkos busnya tadi pagi. Aku kira dia udah duluan bilang ke kamu." Fakta itu terungkap diakhiri dengan gumaman yang turut serta.

Chenle menoleh. "Kamu kenal Jeonghyun?"

Mengiyakan, Jisung mengangguk. "Tadi pagi aku sempet ketemu dia di bus. Dia nggak punya uang receh jadi aku bayar sekalian ongkosnya."

Satu detik berikutnya, Chenle mengulas senyum lebarnya. "Tuh kan apa aku bilang! Kamu memang anak baik, cuma nggak terlalu menonjol makanya mereka nggak sadar!" Dia memekik gembira. "Nah, ini. Minum sampai habis." Tangannya menyerahkan si barang kepada pemilik sesungguhnya.

Jisung menerima. Beberapa detik terlarut memandanginya. Ini pertama kali. Pertama kali dimana kebahagiaannya terasa tak punya batasan. Melambung tinggi, menembus langit ketujuh, Jisung dimanjakan oleh letupan kebahagiaan yang agaknya tak akan pernah menyurut.

Jadi gini rasanya dihadiahi sesuatu dari orang lain sebagai pernyataan terima kasih?

Sedotannya dipisahkan. Plastik mungil yang membungkus untuk memastikannya tetap steril dikoyak robek. Kemudian—tuk! Kotaknya berhasil dilubangi oleh tajamnya bagian bawah sedotan.

Jisung menyicip. Ah, bahkan rasanya lebih manis ketimbang yang biasanya.

"Chenle, kamu mau coba?" Tergerak untuk berbagi, Jisung menawari.

Tapi Chenle menggeleng. "Nggak, kamu habisin aja. Makan kotaknya kalau perlu." Lantas kekehannya menyusul.

Setiap tetesnya, setiap air itu mengalir menerpa kerongkongannya, Jisung hanya merasa kebahagiaan yang kian membabi-buta. Rasanya tak dapat dibendung. Tanggulnya jebol bahkan sebelum sempat dibangun kokoh-kokoh. Padahal cuma sebatas susu kotak melon yang harganya ramah di kantong anak-anak. Tapi rasanya lebih mewah ketimbang sajian restoran Italia bintang lima. Jisung tidak sedang mendramatisir, itu benar adanya.

Ini pasti hari terbaik. Park Jisung kelewat yakin.

Maunya sih begitu. Rintangan tak pernah bisa diterka. Waktu tak pernah tergiur untuk memberi aba-aba. Takdir tak bisa diam untuk sesaat. Sebab yang terjadi berikutnya adalah kerusakan suasana. Muaranya si pemuda tinggi besar yang tahu-tahu menyeruak masuk.

Brak!

Bunyi debum pintunya seolah menjadi musik pengiring yang menegangkan. Kim Hoseung masuk dengan tergopoh-gopoh. Matanya menatap nyalang menyerupai harimau yang tengah melarikan diri dari sangkarnya.

"Sialan, kamu sebenci itu sama aku?! Dendammu sebesar apa sampai terus-terusan serang aku?!" Bentakannya menggema keras. Atensi disorot sepenuhnya untuk si antagonis yang baru menampakkan diri. Hoseung kalap entah apa alasannya.

Susu kotak melon yang manisnya bukan main itu ditampar. Lolos dari genggaman Jisung kemudian mendarat nahas di atas lantai. Isinya mulai berceceran. Sudut bawahnya robek. Isinya meluber kemana-mana.

Jisung mematung. Tak cukup kesadaran untuk mencerna segala yang tengah terjadi. Masih terpuruk meratapi sebuah bentuk penghargaan akan bantuannya. Hadiah itu terlantar bagai sampah yang tak lagi bisa diharapkan.

"Kim Hoseung! Kamu nggak diajarin buat kurang ajar kayak gini!" Alih-alih Jisung yang dilanda ketidakterimaan, Chenle lah yang merasa demikian. Tubuhnya menghalangi-halangi. Berusaha mencegah adanya keributan yang mulai terdeteksi.

"Peduli apa tentang kurang ajar kalau dia lebih dulu cari gara-gara ke aku?! Dasar kamu otak kecil! Kekanak-kanakan! Aku cuma nyerobot antrean tapi kamu sampai laporan ke guru konseling?!" Tangannya menggapai-gapai. Tak bisa melindungi lebih lama lagi, Chenle tersingkirkan. Hoseung berhasil meraih musuhnya. Menghabisinya lewat tatapan yang berkobar-kobar. Haus akan balas dendam yang setimpal.

"Aku nggak bilang apapun."

"Alasan!" Tangan kanannya dikerahkan. Urat-uratnya yang nampak mengerikan itu mulai menyembul. Kuat menarik kerah si musuh. Kemudian—bruk! Hoseung mendorong tubuh semampai Jisung, memojokkannya berakhir dengan bunyi retak dan debum kecil yang mengudara. Jisung meringis. Pinggangnya membentur dahsyat bangkunya sendiri. Dia dibuat nyaris telentang di atas meja. "Jangan mentang-mentang kamu temenan sama anak berpengaruh di sini, kamu bisa berbuat seenaknya!" Geraman itu menyusul berikut cengkeramannya yang kian erat.

"Tapi aku bener-bener nggak laporin kamu ke siapapun."

"Terus kalau bukan kamu siapa lagi?!" Dia menggertak keras. Matanya membulat sempurna.

Pelan, Jisung mengerling. Zhong Chenle-nya masih berdiri walau berkabut oleh rasa khawatir yang tak kalah besarnya. Dia....bukan Chenle kan yang menjadi muara dasar kesalahpahaman ini?

"Kamu cuma anak bego yang nggak punya hati! Aku yakin kamu punya mimpi! Kamu pikir gimana rasanya kalau kamu nggak lagi punya kesempatan buat kejar mimpimu?"

Jisung mengerjap. Sesak. Itu menyakitkan. Amat berat. Seberapa kokohnya pun kamu berusaha untuk tetap berjalan, lama-kelamaan mimpi itu akan menjadi bumerang-mu sendiri. Kamu akan lelah. Letih sebelum akhirnya menyerah. Jisung tahu, Jisung hafal rasanya. Kamu salah, Kim Hoseung.

"Aku udah nunggu lama buat ini! Aku udah latihan keras, aku korbanin segalanya! Aku mau dapet piala, aku mau jadi anak yang bisa dibangga-banggain! Tapi itu sekarang nggak berarti apa-apa. Bahkan sekedar disebut angan-angan pun nggak pantes." Hoseung mendekat. Mengikis jarak yang tersisa. "Dan itu semua gara-gara siapa?! Gara-gara si anak bego nggak tahu diri ini yang lagaknya sok ini! Kamu patahin mimpiku! Kamu buat semua berantakan padahal kamu cuma kutu yang nggak pernah diharapin kedatangannya!" Hoseung membabi-buta.

Selesai. Hening. Menyisakan Jisung yang masih tak bisa leluasa untuk meraup oksigennya. Dia masih terbengong-bengong tapi diterpa akan kekhawatiran pula.

"...maksud kamu apa?" Suaranya mencicit kecil. Tersendat-sendat padahal kerongkongannya baru saja dialiri susu melon yang segarnya melebihi udara di desa.

"Aku atlet renang. Satu bulan lagi aku bakal raih mimpi lewat kejuaraan renang nasional. Aku udah berjuang semaksimal mungkin buat itu." 3 kalimat berikutnya meluncur. Ampuh meretakkan segala kesadaran yang masih tersisa milik Jisung. "Tapi kamu tiba-tiba berantakin semuanya! Aku diskors! Karena laporanmu ke konseling itu aku diskors! Satu-satunya syarat supaya bisa masuk ke kejuaraan itu adalah jangan diskors, jangan kena masalah apapun di sekolah tapi apa yang kamu kasih? Puas nggak, musuhmu ini udah kehilangan mimpinya?! Haha, brengsek." Tawanya muram. Mengudara sumbang seakan tengah mendongengkan seberapa marahnya ia sekarang.

Chenle bergerak. Tak bisa lagi menonton kerusuhan ini, tangannya menyingkirkan Hoseung dari sang sobat. "Berhenti." Sayangnya, cengkraman si Kim kelewat erat.

Hoseung menoleh. "Kamu mau belain dia lagi?"

"Lepasin." Kuat, Chenle mendorong si atlet renang yang baru saja kehilangan mimpinya. "Itu memang bukan Jisung. Bukan dia yang laporin kamu ke konseling. Itu aku. Aku yang laporin kamu."

Jisung dibuat terkejut-kejut. Terkaannya benar. Si cucu pemilik yayasan lah yang ternyata turun tangan tanpa sepengetahuannya.

Hoseung tergelak. Tak percaya. "Nggak usah sampai jadiin dirimu korban cuma buat lindungi anak itu, Zhong!" Dia membentak. Nampak muak dengan tingkah Chenle yang peduli berat.

"Itu memang bener! Aku yang laporin kamu! Aku yang hancurin mimpimu! Aku! Zhong Chenle yang buat kamu kehilangan mimpi!"

Kim Hoseung kehilangan stok kata-katanya. Skakmat. Tamat. Berakhir. Kalau sudah orang berkuasa yang menjadi lawan, dia tak bisa berkutik. Paling-paling meminta maaf sebatas lidah kemudian mengumpatinya.

Kian frustasi, Hoseung menendang angin yang berhembus. Tubuhnya melengkung ke bawah. Surainya kusut diremas jari-jemarinya sendiri. Layaknya orang gila, dia meraung keras. "Sialan, sialan, sialan!" Umpatannya meluncur bertubi-tubi.

Jisung menyaksikan itu. Bagai kilas balik, dia tahu seberapa sakitnya ketika kamu dipaksa melepas mimpi. Hoseung tak lagi berkata-kata. Lewat matanya, dia mengerling sekilas sebelum berakhir melenggang pergi.

Dan Park Jisung kembali merasa gagal menjadi manusia baik.

ꗃꠂꠥ

(( panjang amat, maapin ya huhu. Nggak ribut nggak enak soalnya 😳✌️ ))

Continue Reading

You'll Also Like

10.3K 1.3K 26
[❕PERHATIAN JANGAN SAMAKAN CERITA INI SAMA IDOL ASLINYA❗] 7DREAM sebuah grup yang awalnya dibentuk karena hobi dan juga ketidaksengajaan. Kini, Sete...
201K 9.9K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
5.4K 530 10
Perjuangan Park Jisung mencari Park Chenle, Kembarannya yang hilang 8 Tahun silam. Tak hanya perjuangan Jisung, Bahkan juga perjuangan Chenle menjauh...