[iii] Connect | VERIVERY

By EkaFebi_Malfoy27

5.9K 1.7K 480

[COMPLETED] Buku Ketiga dari seri PHOTO «Scare that swallowed everything, I reach you and connect. We're alre... More

Cast
Prolog
¤01¤
¤02¤
¤03¤
¤04¤
¤05¤
¤07¤
¤08¤
¤09¤
¤10¤
¤11¤
¤12¤
¤13¤
¤14¤
¤15¤
¤16¤
¤17¤
¤18¤
¤19¤
¤20¤
¤21¤
¤22¤
¤23¤
¤24¤
¤25¤
¤26¤
¤27¤
¤28¤
¤29¤
¤30¤
¤31¤
¤32¤
¤33¤
¤34¤
¤35¤
Epilog

¤06¤

174 56 41
By EkaFebi_Malfoy27

Setelah makan malam tadi Kim Kangmin memilih untuk duduk diam di sofa ruang tengah. Televisi didepannya menyala, menampilkan kartun pororo kesukaannya. Namun anak itu justru melamun. Tidak biasanya Kangmin diam tetapi Yongseung dan Soora memilih untuk tidak menghiraukan.

Kapan lagi si anak aktif dan lincah itu diam seperti papanya?

Saat melewati ruang tengah sebelum naik ke lantai atas menuju kamar, Yongseung melirik sedikit ke arah Kangmin. Ia tersenyum simpul lalu dalam hati berkata, 'Itu baru anakku.'.

"Kak?" panggil Soora dari pucuk tangga. Wanita itu mengernyit heran lalu setelahnya berkata dengan nada setengah mengejek. "Terus selama ini kalau bukan anaknya kak Yongseung, Kangmin anaknya siapa?"

Yongseung membelalak. Dia mengibas-ngibaskan tangannya tanda tidak setuju. "Bukan gitu..."

"Aku tahu ya apa yang ada dipikiran kak Yongseung barusan." tuding Soora berpura-pura menghakimi Yongseung.

"Eh tapi, kok bisa tahu?"

"Efek main sama sahabat kakak kali dulu pas lawan sang iblis."

Setelah itu Soora menuruni tangga. Langkahnya itu semakin membuat Yongseung heran. Seharusnya mereka sekarang ke kamar, mengemasi beberapa pakaian dan barang yang mungkin dibutuhkan selama perjalanan mencari tempat tinggal baru keluarga Gyehyeon.

"Kok malah turun?" tanya Yongseung mengikuti langkah Soora.

"Mau ngecek Kangmin, kayaknya ada sesuatu yang lagi dia pikirin."

"Mungkin dia lagi mikirin tabel periodik unsur kimia." celetuk Yongseung yang disambut helaan nafas dari Soora.

Jujur saja kadang Soora muak ketika Yongseung mulai berkhotbah tentang nama-nama unsur kimia beserta nomor atom, massa, titik didih, titik leleh, dan sejenisnya. Apalagi jika ditambahi dengan celotehan seperti 'Mengapa manusia menghirup oksigen?', 'Kalau coba nggak minum seminggu gimana ya?', 'Harusnya aku menghitung dulu besaran vektor yang dihasilkan.', 'Eh tali jemurannya jangan langsung dipasang, dihitung dulu gaya pegasnya.', dan lain-lain.

Hal itu tidak jauh beda dengan Kangmin ketika Soora berusaha menidurkannya setelah membaca dongeng. Bukannya tidur Kangmin justru lebih sering bertanya, 'Ma fungsi bolongan di donat itu apa?', 'Ma kenapa ya manusia itu dimulai dari bayi? Kenapa nggak langsung gede aja kayak papa?', 'Ma, kok papa dinamai Yongseung ya sama nenek kakek?', 'Ma, hantu itu mahkluk halus ya? Tapi kok wajahnya nggak halus malah pada jelek-jelek dulu pas kita nyerang ke kastilnya sang iblis?', dan masih banyak lagi.

Soora berhenti sejenak di anak tangga lalu berbalik menghadap Yongseung. "Papa sama anak sama aja!"

"Lah, salah aku dimana hei?"



***



Kim Kangmin menghela nafasnya. Ia diapit oleh kedua orang tuanya sekarang dan mereka menatapnya penuh perhatian. Kangmin sebenarnya ingin segera mengatakan pada kedua orang tuanya tentang pertemuannya dengan seorang anak bernama Jo Gyera tadi. Namun sampai saat ini Kangmin masih bimbang harus memulai ceritanya darimana.

Mengulurkan tangan, Yongseung mengusap lembut punggung anaknya. Sejujurnya ia tidak tahu mengapa Kangmin jadi melamun seperti ini. Apakah harinya buruk di sekolah? Apa ia mengalami perundungan seperti para sahabatnya dahulu? Tapi buru-buru Yongseung menghilangkan pikiran itu karena ia tahu betul bagaimana teman-teman Kangmin mengajaknya bercanda tempo hari.

Berbeda dengan Yongseung, Soora berpikir dengan agak rasional. Mungkin penyebab Kangmin lebih banyak melamun sejak pulang sekolah tadi karena ia melakukan sesuatu yang tidak memenuhi ekspektasinya. Meski Kangmin masih duduk di Taman Kanak-Kanak ia selalu menargetkan sesuatu dalam mengerjakan suatu hal. Sama seperti Yongseung, jika Kangmin tidak tuntas dalam melakukan sesuatu ia pasti berubah jadi murung dan banyak melamun selama sehari penuh guna evaluasi diri.

Sudah Soora katakan bukan, bahwa Papa dan Anak sama saja!

"Tadi tugas dari Bu Guru nggak bisa Kangmin selesaikan dengan baik ya?" tanya Soora membuka pembicaraan.

Kangmin mengerucutkan bibirnya lalu menggeleng. "Tadi pelajarannya menyanyi terus Kangmin dapat pujian kok dari bu guru."

"Terus kenapa kok melamun terus hm?" kali ini Yongseung yang bertanya.

Kangmin menoleh menatap Yongseung dengan mata bulatnya. Ia melirik sejenak ke arah lain lalu kembali menatap Yongseung. Kangmin pun berkata. "Papa itu namanya Jo Gyehyeon kan?"

Dahi Yongseung terlipat mendengar pertanyaan anaknya yang tiba-tiba. Soora pun hanya bisa menggeleng bingung ketika Yongseung menatapnya.

"Kangmin kangen Papa-Papa yang lain ya?"

"Iya, tapi bukan itu masalahnya."

"Terus?"

"Tadi anak disekolah Kangmin, ngg... Kangmin nggak tahu dia di kelas mana. Pokoknya tiba-tiba aja datang gitu Pa, terus dia ngenalin diri. Dia bilang namanya Jo Gyera."

Yongseung dan Soora sama-sama membuka mulut dan berkata. "Aaaaaaaa, gitu."

Lalu Soora melanjutkan. "Namanya mirip, begitu maksudmu?"

Kangmin menepuk jidatnya. Ekspresinya nampak kesal namun hal itu justru ditanggapi dengan kekehan dari kedua orang tuanya. Kangmin terlihat lucu tapi sepertinya sang anak berpikir hal lain.

"Terus apa kalau bukan itu?" tanya Yongseung masih terkekeh.

Kangmin merotasikan matanya. Jika saja dua orang dewasa di samping kanan-kirinya bukanlah kedua orang tuanya, mungkin ia akan berkata, 'Lo jangan ketawa nggak ada yang lucu ya!' sesuai ajaran papa Yeonho.

Setelah menghela nafas guna mempertahankan kesabarannya, akhirnya Kangmin menjawab. "Jo Gyera bilang kalau Jo Gyehyeon itu pamannya."

"HAH?!!"

Kangmin sontak menutup kedua daun telinganya.



***



Desiran angin menyapu lembut rambut Yongseung membuat poninya menyibak. Matanya menyipit karena sinar mentari yang berusaha masuk ke dalam retinanya. Yongseung mendongak, langit di atasnya berwarna biru cerah dan tidak ada awan sama sekali seolah langit dalam suasana hati yang baik hari ini.

Kakek Hong membawanya ke atap sekolah.

Sudah beberapa kali Yongseung dibawa berpindah-pindah tempat oleh kakek Hong untuk melihat memori masa lalu para sahabatnya, sehingga Yongseung memilih tidak bertanya tentang alasan mengapa kakek Hong membawanya kemari. Tanpa bertanya pun Yongseung tahu bahwa setiap kakek Hong membawanya berpindah tempat, tempat itu pasti berkaitan dengan peristiwa penting para sahabatnya di masa lalu.

Setelah beberapa saat menunggu akhirnya pintu atap mengeluarkan suara. Yongseung dan kakek Hong otomatis menoleh. Di depan sana mereka melihat dua remaja laki-laki sedang berjalan gontai menuju pinggiran atap. Mereka berdiri dengan meletakkan lengan di pembatas atap seraya menatap kosong gedung-gedung pencakar langit di depan mereka.

Hoyoung menggulirkan matanya ke atas menatap langit cerah yang justru seolah mengejeknya. Seragamnya kotor dan terdapat banyak bekas sepatu. Tentu saja dengan hanya melihat sekilas seragam Hoyoung, orang-orang pasti tahu bahwa ia baru saja diinjak-injak. Diinjak dalam artian verbal. Kedua punggung tangannya yang ia letakkan di pembatas atap pun berwarna kebiruan menunjukkan tanda-tanda kekerasan yang kentara.

Sedangkan disampingnya, Dongheon, menghela nafas berat. Rambutnya kusut, pipi kanannya membiru, dan darah kering masih nampak di hidung serta sudut bibirnya. Kondisinya tak jauh berbeda dengan sang sahabat. Mereka berdua sama-sama mengalami perundungan secara fisik maupun mental.

"Gue capek," lirih Hoyoung masih setia menatap langit. Sudut matanya mulai mengeluarkan air mata dan itu membuat sang sahabat yang berdiri disampingnya ikut merasakan hal yang sama.

"Tapi kita nggak boleh nyerah. Empat bulan lagi kita lulus, setelah itu kita bisa mulai buka lembaran baru dan lupain neraka ini."

Tangis Hoyoung pecah. Ia menyembunyikan isakannya dengan menenggelamkan wajahnya di kedua lengannya.

"Katanya lo mau jadi dokter? Ayo dong semangat!" hibur Dongheon meski tak dipungkiri bahwa nada suaranya pun bergetar saat mengucapkan itu.

Sebenarnya Dongheon sendiri tidak yakin.

Ia tidak tahu apakah ia masih bisa bertahan sampai akhir bersama Hoyoung. Semuanya terlihat abu. Bertahan sampai sejauh ini saja sudah sangat menyakitkan. Setiap hari yang mereka lalui terasa seperti siksaan yang tak akan pernah berhenti sampai mereka lelah dan pada akhirnya menutup mata menuju alam mimpi.

Empat bulan lagi itu bukan waktu yang singkat.

Hoyoung mengeluarkan wajahnya yang sembab. "Nggak ada gunanya lagi gue bertahan. Lo pikir dengan semua prestasi yang berhasil gue kumpulin sejauh ini bisa ngalahin uang-uang mereka saat masuk universitas?"

Dongheon tidak menjawab. Permasalahan uang memang sensitif. Mereka berdua bukan berasal dari keluarga berada dan mustahil bagi mereka untuk melawan tanpa memiliki uang.

"Tap--tapi, kita harus mencoba kan?" hibur Dongheon lagi.

"Lo sebenarnya benar-benar nggak tahu atau cuma pura-pura nggak tahu sih? Hasil akhirnya aja pasti udah kelihatan. Hampir tiga tahun penuh kita diginiin dan lo gak mungkin buta tentang hal ini kan?"

"Hoyoung--"

"Oke, di sekolah ini guru-guru kita memang benar-benar bersikap adil. Tapi di universitas nanti, nggak menjamin kalau tenaga pendidiknya akan sama seperti guru-guru kita di sini. Kalau pun kita nggak satu universitas sama anak-anak yang nyerang kita, hal itu nggak nutup kemungkinan kalau mereka tetap berusaha balas dendam buat menghancurkan hidup kita karena di SMA mereka gak bisa leluasa ngelakuin hal itu."

Dongheon menghela nafasnya. Tidak biasanya Hoyoung bersikap putus asa seperti ini. Lalu mengapa hari ini sikap Hoyoung seolah menunjukkan bahwa ia ingin menyerah? Namun Dongheon tetap berusaha berpikiran positif. Ia mempercayai Hoyoung dan ia yakin sahabatnya itu tidak akan mengambil keputusan yang hanya mengandalkan emosi sesaat.

"Terus lo maunya gimana?" tanya Dongheon berusaha mengikuti alur yang di buat Hoyoung.

Lalu jawaban Hoyoung selanjutnya membuat nafas Dongheon seolah tertahan ditenggorokannya.

"Gue mau bunuh diri."

"Gila lo?!" bentak Dongheon menarik kerah kemeja Hoyoung.

"Nggak ada gunanya kita di sini! Sekalinya sampah ya tetap sampah!"

BUGH!!!

Dongheon meninju wajah Hoyoung membuat sahabatnya jatuh terjerembab. Dongheon tahu pukulannya itu menyakitkan tapi hanya ini cara satu-satunya yang muncul diotaknya untuk segera menyadarkan Hoyoung.

"Gue yang akan bunuh lo kalau sekali lagi lo ngomong gitu di depan gue!" ujar Dongheon dengan matanya yang memerah karena menahan semua emosi yang bercampur-aduk di benaknya.

Yongseung menahan nafasnya melihat perkelahian Dongheon dan Hoyoung di masa lalu. Kedua sahabatnya saat itu pasti mengalami peperangan batin yang sangat hebat sehingga Yongseung tidak menyalahkan Dongheon yang memukul Hoyoung, maupun Hoyoung yang putus asa dan berkeinginan untuk bunuh diri.

Mengingat ucapan kakek Hong, Yongseung menoleh. "Apa mereka akan bunuh diri di sini?"

"Tidak, mereka belum bertemu denganku, Nak."

Ah, benar juga, Yongseung lupa kalau mereka semua terhubung. "Lalu...?"

"Setelah ini aku akan membawamu di hari mereka bertemu denganku." jawab kakek Hong menatap Yongseung sedih. "Tak lama setelah itu kamu akan melihat adegan berdarah yang selanjutnya."

"Aku mual, apa boleh aku muntah di sini?" tanya Yongseung seraya memegang perutnya.




































Tbc
050421

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 994 16
Kesembilan remaja yang berniat mencoba memainkan sebuah game misterius justru malah terjebak dan di permainan oleh game tersebut, jalan keluar yang t...
194K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
1M 84.6K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
6.6K 1.8K 31
[COMPLETED] Buku Kedua dari seri PHOTO Go Beyond The Barrier. «The devil is back, it's time to pull the trigger back.» Sang iblis kembali. Semuanya...