Shy Shy Jwi ✔️

Par A-GOLDIES-2005

10.1K 1.8K 302

Park Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong... Plus

01. Seterang Bintang
02. Sekelam Malam
03. Keputusan Takdir
04. Pejuang dan Cobaannya
06. Patah Mimpi
07. Dia Bukan Aku
08. Jisung, Dulu, dan Mimpi
09. Sang Tuan Kesalahan
10. Dia, Kim Hoseung
11. Cara Untuk Bangkit
12. "Si Kebaikan"
13. Hai, Kesedihan
14. Korban Lainnya
15. Kaum Kesengsaraan
16. Luka Tak Terkisah
17. Langkah Pertanggungjawaban
18. Awal Dan Akhir
19. Jendela Kerapuhan
20. Jisung; Misteri
21. Semanis Madu
22. Jelmaan Seorang Korban
23. Monster Deonghwa
24. Monster dalam Mimpi
25. Peringkusan Pukul 4 Pagi
26. Dari Seorang Kakak
27. Secuil Arti Teman
28. Perumpamaan Dari Chenle
29. Chae Eun; Muara Pertikaian
30. Chenle; White Lies
31. Human Can't Be Perfect
32. Kata Kim Doyoung
33. Broken Childhood I
34. Broken Childhood II
35. Dia Berevolusi
36. Buah Pengkhianatan
37. Terlanjur Hancur
38. Let The World Feel
39. Tumbuh Di Atas Luka
40. Kisah Anyar

05. Si Tameng Baru

416 102 4
Par A-GOLDIES-2005

Apa yang kamu pikirkan ketika rungu disapa oleh kata "lapangan dalam ruangan?" Ring basket dalam ruangan? Lantainya yang mengkilap? Ruangnya yang gelap? Atau apa?

Jisung nyaris lupa bagaimana caranya menutup mulut. Ketimbang lapangan dalam ruangan, yang tengah dipijaknya saat ini lebih menyerupai studio sepak bola. Langit-langitnya tinggi. Bukan polos monoton yang tak akan bisa menarik atensimu lebih lama lagi. Detailnya ada, Jisung tak tahu apa namanya tapi langit-langit itu lebih indah dari yang pernah ia terka-terka. Menunduk, kakinya bertumpu pada lantai marmer yang bersihnya bukan main. Ibarat zamrud yang memikat. Minhwa punya fasilitas yang amat jauh berbeda dari Seiyeon.

Seandainya si pemuda kelebihan kalsium itu berlabuh seorang diri atau bersama si kawan baru—Zhong Chenle—rasanya tak akan menyesakkan. Ketimbang siksaan, tempat yang tengah ia singgahi sekarang mirip hamparan indah yang hanya dipenuhi macam-macam jenis lili namun memikat hati.

Ketika bariton itu mengudara, Jisung terpaksa menoleh. Lehernya seakan mati rasa. Alot digerakkan walau cuma beberapa senti ke samping. Sebabnya karena Kim Hoseung. Manusia yang berhasil membangkitkan ketidaksukaan di garis yang terlalu awal ini.

"Nih." Tangannya yang kekar, menyembulkan urat-urat jelas dari balik kulitnya dikerahkan. Asal-asalan, dia menyerahkan sebuah alat pel untuk si partner hukumannya.

Oke, mari akui sesuatu. Mungkin hukuman ini tak separah yang pernah Jisung lakukan di dalam kamar mandi berkerak tebal sampai bulir keringatnya kejam menghujam—seandainya ditimpa hukuman yang sama pun Jisung tak akan keberatan sebab ia telah menerka seperti apa rupa kamar mandi sementara lapangan indoor semewah ini. Tapi serius, Park Jisung lebih memilih mengerjakan segala ini seorang diri ketimbang ditemani manusia tukang serobot.

"Lama." Hoseung menggeram kemudian bunyi debum kecil mengudara akibat jatuhnya pel menimpa lantai marmer yang sebentar lagi akan dipastikan digesek bersih-bersih.

Hoseung melenggang. Mulai mengacuhkan Jisung. Entahlah, mungkin dia menganggap Jisung kasat mata atau setidaknya menjadikan dia objek pajangan yang bahkan tak bisa berkedip.

Jisung membungkuk. Pel itu ia raih. Menyebar ke titik yang berbeda, Jisung pun balas mengabaikan.

Untuk beberapa saat yang melanda berikutnya, tak ada apapun yang terjadi. Kosong, hampa dan sunyi. Tak apa, yang namanya Park Jisung terbiasa dengan hal-hal itu. Seberapa lamanya pun dia diminta terjerat dalam sangkar mematikan itu, maka dipastikan dia lah yang paling lama bertahan. Keluar sebagai pemenang atas semua itu.

Tadinya Jisung sempat menerka-nerka. Si Kim Hoseung itu, mungkin tidak ya mengucapkan sepatah kata maaf perihal hari kemarin? Tapi Jisung lantas menelannya bulat. Tidak, tidak usah, tidak perlu. Dia tak membutuhkan. Dilihat-lihat, Hoseung bahkan tak punya secuil niat untuk menggemakan maafnya walau selirih cuitan burung yang baru lahir.

10 menit kemudian, sesuatu mulai terjadi. Ketika Hoseung bergerak kian ke kiri sementara Jisung ke kanan. Tak sadar, maka konsekuensinya adalah mereka bertemu pada satu titik yang tak pernah diduga. Tuk, bunyi kedua pel yang tahu-tahu saling bersinggungan ampuh membuat si penguasa sama-sama mendongak dalam satu ketukan detik yang sama.

Lantas, tatapan itu bertemu.

Tapi Jisung tak tertarik untuk berlama-lama jatuh pada lawannya. Dia melengos, beranjak menjauh. Sayangnya, kekehan kecil tiba-tiba menyambangi udara yang sempat tak terjamah akibat kesepian yang merajai.

"Hei, bocah baru." Panggilannya bahkan menyulut lebih besar api ketidaksukaan yang telah berkobar. "Kayaknya aku punya musuh baru. Jadi, seberapa hebat kamu buat jadi lawanku?"

Jisung menoleh. Untuk beberapa alasan Jisung bisa menjelma menjadi manusia suci yang sering diterpa keminderan. Tapi untuk kasus ini, ketika dia dihadapkan pada sesuatu yang tak disukainya, maka dia harus bertindak. Dunia ini bukannya mau tunduk terhadapnya. Maka, bertindaklah kalau tidak mau ditindas.

"Nggak."

Cuma satu patah kata yang berhasil menegaskan segala-galanya. Tapi bukannya menyurutkan masalah, Hoseung malah dibuat tersulut. Sudut bibirnya berkedut. Tak suka akan sahutan angkuh dari lawan bicaranya.

Kemudian tangannya terulur. Mendorong kaki Jisung dengan gagang pel di genggamannya. "Nggak usah sok mau jadi orang baik. Reputasimu udah rusak di mataku dan itu kesalahan yang fatal. Bukan ancaman sih, cuma sebatas mewanti-wanti. Tapi jangan kaget kalau besok tahu-tahu ada artikel besar yang judulnya, anak baru ini ternyata tidak tahu caranya bertata-krama, yang nanti dipajang di majalah dinding." Hoseung meledek. Tergelak sebab puas membalas.

Kata pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Jisung tak tergiur untuk membalas. Atau bahkan sekedar menanamkan cemooh Hoseung ke dalam memorinya pun tak ia lakukan. Tangannya sibuk menggosok lantai dengan pel di genggamannya. Lama-kelamaan, makin dibuat mengkilap sampai-sampai pantulan si jelek Hoseung yang tengah terbahak-bahak itu menyembul di sana.

"Aduh lucu banget." Berpura-pura atau memang iya, Hoseung menyeka air di sudut matanya. "Heh, kenapa kamu pindah ke sini? Pindahan darimana? Oh biar aku tebak. Pasti guru-guru di sekolahmu yang lama juga merasa muak dan nyerah karena anak muridnya nggak bisa diajarin tata krama ya?"

Itu bukan dugaan yang baik. Dan Jisung telah memutuskan untuk memberi respon. Tanpa menoleh, menolak menatap wajah si mulut jelek, Jisung membalas. "Kamu sendiri? Emangnya tata krama mengajarkan buat ledek orang yang baru dikenal? Bukannya malah berbuat baik? Kamu bahkan yang udah lama di sini masih suka serobot antrean padahal barusan kamu bilang seputar tata krama."

Nyaris ditusuk sempurna, Hoseung mendelik. Dia mencibir diikuti kekehannya. "Jadi kamu dendam karena aku serobot antrean kemarin? Haha, kekanak-kanakan."

"Poinnya bukan itu. Kita semua diminta ngantri, berjuang buat dapet makanan dengan cara yang sabar. Tapi waktu semuanya mematuhi dan kamu datang mirip orang utan yang nggak bisa diomongin, mereka merasa nggak adil."

Bersama gigi yang mulai bergemelutuk keras, Hoseung melangkah. Kakinya kasar menendang pel yang tengah digenggam si Park. Bunyinya lumayan kuat sebelum Jisung terpaksa mengerahkan atensinya.

"Brengsek, kamu ngomong apa barusan? Dasar songong! Seharusnya kamu bisa menempatkan diri. Ini tempat baru, seenaknya kamu bilang kayak gitu!" Tangan kanannya yang sekokoh gedung pencakar langit itu mencengkram kuat kerah seragam yang baru 2 hari melekat di tubuh si siswa baru.

Jisung menelengkan kepalanya. "Terus kalau aku penghuni lama di sini, apa artinya aku bisa bertingkah kayak kamu? Seenaknya nyerobot antrean atau bikin ancaman ke pendatang baru?"

Niatnya Jisung cuma ingin mengintimidasi. Tapi agaknya bensin yang dituang terlalu banyak sementara api telah menyala besar. Hoseung kehilangan tanggul kesabarannya. Tangan kanannya yang masih menggenggam gagang pel diayunkan. Menari di udara sebelum meliuk ke bawah dan hap! Park Jisung menahannya.

"Dasar mulut sampah! Aku tahu kamu punya riwayat pendidikan yang buruk. Mungkin kamu bego atau sejenisnya. Tapi aku harap tingkahmu yang sok besar itu jangan terlalu lama ditunjukin. Jangan bangga cuma karena kemarin kamu dibela sama cucunya si pemilik yayasan!" Dia menyalak. "Aku yakin kamu bahkan nggak bisa apa-apa tanpa Chenle. Iya kan?" Kemudian tawa bodohnya menyusul.

Diketuk perlahan-lahan, pada akhirnya emosi itu terpaksa diluapkan meski tak berkobar terlalu besar. Jisung mendorong kuat sang musuh. Mengenyahkan gagang pel yang mengganggu obsidiannya. Kemudian, kalimat itu mengudara.

"Aku bisa. Aku buktiin, aku bisa sendiri."

Karena rupanya Park Jisung tak suka diremehkan walau terkadang ia cenderung ditampar akan fakta yang beribu kali pahitnya.

ꗃꠂꠥ

Pada dasarnya, Zhong Chenle terlahir dengan gen suka direpoti. Tiap darahnya mengalir, menciptakan peredaran, maka bersama gen itu pula dibawa. Padahal sepele. Sekedar perkara si kawan baru yang diterka-terka tengah mengidap sariawan—menurut analisis konyol Chenle sendiri—belum juga menampakkan tubuhnya yang setinggi Namsan di depan obsidiannya. Mulanya Chenle menanti-nanti. Tapi ketika jarum jam mulai berpulang pada angka 9, gen suka direpoti miliknya mulai bekerja.

Keras, nyaris membabi-buta, Chenle melangkah pergi keluar kelas. Sementara tungkai kakinya diayunkan, imajinasinya sibuk melalang-buana.

Kenapa Jisung belum berangkat?

Jangan-jangan dia merasa tersinggung karena merasa dibandingkan dengan Yangyang?

Atau malah berobat untuk menyembuhkan sariawannya?

Lantas, Chenle merutuk kecil. Kepada siapa dia bisa menanyakan perihal ketidakhadiran si pemuda kelebihan kalsium itu? Bahkan untuk nomor ponsel pun dia tak sempat meminta.

Langkahnya berbelok. Menggebu-gebu, pertanyaannya mengudara paling lantang. "Pak satpam!" Panggilannya menyambar. Kemudian yang merasa disebut pun menoleh. Senyumnya diulas lebar, berusaha menarik si tokoh berpengaruh.

"Eiy Zhong Chenle! Ada apa?"

Ketika sapaannya dibalas, yang ditanya malah sibuk menoleh. Kanan-kiri, depan-belakang, timur-barat, sampai menelisik di beberapa tempat yang tersembunyi, tapi hasilnya sebesar telur dinosaurus—nihil. Park Jisung yang tingginya hampir menyaingi jerapah itu mustahil bisa bersembunyi dengan mudah berkat tingginya.

"Hari ini ada anak yang terlambat?" Tanyanya.

Maka, si satpam mengangguk. "Ada dua. Kenapa?"

Dari sana, Chenle mulai dilanda keantusiasannya. Setengah menyeru, dia menerka. "Salah satunya tinggi banget? Badannya tinggi, mukanya asing, nggak banyak omong, wajahnya datar. Dia anak yang kemarin baru masuk." Lugas, Chenle mengabsen penampakkan Jisung yang sekiranya paling mencolok.

Si satpam sekitar kepala 5 itu nampak tengah mencoba mengingat-ingat. Jari-jemarinya asyik mengetuk dagunya sendiri. Lalu, 3 detik berikutnya dia membeliak kecil. "Ah iya ada! Dia terlambat, waktu ditanya kenapa masih aja terlambat, dia bilang dia anak baru jadi aku nggak marah-marah ke dia." Sahutannya berhasil menumbuhkan binar harapan baru untuk yang lebih muda. "Dia ada di lapangan dalam ruangan. Kamu cari dia?"

Cepat, Chenle mengangguk. "Makasih informasinya, pak. Lain kali aku kasih samgyeopsal ya!" Dia bersorak. Tubuhnya berbalik. Kakinya siap dikerahkan untuk menciptakan langkah lebar-lebar. Menjemput Park Jisung-nya. Tapi tahu-tahu, kakinya malah membeku. Dia menoleh.

"Kenapa Zhong?"

Kecil, Chenle menggeleng. "Katanya ada 2 anak yang hari ini terlambat. Selain dia, siapa?"

Seolah tak lagi tertarik akan topik yang diulas, si satpam menjawab ogah-ogahan. "Kim Hoseung. Gila bocah itu, udah dibilangin berkali-kali tetep aja suka berangkat terlambat. Belum aja di—"

Kim Hoseung.

Kim Hoseung.

Ini jelas bukan berita yang baik. Selepas aksi penyerebotan antrean kemarin, Jisung menegur kecil namun dibalas akan penyalakan garang. Maka, tak sempat menjadi saksi keluh kesah si satpam, Chenle dipastikan benar-benar angkat kaki dari sana.

Ciri-ciri orang ber-uang itu bisa menonjol lewat kebiasaan yang ditampakkan. Berani taruhan, 80% dari mereka pastilah menolak keras jika seseorang mengerahkan perintahnya. Lari keliling lapangan 30 kali atau perlombaan yang membakar banyak kalori. Sekalipun hadiahnya voucher berlibur ke Hawaii, mereka lebih memilih duduk meluruskan kaki bersama seruputan air limun yang segarnya bukan main.

Tak ingin menepis, Chenle pun sama halnya. Tak pernah suka ketika dia harus banyak dihujani oleh keringat—kecuali untuk basket. Tapi ini Park Jisung yang sialnya tengah terperangkap bersama manusia dengan otaknya yang tinggal separuh. Seumpama kelinci yang tersesat bersama serigala di dalam sana, Chenle akan memainkan perannya sebagai singa berhati mulia.

Kakinya berhasil menapaki undakan tangga kelima. Sebelum akhirnya lawang dijeblak lebar-lebar. Bunyinya lumayan keras tapi gagal menarik atensi. Di dalam sana—entah apa yang terjadi sebelumnya—Jisung tengah melindungi diri beralatkan gagang pel di genggamannya. Menoleh ke kanan, Chenle bisa menemukan Hoseung yang kini tengah berusaha memberi perlawanan.

"Park Jisung!" Dia memanggil. Gemanya keras bukan main.

Si empu nama menoleh. Oleng, tak memperhatikan keseimbangannya kemudian—bruk. Tubuhnya yang bongsor terjatuh. Hoseung menghambur. Ketika Chenle masih terbengong-bengong, ketika itu pula yang lemah dihajar satu pukulan telak.

Jisung kalah.

Sang singa mengaum hebat. Tak terima kelincinya terkulai lemah, dia mengejar. Mengabadikan seberapa parah Jisung saat ini lewat obsidiannya. Si kelebihan kalsium itu tengah mendesis kecil. Tangannya menyeka sudut bibirnya sendiri. Kemudian ketika ditarik, lecet. Tak banyak namun cukup pedih, darah dipaksa keluar dari rumahnya. Jisung terluka.

Zhong Chenle, ini waktunya singa memberi balasan.

Kepalanya ditolehkan. Membulat, menghakimi si pelaku yang tak tahu malu. "Kim Hoseung, kamu apain dia?! Masalah antrean kemarin, kamu masih nggak terima sampai dia harus kena pukul kayak gitu?" Chenle mencecar.

Hoseung mengangkat bahunya setengah acuh. "Itu salah satu alasannya." Lantas tatapannya berkilat. Dihadiahi untuk Park Jisung yang masih betah terduduk di atas dinginnya lantai. "Dia ini nggak tahu sopan santun. Seenaknya ngomongin aku orang utan yang katanya nggak punya kesopanan atau apalah. Mulut sampah! Kamu nggak seharusnya temenan sama Chenle."

"Kamu nggak berhak ngomong kayak gitu ke dia." Chenle membalas. Merasa tercoreng harga dirinya ketika Hoseung justru mengolok Jisung. "Seharusnya kamu tanya sama dirimu sendiri. Orang lain nggak akan ngomong yang aneh-aneh kalau nggak ada penyebabnya. Api nggak akan ada tanpa bensin." Matanya mengerling sinis sebelum tubuhnya membungkuk. Mengulurkan tangannya cuma-cuma untuk dijadikan topangan.

Jisung berdiri.

"Jadi kamu lebih percaya sama dia?! Sama orang yang baru 24 jam kamu kenal alih-alih percaya sama aku?" Hoseung menyalak. Merasa diperlakukan tidak adil.

Chenle menyahuti. "Emangnya, bagian mana yang harus aku percaya dari kamu?" Lebih parah dari Jisung, kalimat itu menohok keras. Tepat mengenai ulu hati si musuh. Dia mungkin mengerang kesakitan. Emosinya nyaris terluap, lagi. Dadanya kembang kempis berusaha menahan. Sebab lawannya kini seekor singa, si penguasa segala-galanya. Bukan lagi kelinci liar yang eksistensinya bahkan tak pernah diharapkan. "Kamu lebih baik minta maaf ke Jisung kalau mau semuanya nggak makin parah."

Chenle tak memberi pengampunan lebih. Tangannya menggaet si kawan baru. Menyeretnya jauh-jauh dari sana. Meninggalkan hukumannya. Meninggalkan lawannya yang masih berdiri tegak. Pertarungan itu tak dimenangkan oleh siapapun. Ibaratnya, seri.

Menjauh, Chenle memperlambat langkahnya. Tangannya melepas sanderaannya. "Aku kira kamu nggak berangkat."

Jisung menggeleng kecil. "Hukumannya belum selesai." Alih-alih menyambangi kalimat Chenle, dia malah mencicit lirih.

"Itu gampang. Lagipula kamu murid baru, pasti dimaklumi." Chenle menyahut enteng. "Si Kim Hoseung itu kalau dibiarin malah ngelunjak. Aku nggak tahu kamu ngomong apa aja sama dia sampai mukamu jadi korban. Tapi lain kali jangan segan buat kasih dia pelajaran. Bukannya aku mendukung kamu berbuat kasar atau berkelahi, tapi ya gitu. Dia nggak pernah jera. Susah, kepalanya batu."

Tak tergiur mengorek lebih dalam lagi seputar tetek-bengek Kim Hoseung dan tabiat buruknya, Jisung malah menggemakan kata lain. "Makasih."

"Kamu nggak perlu ngomong itu kalau sama aku." Menyerempet tengil, cengiran itu diulas.

Jisung terpaku, dibuat membeku. Belum sempat sembuh dari keterkejutannya sendiri, dia diserang. Ketika perasaannya terbuai, dilanda pertanyaan yang tak pernah ia lontarkan sebelumnya; jadi ini rasanya punya temen baik? Jadi begini rasanya dilindungi? Jadi gini rasanya dipercayai? Jadi gini rasanya dijadiin prioritas? Ketika semua itu belum juga menemukan ujungnya, Jisung malah dihadapkan perasaan yang lain.

Zhong Chenle, satu-satunya manusia yang tak pernah mengharap ungkapan terima kasih dari siapapun.

Terpelanting, Jisung merasa buruk. Mereka yang menyukai Chenle memang benar meletakkan perasaannya. Kepalanya menoleh. "Chenle, kamu mau ajarin aku sesuatu?"

Seakan bukan hal besar, kepala itu mengangguk. "Pasti, aku bakal ajarin semua yang kamu minta. Tapi kalau aku nggak bisa, kita cari guru lain ya." Kemudian kekehannya ikut menyertai.

"Nggak, kamu guru yang tepat." Jisung menyahut lagi ketika Chenle sok tersipu malu. "Ajari aku jadi orang baik."

Maka dalam satu kedipan, kekehan itu lenyap tanpa bekas setipis debu sekalipun. Hambar, tawanya berusaha diuraikan. "Haha, kamu ini udah baik. Apa yang harus aku ajarin?" Tangan kanannya ikut menepuk pundak si lawan bicara. Tak cukup menghibur yang murung, Chenle meneruskan. "Kamu udah baik, Jisung. Cuma mereka belum menyadari kebaikanmu. Jadi, lakuin lebih banyak lagi biar mereka sadar."

Bungkam, Jisung agaknya nyaman membisu. Gitu ya?

ꗃꠂꠥ

(( jadi gini, jisung tuh bakal  minder kalau dia sama orang yang kayaknya lebih baik dari dia, istilahnya sih insecure. Tapi kalau sama orang kasar kayak Hoseung dia malah ngelawan. Karena merasa direndahkan dan nggak terima, jadi dia bales. Aku bikin karakternya kayak gitu ya, nggak ada alasan yg menonjol sih, cuma biar jisungnya nggak cuma diem dan nggak mau bertindak. Karena gimanapun aku mikirnya manusia bakal ngelawan kalau dia merasa terancam atau disisihkan. Ehehehe, udah sih gitu doang ^^ ))

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

10.3K 1.3K 26
[❕PERHATIAN JANGAN SAMAKAN CERITA INI SAMA IDOL ASLINYA❗] 7DREAM sebuah grup yang awalnya dibentuk karena hobi dan juga ketidaksengajaan. Kini, Sete...
251K 37K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
58.7K 7K 33
BOOK KEDUA - Yo Dream Hanya sepenggal kisah dari mereka yang ditinggalkan, yang harus tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya. Senang, sedih, mena...
117K 12.7K 39
Kini tidak ada Nct Dream, siapa mereka, mereka bukan siapa siapa lagi, bukan lagi 6 / 7 Remaja tampan yang siap menghibur NctZen, bukan lagi BB legen...