butterfly disaster

By cosmicandteddy

46.5K 7.8K 952

[SEGERA TERBIT] ACT 1 - BE YOUR ENEMY ❝Sampai kapan permusuhan ini akan berakhir?❞ Anora bukan berasal dari g... More

Pembuka: Sirkus & Para Pemainnya
1. Bermula
2. Ibu Kota
3. Rival & Lamaran
4. Titik Ini
5. Sepayung
6. Hari Pertama
7. Lingkaran
8. Mengikat Waktu
9. Runyam
10. Kebangkitan Sang Badai
11. Sebuah Karma
12. Gerbera Palace
13. Konversasi
14. Hutang dari Luka
15. Tiupan Trauma
16. Kita & Hidup
17. Gerbang Malam
18. Pesta Ulang Tahun
19. Kupu-Kupu Datang
20. Apartemen
22. Menghindar
23. Permainan Menuju Pulang
24. Stroberi, Aroma, Dekapan
25. Malam Mengerikan
26. Tak Akan Ada yang Mati
27. Badai Prahara
28. Gie & Rencananya
29. Melepaskan
30. Kita Tak Akan Pernah Baik-Baik Saja
31. Hantu
32. Kelana [I]: Pergi
33. Kelana [II]: Cerita di Sisi Lainnya
34. Kelana [III]: Pulang
35. Dejavu
36. Kisah Tak Terduga
37. Malam Pameran
38. Dalam Mimpi Kita
39. Bagaimana Semesta Menarik Kita
40. Badai Kita Tak Pernah Berakhir
41. Ikatan
42. Pernyataan
43. Perjalanan Jauh Untukmu
44. Kupu-Kupu Lainnya Telah Lahir
45. Berakhir
Terima Kasih!
Babak Kedua

21. Burai

873 207 30
By cosmicandteddy

Pukul sembilan pagi, keributan di rumah besar itu sudah tak dapat dibendung kembali. Baik kedua insan itu telah mencoba untuk menahannya selama ini, tapi karena satu permasalahan, maka semuanya harus hancur lagi.

Perebutan hak asuh anak menjadi topik sensitif untuk kedua orang tua itu. Baik Raka dan Iris, mereka ingin mengambil alih hak asuh Violet di tangan masing-masing. Iris tahu, itu tak akan mungkin untuk Raka mendapatkannya. Tapi Raka juga punya bukti mengapa ia bisa mendapatkan hak asuh ini nantinya.

"Perceraian kita udah di depan mata. Bisa kamu lebih fokus ke bagian ini? Kamu jangan anggap main-main apa yang aku lakuin." Suara Raka menggelegar duluan dari depan meja makan tersebut. Kopi yang berada di tangannya tadi, sudah tak menjadi seleranya sekarang.

"Siapa yang main-main?? Aku juga udah serius." Dan Iris juga tak mau kalah untuk menenjukkan egonya di hadapan Raka.

"Oke, Sabtu depan kita sidang—"

"Aku nggak bisa."

"Apa!?"

"Aku ke Bali. Peluncuran toko baru aku di sana."

"Kamu bilang nggak main-main, tapi kamu main-main kayak gitu!"

"Karir aku juga nggak main-main! Ya udah sih, tinggal cerai aja."

Raka mendengus. Iris benar-benar sudah keras kepala dan tak ada keinginan menurut kepadanya sama sekali. Apa yang ia lakukan juga untuk kepentingan mereka.

"Kamu anggap ini enteng? Nggak mudah, Ris, ngelakuin perceraian kayak gini! Banyak korban yang harus tersiksa karena kita, termasuk Violet," sahut Raka yang menatap Iris tengah membuang pandang darinya.

"Terus.. kenapa kita cerai?" Suara Iris memelan di akhir pertanyaannya.

"Untuk apa kalo kita sama-sama nggak bisa satu lagi? Kamu kira aku bakal diem aja ngelihat pasangan aku udah sering deket sama orang lain!?"

Topik perceraian selalu berat untuk keduanya. Tak mudah untuk Raka mengajukan perceraian di rumah tangganya, bahkan menandatangani surat cerai pun akan memakan waktu selama ini.

Tapi ini harus ia lakukan juga. Ia tak bisa bertahan di satu hubungan yang terus menerus renggang. Jika keduanya sering sakit, maka ada harus cara untuk bisa kembali sembuh. Sakit sudah terlalu parah, maka pisah adalah jalan yang tepat untuk diambil.

"Aku bisa ambil hak asuh Violet," ucap Raka.

"Hak asuh!? Violet berhak di tangan aku!" seru Iris.

"Iya, Violet memang berhak untuk kembali ke mamanya. Tapi itu percuma kalo kamu nggak cakap buat ngasuhin anak. Kamu sibuk dengan semua karir kamu yang terlalu bikin buta itu!"

"Jangan harap! Violet tetap ada di aku!"

"Aku bisa bilang ke pengacara aku dan kami bisa ngajukin ke hakim kalo aku juga berhak untuk ngedapetinnya."

Matanya terpejam menelan satu persatu pil pahit yang diberikan oleh Raka tersebut. Iris sudah tak menahan segalanya, termasuk hak asuh anak yang rupanya Raka mati-matian berusaha merebutnya.

"Benar..," lirih Iris, "menikah dengan kamu ibarat masuk ke mimpi buruk. Aku kehilangan segalanya dari karir aku yang bebas, bahkan anak juga...," sambungnya.

"Apa dipikir cuman kamu doang!? Aku juga nikahin kamu karena terpaksa! Nggak inget dulu kamu mati-matian ngemis dengan aku!? Semuanya buat bisnis kamu itu! Bahkan kamu juga ngegoda mama aku buat bisa ngedapetin aku!"

Langkah Raka berjalan mendekati Iris yang sejak tadi terdiam di dekat sofa depan televisi. Matanya menatap tajam ketika mengingat bagaimana semua yang terjadi di dahulu bisa menghancurkan keduanya saat ini.

"Kamu licik, Ris. Inget itu baik-baik. Mungkin kalo aku udah nggak nolong kamu di hari itu, kamu udah mati saat itu juga!"

"Raka!—"

BRUUKKK!

Semua layangan rasa sakit keduanya itu, terpaksa berhenti saat tak sengaja mendengar suara gaduh di dekat anak tangga. Iris memekik mendapati Violet yang terjatuh di sana.

Tubuh anak kecil itu sudah terhantam ke lantai bawah di saat Violet sudah lengkap dengan pakaian rapinya untuk pergi ke kursusnya hari ini. Buru-buru sang mama mendatanginya segera, ketika Iris melihatnya, terdengar jelas Violet tengah menangis saat itu.

"Vio!? Sayang, kamu nggak papa!??"

Violet tak membalasnya. Ia berdiri sigap sambil mengabaikan rasa sakitnya, "Mama kenapa ribut lagi..." isaknya.

Belum sempat Iris menjawab, putri kecilnya itu segera keluar dari dalam rumah. Ia lantas berlarian untuk menahannya, ketika ia tiba di depan pintu rumah sana, mata Iris terpaku mengamati satu sosok yang berdiri di depan lantai teras rumah ini.

Violet memeluki sosok itu, bahkan berlindung di balik badannya juga. Raka juga ikut menghampiri di depan pintu itu dan tepatlah keduanya terkejut melihat siapa yang datang di sana.

"Kalian mau cerai?"

Sang ibunda telah hadir di hadapan keduanya. Beliau menatap dari arah sang putra hingga akhirnya jatuh pada objek yang berada di depannya langsung itu. Menantunya.

__________

Di sisi lain di ibu kota, pagi ini menjadikan waktu terpadat untuk para pengajar di Elephant Love. Semuanya tampak sibuk berlalu lalang di ruang pengajar itu. Salah satunya adalah Anora yang nyaris terlambat datang. Ia baru tiba pada pukul sepuluh kurang lima belas menit, sedangkan itu ia harus hadir di kelas pada pukul sepuluh nanti.

"Pagi, Mbak."

"Hai, El."

Anora terburu-buru menghampiri mejanya sesegera mungkin. Ia harus mengambil beberapa map untuk pembelajaran hari ini dan juga beberapa alat untuk membuat kerajinan nanti.

Helena masih berada di mejanya, menatapi Anora yang super sibuk itu.

"Sorry, jadi telat gini," ucap Anora.

"Nggak papa, Mbak?" tanya Helena.

"Iya. Tadi macet, jadinya gini. Mana kesiangan pula," jelas Anora.

Semenjak ia berada di apartemen Azka kemarin, Anora benar-benar dibuat kesiangan karena saking lelahnya ia akibat pesta semalam. Ia berniat untuk pergi diam-diam tanpa harus membangunkan Azka, tapi yang ada pria itu sudah bangun lebih awal darinya.

Belum lagi Anora harus berkunjung dulu ke kosannya. Ada banyak pekerjaan yang ia tinggalkan dalam semalaman, dari agenda mencuci baju juga terpaksa harus ia unduri selama sehari.

"El, kaki kamu nggak papa?" Di sela-sela ia yang terburu-buru itu, mata Naora menunjukkan fokusnya pada plester luka dan lilitan perban di kaki rekan kerjanya itu.

"Nggak papa kok, Mbak. Luka biasa. Sering kok kayak gini," jelas Helena.

Maka saat itu juga ia memberikan Anora secarik kertas di atas mejanya itu. Anora membacanya dan bertuliskan sebuah undangan pertunjukan balet.

"Akhir minggu ini aku bakal tampil. Jadi aku ngundang, Mbak."

"Woaah.. keren, El. Makasih ya."

Ini perdana untuk Helena mengundang rekan kerjanya datang ke pentas pertunjukannya itu. Selama ini ia selalu tampil seorang diri tanpa didatangi satupun teman atau keluarganya, ya Helena malas menunjukan apapun pada orang-orang terdekatnya, kecuali untuk Anora.

Satu-satunya orang yang tak pernah menentang apa yang ia sukai itu. Dan yang menjadi rekan kerjanya yang paling baik (dan waras juga) di Elephant Love.

"Aku duluan ya."

"Good luck, Mbak. Aku jam setengah sebelas nanti ngajar."

Keberadaan Anora sudah hilang sepenuhnya di mata Helena. Di saat itu juga ada satu sosok lain yang memasuki ruang pengajar ini.

Reihan berada di ambang pintu sana, hendak berjalan menuju meja kerjanya yang berada di samping milik gadis itu.

"Aku tadi lihat Anora lagi buru-buru," sapa Reihan.

"Iya, Anora tadi telat. Jakarta macet," balas Helena.

Selagi Reihan sibuk mengambil beberapa lembar portofolio gambarannya di atas meja, Helena tampak diam seperti memikirkan sesuatu.

"Rei, gue ngerasa ada yang aneh deh."

"..."

"Lo tahu nggak, waktu Anora lewat di deket gue, gue bisa nyium aroma parfum Pak Azka."

"Pak Azka?"

Gara-gara omongan Helena barusan, gerakan Reihan lantas terhenti. Hanya beberapa saat sebelum ia kembali sibuk dengan aktivitasnya sebelumnya.

"Parfum Pak Azka?" ulang Reihan.

Helena mengangguk, "Aku pernah nyium baunya. Dan persis banget sama kayak yang aku cium di Anora tadi."

"Kok bisa kamu tahu?" tanya Reihan.

"Iya, kemarin Pak Azka nggak sengaja lewat di dekat aku," jelas Helena.

"Kayak minyak nyongnyong."

"Beda, Han! Parfumnya emang khas. Kayak..."

Sebenarnya ia enggan menyebutkan bagian yang satu ini. Parfum atasannya itu mengingatkan ia dengan mantannya yang pernah memakai parfum yang sama. Ferrari light essence, entah kenapa aroma itu masih benar-benar membekas sampai di hari ini.

Begitu Helena melihat ke meja sampingnya, Reihan sudah tak berada lagi di tempatnya. Pria itu menghilang begitu saja darinya.

"Sebaiknya aku harus ngelupain mantan secepatnya."

__________

Dua jam pelajaran di kelas keramik hari ini sudah berlalu tanpa disadari. Kini mereka sudah berada di ujung jam pelajaran, Anora tengah sibuk membagikan hasil kerajinan mangkok milik muridnya yang dibuat minggu kemarin.

"Nah, karena kelas hari ini udah selesai, Miss mau bagiin hasil kerajinan mangkok kalian di minggu kemarin. Siapa yang nggak sabar mau lihat?"

"Aku!"

"Aku mau lihat!

"Miss, Fina mau lihat juga!"

Semua muridnya tampak semangat untuk menghampiri Anora segera. Mereka dibariskan satu persatu di dekat rak keramik itu sambil dibagikan hasil karyanya masing-masing.

"Mangkoknya disimpan ya. Jangan sampai pecah, sayang banget nanti kalo pecah." Tak lupa satu pesan Anora berikan sambil membagikan satu persatu pada mereka.

Mangkok itu dibuat dengan beraneka bentuk dan warna. Ada yang besar, ada juga yang kecil. Anora turut membantu mengarahkan muridnya dalam mewarnai, bahkan ia juga ikut menambah ukiran di sana.

"Ini mangkok punya Davin. Cantik banget."

Satu mangkok berwarna biru diberikan Anora kepada murid kecilnya ini. Davin menerimanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

Satu persatu semua muridnya sudah pamit bersama orang tua mereka yang menunggu tadi. Anora mendapati satu murid terakhir di barisan itu, yang tak lain adalah Violet.

"Hai, Vio!"

"Halo Miss..."

Balasan dari Violet terdengar begitu lemah. Anora memberikan satu mangkok hasil karyanya kepada gadis kecil itu. Ketika diserahkan, Violet tampak berwajah datar, bahkan nyaris mendekati ekspresi tengah murung.

"Vio kenapa?" tanya Anora.

"Miss..." Violet memberi jedah di panggilannya, ia menunduki menatapi kerajinan buatannya sebelum menoleh lagi pada gurunya ini.

"Cerai itu apa?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Anora terpaku seketika. Cerai, kata yang selalu dikaitkan dengan pecahnya hubungan suatu rumah tangga. Membuat Anora langsung berpikir bahwa ada sesuatu yang tak beres pada orang tuanya.

"Tunggu— Vio tahu dari mana?

"Mama sama papa ngomongin itu terus. Oma juga nanyain cerai ke mama sama papa."

Oma?

Dugaannya benar. Topik ini terlalu sensitif dan seharusnya Violet tak mendengarkannya. Apa telah terjadi pertengkaran hebat di antara mereka?

"Cerai itu orang tua kamu pisah. Nggak di rumah lagi."

Maka satu suara lainnya datang mengejutkan keduanya. Dari ambang pintu kelas, Anora mendapati ada Davin yang menunggu di sana.

"Jadi mama sama papa nggak bakal di rumah lagi, Miss?" tanya Violet.

"Husshh... Vio, nggak gitu," tangkas Anora.

Tanpa aba-aba, tangisan Violet langsung memecah saat itu juga. Mata gadis itu terpejam dan ia terisak histeris di tempatnya.

"Aku nggak mau.. mama papa pisah..," pekik Violet.

"Nggak Vio. Nggak kok."

Cepat-cepat Anora mengambil selembar tisu yang kebetulan berada di rak itu. Ia berusaha menghapus air mata yang tak berhenti jatuh membasahi pipi gadis kecil di depannya ini.

Karena merasa sudah terlalu sulit untuk menenangkannya, akhirnya Anora membawa Violet untuk masuk ke dekapannya. Dan di sanalah, muridnya ini menangis dengan puas.

"Udah ya, Vio. Nggak boleh nangis, sayang."

"Tadi... hiks.. aku denger mama papa ribut.."

Apa Raka benar-benar tak bisa menahan semuanya tanpa harus dilihat oleh anaknya sendiri?

Seburuk itukah pertengkaran yang terjadi di antara keduanya?

Tak tahu lagi bagaimana parahnya yang terjadi antara Raka dan istrinya. Anora tahu bahwa rumor itu memang benar, tapi ia prihatin bahwa Violet menjadi korban mereka yang masih terlalu muda ini.

Selembar tisu segera Anora usap untuk membersihkan hidung Violet yang sudah berair itu. Tanpa keduanya sadari, Davin pelan-pelan mendekati mereka.

"Nggak papa kok. Jangan nangis, aku juga dulu gitu," sahut Davin.

Anora hanya bisa mengangguk lemah, ia harus menenangkan Violet terlebih dahulu.

Lalu di antara mereka bertiga itu, tiba-tiba terdengar ketukan yang berasal dari depan pintu sana.

"Vio?"

Suara itu mengejuti semuanya yang yang lantas membuat Anora terpaku kala melihat sosok Raka yang sudah berada di tempat ini.

Raka yang melihati putrinya itu langsung menghampirinya segera, tapi Violet seperti enggan untuk mendekatinya.

"Vio kenapa?"

Violet menggeleng, ia menolaknya. Lantas Raka menoleh pada Anora dengan ekspresi yang penuh dengan pertanyaan.

"Saya jelasin di luar ya, Pak."

_________

Kini Violet sudah aman berada di mobil Raka, semenjak sang papa sudah berusaha membujuknya dan meyakinkan bahwa tak ada lagi kesedihan habis ini. Raka menghampiri Anora yang bersda di dekat jajaran kursi tunggu di depan parkiran mobil itu.

"Kalian nggak papa?"

Satu pertanyaan Anora tertuju bukan untuknya, tapi hubungan rumah tangganya. Raka tak langsung menjawab, ia ikut terduduk di kursi samping Anora itu.

"Minggu depan.."

Cerai?

"Aku sidang buat perceraian."

Mata Anora diam-diam menyembuyikan rasa terkejutnya, ia pun menoleh pada pria di sampingnya itu.

"Kalian udah mikirin ini secara mateng-mateng? Kalian yakin?" tanya Anora.

"Nggak ada keyakinan untuk mempertahankan satu hubungan yang udah hancur kayak gini, Ra. Kami nggak bisa bertahan lagi," jelas Raka.

"Lantas, jangan jadiin anak kalian korban dari ego kalian sendiri. Violet masih terlalu muda."

"Kamu bener. Aku seharusnya nggak nunjuk secara terang-terangan di depan Violet."

Raka pun berbalik menoleh menatap Anora, "Iris licik," sambungnya.

"Dia selingkuh dan dia nggak ada keinginan sedikit pun buat bertahan di rumah tangga ini. Dia cuman mikirin buat ngerebut anaknya di saat aku yang selama ini ngejagainnya."

Seolah tak ada beban, Raka berbicara dengan begitu lancar. Anora tahu, bahwa pria itu juga menahan rasa sakitnya. Ia hanya tak ingin dicap menyedihkan di retaknya hubungan rumah tangganya saat ini.

"Aku nggak punya saran lagi buat setelah ini."

"Aku juga nggak butuh saran, Ra. Aku cuman mau bebas dan bahagia."

"Iya. Aku doain yang terbaik aja dan tolong jaga Violet, jangan sampai dia hancur karena kedua orang tuanya yang udah kayak gini."

Raka mengangguk. Ada keinginan untuk dirinya jatuh dan memeluk gadis itu segera, tapi ia menahannya, tak ingin ada yang lebih buruk lagi setelah ini. Maka, digenggamnya satu tangan Anora itu dengan erat, mencoba mendapatkan kekuatannya dari sana.

Anora pelan-pelan membalas genggaman itu. Ia mengirimkan kekuatan dan doa terbaik walau semua ini adalah berita yang sangat menyedihkan.

Setelah tak ada lagi yang ingin dibicarakan, Raka pamit dari hadapannya segera. Anora mempersilahkan pria itu untuk pulang dan menenangkan dirinya dulu untuk saat ini.

Setelah mobil itu pergi, ia kembali lagi menuju ke ruangannya. Begitu melewati lobi depan yang berada di dekat parkiran mobil ini, matanya tak sengaja menangkap sosok Davin yang masih menunggu di sana.

Anak kecil itu cukup menarik perhatiannya, maka ia menghampirinya di situ.

"Davin?"

Davin tengah menunggu seorang diri dan tak biasnaya ia belum dijemput selama ini untuk pulang.

"Davin belum pulang?" tanya Anora.

Muridnya itu menggeleng, Anora mendekatinya dan ikut terduduk di sampingnya segera.

"Miss boleh nanya?"

Davin mengangguk.

Sedikit ragu untuk menanyakan hal ini, karena ini akan mengingatkannya dengan masa lalu dan hal mengerikan yang tak pernah anak-anak inginkan terjadi pada keluarganya.

"Davin tahu soal cerai itu?" tanya Anora pelan.

Davin mengangguk dan Anora sudah hendak tak ingin menanyakan lagi. Rasa penasarannya ia tahan sekuat mungkin.

"Dulu papa sering mukulin mama. Mama nangis dan papa suka teriak juga," ucap Davin.

"..."

"Davin juga dipukul sama papa. Terus mama pernah..."

"Davin.."

Ekspresi anak itu berubah begitu cepat. Menjadi semakin suram dari sebelumnya dan ini menakutkan Anora di saat ia harus mengingat kembali trauma itu.

"Leher Davin pernah diikat pake tali pinggang."

"Davin.. udah ya. Nggak papa."

Nyatanya luka dari masa muda itu akan terus membekas untuk selamanya. Dari orang-orang terdekat yang paling dicintai dan berani menyakitinya. Tidak akan ada lagi yang baik-baik saja setelah ini.

__________

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

58.6K 5.9K 43
[Cerita Terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dekat dengan seorang Adhyaksa Januar merupa...
22.6K 3.4K 22
[COMPLETED] ㅡ Cerita mereka belum usai. Siapa sangka dunia baru yang Ody dan Kia sambut bersama justru menjadi jembatan penghubung bagi tunas-tunas b...
816K 146K 38
Bukan, ini bukan cerita cowok jadi CEO dan cewek jadi sekretarisnya. Tapi ini kebalikannya. y e l l o w ㅡ p r o j e c t (1)
BLOOMING By diaryzee

Teen Fiction

779 91 26
bloom (noun) ; a beautiful process of becoming. Namira Gea Raespati bagai bunga layu ketika pertama kali Areksa Gatra Sadajiwa melihatnya. Sebelum in...