Tell No Tales | Completed

Yourwhitedaisy által

308K 34.5K 3.2K

[Started on January 20, 2021, and ended on April 11, 2021 ] Into book assisted by Haebara Publisher, 2022. [... Több

Notify!
Proem
- Enchanté -
A 'Once Upon A Time'
Rumpelstiltskin
[ Inaugural Meeting ]
Kinsfolk
The Snow Queen
[ Castle's Monarch ]
[ Romeo ]
Ballpark Figure
Romanicus
Fallacy
White Hat
Obliviate
[ The Lion and The Mouse ]
[ Candle Flames ]
Perspicacious
Days Of Yore
[ Prom-ily ]
Roundabout
Lunch Banquet
Cloak and Dagger
A Shared Zone
Gaiety
Chronicled
Mistargeted
Splendid
Enchanted
Rat-A-Tat
Minibreak
[ Blue & Grey ]
[ Bereavement ]
Overabundance
Red-Handed
Eavesdrop
Convergence
In A Nutshell
Interlude
Bury The Hatchet
Turn Over A New Leaf
Cap Off
From The Knight Side
Fairy Godmother's Magic Dust
Additional Page: In The Family Way
In one's blood
Off The Records

Voyage

4.7K 697 82
Yourwhitedaisy által

[ To be read when you have leisure time ]



"And then imagine you are going about twice as fast as the fastest racehorse. But this is the amount that doesn't need to be guided and never grows tired." — C.S. Lewis


Jakarta, Februari 2019

"Ghava udah cerita juga sama lo?" Suara Gania di speaker ponsel yang aku letakkan di atas wireless charger pad hitam yang Minggu lalu dibelikan oleh Ghava sebagai hadiah ulang tahunku berhubung aku tidak mungkin memintanya membayar kursi pijat yang akhirnya kami beli di Senayan City, dan dia memaksaku memilih hadiahku yang pada akhirnya jatuh kepada barang yang belum aku miliki ini.

Tanganku sedang sibuk meratakan sunblock pada wajahku sebelum menggunakan foundation yang tutup tube berwarna emasnya sudah aku buka sejak tadi karena aku sempat lupa melapisi kulit wajahku dengan sunblock terlebih dahulu. "Iya, beneran udah putus sama si Moona dia," jawabku mengingat saat di perjalanan kami tempo hari sempat berbincang dan Ghava memilih untuk mengangkat topik itu.

"He must be guilty with you." Sebenarnya aku sudah mengabaikan hal itu—tapi ya, Ghava memang sepertinya merasa bersalah karena sikapnya yang tak elok saat pergi begitu saja untuk mengejar Moona. Jelas Moona kesal melihat Ghava pergi denganku malam itu, tapi untuk apa? Toh mereka sudah berpisah. Aku pun tidak akan lagi merasa kesal jikalau harus melihat Vano bersama dengan wanita lain ketika kami sudah tidak memiliki hubungan asmara yang bisa memberikan salah satu dari kami hak untuk kesal atau marah.

Aku berdeham untuk menyetujui ucapan Gania. "He said that he shouldn't have to give chase to Moona that night, dan ninggalin gue makan sendirian." Ya walaupun pada akhirnya aku tidak memakan makanan itu sendirian, thanks to Re yang muncul malam itu. "Moona juga nggak mau balik sama Ghava lagi," lanjutku.

"Karena dia tahu Ghava pasti bakal masih berhubungan sama lo, itu cewek cemburuan banget deh. Kind of annoying emang, lebay," omel Gania berapi-api. Belum saja dia melihat Moona secara langsung, bisa benar-benar terjadi perang tarik rambut jika itu terjadi, karena Moona tidak pernah tertarik menatap wajahku lama-lama saat kami bertemu, sebegitu menyebalkannya kah aku di matanya? Ckck.

"Ya, kalau emang pada akhirnya gue dan lo harus jauh-jauh dari Ghava nantinya karena dia pasti akan menikah dan who knows he would has a lion wife macam Moona yang nggak suka suaminya temenan sama cewek-cewek—"

Kalimatku terpotong oleh ucapan Gania. "Gorgeous kayak kita, ya jelas istri mana yang bakal tenang."

Aku berdecak mendengar wanita itu berkata dengan percaya dirinya. "Lo aja yang gorgeous, gue nggak se-gorgeous lo dan bagi gue, gue juga nggak punya potensi buat dicemburuin sama istri teman gue sendiri. Since gue nggak pernah minta apa-apa sama Ghava ataupun bersikap manja yang harus dia-dia terus, seharusnya mereka tetap merasa aman," tukasku.

"Malah dari pada gue, emang lo yang paling punya potensi buat dicemburuin, Gemima. Lo nggak lupa kan dari dulu tuh anak selalu over ke lo, his guarding act was like if I was only fenced off, you were chained, padlocked by him."

Meskipun itu terdengar berlebihan tapi dalam hatiku aku juga bisa merasakan kalau lelaki itu sedikit menambah level penjagaannya kepadaku entah dengan alasan apa. Sementara itu tidak menggangguku karena Ghava masih pada tahap tidak mengganggu sama sekali seperti contohnya dulu sekali dia menghajar kekasih pertamaku, aku rasa semakin dewasa dia semakin paham dan mengerti, dan aku bisa meletakkan rasa percayaku kepada lelaki itu.

"Tapi kan gue sama Ghava nggak ada ketertarikan secara emosional, kita cuma pure saling menjaga as a good friends." Elakku dengan yakin.

"Mana tau? Ghava nggak pernah bilang, atau lo yang nggak pernah jujur sama diri lo sendiri?"

Haruskan wanita itu memancing hal yang memang tak ada? Ish.

"Don't do a twaddle, gue sih nggak," tekanku sembari menuang sedikit foundation ke punggung tangan kiriku untuk diratakan pada wajahku setelah tabir suryanya sudah benar-benar meresap.

"Okay, anggap lo nggak, tapi Ghava? Lo nggak pernah tanya, dia juga bisa aja nggak pernah ngomong. Buat naksir sama lo untuk sekelas Ghava itu hal gampang sih, Gem." Jujur, baik aku, Gania atau Ghava tidak pernah membahas hal seperti ini bahkan sejak puluhan tahun lalu, we really live up this friendship without remuneration, and I think also without the distraction of some kind of amorous emotional feeling.

"Ya masa lo nggak kenal Ghava udah pulahan tahun temenan? How does he behave when he is attracted to a woman? Sebenarnya perlakuan dia ke gue sama ke lo sama aja, sih. That was his attitude when he cared about us."Tanganku mulai meratakan bintik-bintik foundation yang aku tempel sedikit demi sedikit pada seluruh wajahku dengan brush yang sudah kucuci sedari pagi tadi.

"Nanti kapan-kapan gue interogasi Ghava, gue mau tahu aja reaksinya kayak apa kalau pertanyaan kayak tadi gue lempar ke dia, since lo udah pasti netral dan datar-datar aja, okay gue percaya sama lo." Ya memang harus percaya, dia pikir aku hanya membual?

"Monggoh, Ndoro Ayu..." ucapku dengan halus menggunakan bahasa Jawa.

"Hari ini lo ada rencana ketemu Ghava?"

"Nope, hari ini gue mau long ride therapy ke BSD, mau cari sate Maranggi yang dulu banget pernah kita makan itu," ucapku yang kini sibuk mencari-cari tube mascara dan eyeliner di dalam pounch make-up.

Semalam aku izin kembali ke apartemen setelah menginap satu malam di rumah Nana dan berencana pergi di hari ini, menunggu kerusuhan Kala mendatangiku namun sampai pagi ini wanita itu tak terdengar kabarnya, aku pikir sepertinya dia sedang sibuk dengan beberapa urusannya sampai lupa untuk merusuhi apartemenku di hari Minggu ini, jadilah setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk berkendara sendirian dan mencari makanan enak yang letaknya sedikit jauh. Ghava juga tak mengabariku apa-apa, bahkan untuk mengajakku bertemu atau mampir ke restonya pun tidak.

Balasan Gania berupa decakan di seberang sana. "Ck, kurang jauh lah. Ke Malang sana yang jauhan," sindir Gania pedas. Semenjak aku bisa menyetir mobil dengan bantuan kedua temanku tentu saja yang sudah lebih dulu mahir mengendarai kendaraan roda empat itu, kami bertiga sering kali berpergian dengan track yang jauh dan bergantian menyetir. Kami bertiga pernah sampai ke Jogja sebelum Gania benar-benar pindah ke Singapore sana, bagi kami menyetir dengan track panjang sedikit bisa menenangkan jiwa meskipun raganya jelas sudah pasti lelah.

"Sinting! Bisa patah kaki gue," keluhku mengingat mobilku dikendalikan secara manual.

"Harusnya minggu ini lo ke Singapore aja, kan udah lowong kan kerjaan lo? Nggak kangen apa lo sama nyokap lo? Sama gue?"

Memang seharusnya bisa saja aku terbang ke Singapore Sabtu pagi kemarin dan kembali ke Jakarta di Minggu sore atau besok pagi, hanya saja kalau aku pergi ke sana dan tak membawa serta Nana atau Ajeng, Mama pasti merasa sedih, jadi lebih baik nanti aku cari waktu lowong lainnya sembari membujuk Nana untuk bisa ikut aku ke Singapore.

"Nanti dicari lagi waktu kosongnya, eh gue tutup dulu ya, Ni? Mau cari mascara gue nih, jatuh di mana kali," aku sedari tadi sibuk mengobark-abrik pounch make-up, laci-laci di meja rias, bahkan di atas meja riasku, namun entah kemana perginya mascaraku.

Kami mengakhiri line panggilan kami dan aku berlari ke arah kamar mandi, untuk mengecek meja wastafel dan laci di bawahnya, belum juga ketemu, aku lari ke arah ruang TV, dapur dan memang tak ada di sudut mana pun. Seharusnya aku memang meletakkannya di dalam pounch namun entah bagaimana caranya mendadak itu hilang secara ajaib. Memilih menyerah dan pergi tanpa mascara, namun sudah terlanjur membuat garis sempurna pada kelopak mataku, aku memilih memulas lip tattoo berwarna natural red pada bibirku dan sentuhan terakhir adalah merapikan rambutku yang aku jepit dengan barettes pita berwarna hitam.

"Not bad, lah," desahku melihat hasil touch up-ku hari ini.

Memilih clutch Marhen J putih yang sudah tergeletak di atas kasurku untuk aku isi dengan segala peralatan yang akan aku bawa untuk berkelana hari ini, dan memastika seisi apartemenku aman ketika aku tinggali nanti. Membuka pintu dan melangkah keluar sebelum menguncinya, aku bisa melihat sesosok pria yang sedang berdiri menunggu di depan pintu lift saat menuju lift.

"Re!" Panggilku sedikit mengencangkan suara sampai lelaki itu menoleh dan mendapatiku berjalan ke arahnya. "Mau ke mana? Atau dari mana?" tanyaku setelah menyadari kalau lelaki ini terlihat rapi sekali, kemeja panjang putih dan celana bahan hitam tak lupa sepatu pantofel hitam yang mengkilap terpasang sebagai alas kakinya.

"Hai! Tadi mampirin Yaya, ternyata orangnya lagi nggak di tempat. Salah saya nggak telepon dulu, niat mau minta sarapan," cengirannya mengembang. Lelaki itu menjawab sembari menatap penampilanku dengan pandangan sopan. "Kamu mau ke mana?

Sebelum aku menjawab pertanyaannya, pintu lift terbuka dan aku memilih untuk memasuki kotak besi itu terlebih dahulu, diikuti oleh Re yang seketika wangi parfume-nya mengalahkan wangi parfume-ku di dalam kotak besi ini. "Lagi mau jalan aja, ke BSD cari sate Maranggi," jawabku dengan apa adanya. "Anyway, kamu rapi banget pagi-pagi. Have a meeting schedule?" Meeting di hari Minggu? Segenting itu, kah?

"Tadi dari krematorium, Ayahnya teman saya meninggal kemarin dan hari ini prosesi kremasinya," jawab Re dengan tenang.

Sebentar aku terdiam dan kembali membuka mulutku untuk bergumam kecil. "It must be hard for those who were left behind."

Dari ekor mataku, aku bisa melihat pergerakan kepala Re yang menoleh secara perlahan sampai akhirnya penuh menatapku, tak berbicara atau membalas gumamanku barusan, dia hanya menatapku sampai aku menyadari kalau tatapannya terlalu lama. Dan dengan ragu-ragu aku tolehkan kepala ke arahnya juga yang ternyata kudapati menatapku dengan tatapan sendu, kenapa dengan tatapannya itu? Kedua alisku terangkat untuk mewakilkan pertanyaanku kepadanya kenapa dia menatapku seperti itu.

"Kamu bilang tadi mau makan sate Maranggi? Saya tahu tempat terbaik buat menikmati sate Maranggi. Lemme drive you?" Topiknya seketika berubah menjadi yang lain, tawarannya untuk mengatarku ke tempat makan sate Maranggi terbaik versinya. Haruskah aku menyetujui untuk ikut dengannya?

Sembari berpikir dengan gerakan lift yang semakin mendekati lantai basement sampai pintu lift akhirnya berdenting dan aku belum memberikan lelaki itu jawaban, kaki Re melangkah lebih dulu dariku dan dengan refleks aku justru mengikuti langkahnya menuju sebuah mobil SUV Peugeot 5008 berwarna putih yang terparkir tak jauh dari pintu masuk basement.

"Ikut?" tanyanya setelah menekan tombol lock mobilnya.

Oh! Sedari tadi aku mengikuti langkahnya secara tak sadar, duh. "Emang di mana, sih?" tanyaku yang belum benar-benar deal dengan tawarannya tadi dan terkesan ragu-ragu. Lalu kenapa kakiku ikut melangkah mengikutinya?

"You'll know soon," tangannya menarik handle pintu mobil penumpang untukku. Apa ini termasuk kategori cara menghipnotis orang? Aku sedari keluar lift sepertinya terhipnotis dengan mengikuti langkahnya sampai dia membukakan pintu untukku rasanya tubuhku tak menolak untuk bergerak masuk ke dalam mobil dan duduk di kursinya. Apa yang membuat aku seperti terhipnotis begini oleh Re? Wangi parfume-nya, kah?

"Kamu pakai parfume apa sih, Re?" tanyaku tiba-tiba setelah lelaki itu sudah menduduki kursi pengemudi dan menoleh sebentar sebelum mengeluarkan ponsel dan dompetnya dari kantung celana bahan hitamnya untuk diletakkan di atas dashboard dekat dengan klikoto yang sama dengan yang ada di mobil Dodge hitamnya.

Keningnya berkerut bingung mendengar pertanyaanku, hidungnya didekatkan dengan kemeja dibagian dadanya. "L'homme YSL, why? Smell too sweet, ya?"

Aku menggelengkan kepala. "Oh," berarti bukan dari parfume-nya yang menghipnotisku.

Tatapan mataku terarah ke depan setelah aku dan Re sama-sama memasang sabuk pengaman sebelum lelaki itu memutar setir meninggalkan basement apartemen.

"Mampir sebentar ke rumah saya, ya. Saya butuh ganti baju dulu," ucapnya santai, meminta persetujuan atau memang itu pernyataan pasti tanpa persetujuanku?

Aku menoleh dengan cepat mendengar kata rumah. Ke rumahnya? Ke rumah Tante Aruna dan Om Hasta maksudnya? "Ke rumah kamu?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

Kepalanya sebentar ikut menoleh ke arahku. "Iya, kamu tenang aja. Ada Bi Roma, Pak Jajang sama Ice Cream di rumah saya, jadi kita nggak akan berduaan di sana kalau-kalau kamu khawatir," penjelasannya benar-benar menjelaskan kalau pradugaku melenceng jauh, kenapa aku tak berpikir ketika Re menyebutkan rumah maka maksudnya adalah rumahnya sendiri? Dia kan sudah dewasa, sudah layak untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya. Look at yourself, Gemima!

"Not that way, I thought what you meant before was your parents house," cicitku sambil menggigit-gigit kecil bibir bagian dalamku. Lagipula bukannya aku khawatir akan berduaan dengan Re di rumahnya, toh aku yakin Re tidak mungkin berbuat yang macam-macam denganku, kita sudah beberapa kali berada di satu ruang yang sama, hanya berdua dan jelas tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Aku percaya dengannya, sebagai relasi bisnisku, sebagai kenalan Pak Angga, sebagai teman baruku.

Lelaki itu terkikik mendengarku. "I've lived apart from them for a long time, but I have to spare a few days to at least visit them as often as possible. Not waiting for my free time, but I have to make free time for them, my family." Mendengar kalimatnya itu aku jadi ingat betapa Pak Wirja menyanjung Re sebagai anak baik karena lelaki ini satu-satunya cucu yang tak pernah menolak untuk pertemuan keluarga, aku paham sekarang kalau Re memang sepeduli itu dengan keluarganya. "Just like you, to your Grandma," senyumannya mengembang ketika menoleh ke arahku lagi dan menatap tepat pada kedua mataku.

Kepalaku manggut-manggut untuk menyetujuinya. Aku membuat waktuku untuk Nana di setiap akhir minggu sesering mungkin dengan waktu yang sesingkat apapun karena aku sadar kalau aku hanya memiliki wanita itu as iologicaly bonded with me. "I only have her as my parents in Jakarta. Mama saya tinggal di Singapore, beliau juga anak tunggal yang secara otomatis saya juga nggak punya sepupu dekat. Yah intinya, I don't have enough apathy to ignore my one and only Grandma."

"Terkadang kita sering berpikir mereka yang butuh ditemani terlebih usia mereka sudah termakan waktu dengan semakin dewasanya kita, tapi padahal sebenar-benarnya kita lah yang paling membutuhkan mereka untuk tetap sehat, untuk tetap hidup dengan baik, setidaknya memastikan mereka masih bernapas besok itu cukup menenangkan," I feel exactly the way he is, mungkin beberapa manusia di bumi ini tidak memiliki hubungan yang bagus dengan keluarga mereka, kembali ke personal mereka masing-masing yang pada dasarnya hanya manusia biasa, bisa ada yang mengecewakan dan dikecewakan. Namun karena aku dan kedua orang tuaku tahu persis rasanya menjadi satu orang, hanya satu, tunggal, mengajarkan kami untuk bisa lebih dekat dengan yang kami miliki. Berhubung ikatanku bagus dengan kedua orang tuaku pun hubunganku dengan orang tua mereka, aku memilih jalan terbaik untuk tetap dan terus mengasihi. Sebawel apapun Nana, sejauh apapun Mama dariku, rasa kasihku untuk mereka tak pernah sedikitpun surut.

Pembicaraan mengenai keluarga bersama Re membangun rasa sentimentil dalam diriku yang sudah lama sekali tidak muncul. Re dan aku punya pengalaman yang jauh berbeda, kalau sejak dikandungan aku sendirian, Re sudah berdua bersama Yaya di dalam perut Sang Mama, jika aku dulu bisa bebas kesana-kemari, berteman dengan siapapun tanpa khawatir dan takut, Re dan Yaya justru sebaliknya, mereka lebih banyak bersembunyi—entah bagaimana caranya, kalau keluargaku dulu sangat butuh pertolongan dari orang lain, keluarga Re justru mengulurkan tangannya dengan setulus hati. Yang kami sama-sama jalani tidak bisa dikatakan begitu sulit ataupun mudah, itu hanya sesuatu yang sudah ditakdirkan pada garis kami sejak lahir dan mau tak mau harus kami jalani, terlepas dari pandangan orang-orang mengenai apa yang mereka lihat, hanya mereka lihat dengan kedua mata mereka.

Perjalanan kami tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di sebuah komplek di daerah Kemang sampai mobil Re berhenti tepat di sebuah pintu pagar kayu panel berwarna coklat tua dengan tembok batu alam paras jogja berwarna putih. "Sebentar, ya," lelaki itu melepas seatbelt-nya dan turun keluar dari dalam mobil untuk mendorong pagar kayu itu. Bukannya tadi dia bilang ada orang di dalam rumahnya? Kenapa tidak tekan klakson saja?

Aku bisa melihat seorang laki-laki berlari-lari kecil dari arah samping ketika pagar sudah terbuka dan mereka sedikit berbincang sampai Re kembali ke dalam mobil dan melajukan mobilnya untuk masuk ke dalam carport. Okay, dari sini aku bisa melihat rumah Re yang berbentuk kotak dan memanjang ke samping, dari carport yang tak ditutup atap atau kanopi ini aku bisa melihat ada garasi yang memuat dua mobil di depanku, pintu garasi ini terbuat dari kaca yang bisa dilipat dengan lapisan film yang terlihat gelap, tembok rumah berwarna putih gading dan aku bisa melihat kalau rumah ini memiliki dua lantai namun tak terlihat begitu tinggi, hampir di setiap sisi dindingnya terdapat kaca yang bisa aku lihat tertutup tirai tirai putih dari dalam. Re mengajakku untuk turun, dan ketika aku sudah menapaki kakiku di lantai carport berbahan batu andesit ini, di sisi kiri aku menemukan jalan-jalan setapak dengan granit-granit putih dan sekelilingnya dikelilingi rumput-rumput hijau yang warnanya benar-benar hijau.

Aku masih berdiri di samping pintu mobil sambil mengagumi pemandangan yang tersuguhkan di depanku. Aku tahu di perumahan ini rumah-rumah pemiliknya tak bisa dikatakan kecil, hanya saja milik Re lebih terkesan berbeda dengan rumah-rumah megah milik tetangganya. Mataku terarah semakin jauh ke sisi kanan rumah yang ternyata memiliki pagar geser lainnya yang menyambungkan sebuah bangunan 3 x 4 meter dengan tipe bangunan yang jelas sangat berbeda dari bangunan rumah ini, kalau rumah Re tidak menggunakan genteng sebagai atapnya, bangunan itu menggunakan genteng berwarna abu-abu dan ada panel kubah berlafadz Allah di atasnya.

"Wow," gumamku takjub setelah Re ada di dekatku. "Kamu punya Musala sendiri?" tanyaku mengabaikan pujian untuk estetika rumahnya dan lebih takjub dengan bangunan di depanku sejauh empat sampai lima meter dari tempatku berdiri di atas lantai carport. Mungkin beberapa rumah yang memiliki space lebih di dalam, memiliki tempat ibadah mereka masing-masing, seperti di rumah Nana. Namun ini jelas berbeda, ini benar-benar definisi tempat ibadah—bukan hanya sekedar ruangan yang bisa kau gunakan untuk beribadah, tapi berdiri berbentuk sebuah bangunan.

"Punya siapapun yang mau salat di situ, makanya pagar itu selalu dibuka di waktu-waktu salat biar kalau ada yang lewat dan butuh mampir buat ibadah bisa pakai Musalanya, soalnya Masjid di komplek ini agak jauh di blok satunya lagi," ucapnya sembari mulai melangkah di atas jalan setapak granit-granit putih yang mengarahkan ke arah pintu rumah.

"Jadi siapapun bisa masuk area rumah kamu, dong? Like literally everyone? A random person whereever they are?" tanyaku bingung. Area rumah ini memanjang ke samping, entah bagaimana ke belakangnya karena aku belum lihat. Bangunan Musala itu juga memiliki jalan setapak yang dibuat dengan papan-papan kayu coklat dari area samping rumah. Kalau dilihat dari aku berdiri di tengah halaman rumah Re ini memang tak ada pembatas antara bangunan Musala dan bangunan rumah, hanya diberi sedikit jarak sekitar satu sampai dua meter dari sisi samping kanannya yang masih terlihat ada space sisa halaman sepanjang dua meter—lagi-lagi entah berapa panjang ke belakangnya.

"Itu, Pak Jajang yang akan jaga. Beliau lebih sering stay di Musala, sambil jaga. Berhubung pintu pagar yang sering kebuka yang sebelah kanan, yang kiri ini biasanya dikunci kalau saya udah keluar atau sampai di rumah." Jelas Re tanpa menoleh dan terus melangkah menuju pintu. Aku yang sempat berhenti bergegas berlari kecil untuk menyamai langkahnya sampai di teras rumah dengan batas jejeran bonsai cemara yang tingginya sekitar satu meter cukup untuk menutupi sedikit teras dan pintu rumah dari sisi kanan dengan paving block batu granit putih dibuat mengotaki jejeran pohon-pohon tersebut. Di halaman luas Re ini tidak ada pohon satu pun kecuali jejeran bonsai-bonsai ini, hanya hamparan rumput hijau yang terlihat terawat dengan tingginya yang sejajar dan warna hijaunya yang segar.

"Ini rumah sebelumnya kamu ratain, ya?" tanyaku iseng. Karena dari bentuknya saja rumah ini terlihat berbeda sendiri jadi tak salah kan kalau aku punya pemikiran kalau dulu rumah yang berdiri di tanah ini dihancurkan dibuat ulang olehnya.

"Yap, rumah di sini dulu punya Mama saya waktu beliau muda, saya beli tanah sampingnya buat dijadikan dua area dan saya bangun ulang sesuai selera saya." Kaki kami memasuki rumah Re yang terlihat benderang jelas karena kaca-kaca itu membantu masuknya sinar matahari dari luar.

"Pakai jasa arsitek pasti?" Kenapa aku terdengar ingin tahu sekali, sih? Tapi tak apa lah, sesekali.

"Yap again, salah satu arsiteknya Antoni Zaufa, kenalan Mama saya," jawabnya enteng tanpa terdengar risi dengan pertanyaanku. Dan benar saja, rumah seperti ini tanpa tangan ahlinya tak mungkin terlihat menakjubkan. "Pernah lihat katalog mereka dan saya ketemu satu orang yang punya selera yang sama seperti saya."

"Sebentar kamu boleh tunggu di sini atau jalan-jalan sekeliling rumah, feel free Gem. Saya ganti baju dulu, ya," ujarnya yang segera mendapat persetujuan dariku dengan anggukkan dan lelaki itu berlari menaiki tangga yang ada di dekat ruang televisi.

Aku memilih untuk melihat-lihat seisi rumah, dimulai dari pajangan foto-foto yang ditempel secara acak di dinding ruang tamu. Jelas banyak sekali foto lelaki itu dengan keluarga, teman, di berbagai tempat dan dua foto keluarga yang dicetak besar dengan kain kanvas yang dibingkai dengan bingkai kokoh berjejer di sisi dinding lainnya. Dua foto keluarga yang berisi empat kepala itu jelas diambil pada perbedaan waktu yang kontras, dua pasang suami istri terlihat masih muda dan menawan dengan dua balita kecil di masing-masing gendongannya di bingkai kiri, sementara bingkai lainnya menggambarkan sepasang suami istri yang duduk di kursi saling berpegangan tangan dan dua balita yang di foto sebelumnya ada digendongan, di foto ini sedang berdiri dengan percaya diri di belakang kedua orang tuanya,. Pada gambar foto-foto itu aku bisa melihat bahwa Re dan Yaya memang mirip, tervalidasi sudah kalau mereka memang kembar.

Sedang asyik memandangi dua bingkai foto di depanku, aku dikejutkan oleh seuatu yang halus meraba sisi kakiku sampai membuatku terlonjak hampir berteriak. Seekor kucing putih dengan bulu lebatnya duduk tenang memandang ke arahku, kedua mata bulatnya memandangku tanpa berkedip seolah bertanya 'kamu siapa?'

"Oh, temannya Mas Re, ya?" suara seorang wanita datang dari arah belakang membawa sebuah mangkuk berbahan keramik berwarna abu-abu dengan gambar jejak kaki kucing. "Ayo masuk, Neng," ajaknya.

Aku memilih tersenyum dan berjongkok sebentar untuk mengambil kucing putih yang sejak tadi masih duduk diam di dekatku untuk aku gendong dan mengikuti langkah wanita itu ke arah ruang televisi. Semakin dalam, semakin terlihat seisi rumah Re ini, pintu kaca besar di ruang televisi menyambung ke teras belakang yang bisa aku lihat ada kolam renang dengan airnya yang berwarna biru sesekali mengombak terbawa angin, bisa terlihat juga di teras itu ada sebuah ayunan kayu dan beberapa tanaman kaktus belimbing yang menjulang tinggi di beberapa pot-pot besar di sekitar teras. Wanita yang mengajakku ke sini tadi meletakkan mangkuk yang dibawanya di dekat sofa dan aku bisa melihat kalau ada makanan kucing di dalamnya.

"Is that yours?" bisikku kepada kucing yang ada digendonganku sambil menunjuk tempat makan abu-abu itu. Sang kucing segera berlari menghampiri mangkuk itu setelah aku meletakkannya kembali ke lantai dari gendonganku.

"He's Ice Cream," suara Re sudah kembali terdengar dan aku bisa melihat lelaki itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaos polos hitam dan celana chino abu-abu yang membuat kakinya terlihat benar-benar panjang. Benar-benar kontras dengan penampilan sebelumnya, it deserves an applause. Aku memandangi laki-laki itu setelah menoleh mendengar suaranya yang memperkenalkan kucing putih itu dengan nama 'Ice Cream' sampai akhirnya lelaki itu tiba di sampingku. "Hadiah dari Yaya," lanjutnya.

"So much cute," komentarku sembari melihat makhluk berbulu lebat itu sedang asyik dengan makanan keringnya. "Tapi Yaya nggak punya kucing tuh," ingatanku kembali ketika aku singgah di apartemen wanita itu dan terlihat tenang-tenag saja tak ada makhluk berbulu yang jalan mondar-mandiri di sana.

"Seharusnya dia punya dua, Ice Cream sama Chocolate, sepasang. One of them had to die from illness, Yaya trauma karena dia merasa nggak mampu rawat peliharaan jadilah Ice Cream dikasih ke saya. Syukurnya Bi Roma mau bantu urus, sampai tanggal 28 nanti dia udah mau satu tahun."

"She must have loved those two cats very much," ditinggalkan secara tiba-tiba memang seketika membuat satu pihak terasa sangat menyedihkan.

"Anyway kita mau langsung atau minum-minum dulu?" tawar Re yang seketika membuat wanita yang aku tebak bernama Bi Roma itu menepuk dahinya.

"Ya ampun, Mas. Saya lupa tawarin minum buat Mbak-nya, ayo ayo Mbak saya buatin minum dulu," ucap wanita itu dengan rasa bersalah.

"Nggak usah Bi, kita langsung aja kali ya, Re? Biar nggak ngerepotin juga," tolakku halus, mengingat kami akan pergi makan yang mana aku belum tahu di mana kami bisa mendapatkan sate Maranggi ternikmat versi Re itu.

Berangkat sekitar pukul setengah sebelas dari Kemang dan melihat Re membawa mobilnya melewati tol Cikampek sampai Padalarang mengikuti jalan ke arah Bandung-Purwakarta dengan destinasi lebih dari satu jam yang kami isi waktu perjalanan kami dengan berbincang mengenai aku dan Re, bagaimana kuliahnya di Queensland yang ternyata mengambil gelar Bachelor of Business Management dan juga berhasil menyelesaikan Master of International Business-nya ditambah kelas Business Law Course selama satu semester, dengan lama tinggal di Australia sana kurang lebih 5 sampai 6 tahun, sementara Yaya mengambil gelar Bachelor of Arts Major in Economic dan kembali ke Jakarta di tahun keempatnya setelah berhasil lulus dan tinggal beberapa lama di sana sebelum memutuskan kembali ke tanah air. Aku juga baru mengetahui kalau Re sepenuhnya tidak begitu terarik dengan game atau hal-hal berbau game, entah mobile atau PlayStation dan sejenisnya, sungguh sebuah keajaiban dia bisa masuk mengurus hal-hal bisnis tentang perusahaan game itu ketika salah satu kenalannya merekomendasikan dirinya untuk bisa mengelola di perusahaan Singapore selama setengah tahun, baru sesudahnya dia dipindah ke Hongkong kurang lebih 2 tahun, kembali ke office di Singapore selama 3 tahun dan pada akhirnya dia bisa memegang yang di Jakarta sampai hari ini. Sungguh, jika aku jejerkan lelaki ini dengan salah satu boss mudaku, Pak Angga, mereka benar-benar terlihat punya ambisi yang jelas. Berbeda dengan Pak Angga yang mencintai dunia otomotif, Re mungkin saja tidak begitu mengenal seluk beluk tentang game karena dia mengakui kalau dia tak begitu tertarik dengan permainan yang biasanya digemari oleh kalangan laki-laki, contohnya saja PlayStation atau XboX. Namun pekerjaan yang digelutinya tidak secara langsung berhubungan dengan si inti usaha, tapi bukan berarti dia harus antipati, dia tetap banyak belajar dengan apa yang harus dia jual atau pasarkan, karena dialah yang harus mencari dan menghitung prospek-prospek cuan yang akan mereka hasilkan. Berbincang mengenai hobi kami masing-masing yang aku dapati Re ini suka mengisi waktunya untuk bertemu teman-teman lelaki itu, entah hanya makan siang, lari sore sepertiku dan Kala atau bermain Softball yang sempat aku dengar ketika kami bertemu di rumah Pak Wirja waktu lalu, kupikir sangat kontras dengan Yaya yang belum pernah aku lihat berkumpul bersama teman-teman wanita itu dan lebih senang sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Mobil Re berbelok ke sebuah bangunan yang terlihat luas dengan banyaknya jejeran mobil di parkiran, terlihat ramai, setelah perjalanan panjang itu kami lalui tanpa lelah.

"Benar-benar Bapak Tarendra ini," gumamku setelah mobil lelaki itu menempati line parkir yang tersedia.

Re tersenyum mendengar gumamanku. "Kurang jauh ya, Gem?" tanyanya sambil melepas seatbelt-nya dan menekan lock seatbelt-ku juga yang sepertinya menjadi kebiasaan lelaki itu karena sudah dua kali dia melakukan hal yang sama.

Aku berdecak kagum dan menggeleng-geleng sambil menepuk kedua telapak tanganku seolah memberinya apresiasi karena sungguh, aku hanya memikirkan BSD untuk track yang cukup jauh, namun lelaki ini justru membawaku lebih jauh lagi, ke Purwakarta. "Ini sih mending ke Giri Tirta sekalian," sarkasku.

"Nanti deh kapan-kapan lagi, yuk turun udah ramai banget tuh," ajaknya yang belum juga melunturkan senyuman pada wajahnya itu.

Kami sama-sama berjalan memasuki bangunan berbentuk kayu di mana ruangan luas benar-benar bisa menampung banyak sekali manusia itu hanya berisikan meja-meja dan kursi kayu yang dibuat memanjang dan tentu saja kumpulan orang-orang dengan meja terisi makanan dan minuman pesanan mereka. Aku dan Re mencari celah kursi kosong yang bisa kami tempati dan mendapati kursi di baris kelima, dari arah datangnya kami. Sang pelayan dengan cekatan mencatat pesanan kami yang aku pilih sate maranggi sapi dan Re memilih daging kambing masing-masing 10 tusuk dengan kesepakatan kami akan saling sharing, dan tentu saja ditemani minuman es kelapa muda untuk  hari yang cukup panas ini. Setelah selesai memesan, aku dan Re secara bergantian pergi ibadah Zuhur dan sekembalinya aku ke meja kami, semua makanan dan minuman sudah tersaji lengkap dengan Re yang sibuk menatap layar ponselnya.

"Kok nggak dimakan, Pak?" tanyaku setelah berhasil kembali duduk di hadapan lelaki itu yang seketika melepas atensinya dari layar ponsel dan meletakkan benda kotak itu di atas meja.

"Nungguin Ibu selesai Salat," jawabnya ringan, tangannya sudah sibuk mengaduk es kelapa dengan sedotannya. "Antre banget, ya?"

"Nggak, sih. Lama benerin bedak dulu," aku ikut mengaduk es kelapa mudaku sambil menyengir. Kepala Re menggeleng mendengar alasanku. "Ini udah lama belum datangnya tadi?" tanyaku melihat dua piring sate dengan sambal potongan tomat dan rawit.

"Cobain, deh," Re mengambil satu tusuk sate dan di arahkan ke padaku yang langsung sigap ku terima dengan mengambil alih tusukan sate itu. "Menurut kamu enakan daging sapi atau kambing?" lelaki itu bukannya ikut mengambil setusuk sate untuk bersamaan menikmatinya bersamaku yang sudah mengunyah daging yang aku tebak ini daging kambing, justru hanya menontonku makan.

"Ini kambing, agak alot," komentarku. "Tapi masih enak, sih."

Selesai dengan setusuk daging kambing, aku mengambil setusuk dari piring lainnya yang pasti ini daging yang berbeda, sementara Re tak jua mengambil bagiannya. "Kok nggak ikut makan, sih?" dengan mengernyit aku bingung melihat tingkahnya.

"Mau lihat ekspresi kamu makan dulu, tadi kayaknya mau banget makan Maranggi, jauh-jauh ke sini harus diabadikan dong pemandangan Ibu Gemi makan sate Maranggi," kedua tangannya sudah terlipat untuk menopang dagunya dengan menumpu siku di atas meja.

"Nggak sekalian difoto buat dipajang di dekat kasir?" daripada aku mesam-mesem mendengar ucapannya barusan yang entah dengan tujuan apa, tapi aku yakin itu bukan dengan maksud flirting, aku timpali saja ucapannya dengan nyeleneh.

"If you came here with my Mom, maybe it could happen. Maybe..." foto bersama seorang Aruna Lituhayu, jelas foto itu akan terpajang di space kosong dinding dekat kasir seperti restoran-restoran lainnya yang jika didatangi para artis atau orang terkenal.

"Kalian sering begitu, ya?"

Re mengangkat sebelah alisnya, nampak bingung dengan pertanyaanku.

"Kalau makan ke restoran suka banyak yang minta foto?" tanyaku memperjelas pertanyaan sebelumnya.

Re menggelengkan kepala. "Kita jarang makan ditempat terbuka kalau sekeluarga, because for us it was an intimate gathering, so it was better to reduce distraction, from anywhere. Contohnya waktu lalu waktu kita makan siang di tempat Yaya, sometimes di rumah orang tua saya di Pejanten, atau di rumah saya sendiri. Kalau kita memang harus ke luar ya... rumah Oma Opa siap menampung, atau kita reserved ruangan di restoran atau hotel." Kedua bahunya terangkat seolah acuh dengan fakta yang dibeberkannya. "Mungkin kelihatanya agak ribet ya, but that was our choice, hidupkan tentang banyaknya pilihan. Pilihan Mama saya jadi orang terkenal, pilihan Papa saya jadi orang penting dan pilihan saya dan Yaya untuk jalanin seperti itu."

Mungkin banyak keluarga artis yang terlihat oleh mata kita tenang-tenang saja, santai-santai saja meskipun harus diliput berbagai media di setiap kegiatan mereka. Tidak pernah khawatir untuk dijadikan berita ketika mereka sedang mengadakan acara keluarga atau kumpul bersama, tapi memang mungkin ada beberapa yang kita tak pernah ketahui ada dan tersimpan apik bak tak bisa—tak akan pernah bisa tersentuh sedikitpun, salah satu contohnya keluarga Re ini. Tante Aruna terlalu apik menyimpan cerita keluarganya, karena fokusnya adalah pekerjaan yang dia geluti, bukan memberi atensi orang luar kepada orang-orang terdekatnya yang justru bisa menimbulkan rasa tak nyaman.

Untungnya mereka memiliki kuasa dan tak lupa, uang. Jadi hal-hal yang Re sempat katakan repot itu, sebenarnya tak sebegitu merepotkannya. Mereka mampu menciptakan kenyamanan apapun untuk penjagaan orang-orang tersayang di sekeliling mereka.

"I think the choice of your life was completely right, in the sense that you are right by giving nor taking your rights properly. What you should be most grateful for was having parents like them who had acted like human beings who truly humanize other humans, who are their own kids, by giving you and Yaya the prerogative to choose." Tante Aruna completely got my admiration, and also Om Hasta who didn't force their kids to be the heir.

"So I have no reason not to give them my times, rite?" cengiran lelaki itu menampilkan deretan gigiri putih nan rapi miliknya. Re ini sering kali tersenyum, mungkin memang naturely lelaki ini ramah sama seperti sang kembaran, tapi senyuman dengan deretan gigi ini terlihat sekali bahwa dia seperti melepas sesuatu dan rasanya menyenangkan melihat pemandangan ini.

Aku mengangguk setuju dengan kalimatnya. "By the way harusnya saya masuk ke dalam kategori distraction dong waktu saya datang ke tempat Yaya? Saya hitungannya strangers buat Tante Aruna dan Om Hasta," kataku mengingat hari itu aku tak dikabari kalau Yaya akan bersama dengan keluarganya, untung saja Pak Wirja dan Bu Salwa tak turut serta.

"You came as Yaya's friend who coincidentally is also my friend," tukasnya lembut.

Gigiku berhasil menarik daging yang ada di ujung tusuknya dibarengi dengan sambal tomat dan rawitnya, dan mengangguk-angguk sambil mengunyah lembut daging sapi yang terasa empuk dengan bumbu rempah yang menyerap secara sempurna ditambah rasa asam, pedas dan gurih dari sambalnya, ini lebih sempurna dibanding sate kambing yang lebih alot itu. "Re, ini enak banget." Kudorong piring di depanku ke arah lelaki itu. "Ayo dong makan," ajakku dengan sedikit memaksa karena aku sudah memakan dua tusuk dan dia belum terlihat ada gerakan akan memulai makan.

Bukannya segera mengambil satu tusuk untuk dinikmati bersama denganku, lelaki itu justru menarik selembar tisu di kotaknya dari sisi kanan lelaki itu. Dengan tersenyum dia berkata. "Mau saya yang bersihin atau kamu bisa sendiri?" tisu itu terulur di depan wajahku. Dengan mata membulat aku sedikit sadar, sepertinya aku makan dengan tidak rapi sekarang.

Secepat aku menarik lembaran tisu dari tangannya, secepat itu juga aku membersihkan sisi-sisi bibirku yang mungkin ternodai bumbu sate ketika aku menarik daging dari tusukannya tadi. "How an un-neat," keluhku sebal. Buat malu saja.

"Sini, biar makannya tetap cantik saya keluarin dagingnya biar tinggal tusuk makan aja," lelaki itu menarik piring berisikan sate sapi di hadapannya karena tadi aku sempat mengoper piring itu mendekat ke arahnya.

Dengan sigap aku menarik kembali piring itu. "Nggak usah, lah. Emang saya bayi? Nggak apa-apa, makan sate ya resiko belepotan, saya kan nggak sambil ngaca juga jadi nggak lihat kalau ketempelan bumbu." Tolakku dan meneruskan mengambil satu tusuk lagi untuk aku santap.

Kepala Re manggut-manggut. "Okay, nanti kalau belepotan saya bantu bersihin," sebelah matanya mengedip jahil. Ini bukan yang pertama kali lelaki ini mengedipkan mata seperti itu, dibanding terlihat centil, aura jahilnya justru menguar, persis seperti yang sering Papaku lakukan dulu.

Tenang, tenang. Hatiku masih pada batas aman.

Re sudah mulai memakan satu per satu sate yang ada di piringnya dan bergantian dengan sate yang ada di piringku, begitu pun denganku karena sesuai kesepakatan bersama kami akan saling sharing. Menghabiskan sekitar satu jam untuk kami makan dengan menambah satu porsi sate sapi karena Re berkali-kali bertanya kepadaku apa aku sudah cukup hanya dengan dua piring ini, akhirnya aku menyetujui untuk menambah satu porsi lainnya, tidak perlu pusing siapa yang membayar karena sudah pasti ini semua menjadi tagihanku dan Re tidak memprotes secara berlebihan karena dia juga sudah pernah membayar tagihan makan siangku beberapa waktu lalu, jadi aku rasa kita impas sekarang.

"My turn," ucapku dengan tangan menengadah di depan Re setelah kami keluar dari area tempat makan menuju parkiran. "Gantian saya yang nyetir," lanjutku setelah melihatnya kebingungan.

"Nggak usah, saya udah sering kok bolak-balik Bandung Jakarta sehari. Tenang aja, Gem," tolaknya yang langsung menekan lock pintu mobil dan berjalan ke arah pintu kemudi.

Sambil menghembuskan napas aku pasrah dan mengikutinya dengan memasuki mobil pada pintu penumpang. "Padahal saya juga sering long ride gantian sama teman-teman saya, kamu nolak bukan karena nggak mau disetirin cewek, kan?" Kududuki jok mobil dan dengan taat memasang sabuk pengaman.

"Yaya sering setirin saya, Gem. Not for that reason I turn away your bid." Lelaki itu ternyata sudah menghadapkan tubuhnya ke arahku dengan tangan kanannya memegang setir dan sabuk pengaman yang belum terpasang. "But," tekannya lugas. "You've been yawning too much after eating three plates of Maranggi," bisikannya bernada jahil yang langsung mendapat pukulan ringan tangan kananku pada bahu kirinya dan gelak tawa kami menguar bersama.

Memang tadi aku beberapa kali menguap karena mengantuk, mungkin karena efek udara di sini yang cukup sejuk dan tak seterik di Jakarta.

"Tidur jam berapa semalam?" tanya Re ketika dirinya memasang sabuk pengaman bersamaan dengan gerakan menarik sabukku.

Aku memutar kedua bola mataku untuk mengingat semalam sepertinya aku tidak begitu tidur larut. "Normal," jawabku yakin.

"Normalnya jam berapa?" lagi—lelaki itu kini sampai menoleh ke arahku.

"Jam sebelas dua belas," dan lagi, jawabku dengan yakin. Jam tidur normalku memang di jam-jam itu, terlepas dari hari kerja ataupun weekend. Rasanya sudah tidak pernah aku tidur di jam sembilan atau sepuluh malam semenjak aku kuliah di Depok, jam tidurku sudah seberantakan itu.

Re mengangguk paham. "Normally humans need to sleep 8 hours, or at least 7 hours, but since we become adults, we feel that our demands have become more, one of which is to become humans who aren't normally human." Lelaki itu menambah kekehannya pada akhir kalimat.

"Pasti jam tidur berantakan secara otomatis saat kita jadi budak tugas dan ujian dulu di kampus, dan keterusan deh sampai kita jadi budak kerjaan," balasku.

Tangan kirim Re sudah menekan tombol radio untuk dinyalakan. "Biasa dengerin apa, Gem?" tanyanya seolah meminta saranku untuk memilih stasiun radio yang biasa aku dengarkan.

"Udah jarang dengerin radio, sih," jawabku cepat. Semenjak insiden dicampakkan via saluran radio, aku memang tidak pernah lagi mendengar siaran Mario, meskipun siaran Desta Gina masih beberapa kali aku dengar karena kubutuhkan untuk membangun mood di pagi hari. "Biasanya dengerin Prambors, siaran pagi dan malam aja, siarannya Desta Gina atau Mario, tapi saya totally stopped dengerin siaran Mario lagi."

"Kenapa, tuh?" setelah memilih stasiun yang sedang memutar suara Taylor Swift yang menyanyikan lagu You Need To Calm Down, Re mulai memutar setirnya meninggalkan pelataran parkir.

"My ex-boyfie dumped me through Mario's broadcast," meskipun sedikit malu aku mengakuinya namun mau bagaimana lagi? Mungkin saja Re mendengar siarannya malam itu.

"Really?"

"If only it could be just a dream, tapi ternyata nggak. Nggak tau berapa telinga Jakartans yang jadi saksi malam itu," akuku dengan lebih lapang dada kini, meskipun jika mengingat kembali kenangan malam itu membuatku harus mengingat Vano yang entah berada di mana laki-laki itu sekarang.

"Being dumped?" Re menggumam sendiri. "As we know, humans are the most complex entities, it was only natural that if they get closer together there will be friction. Contohnya ya, dua manusia saling pendekatan dan menjalin hubungan. But there're only two options available; they could be successfully adapt, yang berakhir menikah dan hidup bersama, or there could be repulsion, saling jenuh dan nggak berakhir baik, if the second option is enforced continuously, just wait till one of them destroyed." Lanjutnya panjang lebar.

"So I don't think you got dumped, but mayhap your ex feels your friction cannot be forced."

Aku mendengus mendengarnya. Kenapa Re jadi seperti konselor hubungan?

"Saya sih nggak mempermasalahkan perpisahan dalam sebuah hubungan, setiap pasangan pasti berakhir berpisah entah karena alasan tak ada lagi afeksi ataupun soal kontrak hidup dengan Tuhan. Dicampakkan juga bukan denotasi yang buruk-buruk amat, cuma kalau sudah mengacu ke kebohongan baru saya rasa saya pantas untuk kecewa," jelasku. Seperti yang sudah-sudah, aku hanya menjauhi drama kehidupan.

"Being honest is attractive thing that not many people get understand," Re kembali mengangguk, tatapannya fokus menatap ke jalanan yang cukup ramai saat kami memasuki gerbang tol Cikampek. "Jadi punya trauma kalau dengar Radio, ya?" lelaki itu bertanya ketika stasiun radio di mobilnya memutar lagu City of Stars yang dijadikan soundtrack salah satu film romansa kesukaanku, sesekali aku ikut bersenandung kecil.

"Dibilang trauma juga nggak, sih. Malas aja... takut dengar nama saya disebut-sebut lagi," aku melanjutkan senandungku ketika suara Ryan Gosling berganti dengan suara Emma Stone.

"Suka banget, ya?" Re mengembangkan senyumannya sembari menoleh berkali-kali. Aku mengangkat alisku dan menghentikan senandunganku. "Lagunya," dagunya mengedik ke arah radio yang masih memutar lagu yang sama.

Aku jadi terkikik mengingat aku dengan masa bodonya tadi bersenandung bebas seolah aku sedang ada di mobilku sendiri dan seolah Re ini teman dekatku, meskipun kita teman namun ya... kita belum sedekat itu mungkin? "Saya tuh jarang banget nonton film romance, tapi La La Land masuk jadi salah satu kesukaan saya." Akuku tanpa ditanya.

Entah aku salah lihat atau memang itu terjadi, Re semakin mengembangkan senyumannya sampai pipinya naik terangkat dan membuat wajah lucu yang sebelumnya pernah aku lihat, kembali kulihat sekarang. Kepalanya mengangguk seolah sangat paham atau ada artian lainnya yang entahlah aku tak tahu harus diartikan seperti apa, sok sekali aku bisa membaca ekspresi orang lain.

"Save the explanation for later," gumamnya yakin. "Kamu kapan mau ke kantor Gameart? Udah sampai mana progress-nya?" secepat itu dia mengubah topik, aku jadi penasaran.

Dan kami banyak membicarakan soal pekerjaan dan project kami yang sudah melewati banyak tahapan dan beberapa pengecekan, meskipun belum ada tanda-tanda tim mereka akan presentasi lagi, sampai akhirnya kami mampir sebentar untuk ibadah Asar di Rest Area dan menghabiskan satu setengah jam untuk sampai di Jalan Sudirman dan Re berhenti di depan lobby apartemen tanpa ikut turun untuk mampir ke tempat Yaya karena ada beberapa hal yang harus dia urus setelah Magrib nanti, katanya.

Seperti biasanya aku mengucapkan terima kasih karena sudah repot-repot menghabiskan bensin dan menambah angka kilometer pada odometer mobilnya hanya untuk mengantarku makan sate Maranggi, sebelum aku membuka pintu mobilnya.

Baru aku menggeser satu kakiku ke luar pintu mobilnya yang cukup tinggi, lelaki itu memanggil namaku.

"What a straggering date, Gem," dengan ringan lelaki itu berucap menggunakan nada rendahnya dan seketika menghentikan gerakan tubuhku yang mendadak kaku, bulu romaku sedikit berdiri dan... tunggu, ada yang berdetak cepat sekali jauh di dalam sana. "Have a whale of time to rest, thank you!" Tangan kanannya terangkat, tak lupa senyumannya itu.

Aku bahkan masih menatapnya kebingungan, tanpa berkedip. Dan baru sadar setelah ada mobil di belakang kami yang juga akan menuruni penumpangnya di lobby dan artinya aku harus bergegas. Hanya dengan mangucapkan satu kata 'Bye' dengan nada bergetar, aku keluar dan menutup pintu mobil putihnya yang tak lama langsung pergi meninggalkan lataran lobby.

"Date?" bisikku seorang diri, masih di posisi yang sama sejak aku menuruni mobil Re. Who goes on dates? Do we?



--

And gonna put Ice Cream, here.



Olvasás folytatása

You'll Also Like

1M 83.3K 40
• INDIAN ARRANGE MARRIAGE • ˜"*°•.˜"*° •°*"˜.•°*"˜ "You're my peace within all the Chaos of my life" ...
212K 4.7K 15
friendship rule number one: don't imagine how amazing your best friend's cock would feel inside you. except that's all you can think about after acci...
19.3K 633 15
I absolutely love this anime, so I figured, why not try it?
61.2K 2K 28
Jungkook's only knowledge is that he secretly enters his father's private room and uncovers the secret information written in his diary. He spends th...