Formal Boy (END)

By AzkaAzkia21

96K 8.3K 7.7K

Tentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah She... More

PERKENALAN
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
CAST VECTOR 01
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
BAB 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52 [END]
EKSTRA BAB
FAKE CHAT
QNA FB
EKSTRA BAB 2
FORMAL BOY 2

BAB 14

1K 128 151
By AzkaAzkia21

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sherin melihat jam dinding, masih ada sepuluh menit lagi pukul setengah tujuh. Namun, sudah saja terdengar suara ketukan pintu. Saat dia ingin turun ke bawah, dia melihat seseorang dari balik pintu dan munculnya seorang perempuan paruh baya—tetangga sebelah rumahnya.

Sherin sempat mengira itu Gibran, ternyata bukan. Dia lantas kembali ke kamarnya, tetapi baru dua menit dia duduk di kursi. Bunda sudah memanggilnya untuk turun ke bawah, dan betapa terkejutnya kala ternyata sudah ada Gibran yang duduk di hadapan ayahnya.

Dengan langkah yang sedikit gemetar, Sherin menuruni setiap anak tangga. Dia gugup saat melihat ayahnya yang menatapnya serius.

"Sherin, benar Gibran ini kakak kelas kamu?" tanya Alex—ayah Sherin.

"I-iya, Yah."

"Kenapa nggak pernah bilang sama ayah?"

Sherin hanya terdiam, tanpa berniat menjawabnya, dan justru kini menundukkan kepalanya.

"Asal kamu tahu, Gibran ini—"

"Aku beneran nggak ada apa-apa sama Kak Gibran kok, Yah. Kak Gibran ini hanya kakak kelas aku," sergah Sherin. Dia takut ayahnya marah. Apalagi dia belum diijinkan berpacaran.

"Kamu ini, ya. Orang ayah belum selesai bicara juga!"

"Maaf, Yah. Jadi, tadi ayah mau ngomong apa?"

"Kebetulan Gibran ini anak dari temen papa waktu SMP, Elsa namanya. Benar bukan, Gibran?" tanya Alex pada Gibran.

Gibran mengangguk. "Iya, Om."

Ternyata waktu masih SMP. Alex dan Elsa pernah satu kelas. Alex mengingatnya kala Gibran menyebutkan nama lengkapnya. Bahkan sebelum Alex mengenal istrinya, dia sangat akrab dengan Elsa. Banyak yang mengira jika diantara keduanya memiliki hubungan, yang jelas-jelas tidak ada—hanya sebatas teman dekat. Namun, semenjak kuliah membuat mereka jarang bertemu.

"Oh, ya, kata Gibran dia ada perlu sama kamu Sherin."

Sherin mengangguk kaku.

"Kalau begitu ayah sama bunda keluar dulu. Ayah mau ajak bunda kamu makan malam di luar," ujar Alex.

Saat Sherin ingin bersuara, ayahnya lebih dulu mendekapnya.

"Gibran, om titip jagain Sherin, ya."

Gibran mengangguk dengan senyumannya.

Lantas Alex keluar dengan tangan yang menggandeng mesra Rina—istrinya. Pasalnya tadi dia melihat raut wajah istrinya yang cemberut, kala membicarakan soal Elsa.

Sepeninggal kedua orang tua Sherin, suasana mendadak hening. Sherin lantas duduk di tempat ayahnya tadi. Dia menatap ke arah Gibran yang terdiam. Sungguh berada di posisi seperti saat ini, membuat dia geram sendiri.

Akhirnya Sherin memberanikan diri untuk bertanya. "A-ada apa Kak Gibran ke si-sini?" Entahlah Sherin mendadak gugup saat berbicara dengan Gibran, padahal biasanya tampak biasa saja.

Sementara yang ditanya justru terdiam. Membuat Sherin semakin penasaran, tetapi tiba-tiba saja Gibran menyerahkan sebuah kertas. Begitu membaca kata-kata yang tertulis, dia teringat pada kertas yang dia temukan terjatuh di perpustakaan. Bedanya, kertas itu berupa fotokopi bukan aslinya.

"Kak, ini fotokopi kertas yang tadi bukan, sih?"

"Iya. Mulai besok kita latihan."

Perkataan Gibran berhasil membuat Sherin bingung.

"Maksudnya apa, Kak?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Saya tidak suka, ya!"

"Emang aku nggak tahu, Kak."

Dengan napas yang Gibran hembuskan kasar, dia mendekat ke arah Sherin lantas menjelaskannya dari awal. Aroma sandalwood mendominasi indra penciumannya.

Mendengar penjelasan Gibran, sontak membuat Sherin tersenyum. Ternyata dugaannya tadi benar, jika nanti dia akan bernyanyi bersama Gibran waktu HUT sekolah.

Tiba-tiba pandangan Sherin tertuju pada meja. "Eh, Kak Gibran mau minum apa? Maaf tadi aku kelupaan."

"Tidak perlu. Lagi pula urusan saya di sini sudah selesai," jelas Gibran.

"Tunggu sampai ayah sama bunda pulang dong. Tadi sudah janji mau jagain aku 'kan? Ini aku sendirian lho di rumah. Eh, ada Bi Ida cuma lagi istirahat. Gimana nanti kalau semisal ada maling?"

Gibran kembali duduk. "Ya sudah."

"Jadi mau minum apa, Kak?"

"Terserah Anda, terpenting bukan air keran, dan bisa diminum."

Sherin tertawa mendengar perkataan itu. Secara tidak langsung Gibran ingin membuat lelucon tadi, walau hanya dengan wajah datarnya.

Beberapa menit kemudian, Sherin datang dengan membawa teh dan kue kering. Dia lantas meletakkannya di meja.

"Diminum tehnya, Kak."

"Baik, terima kasih." Saat Gibran meminum teh itu, rasanya terlalu manis untuknya sehingga dia menyipitkan matanya.

"Kenapa, Kak? Tehnya nggak enak, ya?

"Terlalu manis menurut saya."

Sherin menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal, dia tersenyum ke arah Gibran. Padahal biasanya dia meminum teh dengan takaran gula seperti yang dia buat sekarang.

"Biasanya aku segini, Kak."

"Ini terlalu manis, tidak baik untuk kesehatan."

"Ya sudah, deh, aku kurangin takaran gulanya."

Ketika Sherin beranjak dari duduknya, tangan Gibran lebih dulu mencekalnya. Namun, saat dia menoleh ke arah tangannya sendiri, Gibran melepaskannya.

"Mau ke mana?" tanya Gibran.

"Ke dapur, Kak. Aku mau buatin teh lagi, kali ini nggak bakal manis, kok," jawab Sherin.

"Tidak perlu. Ini sudah cukup, lebih baik Anda duduk saja, dan baca tulisan yang tadi saya kasih. Siapa tahu ada yang harus diubah."

Sherin fokus membaca tulisan yang membentuk sebuah nada itu, sesekali dia menyelipkan rambutnya ke telinga, dan berganti posisi duduk yang nyaman.

Hening. Tak ada satupun dari mereka berdua yang berbicara. Bahkan sampai-sampai detik jam terdengar jelas, dan waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan lebih lima menit. Kedua orang tua Sherin tak kunjung pulang.

"Kak, aku mau bicara sekaligus minta maaf sama Kak Gibran."

"Minta maaf soal?"

"Jadi, gini ...."

Mengalirlah cerita dari mulut Sherin perihal mantel hujan. Dia berniat untuk menggantinya, tetapi Gibran justru menolak keras. Mau tidak mau, dia pasrah.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lagi dan lagi keheningan datang diantara mereka. Memang sesulit itukah untuk mencari topik pembicaraan.

Hingga pada akhirnya Alex dan Rina sudah pulang.

"Maaf, ya Gibran jadi ngerepotin," ujar Rina.

"Tidak apa-apa, Tante. Kalau begitu saya pamit pulang, ya, Tan, Om." Gibran bersalaman dengan kedua orang tua Sherin, sebelum dia keluar.

"Sherin antar Gibran sampai depan," ujar Alex.

Di depan rumah bernuansa cokelat, Sherin memandang Gibran yang tengah memakai helm-nya. Penampilan Gibran malam ini sangat terlihat berbeda dari yang dia lihat sebelum-sebelumnya. Walau hanya dengan balutan jaket hitam, dan celana yang senada. Membuat penampilan Gibran semakin membuat dia tak bisa berpaling.

"Saya pamit, dan ingat besok kita sudah mulai latihan."

Sherin mengangguk sekali.

"Hati-hati, Kak!" teriak Sherin yang entah terdengar atau tidak, karena Gibran sudah benar-benar meninggalkan rumahnya.  

Di tengah perjalanan, tanpa sengaja Gibran melihat penjual arum-manis. Dia teringat begitu saja Bella, alhasil kini dia memarkirkan motornya di depan penjual itu. Usai membelinya dia lantas melanjutkan perjalanan pulang.

-----

Saat Gibran sampai di rumah, betapa terkejutnya dia melihat Bella yang tengah menangis sesenggukan di depan pintu. Di sana juga mamanya yang tersenyum sinis.

"Bella, kenapa?" tanya Gibran mendekat ke arah Bella, tanpa memperdulikan tatapan tajam Elsa.

"Hiks ... Bella nggak papa kok, Kak."

Gibran menoleh ke arah mamanya. "Mah, kenapa dengan Bella?"

"Mama senggol tadi terus jatuh. Gibran, mama bisa bicara berdua dengan kamu?" Elsa melirik sekilas ke arah Bella, masih dengan tatapan tajam.

"Bella ini ada arum-manis, dimakan di dalam, ya?"

Bella lantas menerima arumanis itu dan masuk ke rumah.

"Jadi, mama mau bicara apa?"

"Kamu pilih mama atau anak sialan itu!"

Tentu saja hal itu berhasil membuat Gibran kaget. Memang, sejak mamanya membaik, dia terlihat tidak suka dengan kehadiran Bella. Namun, apa dia tega memilih diantara keduanya, yang jelas-jelas berarti dalam hidupnya.

"Kalau kamu pilih mama, kamu usir dia! Mama nggak mau lihat wajahnya lagi di rumah ini, tapi kalau kamu pilih dia! Mama yang akan pergi dari sini!" Elsa memegangi dadanya yang terasa sesak. 

"Mama kenapa bicara seperti itu? Memang Bella salah apa sama mama?"

"Dengan dia di sini, mama masih terbayang-bayang sama almarhum papa kamu. Kamu mau mama terpu—"

Tiba-tiba saja Elsa pingsan begitu saja, dan dengan sigap Gibran membawanya ke kamar. Hal itu tak luput dari pandangan Bella, dia mengintip dari balik jendela, dan menitikkan air matanya.

Ini semua salah Bella. Kayaknya Bella harus pergi dari di sini secepatnya. Dalam hatinya Bella berujar seperti itu.

.
.

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih

Sampai ketemu di BAB 15

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.2M 247K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
5K 393 40
"Lo kenapa sih? Kenapa sikap lo kayak gini ke gue. Lo punya pacar Nan! Apa lo akan membenarkan opini orang-orang kalo lo itu selingkuh? Tapi kenapa g...
2.6K 79 4
⛔⚠️Don't copy my stroy⚠️⛔ Bertengkar adalah cara lain kita mendekatkan diri satu sama lain. --------------------------------------- "Lo berharap kita...
1.4M 182K 36
ᴹᵃʳⁱ ᴺᵍᵃᵏᵃᵏ ˢᵃᵐᵖᵃⁱ ᴮᵉⁿᵍᵉᵏ "Diam atau gua sleding!" ujar Libra tegas. Tidak ingin bernasib buruk, Embun diam mematung sambil menunduk. Dia sangat kece...