[iii] Connect | VERIVERY

Oleh EkaFebi_Malfoy27

5.9K 1.7K 480

[COMPLETED] Buku Ketiga dari seri PHOTO «Scare that swallowed everything, I reach you and connect. We're alre... Lebih Banyak

Cast
Prolog
¤01¤
¤02¤
¤03¤
¤04¤
¤05¤
¤06¤
¤07¤
¤08¤
¤09¤
¤10¤
¤11¤
¤12¤
¤13¤
¤14¤
¤15¤
¤16¤
¤17¤
¤18¤
¤19¤
¤20¤
¤21¤
¤22¤
¤23¤
¤24¤
¤25¤
¤27¤
¤28¤
¤29¤
¤30¤
¤31¤
¤32¤
¤33¤
¤34¤
¤35¤
Epilog

¤26¤

113 35 2
Oleh EkaFebi_Malfoy27

Chapter ini sepenuhnya berisi flashback




Kangmin merasa ada yang tidak beres.

Sudah satu minggu lebih Minchan tidak pernah bermain kerumahnya, atau sekedar telepon pun tidak. Sejak malam di mana Minchan menanyakan tentang sumpah, perasaan Kangmin jadi gelisah.

Bagi Kangmin hal paling janggal adalah ini masa liburan sekolah dimana Minchan akan menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan. Entah bermain dengan Kangmin, bermain sepak bola di lapangan komplek, atau pergi menginap di rumah sahabatnya si Gyehyeon atau Yeonho itu.

Kangmin tahu poin terakhir tidak bisa direalisasikan karena dari kabar terakhir yang dia dengar dari Minchan, sikap Gyehyeon dan Yeonho menjadi semakin aneh. Seperti orang gila kata Minchan.

Akan tetapi tidak begitu bagi Kangmin.

Sahabat Minchan itu jelas mengalami kerasukan dan teror.

Setiap Kangmin hendak mengatakan kebenarannya ia selalu ingat bahwa Minchan menolak mendiskusikan mengenai Dongheon dan Hoyoung. Padahal jauh di dalam lubuk hati Kangmin, ia ingin mengatakan bahwa eksistensi Dongheon dan Hoyoung tidaklah nyata. Tetapi Kangmin selalu mengurungkan niatnya ketika ia tahu bahwa Minchan sangat menyayangi Dongheon dan Hoyoung layaknya ia menyayangi Gyehyeon dan Yeonho.

Lagipula, tidak semua hantu jahat.

Dan Kangmin selalu berdoa semoga Dongheon dan Hoyoung masuk ke dalam golongan yang baik.

Kangmin berjalan santai seraya sesekali menendang kerikil di jalan.

Hari ini terhitung sudah dua hari orang tuanya tidak pulang karena pergi dinas sekaligus menemui klien di luar kota yang memanggil mereka untuk melakukan pengusiran roh. Sehingga Kangmin selalu membeli makanan di luar karena jika ia memaksa untuk masak sendiri bisa-bisa saat orang tuanya kembali yang mereka dapati adalah keadaan rumah yang hancur.

Sepulang membeli makan malam, Kangmin memutuskan memilih jalan memutar agar ia bisa melewati rumah Minchan. Saat ia tiba di jalanan rumah Minchan, Kangmin melambatkan langkahnya. Mana tahu ia mendengar suara Minchan memanggilnya meski kemungkinannya hampir nol besar. Tak mungkin Minchan memanggilnya karena Ayah Minchan sangat membenci keluarga Yoo.

Kangmin tentu saja marah saat tahu alasan Ayah Minchan membenci keluarganya hanya karena pekerjaan sampingan orang tuanya. Memangnya apa yang salah menjadi seseorang yang mampu mengusir roh? Toh, bukan berarti dia bekerja sama dengan iblis kan?

Kolot sekali pemikirannya, begitu pikir Kangmin.

Kangmin menghela nafas. Rumah Minchan terlampau sepi meski sekarang baru pukul delapan malam. Pun Kangmin tidak mendengar suara serangga malam berbunyi di pekarangan rumah itu.

Kangmin mengendikkan bahunya, hendak melanjutkan kembali langkahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari arah rumah Minchan.

Terlampau penasaran, Kangmin memutuskan untuk memasuki pekarangan rumah itu meski mungkin akhirnya ia akan ditendang keluar. Suara dari dalam rumah terdengar bising oleh teriakan-teriakan. Kangmin mencoba untuk mengetuk pintu tetapi sepertinya suara ketukannya teredam oleh teriakan itu.

"Ada apa sih?" gumam Kangmin tersengat rasa panik.

Kangmin melangkah mundur dari pintu agar ia bisa melihat kamar Minchan yang ada di lantai dua. Saat Kangmin mendongak, itu bertepatan dengan gorden jendela Minchan yang ditarik paksa oleh sang Ayah agar tertutup.

Kedua mata Kangmin melebar saat pikiran buruk mendatanginya. "Kak Minchan mau dipukul lagi ya?"

BRAKK!!!

"AYAH!"

"SIALAN KAMU! BISA-BISANYA KAMU MENEMPATKAN AYAH PADA POSISI YANG SULIT?!"

"INI SEMUA GARA-GARA AYAH! KALAU AYAH NGGAK JAHAT KE MINCHAN, MINCHAN JUGA NGGAK AKAN NGELAKUIN HAL INI!"

"ANAK NGGAK TAHU DIUNTUNG!"

BRAKK!!!

Telinga Kangmin berdengung bersamaan dengan jantungnya yang berpacu. Kepalanya mulai terasa berat dan pusing. Tiba-tiba saja ia merasa energinya direnggut hingga terkuras tak bersisa.

Berbekal sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki, Kangmin berlari sempoyongan menuju rumahnya. Tentu Kangmin penasaran dengan perdebatan Minchan dan Ayahnya. Namun instingnya mengatakan bahwa ia harus segera menyelamatkan diri dari sana.

Saat sampai di rumahnya, Kangmin segera mengunci pintunya. "Kenapa energinya besar banget di sana?"

Kangmin terduduk di depan pintu seraya mengatur nafasnya yang masih naik-turun.

"Aneh banget, kenapa tadi gue nggak bisa lihat satu pun mahkluk di sana? Harusnya kalau nggak ada mahkluk, energinya nggak akan sebesar itu. Sebenarnya apa yang disembunyikan di dalam rumah itu?"




***




Gyehyeon berlindung di balik selimut saat suara itu kembali datang. Suara berbisik dengan nada suara berat nan dingin. Siapapun yang mendengar suara itu akan mengalami sensasi yang aneh, seperti tubuhmu dibawa masuk ke dalam jurang yang tak berdasar.

Pada titik ini, Gyehyeon selalu terpikir untuk mati. Tidak ada cara lain lagi selain mati agar suara itu berhenti mengganggunya. Sebenarnya jika Ayahnya mau sedikit menurunkan egonya, ia bisa saja diobati lewat eksorsis.

Hanya saja Ayahnya tetap menganggap bahwa hal-hal yang bersifat supranatural dan dianggap gaib merupakan sesuatu yang tabu. Bukan tanpa alasan Inseong jadi seperti itu. Obsesinya pada sains dan klaim orang-orang yang mengganggap bahwa hal-hal gaib tidak bisa dijelaskan secara sains sangat berperan banyak dalam menuntun sudut pandangnya.

Gyehyeon sangat ingin sembuh.

Ia ingin kembali hidup normal.

Akan tetapi, teror yang terus ia alami perlahan-lahan mematikan jiwa Gyehyeon dari dalam. Gyehyeon menjadi tidak bersemangat lagi, ia hanya ingin mati. Terlebih, tidak ada seorang pun yang mau memahaminya.

Entah mengapa hidupnya jadi tak berguna seperti ini.

"Darahmu.... Jiwamu... Kemarikan..."

Gyehyeon memejamkan matanya rapat. Kedua telapak tangannya yang gemetar menutup erat daun telinganya. Kalau saja menjadi tuli dapat menjadi jalan pintas maka sudah sejak beberapa bulan lalu Gyehyeon merusak gendang telinganya sendiri.

Tetapi Gyehyeon tahu, suara itu tidak masuk melalui gendang telinganya. Melainkan melalui hatinya, jiwanya, dan merusak keduanya dari dalam.

Permainan ini tak akan bisa Gyehyeon menangkan.

Gyehyeon dapat bertahan sejauh ini karena ia menanti datangnya sang malaikat. Jauh di dalam hatinya ia selalu berdoa, meminta bantuan agar dikirimkan malaikat baik yang mengasihaninya. Gyehyeon ingin hidup lebih lama, ia ingin membahagiakan ibunya, adiknya, dan sahabatnya.

Ia tidak ingin mati sia-sia di umurnya yang masih muda.

Hanya saja sejauh apapun Gyehyeon berusaha bertahan, di saat yang sama pula sosok itu berusaha untuk mengambil darahnya dan membawa jiwanya pergi.

Pergi,

Ke tempat yang jauh.

Tempat yang indah katanya.

"Pergi, gue mohon pergi..." isak Gyehyeon tertahan dari balik selimutnya.

"Ayo pergi bersamaku..."

"Please, biarin gue tidur sebentar. Gue butuh tidur, gue capek,"

"Pergi saja bersamaku, nanti kamu bisa tidur dengan nyaman..."

"Nggak! Gue gak mau pergi sama lo!"

Gyehyeon menyibak selimutnya. Ia memandang ke sekeliling kamarnya yang terang benderang. Nihil. Tidak ada siapapun di dalam kamarnya.

Selalu begitu, ketika Gyehyeon berhasil berbicara dengan sosok yang menganggunya ia tak bisa melihat bagaimana rupa sosok itu.

Dengan jantung berdebar Gyehyeon meraih ponselnya di nakas. Ditekannya nomor Yeonho, berharap sang sahabat menerima panggilannya dan mereka bisa saling menenangkan.

Namun belasan kali Gyehyeon telepon, suara Yeonho di seberang tak kunjung menyapa telinganya.

Mau tak mau Gyehyeon terpaksa menelepon Minchan.

Sudah lama sekali Gyehyeon tidak menelepon Minchan. Di sekolah pun akhir-akhir ini Minchan lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan seraya membawa buku aneh yang ia temukan di loteng rumahnya.

Tidak ada alasan pasti mengapa Gyehyeon menelepon Minchan. Ia hanya ingin memastikan.

Memastikan bahwa dirinya masih layak hidup atau tidak.

Kalau tidak...

Malam ini, Gyehyeon siap mati.

"Halo Gye—BRAKKK!!!"

"Min—"

"GAK AYAH! MINCHAN GAK AKAN KELUAR!"

Gyehyeon mengigiti kuku jarinya. Tubuhnya bergetar hebat karena emosinya bercampur aduk. Nafasnya naik-turun dan ia mulai menitikkan air mata.

Suara Minchan diseberang pun terdengar bergetar dan diselingi beberapa isakan yang lolos dari bibirnya.

"AYAH HARUS JELASIN DULU KE MINCHAN!"

Beberapa saat kemudian terdengar suara grasah-grusuh sebelum akhirnya suara Minchan kembali menyapa. "Halo Gyehyeon? Ada apa?"

"Lo—lo, nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa kok, cuma ada sedikit masalah aja, biasalah. Sorry ya?"

"O—oh, ya... Yaudah kalau gitu gue tutup teleponnya ya?"

"Lho Gyehyeon? Lo mau—"

Gyehyeon terpaksa menutup panggilan mereka secara sepihak.

Dilemparnya ponsel itu ke kasur. Gyehyeon lalu kembali meringkuk di balik selimut dengan air matanya yang masih mengalir deras.

"Nggak ada yang baik-baik saja. Gue, Yeonho, maupun Minchan..." lirih Gyehyeon menangisi takdir mereka.

Entah siapa yang merajut benang takdir mereka bertiga. Gyehyeon hanya ingin memberi ucapan selamat pada sosok yang mampu merajut takdirnya sedemikian rupa, bahkan ia dipertemukan dengan Yeonho dan Minchan yang takdirnya tak jauh lebih baik darinya.

Kalau dipikir-pikir mereka bertiga tidak ada yang bahagia.

Gyehyeon yang mendapat tekanan dari Ayahnya. Minchan yang seperti burung dalam sangkar. Lalu ada Yeonho yang meski dilimpahi kasih sayang oleh kedua orang tuanya, tetap saja Yeonho selalu merasa kesepian di rumah besarnya karena orang tuanya sibuk bekerja.

Dalam tangisnya, Gyehyeon memeluk lututnya.

"Gue, lebih baik mati aja gak sih?" lirihnya sesaat sebelum suara itu kembali datang.

Datang dengan menjawab pertanyaannya.

"Benar, mati saja. Tidak ada gunanya kamu hidup di dunia yang kacau seperti ini."

"Kalau gue ikut lo, apa gue bisa bahagia?"

"Tentu saja. Utopia akan kamu dapatkan jika kamu memberikan darahmu dan menyerahkan jiwamu."

Utopia.

Hal yang sangat Gyehyeon rindukan.

Gyehyeon menyibak selimutnya sedikit. Jemarinya meraih nakas di samping tempat tidurnya dan mencari sesuatu di dalam sana.

Ketika benda itu berhasil ia genggam, Gyehyeon tersenyum miris.

"Jadi ini akhirnya? Gue nyerah?" lirihnya seraya mendekatkan bilah cutter itu pada pergelangan tangannya.




















Tbc
260721

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

102K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
473K 90.9K 19
ft. nct 2018 ❃When NCT be a youtubers. ©️jeezvr, 2O18 [#18 ─ humor]
152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...