BagasRara [END]

By ameliafitri583

3.1M 465K 167K

Spin off Young Parents [Bisa dibaca terpisah] _____ Menjadi seorang Ayah di usia muda tidak pernah terlintas... More

RaraBagas
|1| BagasRara
|2| BagasRara
|3| BagasRara
|4| BagasRara
|5| BagasRara
|6| BagasRara
|7| BagasRara
|8| BagasRara
|9| BagasRara
|10| BagasRara
|11| BagasRara
|12| BagasRara
|13| BagasRara
|14| BagasRara
|15| BagasRara
|16| BagasRara
|17| BagasRara
|18| BagasRara
|19| BagasRara (Flash back)
|21| BagasRara (Flash back III)
|22| BagasRara (Flash back IV)
|23| BagasRara (Flash back V)
|24| BagasRara (Flash back VI)
|25| BagasRara (Flash Back VII)
|26| BagasRara (Flash back VIII)
|27| BagasRara
|28| BagasRara
|29| BagasRara
|30| BagasRara
|31| BagasRara
|32| BagasRara
|33| BagasRara
|34| BagasRara
|35| BagasRara
|36| BagasRara
|37| BagasRara
|38| BagasRara
|39| BagasRara
|40| BagasRara
|41| BagasRara
|42| BagasRara
|43| BagasRara
|44| BagasRara
|45| BagasRara
|46| BagasRara
|47| Bagasrara
|48| BagasRara
|49| BagasRara
|50| BagasRara
|51| BagasRara
|52| BagasRara
|53| BagasRara
|54| BagasRara
|55| BagasRara
|56| BagasRara
|57| BagasRara
|58| BagasRara
|59| BagasRara
|60| BagasRara
|61| BagasRara
|62| BagasRara
|63| BagasRara
|64| BagasRara
|65| BagasRara
|66| BagasRara
|67| BagasRara
|68| BagasRara
|69| BagasRara
70 BagasRara
|71| BagasRara
|72| BagasRara
|73| BagasRara
|74| BagasRara
|75| BagasRara
|76| BagasRara
|77| Epilog
|78| Extra part

|20| BagasRara (Flash back II)

31.5K 4.1K 663
By ameliafitri583

Masih dalam fase flashback, lanjutan kemarin

***

Seminggu setelan obrolan keduanya di halaman sekolah. Kini, Bagas dan Rara kembali menjalankan hari hari mereka seperti dulu. Tidak ada obrolan lagi setelah itu, baik Bagas maupun Rara seperti orang gak kenal. Jika tidak sengaja berpapasan di lorong, mereka hanya saling tatap lalu kembali melanjutkan jalannya.

Sekarang Rara sedang berada di kamarnya bersama Wulan. Mereka tiduran di kasur sambil nonton drama dan saling bercanda ria.

Rara senang, Wulan sosok teman yang asik. Cewek itu lembut dan selalu mengingatkannya jika salah. Wulan menjadi orang yang paling disayangnya setelah kedua orangtuanya.

"Oh iya, aku bawa es alpukat tau. Bentar aku ambil di tas" ucap Wulan beranjak turun dari kasur menghampiri tas nya di lantai.

"Beli dimana?" tanya Rara.

"Tukang lewat" jawab Wulan kembali naik ke kasur sambil membawa dua cup es yang tampak segar.

"Eh tunggu" cegah Wulan saat Rara ingin mengambil es-nya. "Sebelum itu aku mau tanya, waktu kamu pergi ke gudang sama siapa? Soalnya aku ngeliat Ajeng jalan sendiri ke kelas, katanya kamu gak ada di lorong" tanya Wulan membuat tubuh Rara menegang.

"Terus pas kita mau samperin kamu ke gudang, kita ketemu Rizal sama dua temannya. Kata mereka gudang kosong, gak ada orang. Yaudah abis itu kita semua pulang, kirain kamu emang udah pulang duluan. Tapi bener kan, kamu udah pulang duluan?"

Rara mengusap wajahnya gugup, pantas saja. Waktu itu tidak ada satu temannya pun yang mencari dia. Ternyata semua itu karena Rizal, nama yang pernah disebut Bagas.

"I-iya. Aku pulang duluan, maaf yah gak bilang kalian" ucapnya tersenyum tipis.

Wulan terkekeh. "Gapapa kok, santai. Kita kirain kamu hilang" balasnya lagi lagi terkekeh.

"Kenapa kamu baru nanya sekarang?" tanya Rara pelan.

Wulan tertawa kecil. "Abis dari minggu kemarin kamu kaya orang kerasukan, diam aja" jawabnya membuat Rara mencebikkan bibirnya.

"Yaudah nih es nya" ucap Wulan menyerahkan salah es miliknya.

Rara tersenyum senang, dengan semangat ia mengambil es itu lalu membukanya. Namun baru mencium wanginya membuat perutnya mual, tangannya kembali menutup es itu dan meletakkan di kasur.

Perutnya mual dan menolak es itu masuk. "Hoek.. Hoek.."

Wulan menyerinyit. "Kamu kenapa? Es nya gak enak?"

Rara menggeleng pelan sambil membekap mulutnya sendiri dengan tangan. "Enak kok, cuma baunya bikin eneg" sebelah tangannya memegang perut kuat. "Hmphh!"

"Enak kok baunya, kan alpukat emang gini" ujar Wulan heran.

"Gak tau" Rara menggeleng. "Jauhin ya, aku gak suka" ucapnya menatap Wulan.

Meski kesal karena es nya di tolak, Wulan menurut menjauhkan cup es itu ke nakas.

"Ada apa sih?"

Rara berlari ke kamar mandi membuat Wulan lagi lagi menatap heran. Gadis itu ikut turun melihat apa yang terjadi. Di depan wastafel Rara tengah membasuh wajahnya dengan air, lalu meliriknya sekilas.

"Aku pulang aja ya, kamu kayanya sakit" ucap Wulan.

"Cepat sembuh, Rara. Aku pulang dulu" pamitnya berbalik mengambil tasnya dan berjalan keluar kamar luas itu.

Di kamar mandi, Rara terdiam meski saat ini perasaannya resah. Ia mendudukkan tubuhnya di atas toilet, pikirannya takut hal itu benar terjadi padanya.

"Hahah, Rara kayanya cuma masuk angin" ucapnya tertawa hambar.

Namun kemudian tawnya berganti dengan wajah takut.

"Gak mungkin"

🍬🍬

"Rara berangkat sendiri ya, Pah Mah" pamit Rara berdiri di depan Aldi dan Viona.

"Naik?" tanya Viona.

Rara tersenyum tipis. "Sepeda"

"Sepeda kamu kan rusak lama gak dipakai" ucap Aldi.

"Sama Papa aja, kalau gak minta antar satpam" ujar Viona.

Rara menggeleng kecil. "Yaudah Rara jalan kaki, sekali kali" balasnya sambil menenteng tas

"Emang kamu berani?" Aldi mengangkat alisnya.

"Berani lah. Bay Pah Mah" pamitnya lagi lalu mencium pipi kedua orangtua nya dan berjalan keluar.

Ia mengenggam erat tali tasnya ketika berada di dalam bus. Jika jalan kaki akan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sekolah, lagi pula ia malas minta antar Aldi ataupun satpamnya. Pertama kalinya naik angkutan umum ini tidak terlalu buruk, hanya saja bau badan orang orang di sekitarnya sedikit membuat perutnya mual. Bau keringat.

"Rara"

Seruan seseorang di belakangnya membuat Rara menoleh, ekspresinya berubah datar dan tajam. Tanpa berucap ia kembali menghadap depan. Semoga bus ini cepat sampai.

"Kamu tumben naik angkot"

"Ra--"

"Berisik!" potong Rara sarkas.

Orang itu diam menatap perempuan di depannya lurus. Menghela nafas berat, ia melepas jaketnya dan memakaikan ke tubuh Rara.

"Asap rokok bisa bikin baju bau, pakai aja" ucapnya begitu melihat mulut Rara yang hendak terbuka.

"Gak mau pakai jaket murahan kaya gini" balas Rara sinis.

"Smp Askara! Smp Askara!" seru kenek bus bersamaan dengan berhentinya bus ini.

Rara segera membayar dan turun dari bus kemudian berlari masuk ke dalam. Jaket di pundaknya masih ada, ia lupa memberikannya ke yang punya.

Perempuan itu mencium aroma lavender dari jaket ini, aroma yang dirinya suka. Jeket ini bersih dan wangi. Kakinya berhenti di depan kelas lalu membalikkan badannya melihat seseorang yang baru saja turun dari bus tadi.

"Ngapain kamu Ngeliatin Bagas aja" Wulan berdiri di depan Rara sambil menyerinyit.

"Eh," Rara mengerjapkan matanya kikuk. "Nggak, aku ngeliat pak satpam bukan Bagas" sahutnya masuk ke kelas.

Wulan menatap temannya aneh. "Gantengan Bagas juga dari pada pak satpam. Ada ada aja"

Di dalam kelas, Rara mendudukkan tubuhnya di kursi lalu disusul Wulan. Ia membuka buku nya memeriksa pr semalam, tapi rasa sakit di perutnya membuat perempuan itu menutup mata. Perutnya seperti di lilit.

Sakit banget!. Batinnya meringis.

"Kamu kenapa lagi, Ra?" tanya Wulan.

Rara menggeleng pelan kemudian membuang nafasnya berat. "Aku ke toilet dulu ya bentar. Kalau ada guru bilang izin"

Ia segera berlari ke salah satu bilik toilet lalu masuk ke dalamnya. Menyenderkan tubuhnya ke tembok, Rara menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya sambil menutup mata.

Sambil menunggu sesuatu yang tidak pasti itu, Rara duduk di atas closed dengan pikiran berkecamuk. Tangannya bergetar memegang benda panjang ini, semoga hasil yang dilihatnya sesuai tebakannya. Negatif.

Namun yang terjadi justru kebalikannya. Perempuan itu menjatuhkan tespack yang menunjukkan,

Garis dua.

Rara menggeleng dengan tubuh bergetar, air matanya turun deras. Ini pasti salah, tidak mungkin.

"R-rara ga-gak m-mungkin hamil, g-gak mungkin"

"GAK MUNGKIN!!!"

Lalu kemudian ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan air mata yang terus turun. Tangannya mencengkram erat perutnya, janin ini gak boleh ada yang tau.

"Dia cuma akan jadi bencana!"

"Rara masih mau sekolah.. Hiks, Rara gak mungkin hamil!"

"Rara gak mau!"

"Ha-mil" suara seseorang di belakangnya membuat Rara menoleh kaget. Ia berdiri menatap orang itu lalu melangkah maju.

"Nggak, kamu salah dengar" ucapnya menggeleng seraya tersenyum tipis.

Orang itu menggeleng lalu mundur selangkah. "Aku udah dengar semuanya! Sejak tadi! Kamu lagi hamil Rara, kamu kotor!" bentaknya tajam.

Rara mengusap air matanya kemudian menggeleng cepat. "Kamu salah dengar Wulan, ka--"

"Terus itu apa di tangan kamu?! Tespack kan, itu udah jadi bukti kalau kamu beneran hamil" potong Wulan memandang Rara jijik.

"W-wulan" lirih Rara berkaca kaca.

Di depannya, Wulan mengalihkan pandangannya ke samping. "Aku akan ngasih tau hal ini ke kepala sekolah" putusnya membuat Rara melotot.

"J-jangan.." Rara menggeleng pelan.

"Kamu udah malu maluin sekolah Rara! Dan aku gak mau berteman dengan orang kotor kaya kamu, aku jijik" desis Wulan.

Rara hendak memegang tangan cewek itu namun di tepis kasar, yang bisa ia lakukan hanya memandang cewek itu lemah. Tolong, ia butuh sandaran saat ini. Bukan hinaan dan cacian.

"Aku mohon jangan, jangan kasih tau siapa siapa" ucap Rara memohon.

"Gak usah dekat dekat!" sentak Wulan menjauhkan tangan Rara. "INGAT! KAMU CUMA PEREMPUAN KOTOR!!" bentaknya mendesis tajam.

Rara diam, ia sakit hati di bilang seperti itu oleh sahabatnya sendiri. Sahabat yang sudah di anggap saudaranya.

"Wulan, kita udah sahabatan lama" ujar Rara, Wulan memutar matanya malas. Ia juga memandang Rara remeh.

"Mulai detik ini, kita bukan sahabat lagi" tekan Wulan.

Rara menutup matanya sakit, hatinya sudah seperti pecahan kaca. Kini hidupnya beneran hancur, semua akan perlahan meninggalkan dirinya. Kini baru sahabatnya, lalu nanti siapa lagi yang akan pergi meninggalkannya. Apa orang tuanya juga.

"Aku mohon jangan kasih tau siapa siapa, Wulan. Kamu bebas ngelakuin apapun ke aku, asal jangan kasih tau siapapun" ujar Rara sendu.

Wulan terdiam sebentar hingga akhirnya membalas. "Oke, aku gak akan ngasih tau hal ini ke siapapun, termasuk ke kepala sekolah. Tapi.." ia menggantungkan ucapnya sambil menatap Rara remeh. "Jangan pernah dekat dekat aku lagi, apalagi ngomong sama aku. Dan juga jangan menganggap kita masih sahabatan. Kamu cuma cewek kotor, yang sekarang aku benci"

"Jauh jauh dari aku!" pukasnya lalu meninggalkan Rara sendiri di kamar mandi.

Rara tertawa miris, tubuhnya di jatuhkan ke lantai begitu saja. Kedua tangannya mengepal di atas perut, matanya juga menajam lurus. Sekarang apa yang harus dilakukannya, memberi tahu kedua orangtua sama saja. Mereka tidak akan menerima. Lalu menggugurkannya, itu akan membawa akibat besar. Tapi tidak ada cara lain. Tidak boleh ada yang tau tentang masalah ini, kecuali Wulan.

"Kamu gapapa?"

Perempuan itu mengangkat wajahnya melihat siapa yang tengah berdiri di depan. Raut wajahnya tetap sama, hanya sekarang lebih terlihat pucat.

"Ngapain disini?" tanya Rara pelan.

"Udah puas?" Rara tertawa kecil. "Selamat, kamu berhasil menghancurkan hidup aku" ucapnya melangkah lebih dekat dengannya.

"Dan sekarang silakan pergi! Jangan pernah nampakin diri di depan aku lagi!" bentak Rara dengan suara tertahan, ia melempar tespack ke wajah di depannya kemudian berlari keluar.

Bagas memungut benda kecil itu di lantai lalu memperhatikannya bingung, ia pernah melihatnya. Dan sekarang ia memegangnya langsung. Ini alat tes kehamilan, kenapa bisa ada di tangan Rara.

Sedetik kemudian Bagas membeku dengan bibir terbuka sedikit. Tangannya menjadi gemetar memegang tespack itu membuatnya tanpa sadar menjatuhkan ke lantai.

"R-rara"

Kakinya berlari mengejar Rara yang sudah tidak terlihat, ia memegang erat tespack nya sambil memperhatikan sekitar. Hatinya khawatir, yang ia tau Rara tipe perempuan yang nekat.

Kelas, gak mungkin.

Halaman belakang,

Bagas segera melangkah kan kakinya ke halaman belakang, namun perempuan itu tidak ada juga. Lalu sekarang dimana, kalau pulang tidak mungkin. Gerbang sekolah terkucil.

Roftoop.

Satu tempat lagi yang jarang diketahui orang. Hal itu membuat Bagas segera berlari menaiki tangga ke lantai paling atas. Untungnya ini sedang jam belajar sehingga tidak ada murid lain yang melihatnya. Bagas mendorong pintu itu kasar lalu melakah ke depan. Angin cukup kencang terasa di atas sini, pandangannya menyusuri sekitar. Hingga suara tangisan di pojok dekat kursi membuatnya mendekat.

Benar, Rara berada disini. Dengan kondisi yang jauh dari kata rapih. Rambut acak acakan, mata sembab dan bibir pucat.

Bagas menyentuh pundak perempuan itu membuat sang empunya tersentak kaget. Rara membalikkan badannya menatap tajam Bagas, meski dengan mata memerah.
"Pukul perut Rara! Pukul biar dia mati! Pukul Bagas!"

Rara menarik tangan Bagas untuk menyentuh perutnya, bukan menyentuh lebih tepat memegangnya kasar. Merasa tak ada balasan apa apa, Rara kemudian mendorong Bagas ke belakang hingga cowok itu mundur beberapa langkah.

"Kenapa gak mau pukul? Biarin dia mati! Dia hadir malah jadi bencana!" ujar Rara mengusap air matanya kasar, lalu matanya menatap Bagas. "Mumpung dia masih kecil, dan gak ada yang tau soalnya. Lebih baik dia mati! Gak usah hadir di dunia!" ujarnya bersungguh sungguh.

"Istighfar, Ra" sela Bagas pelan.

Cowok itu menundukkan kepalanya, tidak tau apa yang harus dilakukan sekarang. Sementara Rara justru tertawa kecil, tawa yang di susul dengan air mata.

"Kalau kamu gak mau bantu, biar aku sendiri yang akan ngelakuin itu" ucap Rara meninggalkan Bagas, namun terhenti begitu merasakan tarikan di belakangnya.

"Aku emang gak pernah mau, tapi bukan berarti aku tega membunuh darah daging aku sendiri" ujar Bagas tegas meskipun suaranya tercekak di tenggorokan.

Rara menangis, entah apa yang akan terjadi ke depannya. Yang pasti sekarang rasanya ia ingin menangis sekencang kencangnya. Meluapkan semuanya sambil berteriak kencang.

"Aku akan tanggung jawab"

Rara membalikkan badannya lalu berdiri tegak. "Punya apa kamu akan tanggung jawab? Terus semuanya akan selesai begitu aja" perempuan itu tertawa miris. "Kamu cuma anak Smp, yang masih bergantung sama orang tua"

Sakit hati. Ya, Bagas merasa sakit mendengar perkataan itu. Namun ia tidak boleh membawanya ke dalam perasaan. Ada seseorang yang lebih sakit di banding dirinya.

"Aku bisa ke--"

"Kerja" potong Rara. "Keluarga aku kalau tau gak akan tinggal diam, terutama Papa. Sekali sentil, bisa hangus" ucapnya lalu mengelus perut ratanya.

"Jalan satu satunya tinggal gugurin janin ini"

"NGGAK!" bentak Bagas marah. Matanya mengkilat tajam menatap Rara.

Bagas membuang nafasnya sambil menutup mata. Emosi menguasainya mendengar kata laknat itu, dia masih punya hati.

"Dia gak punya dosa. Kamu masih punya hati kan, 'dia' anak kamu. Kalau mau marah, luapin ke aku. Tapi jangan ke 'dia', jangan bunuh 'dia'" ucap Bagas tenang agar Rara mengerti.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Bagas, cowok itu tidak melawan dan membiarkan Rara menamparnya berkali kali. Sampai hitungan tamparan ke lima, tangan Rara menggantung di depan pipinya. Mata perempuan itu menatapnya kosong. Ia merebut tespack dari tangan Bagas lalu berangsur mundur.

"Percuma. Keputusan aku gak berubah. So, say goodbye to your child. Daddy" putus Rara pergi.

Bagas terdiam melihat siluet tubuh Rara yang sudah menghilang di balik pintu, sekarang hanya dirinya yang berada disini. Bagas mengepalkan tangannya lalu membanting kursi di sampingnya kencang Ia meremas rambutnya kasar sambil menjatuhkan diri ke lantai.

Lalu apa sekarang, membiarkan Rara melakukan itu. Melenyapkan anak di kandungannya.

"Gue bukan orang jahat" gumannya berdiri dan berlari turun.

🍬🍬

Selepas pulang sekolah, Rara melangkahkan kakinya ke seberang gerbang. Untung tadi ia berangkat sendiri, sekarang tinggal nunggu taksi.

"Beli apa dek?"

"Em--" Rara mengitari matanya melihat macam macam buah ini, lalu matanya fokus ke mangga yang tampak segar.

"Mangga"

"Mangga mateng atau muda?"

"Eh-- beli nanas" Rara menggeleng sambil mengarahkan pandangan ke nanas nanas itu.

"Oh nanas, mau berapa kilo?" tanya sang penjual.

"Yang banyak" jawab Rara polos.

Penjual itu tertawa kecil. "Iya berapa kilo banyaknya? Sekilo, dua kilo, atau tiga kilo. Apa mau beli satu buah aja"

"Lima kilo" ucap Rara.

"Sama anggur" tambahnya pelan.

"Buat siapa dek? Mamahnya?" tanya penjualnya sambil memasukan nanas ke plastik.

Rara menggeleng pelan namun tidak menjawab. Setelah mengambil pesanan itu, ia menyerahkan uang seratus ribu dan pergi begitu saja. Penjual buah tersebut berteriak memanggil namanya namun dihiraukan.

Kakinya tetap melangkah ke halte, menunggu taksi yang lewat. Ada beberapa teman kelasnya yang juga menunggu disini, tapi matanya memperhatikan Wulan, Fina, dan Ajeng yang berada di dalam mobil sambil tertawa.

Wulan meliriknya, namun malah mengeluarkan tatapan datar.

Rara hanya bisa menunduk sambil menggenggam plastik berisi nanasnya. Sengaja ia beli banyak untuk mencoba melenyapkan bayi di dalam perutnya. Nanas yang dimakan banyak oleh perempuan yang tengah hamil muda bisa membuat keguguran, itu yang ia baca di internet.

Dari jauh, Bagas menatap Rara di balik gerbang sekolahnya. Ia hendak melangkah mendekati Rara jika Abdul tidak memanggil.

"Mau kemana kamu? Ayo pulang, udah siang nih" ujar Abdul di atas motor bebeknya.

"Bentar, Pak. Bagas mau nyamperin teman dulu" balas Bagas di balas gelengan Abdul.

Pria paru baya itu menarik tangan anaknya duduk di jok belakang. "Ibu kamu galak, bisa habis kita kalau pulang telat. Ayo cepetan"

"Ben--"

"Bagas!" tegas Abdul melotot.

Bagas mengacak rambutnya kasar dan ikut mendudukkan tubuhnya ke jok belakang, kedua matanya masih menatap Rara yang kini sedang masuk ke dalam taksi.

"T-tapi Pak itu ada an--"  Bagas menggigit bibir bawahnya pelan. "Itu ada anak Bagas Pak, anak Bagas"  lanjutnya dalam hati.

"Ada apa?" tanya Abdul.

Cowok itu menggeleng. "Bapak bau" ucapnya menutup hidung.

Di depan, Abdul melirik tajam anaknya lewat spion. "Ya udah siang gini pasti bau keringat. Emang kamu mau secapek apapun tetap wangi bunga" balasnya mencibir.

"Lavender Pak bukan bunga" sahut Bagas.

"Sama aja, lavender si bunga kuburan" ucap Abdul.

"Itu kamboja" ralat Bagas malas.

"Ah anak ini, nyaut aja omongan orang tua" kesal Abdul. Bukannya marah Bagas justru tertawa.

"Turun" titah Abdul menghentikan motornya di depan rumah sederhana.

Bagas menyalimi tangan bapaknya lalu masuk ke dalam rumah, teringat sesuatu. Ia membuka tasnya mencari jaket yang biasa dikenakan. Jaket itu masih berada di Rara.

"Udah pulang, Gas"

Surti tersenyum kecil melihat anaknya duduk di kursi. Wanita berdaster itu mencium pipi Bagas lalu duduk sambil menyalakan tv.

"Jangan dicium, Bu. Bagas udah gede" keluh Bagas risih.

"Alah sok sok an udah gede, makan aja masih di suapin" balas Surti.

Bagas menatap ibunya malas. "Cuma kalo lagi sakit doang, Bu"

"Ganti baju, sholat, terus makan" ucap Surti meliriknya sekilas.

"Nanti" Bagas meletakan tasnya di atas meja kemudian menidurkan kepalanya di paha Surti.

"Ibu.." panggilnya menyembunyikan wajah di perut ibunya.

"Kalau Bagas ngelakuin kesalahan, Ibu sama Bapak mau maafin gak?" tanyanya.

Surti nunduk sedikit. "Kesalahan apa? Kalo kesalahannya besar ya nggak ibu maafin"

Bagas terdiam sebentar hingga kembali bersuara. "Besar, besar banget" ucapnya pelan.

"Kalau kesalahan yang kamu lakuin masih di atas batas wajar, ibu pasti maafin. Kecuali kamu ngehamilin anak orang, ibu potong burung kamu" ujar Surti terkikik kecil.

Bagas terdiam kaku. Itu memang kesalahannya.

"Kalau iya?"

"IYA?" tanya Surti meninggikan suaranya. "Tapi anak Ibu gak mungkin seperti itu, kan. Kamu meskipun bandel tapi tau aturan" lanjutnya santai.

"Kamu punya pacar ya?" tudingnya.

"Nggak" Bagas menggeleng.

"Bebas sih kamu mau punya pacar atau nggak, toh kamu sudah limabelas tahun. Tapi pesan Ibu, cari pasangan yang sederajat sama kita. Jangan di atas kita, jangan yang orang kaya. Kamu bisa di injak injak. Pasangan yang lebih berada perempuan nya bikin laki laki anggap remeh. Dinina hina" jelas Surti sambil mengusap rambut Bagas dengan pandangan fokus ke tv.

Tapi udah terlanjur, bu. Jawab Bagas dalam hati.

"Sana mandi, sholat keburu waktunya habis" suruh Surti membuat Bagas berdiri.

"Bagas ke kamar dulu" pamitnya berjalan ke kamar.

🍬🍬

Sedangkan di rumah, Rara yang baru turun dari taksi menyerinyit heran melihat dua koper berada di ruang tamunya. Koper kedua orangtua nya.

"Papah sama Mamah mau kemana?" tanyanya.

Viona menghampiri anaknya lalu mencium kening Rara singkat. "Ke Singapura, Mamah mau nemenin Papah. Ada urusan bisnis disana" ucapnya.

Rara mengerjapkan matanya lirih. "Berapa lama?"

"Tiga hari doang" jawab Viona.

"Tiga hari kok bawa koper dua?" tanya Rara.

"Ouh, itu buat stok baju di rumah sana. Biar nanti kalau kesana lagi gak bawa koper" balas Viona tersenyum.

"Kamu sama Bi Ani ya disini, ada Pak Akbar juga kalau ada apa apa. Kalau bosan kamu main aja ke rumah Kakak kamu" tambahnya lalu melirik Aldi.

"Uang udah Papah transfer ke rekening kamu, tinggal pakai. Jangan di habisin" ujar Aldi sambil merapikan jas-nya.

Rara menggangguk kecil. "Iya, hati hati. Rara ke kamar dulu" ucapnya menyalimi tangan mereka dan berjalan ke tangga.

Aldi dan Viona saling lirik kemudian berjalan keluar, kopernya di angkat Pak Akbar, satpam disana.

Di kamar, Rara melihat mobil mewah yang membawa kedua orangtuanya melesat pergi. Kini hanya ia sendiri di rumah ini, meskipun ada art dan satpam. Sudah biasa, dirinya tidak lagi kaget dengan kebiasaan Aldi maupun Viona.

"Bukan kan ini lebih bagus, Rara bisa ngelakuin sesuka hati" gumannya tersenyum lebar.

Perempuan itu mengeluarkan plastik nanas dari tas-nya, tak sengaja jaket Bagas ikut jatuh membuat ia menatapnya sejenak lalu membuangnya asal.

"BIBI!!" teriaknya dari atas.

"AMBILIN PISAU BUAH KE KAMAR RARA!!" 

Setelah teriak, ia meletakan nanas nanas itu ke atas kasur dan ikut duduk bersilah di atasnya. Sambil menunggu Bi Ani datang, ia membuka handpone nya. Namun ucapan Bagas tadi teringat di otaknya.

"Dia anak kamu"

"Dia bukan anak Rara, dia anak Bagas" ucapnya menggeleng.

"Tapi dia ada di perut Rara" gumannya terdiam.

Tok tok tok!

"Non Rara ini Bibi"

Rara terkesip lalu melangkah ke pintu dan membukanya. "Mana pisaunya, bi"

"Nih" Bi Ani menyerahkan pisau di tangannya sambil membawa susu hangat.

"Susu nya Non, masih hangat"

"Buat motong apa pisau ini? Sini Bibi yang potongin" tanya Bi Ani melirik kamar majikannya.

Rara menggeleng seraya tersenyum manis. "Gak usah, makasih bi. Sekalian jangan ada yang masuk ke kamar Rara ya" balasnya.

"Makan dulu, itu Bibi udah masak opor ayam" ucap Bi Ani.

"Rara gak lapar" tolak Rara.

Bi Ani memandang majikannya lembut. "Muka Non pucet, nanti Tuan sama Nyonya marah kalau pulang anaknya sakit" ujarnya membuat Rara diam.

"Bodo amat"

Bi Ani terkekeh. "Tuan dan Nyonya sayang sama Non Rara, begitupun Den Keano. Jangan jadi anak bandel, Non"

Rara mencebikkan bibirnya kesal. "Papah sama Mamah yang bandel, Bi. Rara di tinggal mulu" decaknya memegang pintu.

"Semua orang tua sayang sama anaknya, gak ada orang tua benci sama anaknya sendiri" ucap Bi Ani.

"Meskipun anak itu karena kesalahan?" cicit Rara pelan.

"Iya" balas Bi Ani tersenyum. "Yaudah bibi ke dapur dulu, btw pegel kaki bibi jalan tangga. Susunya di habiskan ya Non" ujar Bi Ani berbalik meninggalkan Rara di depan kamar.

"Lewat lift, bi"

"Mabok bibi lewat itu"

Rara tersenyum kecil dan kembali masuk ke kamar, perempuan itu mengunci pintunya dan kembali duduk di kasur. Ia memotong nanas itu tiga buah lalu diletakkan di piring.

Satu suapan masuk ke mulutnya, tidak ada reaksi apa apa. Rara memegang perutnya dari balik seragam sekolah. Air matanya turun mengingat hal yang selama ini terjadi padanya, teman temannya yang menjauh. Dan keadaan tubuhnya yang sekarang.

Rara memungut jaket Bagas yang terjatuh di pojok, ia mencium aroma lavender dari jaket itu. Aroma ini menenangkan.

Kemudian Rara merebahkan tubuhnya ke kasur sambil memeluk jaket Bagas erat. Ia memejamkan mata dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Pilihannya dua, mengakhiri atau membiarkannya.

"Wangi" gumannya tenang.

"ARGHH!!" Rara melempar jam weker dan vas bunga di atas nakas. Jaket di tangannya ia lempar ke sembarang arah.

Rara menarik rambutnya kasar menyebabkan beberapa helainya rontok. Perempuan itu juga melepas serangannya kasar menyisahkan kaos dalem dan rok biru. Kedua tangannya mengepal kuat, keadaan kasurnya berantakan. Seprai dan bantal jatuh ke lantai, begitupun selimut.

"Hiks.. Tolong Rara.." isaknya menyembunyikan wajah ke lipatan lututnya.

Tok tok tok!

"Non Rara, ada apa Non? Ini bibi. Buka pintunya!"

Rara melirik pintu kemudian melangkah membukanya. Terlihat Bi Ani yang masih memakai celemek nya menatapnya khawatir. Ia memeluk tubuh wanita tua itu sambil memejamkan matanya erat.

Bi Ani menatap kamar berantakan Non-nya itu lalu melepaskan pelukannya. "Susu-nya belum di minum, ayo bibi bikinin lagi"

Rara menggeleng. "Rara gak suka, perut Rara eneg" balasnya pelan.

"Biasanya Non Rara mau mau aja"

"Rara mau kopi yang biasa Papah minum" ucap Rara mengerucutkan bibirnya.

Bi Ani mengerutkan keningnya. "Mana boleh, nanti perutnya sakit"

"Rara mau itu" kekeuh Rara.

"Yaudah, tunggu disini. Bibi buatin dulu, kamarnya nanti biar bibi yang beresin" balas Bi Ani tersenyum kecil.

Rara menggangguk semangat, kembali masuk ke kamar dan duduk di kasur. Pandangannya mengitari kamarnya sendiri, berantakan. Perempuan itu menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Disana bi Ani datang sembari membawa kopi di cangkir putih.

"Makasih, bi" ucapnya tersenyum dibalas anggukan bi Ani.

Bi Ani menggangguk lalu berjalan membereskan kamar ini, memungut barang barang yang jatuh ke lantai. Pecahan vas bunga dan jam weker ia pungut dan dimasukkan ke tempat sampah. Namun matanya menyerinyit melihat banyak buah Nanas disini. Matanya melirik Rara yang masih minum kopi.

"Ini jaket punya siapa, Non?"

Rara meliriknya sekilas. "Orang" balasnya singkat.

Wanita paru baya tersebut tersenyum kecil. "Jangan makan nanas terlalu banyak, Non. Gak baik" ucapnya.

"Gak baik buat apa?" tanya Rara sengaja.

"Sesuatu yang berlebihan itu gak baik" jawab Bi Ani.

"Buat orang hamil juga gak baik?" tanya Rara lagi.

"Kalau di makannya sedikit justru bagus. Asal gak boleh kebanyakan, bisa bikin keguguran" balas Bi Ani.

"Anggur?" tanya Rara

"Apalagi anggur. Jangan deh orang hamil makan itu, bahaya. Apalagi hamil muda" sahut Bi Ani kemudian terdiam. Tubuhnya berbalik menatap Rara yang juga menatapnya.

"Kenapa Non nanya nanya soal itu?"

Rara menggeleng pelan. "Gapapa"

Bi Ani menghampiri Rara sambil membawa tempat sampahnya. "Nanas nya bibi bawa turun ya, sisain satu aja. Udah mau sore, mending Non mandi terus makan" ujarnya membawa nanas tersebut keluar.

Selepas kepergian Bi Ani, Rara menatap cangkir yang sudah tandas di pegangannya. Lalu matanya melirik sepiring nanas yang tadi ia potong, rasa makannya hilang melihat nanas itu. Tadi ia baru makan satu potongan.

Perempuan itu berdiri dan berjalan ke arah balkon. Tanah di bawah terlihat sangat jauh, mengingat kamarnya berada di lantai tiga.

"Kalau Rara loncat dari sini, dia juga mati" ucapnya sendiri.

Kemudian Rara tertawa kencang. "Iya, Rara loncat!"

"Non, mau ngapain di pembatas itu" Bi Ani menghampiri majikannya khawatir.

"Mau loncat" balas Rara polos.

Bi Ani menggeleng. "Astagfirullah. Istighfar Non, ayo sini sama Bibi. Kita makan ya" bujuknya mengulurkan tangan ke depan.

Rara menggeleng kecil dengan kaki mundur perlahan. "Gak mau, Rara mau dia mati"

"Dia siapa? Ini lantai tiga, Non. Ayo sini"

Rara tersenyum tipis. "Anak Rara" ujarnya tanpa melunturkan senyumnya.

Bi Ani terdiam tidak mengerti. "Nanti bibi panggilin dokter kesini ya, Non Rara kayanya kecapean. Sekarang ayo sini, makan"

"Rara gak sakit" balanya menggeleng.

"Bi.." lirih Rara pelan, ia mengangkat wajahnya menatap bi Ani sendu.

"Rara hamil."

Bi Ani menjatuhkan gelas air di tangannya hingga pecah. Mata wanita paru baya itu melotot lirih.

"Bi.. Gimana caranya bunuh bayi yang masih di dalam kandungan?" tanya Rara.

"Bi.. Gim--"

Bruk!

"R-rara" lirih Bi Ani melihat tubuh limbung Rara jatuh pingsan di depannya.

Seakan tersadar, ia langsung menghampiri Rara yang sudah tidak sadarkan diri. Tangannya menepuk pipi lembut itu pelan, tidak ada pergerakan.

"Ya Allah.." Bi Ani mengusap air matanya lalu memegang perut majikannya, terasa keras. Meskipun masih rata.

"Bagaimana dengan Tuan dan Nyonya"

____BukanBatasSuci____

Mungkin untuk bagian ini akan update setiap hari. Gak tentu juga kalo gak ada acara lain.

Vote and Coment
Next part 👉



Continue Reading

You'll Also Like

680K 46K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
3.7M 294K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
4.3K 540 39
Perjodohan antar perusahaan membuat Jasmine menemukan seorang Pria bernama Jeffrey Jeffrey seorang lelaki dengan paras tampan membuat Jasmine Jatuh...
3.1M 258K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...