Hai, Sea! (End/Complete)

NaylaSalmonella tarafından

101K 18.5K 2.5K

Picture by Fanspage Dear Diilireba (IG) Edited by: Canva. Designed by: Nayla Salmonella Dipublikasikan pada :... Daha Fazla

Halo Temans
Episode 1 Game Over
Dream Cast
Episode 2 Paginya Pengantin Baru
Episode 3 Pelarian Hidup Sea
Episode 4 Mesmerize
Episode 5 Pergumulan Batin
Episode 6 Siang Nahas
Episode 7 Siang Nahas 2
Episode 8 Breaking News
Episode 9 Where Are You, Now?
Episode 10 Tentang Lelaki Itu
Episode 11 Mengenal Hana
Episode 12 Aku Sudah Bersuami
Episode 13 Adegan di Kubah Bunga
Episode 15 Benang Merah
Episode 16 Kartu AS
Episode 17 Konsep Rumah Tangga
Episode 18 Pagi dan Siang yang Ganjil
Episode 19 (Bukan) Akting yang Natural
Episode 20 Suatu Hari di Solo
Episode 21 Happen for a Reason
Episode 22 See You When I See You
Episode 23 Trial
Episode 24 Jalan Keluar Itu, Cinta
Episode 25 The Pines
Episode 26 Percaya Padaku, 24 Jam Saja!
Episode 27 Hutan Pinus dan Lelaki Itu
Episode 28 Sudah Saatnya Pergi
Episode 29 Suara Pria Terlarang
Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan
Episode 31 Setia
Episode 32 Kilas Balik
Episode 33 Halo, Sea, Temanku!
Episode 34 How Are You?
Episode 35 Pria Sedih Itu Temanku
Episode 36 Langit Malam Itu (End)
365 Senja

Episode 14 Stranger

1.9K 407 71
NaylaSalmonella tarafından

Cerita bertele² dengan alur lambat muncul lagi. Yeayy selamat membaca 🙂

###################

Pertengkaran papa dan mama terbiasa mengembalikan kesadaranku ke dunia. Pagi hariku selalu disambut oleh teriakan mereka, cacian, dan suara benda jatuh. Oh iya, suara pukulan dan tamparan juga. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sebuah lagu romantis nan lembut menyambutku membuka mata.

Sejak kapan aku tidur? Tidak jelas, adegan terakhir yang kuingat di otak adalah saat Gavin memasangkan seatbelt melintasi tubuhku. Dia menyeretku masuk ke dalam Pajero Sport hitamnya lalu membawaku pergi dengan kecepatan sedang. Setelah itu, blank!

“Semoga aku sudah jadi Sea!” harapku tulus dalam hati, dan mata kupaksa terbuka cepat.

Aku setengah melotot dan pemandangan jalanan panjang di antara padi-padian menyambutku. Kuamati semua tubuhku dan mata ini berubah pias. Gaun sifon menyebalkan ini masih membalut badan dan pertanda aku masih menjadi Hana. Berapa kali sih aku bangun dan tidur agar bisa kembali ke Sea. Mau berapa kali pun aku bangun dan tidur, tetap saja di tubuh Hana.

Menyebalkan.

“Hai, udah bangun? Ngantuk, ya?” Semenyebalkan suara manis yang menyapaku dengan riang itu. Aku menoleh dan mendapati Gavin sedang menyetir. Pandangannya sesekali tertuju pada jalanan bergelombang ini dan sesekali melirikku.

“Anda mau bawa saya ke mana?” tanyaku bernada ancaman.

Dia terkekeh pelan. “Easy, Honey! Aku nggak gigit kok. Nanti kamu juga tahu. By the way, jangan pakai saya-saya!” ancamnya tak mau kalah.

“Lha memang kenapa?” Aku mulai ngeyel.

Come on, Honey! Kita memang sepakat untuk memulai seperti orang asing. Namun, aku tetap suamimu. Kita harus mulai mengakrabkan diri, ‘kan?” bujuknya sambil memencet tombol di head unit dashboard. “Kita denger musik ajalah.”

Aku menatapnya cengo. Tak bisa berkata apa-apa kalau dia sudah seenaknya sendiri seperti ini. Benar, aku tak boleh salah langkah saat menjadi Hana. Aku masih butuh tubuh ini untuk mencari tubuhku. Sudah sepakat untuk menjalani hidupnya, mau enak atau tidak.

“Lagu apa?” gumamku lirih setengah memaksa jemariku yang masih agak kaku untuk memencet-mencet layar pemutar musik. Lagu berganti acak, mancanegara dan lokal. Namun, tanganku terhenti saat alunan musik lembut yang kukenali terputar. To The Bone, lagu yang penuh kenangan yang membuatku terpaku pada satu titik.

“Kamu terkesima lagi, Honey. Apa kamu ingat dengan lagu ini?” sambut Gavin yang membuatku menoleh. Dia terus cuek menyetir walau mulutnya mengajakku bicara.

“Nggak ingat!” jawabku ketus yang disambut senyum sabarnya.

“Pagi itu, kamu bangunkan aku pakai lagu ini. Bikin aku nggak bisa bangun dan malah ingin memelukmu lagi,” kenangnya yang kusambut rasa mual. Mereka pasangan yang memuakkan.

“Huek!” ceplosku tanpa sadar.

Dia langsung meminggirkan mobilnya, mobil berhenti dan wajahnya berubah cemas. Gavin meneliti satu persatu tubuhku setelah memencet buckle seatbelt. Jujur, aku bingung dengan kelakuan pria satu ini. “Kamu sakit, Hana? Mual?” berondongnya dengan mata cemas.

“Ng – nggak …,” jawabku terbata sambil menggeleng lemas.

“Kok mual?” sambungnya cepat. Kedua alisnya sudah hampir menyatu karena kecemasan itu.

“Aku cuma muak aja sama gaya hidup kalian.”

“Muak gimana, itu kamu, Hana! Kita!” Gavin membuang napasnya kesal. Dia melengos ke arah lain karena merasa aku baik-baik saja.

“Kita baru dua bulan nikah, wajarlah kalau masih panas-panasnya. Semua yang kita jalani selalu penuh cinta, makna. Setiap pagi aku selalu kesiangan dan terlambat apel karena terlalu lelah semalam. Kamu menghabiskan seluruh energiku. Nuansa hujan menambah manis suasana. Hei, Hana, sadarlah! Hari-hari manis kita baru kemarin,” cerocos Gavin yang mulai memandangku lekat.

Kubuang tatapan mata sedihnya ke arah lain. “Aku nggak ingat,” ucapku tanpa sadar berubah jadi keaku-akuan.

Gavin menarik lengan kananku hingga badanku menghadap ke wajahnya. “Kembalilah seperti dulu, Honey, please!” pintanya dengan mata simpati dan dahi berkerut. Gavin tampak lemah dan hancur saat ini. Iyalah, kehilangan sosok istri saat masih sayang-sayangnya.

“Aku nggak bisa, Pak! Aku bener-bener nggak ingat semuanya karena aku bukan Hana!” ulangku seperti biasa.

Wajah Gavin makin mengeras. “Abang, bukan Pak!” bentaknya tegas.

Kamu membentakku? Batinku keder.

“Aku maunya manggil ‘Pak’, memang kenapa?” balasku alot tak mau kalah keras meski hatiku sudah ketar-ketir. Kemarahan tentara itu menyeramkan rupanya.

Kini kami berhadap-hadapan dengan mata sama-sama melotot. Wajah kami sama-sama keras dan kaku karena emosi. Namun, lirik lagu “I want you to the bone” membuat matanya berubah lemah. Gavin mengendurkan pelototannya dan menunduk lesu. Dia kembali memakai sabuk pengaman dan menjalankan mobilnya pelan.

“Kok menyerah?” tanyaku masih menantangnya.

“I want you to the bone,” jawabnya tanpa melihatku.

“Lirik yang menye-menye. Memang ada orang yang sangat menginginkan kita? Kayak angan kosong karena nggak bakal ada yang kayak gitu. Lelaki yang punya cinta tulus itu nggak ada, mungkin,” sindirku lirih sentimen sembari menatap barisan padi hijau yang menari ditiup angin.

Cukup lama Gavin diam sampai angkat bicara sambil memutar setir mobil, “Ada. Aku!”

“Apa …?” Aku menoleh karena terkejut Gavin sudah menatapku. Mobil juga sudah berhenti di parkiran sebuah saung di tepi sawah. Entah sejak kapan dia membawaku ke tempat ini.

“Tempat apa ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Meski lagu cengeng itu masih terputar nyaring. Sepertinya disetel hanya memainkan lagu itu, sehingga terputar terus.

Karena muak, aku berencana turun duluan setelah melepas sabuk yang melintasi dadaku. Namun, tangan kuat dan panas itu menahan lenganku lagi. Aku menoleh dan mendapatinya menatapku frustrasi.

“Ada aku, Hana! Akulah yang mencintaimu dengan tulus, sampai ke tulang-tulangmu dan mungkin sampai kita hanya tulang. Ya, aku punya cinta itu!” Gavin menepuk dadanya kuat dua kali.

Membuatku terkesima, terpaku di satu titik karena wajah itu teramat serius. Tanpa tersenyum atau menatap riang seperti tadi, tentara ini tampak serius mengungkapkan rasanya. Tanpa mengenal ragu seperti semboyan mereka, “Ragu Lebih Baik Kembali.”

“Jangan ragukan aku!” pungkasnya dengan penekanan pada setiap kata.
---

Kami duduk seperti orang asing di dalam saung nomor empat, tepat di sebelah sawah berisi padi yang menghijau. Anginnya cukup dingin menembus kain tipis ini. membuatku merinding beberapa kali, tapi berusaha tampak tegar. Aku tak mau mendapat perhatian lebih darinya, apalagi dapat tatapan menyayat itu. Tak banyak dialog karena dia sibuk melahap seekor ikan bakar lengkap dengan sambal.

Kalau boleh jujur, aku nggak suka makanan sejenis ini. Mungkin kalau tentara suka kali, ya? Ya karena mereka biasa hidup di alam. Bayanganku pasti sering makan dari hasil alam langsung di tempatnya, macam membakar ikan atau ayam hutan. Gimana nggak aku pernah dilatih tentara langsung saat jungle survival pendidikan pramugari.

Mereka mengajariku survive di alam dengan memanfaatkan benda di sekitar. Dan perilaku Gavin sekarang sudah mencerminkan semua. Lihat betapa lahapnya dia memakan daging ikan itu. Seperti tak mengenalku sama sekali. Dia cuek meski sesekali aku mencuri pandang padanya. Aku tak sibuk makan dan malah menyelami ekspresi demi ekspresinya.

Satu yang kusuka, dia memakan ikan seolah hanya itu yang dia miliki. Sangat lahap dan nikmat. Cepat, senyap, tanpa kecap. Aku suka cara makannya, rapi tidak berantakan. Aku suka jemari-jemarinya, lentik dan panjang. Tangan itu, jenjang dan tegas. Berotot dan kekar, terasa nyaman saat memandangnya. Seolah akan melindungimu sepanjang waktu.

“Makan, Hana!” pecahnya yang membuatku gagap. Sontak aku menyeruput es teh dengan cepat dan berakhir dengan tersedak.

“Santai …,” Gavin menepuk punggungku lembut saat aku masih terbatuk-batuk bodoh. Kecerobohan yang menggelikan.

“Makasih,” kataku saat Gavin menyodoriku selembar tisu. Batuk sudah reda dan tersisa sedikit sakit di tenggorokan. Namun, dia masih kembali melanjutkan makan setelah sempat cemas.

“Kamu suka ikan?” tanyaku ragu sambil menjimpit bagian ekor gurame goreng yang tak kumakan sama sekali.

Gavin mendongak dan memandangku sekilas, “Hem, kenapa? Kamu udah nggak suka ikan lagi?”

“Memang aku dulu suka ikan?” tanyaku bingung. Penghayatan penuh jadi Hana.

“Suka. Kamu suka makanan Sunda. Makanan di depanmu itu adalah kesukaanmu di tempat ini. Waktu kita masih SMA, ini rumah makan favorit kita. Pemiliknya saja sampai hafal sama kita. Dan aku jadi suka makanan ini semenjak sama kamu,” jawabnya lugas. Gavin kemudian melap mulutnya dengan tisu lalu meminum air tanpa suara.

Okay, mereka sudah bersama sejak SMA. Jadi, mereka bersekolah di Bandung dan satu SMA, mungkin. Tempat ini adalah favorit mereka sejak SMA, dan Hana suka ikan. Baik, makanan yang tidak kusuka.

“Kalian sekolah di Bandung?” Kutelisik ragu wajah Gavin yang sekarang sedang mencecap sisa makanan di mulutnya.

“Iya!” jawabnya diiringi anggukan kuat. “Kita ini asli Bandung, Hana. Satu SMA dan kita pacaran sejak itu. Sayangnya kita jauhan karena aku harus masuk Akmil. Putus nyambung nggak pernah, tapi berantem hebat sering. Aku lulus setelah empat tahun dan kamu datang di hari pelantikanku bawa buket bunga sebesar badanmu,” jelasnya tegas seperti tak menyangka aku lupa. Ya iyalah, aku saja nggak merasa pernah kayak gitu kok.

“Oke-oke, aku mengerti,” jawabku santai sambil mengayunkan tangan ke bawah. Ingin dia tenang dan kalem.

“Bukan mengerti, tapi ingatlah Hana! Masa iya kenangan sepenting itu terhapus begitu saja?” eyelnya tak habis pikir.

Aku menatapnya lesu. “Ya memang aku nggak tahu, Pak.”

“Pak lagi!” hardiknya ganti frustrasi.

“Iya … B – Ba … Bang …,” kataku terpaksa dan sangat terbata. Kaku sekali memanggilnya seperti itu.

“Kok kaku sekali? Aneh kamu, Han. Kamu sendiri yang maksa manggil ‘Abang’ saat aku baru masuk tentara. Kamu nonton film tentara dan terobsesi seperti pemainnya, manggil pasangan ‘abang’. Lupa lagi?” omelnya kesal. Kali ini dia menggigit bibir keras-keras karena tak habis pikir dengan isi otakku.

“Maaf …,” sesalku atas kesalahan yang tak pernah kuperbuat.

“Ya sudahlah. Abang yang harusnya minta maaf karena lupa kondisimu sekarang,” sesalnya lirih. Dia menyerah dengan meminum air putih lagi. Jelas hatinya kacau dan berusaha ditutup-tutupi. Istri manisnya berubah aneh seperti batang pisang.

Kami hening, diam seperti orang asing yang duduk semeja makan. Aku bingung harus berkata apa karena sepatah kalimat saja bisa membuatnya emosional. Dia juga bingung harus berkata apa karena tak mau menyakitiku tanpa sadar. Situasi kami tak pernah benar.

“Maaf, Abang masih berusaha menyesuaikan diri denganmu, Hana. Kejadian ini juga memukulku,” ungkapnya dengan mata sesal. Dia tujukan padaku yang menatapnya hampa dan mulut diam mengatup.

Sekarang gantian aku yang mengubah posisi duduk menjadi lebih menghadap ke barisan padi hijau yang mulai meninggi. Menghindari tatapan matanya. Suasana siang cerah yang dingin menurutku. Mungkin karena angin. Mungkin karena atmosfer aneh ini.

“Siapa yang membuat flower dome tadi?” tanyaku tanpa melihat wajahnya. Aku memilih untuk menghindari pertanyaan sensitif dan membahas hal ringan lain. Meski aku juga nggak tahu ini sensitif atau tidak.

“Kita yang membuatnya saat kamu kelas 1 SMA. Hadiah jadian dariku,” jawabnya pelan. Gavin sekarang melipat kaki ke depan dan menahan badannya ke belakang dengan kedua tangan. Sama-sama memandang sawah.

Aku menatapnya lalu beralih pada sawah di depan lagi. “Wow, niat banget, ya? Kayak kalian nggak bakal berpisah gitu,” komenku miris.

“Hana, itu kamu juga yang minta! Kita sepakat untuk nggak mengucap kata putus walau bertengkar hebat, sampai kapan pun. Karena ada sebuah monumen peringatan hubungan kita, kubah bunga itu. Kita membangunnya susah payah. Kamu merawat bunga-bunga rewel itu sekuat tenaga sepulang sekolah dan kuliah, semua demi hubungan kita. Karena kamu selalu bilang, ‘aku nggak mau buket bunga, lebih baik merawat bunganya’.” Gavin kembali menceramahiku.

Tentu saja menambah pusing isi otakku tentang Hana. Sosoknya yang sempurna terpaksa dijejalkan ke konsepku yang apa adanya. Wanita ini sungguh wow.

“Kamu beda, ya?” ucapnya dengan mata yang mulai menelusuri bagian samping kepalaku. Seperti mengamati sesuatu.

Tentu saja aku langsung salah tingkah. Menarik napas kembang kempis sambil menyibakkan anak rambut yang sedang kukuncir seadanya. “Maksudnya?” tanyaku awkward.

“Kamu yang dulu nggak suka rambut yang diikat kecuali kegiatan Persit. Nyiksa katamu, makanya digerai,” jawabnya pelan sambil menatapku.

Aku yang masih tak kuasa membalas matanya hanya menunduk sambil menggigit bibir. “Jadi, Hana yang dulu itu nggak praktis, ya? Mementingkan kecantikan daripada kenyamanan.”

“Kok kamu menyindir diri sendiri? Kamu memang begitu, Honey. Selalu tampil cantik meski katamu apa adanya.” Gavin mulai memainkan anak rambutku. Posisi tubuhnya makin mendekat padaku, tak tahu tempat.

Seketika mataku menajam menatapnya. “Jangan sentuh aku, Pak! Ini di tempat umum!” larangku tak suka.

“Sepi, dan tak masalah aku melakukannya. Kamu istriku, Hana.”

“Kata Bapak kita bisa seperti orang asing,” selaku berapi-api membantah semua rayuannya.

“Hanya luarnya saja, tapi aku ingin menyayangimu dengan sentuhan dan belaian. Seperti yang kamu suka dulu,” bantah Gavin sedikit menjeda jaraknya.

“Nggak!” tolakku setengah berteriak lalu memaksa berdiri. Tak peduli ujung kepalaku yang hampir menyentuh langit-langit saung, aku hanya ingin pergi dari sini.

Oke, di mata pria itu aku adalah istrinya. Namun, aku tetap orang lain yang tidak nyaman dengan sentuhan dan belaian dari orang asing. Sempat lega karena dia meminta seperti orang asing, tapi ternyata bohong.

“Hana, duduklah. Kenapa penolakanmu sekuat itu?” Gavin melambaikan tangannya dengan sabar. Wajahnya tampak kaget dengan reaksiku.

“Jangan sentuh saya seperti suami istri pada umumnya. Saya nggak suka!” tegasku setengah memicingkan mata.

Dia menghela napas panjang sembari menggosok dagunya gamang. Akhirnya dia mengangguk pelan lalu membujukku lagi. “Oke, duduk lagi, ya? Maafin aku.”

Kuhempas lantai saung dengan sedikit keras. Merasa kesal dengan situasi dan atmosfer ini. Memang sikapku aneh, tapi aku punya alasan. Namun, sepertinya lelaki tinggi bermata indah ini mulai mengerti keanehanku. Dia mengambil selangkah mundur dan tak memojokkanku lagi.

“Kamu mau bertanya apa lagi?” tanyanya dengan wajah dingin.

“Bisakah kita bicara biasa saja? Yang ringan-ringan?” ajakku tak kalah dingin.

Sekali lagi dia menghela napas berat lalu memandangku yang sedang meminum air mineral dari botol. “Oke, meski situasi kita aneh, aku ikuti maumu, Hana.”

Kami terdiam. Dengan dia yang mulai memainkan ponsel dan aku yang berpikir keras. Daripada membuatnya memikirkan hal sejenis sentuhan atau belaian lebih baik kualihkan pada hal lain. Mungkin pembicaraan yang menjurus pada pembukaan kedokku?

“Apa Abang percaya pada reinkarnasi?” tanyaku yang mendadak membuatnya mendongak. Entah karena apa. Apa karena aku memanggilnya ‘abang’ atau karena pertanyaanku?

Alisnya sedikit berkerut karena berpikir keras. Namun, sejurus kemudian dia tampak punya jawaban. “Aku nggak mau kaitkan dengan agama atau kepercayaan, tapi aku percaya. Bisa jadi aku seorang pujangga di masa lalu.”

“Kok bisa?” tanyaku mulai tertarik pada pembicaraan ini.

“Karena aku sangat memujamu.” Gantian keningku yang berkerut karena mendengar jawabannya.

“Gombal!” ceplosku tanpa aba-aba.

Dia terkekeh dan suasana mulai cair. “Kamu masih Hanaku, selalu bilang gitu setiap aku goda.”

Hatiku berdesir. Apalagi saat akhirnya mata kami beradu pandang lagi. Apa aku mulai menyatu dengan pikiran Hana? Apa karena aku mulai menikmati alur kehidupan ini? Menikmati berdua dengannya?

“Kenapa pertanyaanmu seaneh itu, Honey?” sambungnya dengan mata lembut.

“Bisa nggak jangan manggil gitu? Jujur, aku nggak nyaman, Pak,” tepisku.

“Bisa nggak jangan manggil ‘pak’, Abang nggak nyaman,” balasnya sambil tersenyum simpul.

“Tapi aku bukan madu, ‘kan? Katanya aku istri.”

“Tapi aku bukan bapak-bapak, ‘kan? Aku baru 29 tahun.”

Aku melengos sambil tersenyum tanpa sadar. Bisa juga dia bermain kata-kata. Tentara memang ahli strategi, ‘kan? “Baik, akan kubiasakan. Maaf, ya ….”

Okay,” dia mengangguk sambil menyusut tawanya yang lebar, “lalu kenapa bertanya seaneh itu?”

Aku hanya diam dengan kedua mataku yang fokus pada pinggiran gelas. “Apa Abang percaya jiwa yang tertukar?”

Setelah bertanya begitu kucoba melihat ekspresi wajahnya. Benar saja wajah itu terlihat kaget, seperti baru terkena sambaran petir. Tiba-tiba datar dan berpikir keras akan menjawab apa. “Pertanyaanmu bikin Abang … takut,” tanggapnya ragu.

“Jawab saja, Bang,” suruhku mulai membiasakan diri mengucap ‘bang’ atau ‘abang’.

“Apa kamu sedang menggiring opiniku? Aku Sea, bukan Hana, itu?” tebaknya seraya memberiku tatapan fokus. Sorot matanya tajam dan tegas tanpa ragu. Bibir tipis itu terkatup seolah menggumpalkan emosi.

“Apa pertanyaan itu susah?” sambungku ragu-ragu. Takut kemarahan meledak dari pria sabar itu.

Gavin menopang kedua tangannya di atas meja. “Kamu memang Hana, istriku. Namun, kamu seperti orang lain sekarang. Aku sadar karena kamu lupa ingatan. Jangankan aku, dirimu sendiri saja kamu lupa,” jawabnya santai. Matanya yang sedih itu menelusuri kedua mataku.

Membuat hatiku tak kuasa. Hingga lagi-lagi kubenamkan wajah melihat ke bawah. “Kalau aku bukan Hana yang kamu kenal gimana, Bang?”

“Abang tetap cinta kamu kok. Di mataku kamu tetap Hanaku yang manis, anak SMA pipi merah dan rambut kuncir pita,” simpulnya yang kembali membuatku bisu.

Benar, dia reinkarnasi seorang pujangga. Caranya memandang tubuh ini, caranya bicara, caranya memperlakukan Hana, semua manis. Semua lembut dan terencana. Dia memandang Hana apa adanya, tak peduli perubahan aneh apa pun di tubuh ini.

Kesimpulannya membuatku bisu. Membeku seperti di kutub utara. Mungkin kalau ini Hana yang asli, dia akan menghambur dan memeluk Gavin. Mungkin Sea juga sama, hanya masih berpegang teguh pada akal sehat. Aku Sea, bukan Hana.

Mencegah air mata ini menetes, aku kembali menyambung dengan pertanyaan lain, “apa mimpi terseram Abang?”

“Kehilanganmu, baik mimpi atau nyata itu sangat menakutkan. Saat ini aku seperti mimpi buruk karena kamu melupakanku, tapi aku seperti tak bisa bangun.” Gavin menjawabnya dengan mantap setelah cukup lama berpikir. Kelihatannya dia amat terpukul karena matanya kosong dan meminum air mineral berkali-kali.

“Apa kekuatan super yang pengen Abang punya?” Aku terus mengalihkan situasi. Mirip seperti dua orang asing yang mulai mengakrabkan diri.

“Membuatmu kembali mengingatku. Aku ingin kembali ke hari itu, tiga bulan yang lalu. Mencegahmu pergi dengan mengunci semua pintu. Andai aku tahu,” kenangnya penuh sesal. Matanya kembali berkilau penuh air. Dan dengan cepat dia menghapusnya dengan punggung tangan.

“Ah sudahlah, obrolan ini berat, Hana. Kamu nggak mau makan aja? Tadi nggak mau makan bubur, sekarang sudah dikasih ikan goreng masih nggak mau.” Gavin mengalihkan situasi dengan mendorong piring ke arahku.

Aku menggeleng sambil mengerutkan hidung. “Nggak suka, mendingan ke resto Perancis dan makan soupe a loignon and garlic bread. Kapan-kapan terbang ke sana untuk coba langsung,” ceplosku sok kebulean kemudian mendadak sadar. Mulutku lancang bicara kalimat yang tak seharusnya.

Benar saja dia tercenung bingung. “Ya, memang kamu sangat ingin pergi ke Paris saat itu. Sebegitu inginnya sampai nekat menemui ibu komandan.”

Langsung saja aku kelagapan dan ganti meminum air mineral. “Maaf ….”

“Kamu benar-benar seperti orang asing yang masuk ke tubuh Hana,” celetuknya yang membuat jantungku makin berdebar.

“I – iya memang … sudah kubilang … ‘kan,” sahutku terbata.

“Ternyata hilang ingatan bisa membuatmu seaneh ini, ya?” komennya sambil tersenyum. Lebih mirip sindiran menurutku.

“Maaf ….” Hanya itu yang bisa kuucap dan kuulangi. Jangan ketahuan sekarang, aku belum mencapai tujuanku!

“It’s okay, Honey. Katakan apa saja yang kamu mau, Abang terima kok. Asal kamu baik-baik saja dan nggak jauh dari Abang lagi. Nanti Abang belikan, sekarang kamu makan ini dulu, ya?” bujuknya sambil mendorong piringku lagi, “atau mau Abang suruh masnya panasin lagi. Udah dingin ikannya.”

Aku menggeleng kuat. “Nggak usah, Bang. Saya, eh, aku bisa kok makan ini.”

Dengan ragu kumakan ikan yang sudah anyep itu. Meski rasanya tak akrab dengan seleraku tak masalah. Demi membuat wajah pria sedih itu lega dan hangat. Sebenarnya, memandang senyumnya sungguh menyenangkan. Suasana tak begitu kaku saat kami bisa tertawa dan bercanda bersama.

Tanpa sadar itu tadi terjadi. Di antara kami sepasang orang asing dalam ikatan suami-istri. Di matanya aku Hana, tapi bagiku bukan. Bagaimana ini Oh Tuhan, aku mulai nyaman dengan perlakuannya.

Apa tujuan utama aku masuk ke tubuh Hana? Apa hanya untuk merasakan kenyamanan semu seperti ini? Sebenarnya apa benang merah kami? Apa yang membuatku, Hana, dan Gavin – orang asing ini – bertemu dan berinteraksi?
***

Bersambung ..

Dan lagi, menuju terkuaknya di mana tubuh Sea itu butuh waktu agak lama. Nggak bisa ujug2, nanti cepet habis ceritanya.

Atau...
Kalian mau cerita ini ditamatin aja? Disudahin gitukah?
🙂😂

Terima kasih sudah bacaaa ❤️

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

615K 37.4K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
159K 9.6K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
137K 12.8K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
3.3M 344K 53
𝙳𝚄𝙰 𝙰𝙽𝚃𝙰𝙶𝙾𝙽𝙸𝚂 𝚈𝙰𝙽𝙶 𝙱𝙴𝚁𝚄𝙹𝚄𝙽𝙶 𝚃𝚁𝙰𝙶𝙸𝚂. ... Dheleana Vreya, gadis cantik dengan seribu topeng licik di wajahnya. Mungkin o...