butterfly disaster

Galing kay cosmicandteddy

46.2K 7.8K 952

[SEGERA TERBIT] ACT 1 - BE YOUR ENEMY ❝Sampai kapan permusuhan ini akan berakhir?❞ Anora bukan berasal dari g... Higit pa

Pembuka: Sirkus & Para Pemainnya
1. Bermula
2. Ibu Kota
3. Rival & Lamaran
4. Titik Ini
5. Sepayung
6. Hari Pertama
7. Lingkaran
8. Mengikat Waktu
9. Runyam
10. Kebangkitan Sang Badai
11. Sebuah Karma
12. Gerbera Palace
13. Konversasi
14. Hutang dari Luka
15. Tiupan Trauma
16. Kita & Hidup
17. Gerbang Malam
18. Pesta Ulang Tahun
19. Kupu-Kupu Datang
20. Apartemen
21. Burai
22. Menghindar
24. Stroberi, Aroma, Dekapan
25. Malam Mengerikan
26. Tak Akan Ada yang Mati
27. Badai Prahara
28. Gie & Rencananya
29. Melepaskan
30. Kita Tak Akan Pernah Baik-Baik Saja
31. Hantu
32. Kelana [I]: Pergi
33. Kelana [II]: Cerita di Sisi Lainnya
34. Kelana [III]: Pulang
35. Dejavu
36. Kisah Tak Terduga
37. Malam Pameran
38. Dalam Mimpi Kita
39. Bagaimana Semesta Menarik Kita
40. Badai Kita Tak Pernah Berakhir
41. Ikatan
42. Pernyataan
43. Perjalanan Jauh Untukmu
44. Kupu-Kupu Lainnya Telah Lahir
45. Berakhir
Terima Kasih!
Babak Kedua

23. Permainan Menuju Pulang

943 205 71
Galing kay cosmicandteddy

Pukul lima sore, ketika kelas sudah berakhir dan meniggalkan sosok Helena seorang diri di dalam ruangan miliknya ini. Tiga puluh menit yang lalu ia hadir dengan senyuman riang untuk menemani murid-muridnya selama berlatihan, tapi kini senyuman itu hilang.

Hanya Helena yang sekarang tertinggal bersama rasa takutnya. Dimana ia tengah berhadapan seorang diri di depan cermin besar. Dalam satu kali tegakkan ia mulai melangkah sambil berjinjit dengan ujung sepatu pointenya. Lalu ia mulai berputar, melompat, dan membentuk banyak gerakan rumit lainnya.

Helena sesekali menahan napasnya, ia berputar tanpa henti sambil menaikkan satu kakinya dan bagian ini kerap menjadi titik terberatnya dalam berlatih balet.

Sedangkan di sisi lain, di ambang pintu ruangannya yang tampak terbuka sedikit itu, terdapat sosok lain yang diam-diam mengintip ke arahnya. Helena tak sadar karena sibuk menari, hingga beberapa detik berlalu dari gerakannya itu, putarannya perlahan melambat dan semakin melambat. Setelahnya ia pun segera berhenti.

Ia menunduk dengan satu kaki tertarik ke belakang— seolah memberi gerakan hormat indah kepada para penonton.

PROOK PROOK

Satu suara mengejuti gadis itu, ia menangkap segera sang pelaku yang berada di depan pintu ruangannya. Helena tersentak dan dia kehilangan keseimbangannya segera.

BRUUUK!

Begitulah bunyinya, terdengar keras dan sangat menyakitkan untuk gadis itu. Terutama di bagian betisnya, ia meringisi saat menyentuh di bagian sana.

"Bagus."

Ketika pelaku mencoba memasuki ruangannya, di saat itu Helena mulai berdiri dengan cepat.

"Bapak ngomong sama saya?"

"Menurut kamu?"

Tak ada yang menduga, bahwa yang memasuki ruang kelasnya saat ini adalah sang atasannya yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu. Helena nyari salah tingkah saat melihat Azka di depannya.

"Saya, Pak?" Sekali lagi gadis itu menunjuk ke arah dirinya.

Azka mengangguk dan Helena menyengir pelan.

"Bapak mau nyari Anora?" tanya gadis ini.

Azka menggeleng, "Saya ada urusan lain ke sini buat rapat," jelasnya.

Helena mengangguk pelan. Di ruangan sunyi bersama orang asing yang merupakan atasannya ini, ia kerap meneguk ludahnya untuk menghilangkan sedikit rasa canggung sekaligus segan di hadapannya. Helena sesekali memainkan kukunya dan di ujung matanya ia juga mencoba mencuri pandang ke arah Azka.

"Kamu pernah main Swan Lake?" tanya Azka tiba-tiba.

Gadis ini menggeleng, "Saya masih belum mahir, Pak. Biasanya di sanggar saya, yang main Swan Lake itu yang udah pro banget."

"Kamu juga udah pro."

Helena menggeleng lemah menanggapi ucapan Azka.

"Saya masih cacat, Pak."

"Kamu harus bisa jadi Swan Lake, se'enggaknya sekali seumur hidup."

"Amin. Itu juga cita-cita saya, Pak."

Dari rasa gugup dan canggung ketika  mereka bertemu tadi, kini Helena mulai merasa dirinya lebih tenang dari sebelumnya. Ia mendapatkan motivasi kecil dari ucapan Azka barusan. Setidaknya ada mimpi yang harus ia gapai, walau hanya sekali dalam seumur hidup.

"Pak—"

DRRTT DRTTT

Suaranya terpotong saat bertepatan dengan munculnya getaran di saku jas Azka. Pria itu langsung berbalik meninggalkan cepat untuk menanggapi panggilan itu. Kini Helena tertinggal sendiri di ruangan itu, tapi ia tak memasalahinya.

Hanya saja ada satu yang ingin ia sampaikan ke atasannya tadi. Tentang ajakan menonton pentas baletnya minggu ini.

____________

Di depan lobi Elephant Love, biasanya ketika sore seperti ini murid-murid yang menunggu jemputan pulang mereka adalah yang biasa mengikuti kelas balet atau kelas memanah. Kelas balet selalu menyita banyak waktu, bahkan mereka yang masih kecil harus rela pulang sampai maghrib tiba.

Violet sedang bersama temannya saat itu, keduanya tengah menunggu jemputan di lobi depan selagi sibuk mengobrolkan soal buku baru milik temannya yang bersama Farah.

"Nanti aku minta beliin sama papaku." Violet bersuara saat melihat buku kumpulan dongeng putri Disney milik Farah.

"Tapi mamaku belinya di Singapura," balas Farah.

"Nanti aku tinggal bilang aja sama papa. Waktu itu papa ajak aku ke Jepang pas tahun baru kemarin. Seru banget!" seru Violet.

Obrolan keduanya tak henti untuk terus memamerkan satu sama lain. Violet yang bangga dengan tur perjalanannya ke Jepang dan Farah yang tak mau kalah dengan ceritanya ke London bersama keluarganya bulan lalu.

Percakapan anak kecil itu berakhir saat seorang perempuan paruh baya mendatangi tempat duduk mereka. Rupanya itu adalah orang tua Farah yang tengah menjemput anaknya di sana. Maka, Violet harus melepaskan kepergiannya dan kini berakhirlah ia seorang diri di tempat ini.

Selagi menunggu, matanya tak lepas menatapi satu persatu kepergian para murid di sini. Perlahan menyisahkan dirinya yang tak ditemani oleh siapapun, sang papa masih belum hadir dan Violet mulai terserang panik karena malam sore tak selamanya akan bertahan.

"Vio?"

Untunglah seseorang datang. Suara itu familiar saat memanggil namanya, ketika Violet memandang ke arah depannya, ia dapat melihat sosok mamanya datang menghadapinya.

"Mama!" Violet berseru dan Iris yang datang menyambut dengan senang putri kecilnya ini.

"Papa belum dateng ya?" tanya Iris.

Violet menggeleng.

"Mama yang jemput ya."

Lalu gadis kecil ini mengangguk, tangannya pun segera digenggam erat oleh sang mama dan keduanya pergi menuju mobilnya segera.

Saat menghampiri satu sedan putih yang terparkir di dekat gerbang itu, tiba-tiba saja tangan Violet segera terlepas dari genggaman tangan Iris.

"Vio!?"

"Aku nggak mau sama om itu!"

Violet menunjuk ke sosok yang berdiri di dekat pintu belakang, dimana seorang pria tengah membukakan pintu untuknya masuk. Iris tertoleh saat melihat Erlo yang ada di sana. Sebelumnya ia sudah mengatakan ke pria itu untuk menunggu di dalam saja dan jangan keluar sampai anaknya tiba di dalam mobil nanti.

"Vio, Om Erlo itu mau nganterin kita ke rumah," jelas Iris dengan usaha untuk menenangkan putri kecilnya.

Violet menggeleng, "Nggak!" tolaknya keras.

Belum sempat Iris menarik gadis kecil itu, Violet sudah lari lebih dulu untuk kembali ke tempat tunggu di lobi depan tadi. Iris pun terpaksa harus mengejarnya, ketika ia menghampiri di tempat itu, tiba-tiba saja tubuh Violet menabrak salah seorang yang lewat di depannya.

Iris dibuat ketakutan saat Violet nyaris saja terjatuh di sana, tapi anaknya bisa terselamatkan juga saat orang yang ditabrak tadi langsung menahan tubuh Violet.

BRUUUK!

"Vio!?"

Iris mengenal orang itu—wanita itu.

__________

Beberapa menit sebelum ia memutuskan untuk benar-benar meninggalkan tempat ini, Anora harus dibuat sibuk lagi di luar jam kerjanya. Kemarin ia mendapatkan kabar, bahwa di kelasnya nanti ia akan diberi satu lemari baru untuk menyimpan hasil tanah liat milik muridnya yang sudah membludak itu.

Banyak tanah liat yang merupakan hasil karya muridnya harus dikeringkan di kelas terlebih dahulu sebelum diberikan kepada mereka. Jika satu kelas ia bisa mengajar sekitar sepuluh orang, maka dalam tiga kelas ia akan mendapatkan sangat banyak tanah liat yang berjajar di rak ruangan ini.

Anora juga berkerja untuk merapikan tanah liat itu, ia harus memasukkan beberapa ke dalam pemanggang, lalu memindahkannya ke rak untuk didinginkan. Hari ini ia cukup senang mendapatkan kabar bahwa akan ada tambahan lemari di ruang mengajarnya ini.

Bersama salah seorang pelayan kebersihan di Elephant Love, Anora dibantu olehnya untuk memindahkan, menata kembali, bahkan membersihkan ruangannya juga. Alhasil kerjanya hari ini menjadi lebih ringan dari biasanya.

Setelah ia mengunci pintu ruang kelasnya, Anora bergegas menyusuri koridor untuk menuju ruangan pengajar. Beberapa langkah saat itu, tiba-tiba saja gerakannya berhenti tepat di depan salah satu ruangan dimana lampu di sana masih terlihat hidup.

TOK TOK!

Ada seorang gadis yang tengah memakai ruangan itu, Anora sempat melihat ia melakukan gerakan memutar dengan berjinjit di sepatu khususnya. Ialah Helena yang masih menunggu seorang diri di ruangan ini.

"Hai El," sapa Anora.

"Mbak? Aku kira siapa." Helena nyari terjatuh saat ketukan pintu itu mengejutinya.

"Maaf aku ngagetin kamu."

"Nggak kok, Mbak."

"Kenapa belum pulang, El?"

"Latihan dulu. Lusa nanti aku main di pentas. Mbak, udah aku kabarin 'kan, soal undangan itu?"

"Udah El."

"Mbak, dateng ya."

Anora mengangguk. Ia tak lupa akan ajakan Helena untuk datang ke pentas baletnya nanti.

"El, aku duluan ya."

"Hati-hati, Mbak."

"Kamu juga, banyakin istirahat loh, El. Bentar lagi 'kan, mau tampil."

Pertemuan mereka tak berlangsung lama, Anora pamit lebih dulu dari ruangannya. Ia bergegas menuju ruang pengajar untuk menaruh beberapa berkas dan barang-barangnya untuk ditinggalkan di tempat ini. Setelah mengisi absen terakhir, barulah ia benar-benar bisa dinyatakan untuk langsung pergi.

Anora pulang sendiri untuk hari ini. Biasanya ia akan dijemput sama Nara, tapi pria itu tak hadir karena harus mengisi waktu sampingannya dengan bekerja menjadi guru privat piano sejak siang tadi. Anora tak masalah, ia bisa memesan ojek online untuknya pulang.

Ketika berjalan keluar menuju lobi depan Elephant Love, fokusnya tak tertuju kemana ia berjalan, ia sibuk memainkan ponselnya. Dan tepat saat itu juga, sesuatu datang menabrak tubuhnya.

BRUUUK!!

Ia terhentak dan melihat yang menabraknya barusan adalah sosok Violet.

"Vio!?"

Muridnya itu belum pulang dan ia buru-buru bersembunyi di belakang tubuhnya.

"Violet, kamu kenapa?" Anora mencoba berbalik, namun gerakannya dibuat susah saat Violet menarik tangannya untuk membiarkan ia bersembunyi.

Ketika Anora berhadapan ke arah depannya, ia dapat melihat sesosok wanita yang berjalan menghadapi gadis kecil itu. Ia kenal dengan dirinya, wanita itu adalah sang mama Violet.

"Vio, ayo pulang sayang." Iris menghampiri keduanya, ia masih berusaha membujuk anaknya untuk pergi.

"Aku nggak mau! Aku nggak mau sama Om Erlo!" Violet memekik dan mengejutkan Iris saat mengucapkan nama Erlo itu.

Buru-buru Anora berusaha menenangkannya. Ia mencoba menghadapi gadis kecil ini karena bagaimana pun Violet akan lebih baik pulang segera bersama mamanya.

"Vio, kamu nggak mau pulang sama mama kamu? Itu mamanya udah ngejemput loh."

Saat ia menatap sang mama, Anora mencoba tersenyum untuk menyapanya. Ia jadi teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu yang sempat melibatkan keduanya dengan keadaan tak baik.

"Sayang, itu bukan mama kamu. Jangan meluk orang nggak sopan kayak gitu. Ayo pulang." Suara Iris mulai menaik, ia mengabaikan senyuman Anora tadi dan sekali lagi membujuk Violet untuk lepas dari gurunya itu.

"Papa!"

Violet kembali memekik seru. Ia tersenyum saat melihat kedatangan sosok yang telah ia tunggui sejak tadi. Raka sudah tiba di sana saat melihat ada kedua wanita ini yang berada di depan Elephant Love.

"Maaf ya, papa telat. Kerjaan papa banyak banget." Raka berjongkok di hadapan sang putri dan lagi Violet mampu mengertinya walau itu sangat tak mengenakkan sebagai orang tuanya.

"Vio, nggak sama mama?" tanya sang papa.

Violet menggeleng, "Vio nggak mau sama om itu."

Ketika melihat ke belakang, Raka mendapati ada sosok pria lain di sini. Erlo yang dimaksud Violet itu juga tengah menunggu keberadaan putri. Siapa dia yang seenaknya mau mengajak putrinya pulang itu.

"Ya udah, Vio pulang sama papa. 'Kan kita pulang bareng terus sekarang." Raka menekan di akhir kalimatnya, berharap Iris tersindir di tempatnya.

Anora yang berada di sana, ingin sekali mundur saat itu juga. Hubungan kedua orang ini benar-benar membuatnya canggung dan ia tak ingin sama sekali ikut campur pada urusan keduanya.

"Raka, Violet pulang bareng mamanya," sela Iris.

"Oh, ada Miss Nora juga? Miss belum pulang?" alih Raka.

Tiba-tiba saja ia yang tertunjuk di sini. Anora terpaku dan begitupun ia yang mendapati tatapan terkejut saat Iris melihat ke arahnya.

"Eh— ini saya juga mau pulang, Pak. Lagi mesan o—"

"Kebetulan banget. Ayo Miss, pulang bareng kita aja. Kebetulan juga kita satu arah."

"Pak—"

Tak sekalipun Raka memberinya kesempatan untuk berbicara, pria itu justru langsung menariknya yang berada di hadapan Iris tadi agar segera pulang bersamanya.

Anora ingin menolak, tapi Raka mencengkram kuat dan seolah menginginkan ia untuk mengikuti ritme permainannya saat ini.

Iris dibuat terdiam di sana. Ia tak mampu berkutik saat Raka membuatnya malu di sini. Dan saat itu juga Erlo datang mendekatinya.

"Cewek tadi siapa sih?" tanya pria itu, "selingkuhannya?" tebaknya.

Senyum Iris tertarik sebelah, "Aku kira di yang paling naif, rupanya dia sama aja."

Sama-sama berselingkuh di belakangnya.

_________

Di dalam mobil itu, Violet sesekali tertoleh ke kursi belakang saat melihat ada penumpang lain di belakangnya. Anora tersenyum ketika Violet juga tersenyum padanya. Beginilah posisinya sekarang, Anora sudah terjebak di dalam mobil ini setelah Raka memaksanya untuk pulang bersama tadi.

"Miss Nora," panggil Violet.

"Ya?"

"Tahu nggak, papa juga bikin tanah liat kayak Vio loh. Kemarin papa bikin mangkok kecil, tapi bentuknya jelek hahaha..."

"Vio, sshht!"

Saat Violet tertawa di kursi depannya, Raka sesekali menoleh ke gadis itu dan meminta ia menyembunyikan rahasianya barusan.

"Punya Miss Nora lebih bagus dari papa," lanjut sang putri.

"Karena Miss Nora udah pinter bikinnya." Raka mengamatinya dari kaca depan yang biasa ia gunakan untuk melihat penumpang di belakang. Di sana ada Anora yang hanya tersenyum melihat keributan keduanya itu.

"Hoooam! Papa, Vio ngantuk."

"Tidur aja, sayang."

"Papa, Vio punya PR hitungan."

"Nanti papa ajarin. Kita belajar pake sempoa."

Beberapa menit kendaraan mereka terus melaju, hening menyelimuti ketiganya dan tak sadar kini hari pun sudah mulai menggelap. Malam telah tiba menyambut semuanya.

"Kamu nggak papa?" celetuk Anora.

"Ya?" balas Raka.

"Pasti capek harus kerja dan ngurus anak," ucap Anora.

Raka tahu itu dan begitulah resiko yang ia dapati saat menjadi single parent. Lelah karena pekerjaan, tapi ia juga tak ingin anaknya ikut hancur seperti rumah tangganya.

"Aku harap kamu nggak buru-buru. Violet anaknya pinter dan dia peduli sama orang-orang di sekitarnya. Dia pasti sayang sama papanya," jelas Anora. Apa yang ia ucapkan ini, mengingatkan dirinya dengan banyaknya kejadian dan cerita yang pernah ia dengar akan rumor Raka dan istrinya.

"Makasih. Makasih juga udah ngertiin." Dan senyum Raka muncul saat itu juga.

Perjalanan terus berlanjut dan keduanya pun akhirnya tiba di jalan masuk menuju kosan Anora. Tepat pada pukul setengah tujuh lebih, akhirnya mobil Raka sampai di depan gerbangnya.

Anora bergegas keluar dan saat itu ia hendak menghampiri Raka lewat jendela mobilnya saja, tapi rupanya pria itu juga ikut keluar bersama.

"Aku anggap ini hutang," buka Anora.

"Hutang?" tanya Raka.

"Kamu udah banyak bantu aku dan sampai hari ini, aku belum bisa ngebalesin semuanya."

"Nggak, Ra. Aku ikhlas bantu, jangan anggap ini hutang. Aku sama sekali nggak berharap kayak gitu."

Anora mengangguk dengan pelan, pada akhirnya Raka tak mau ia merasa terbebani saat bersamanya. Percayalah, bahwa pria ini sangat begitu menyukainya.

"Ra," panggil Raka.

Langkah Anora terhenti sebelum ia hendak memasuki gerbang kosannya.

"Mau jadi guru buat aku juga?"

"Guru?"

"Iya. Violet tadi udah ngespoilerin duluan. Aku mau kamu jadi guru buat ngajarin aku bikin tanah liat juga. Boleh?"

Anora terpaku, tapi tak lama ia menggeleng tak masalah. Sedikit lucu ketika Raka memintanya untuk menjadi guru tanah liatnya juga, "Boleh. Hubungin aja untuk nentuin harinya," balasnya.

"Anora." Raka memanggilnya lagi.

Untungnya ia belum balik sepenuhnya.

"Terakhir."

"Apa?"

"Aku suka kamu."

Begitu tiga kata itu keluar dari mulutnya, Anora dengan cepat terserang perasaan aneh di tempatnya. Ia terkejut sekaligus kehilangan kata-katanya, tapi ia coba untuk menahan perasaan aneh itu untuk terlihat seperti biasa-biasa saja.

Raka tersenyum untuk menjadi pelengkapnya. Ia pun kembali ke dalam mobilnya dan pamit meninggalkan Anora yang terdiam melihati kepergiannya saja.

Dalam rencana kedatangannya ke Jakarta, mencintai seseorang sama sekali tak masuk ke dalam lisnya. Tak seharusnya ia mencintai seseorang di tempat ini, terlebih lagi yang pernah datang menusuki luka untuknya.

___________

BERSAMBUNG

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1M 62.3K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
443K 44.9K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
220K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
67K 8.7K 30
It started with a hello. Samudera, atau lautan. Seperti namanya ada banyak hal yang tidak aku ketahui tentangnya. -- personal dump of my own attemp...