1825 [ON HOLD]

By Tanialsyifa

813 114 15

Blurb : Kyra Willa Bachtiar mendapatkan julukan sebagai Putri Pengganti setelah menjadi bagian dari Keluarga... More

Prolog + Prakata
Urgent!
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33

Chapter 18

20 4 4
By Tanialsyifa

#note : [dari chapter ini ke bawah, mohon maaf, edisi nulis-publis. Edit nanti nyusul. Makasih~ #cmiw✌🏻]

1825 : cawis
(b) (Jw) (kl) tersedia
Tidak semua yang pernah ada, akan selamanya

LAPANGAN outdoor berada di sebelah timur ketika pertama kali memasuki SMANSA melalui gerbang utama di selatan. Tak jauh dari lapangan serba guna yang luasnya bisa digunakan untuk keperluan sepak bola dan bahkan hingga memenuhi standar untuk penggunaan trek lari, tepatnya di sebelah barat daya dari gerbang utama, gedung olahraga indoor dengan kapasitas yang cukup luas sehingga terbagi dalam dua bagian, di mana salah satu bagian lainnya dijadikan sebagai kolam renang indoor khusus SMANSA.

Bertepatan dengan hari terakhir sekolah pada pekan ini--karena SMANSA menggunakan sistem pembelajaran secara blok--maka hari Jumat menjadi hari terakhir dalam sepekan untuk kegiatan belajar-mengajar. Kelas MIPA-1 yang menjadi kelas Kyra dan Hana berada, mendapatkan jadwal untuk menggunakan kolam renang sebagai pembelajaran olahraga kali ini.

Tiap kelas perangkatannya hanya diisi oleh 22 murid saja dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang cukup adil, kecuali kelas MIPA-1 yang memiliki jumlah laki-laki paling banyak dan MIPA-4 memiliki jumlah murid perempuan yang mendominasi kelas. Maka, tak heran jika di kelas Kyra, antusias para siswa laki-laki ketika dihadapkan oleh pembelajaran olahraga akan terlihat. Meski mereka kapasitas dalam ilmu sains, tetap saja nalurinya sebagai penyuka hal-hal yang berbau tantangan dan gentleman masih mendarah daging pada mereka.

Delapan orang siswa perempuan dari kelas Kyra sudah berderet rapi di atas papan yang menjadi acuan mereka untuk memulai berenang setelah sebelum-sebelumnya melakukan pemanasan. Kini, tibalah saatnya mereka untuk melakukan tes kemampuan renang dan diakhiri dengan kebebasan waktu untuk sekadar berenang atau beristirahat.

Kyra berdiri paling ujung di atas papan untuk meluncur. Kakinya masih saja merasa lemas tiap kali dirinya menceburkan diri dari ketinggian satu setengah meter di atas permukaan air kolam renang.

"Ky, kamu beneran nggak mau izin aja ke Pak Bagas?" tawar Hana dengan kening mengernyit karena khawatir. "Aku yakin, dia pasti bisa maklumin kondisi kamu, kok." Hana memang berdiri satu meter di papan luncur dekat Kyra, sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk selalu berdekatan.

Kyra menolak tawaran dari Hana dengan geleng kepala. Meski harus dia akui jika saran Hana ada baiknya, karena dia juga merasakan pening akhir-akhir ini. Namun, mengingat kesempatan ini dilakukan untuk pemasukan nilai, Kyra enggan melakukan pengulangan dikemudian hari. Itu pun pasti dilakukannya secara individu. "Aku nggak keberatan di tes sekarang, biar nanti tenang."

Hana memandang Kyra dengan cemas. Dia ragu untuk mempercayai ungkapan Kyra. Mengingat ketika pagi hari, gadis tersebut mengeluh padanya sambil menangis-nangis karena sakit kepala yang dideritanya. "Janji, lho, kalau nanti ada apa-apa, bilang, ya. Aku nggak masalah jika kita nanti ngulang nilai sama-sama," bujuknya. Tak kalah keras kepala.

Ah, memang pada dasarnya Kyra memiliki gen kepala batu, jadinya susah sekali membujuk perempuan yang sekarang ini menggelung rambutnya di tengah-tengah dan memperlihatkan leher putih langsat yang bersih. Beberapa anak rambut yang menjuntai di atas kening hingga di samping-samping dekat telinga, menjadikan Kyra terlihat seperti orang baru karena jarang-jarang sekali melihatnya dengan gaya rambut yang tidak digerai.

Kyra tetap menggeleng. Dia membalas dengan isyarat acungan jempol kanan yang menunjukkan bahwa keadaannya sedang baik-baik saja pada Hana yang sedari tadi mencemaskannya. Maka, tak ada lagi jalan mundur bagi mereka karena bunyi peluit dari Pak Bagas-guru olahraga mereka-baru saja ditiupkan dengan nyaring.

Kedelapan siswa tersebut meluncur ke kolam dan segera menunjukkan kebolehan mereka dalam berenang untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Sebelum tubuhnya bersentuhan dengan air kolam, Kyra lebih dulu memejam mata dan merasakan terpaan angin dingin mulai menyelimuti tubuhnya yang mulai gemetaran.

Jangan takut. Ini cuma air. Ya, ini sekadar air. Bukan hal yang mesti dicemaskan. Setelah dirasa siap, Kyra pun ikut berbaur dengan ketujuh temannya yang sudah lebih dulu berenang melebihi seperempat besar kolam. Kyra memantapkan hati, meski rasa dingin makin menembus pori-pori kulit, dirinya berusaha menghalau datangnya ingatan samar-samar yang membuatnya merasa sesak.

•oOo•

8 tahun lalu

"Will, hati-hati! Ombak di sana masih terlalu besar untukmu," teriak seorang anak laki-laki bertumbuh gempal sambil menenteng papan seluncur yang akhirnya dia dapatkan setelah merengek seharian penuh pada ayahnya.

Sementara itu, anak gadis berusia tujuh tahun yang menyukai gelombang ombak yang menyerbu tubuhnya hingga merasa kalau-kalau tubuhnya terhempas kesana-kemari menjadi sensasi yang menyenangkan baginya.

Makanya, saat pengawasan dari orang tuanya melonggar dan hanya menyisakan seonggok manusia yang sebaya dengannya, tetapi malah sering kali meminta perlindungan dari gadis bernama Willa ketika orang tua anak laki-laki itu sedang tidak akur.

Kesempatan yang tidak datang dua kali, karena orang tuanya berada jauh dari bibir pantai akibat urusan bisnis mereka, Willa mengabaikan seruan anak bertubuh gempal tersebut dan makin makin mendekati ke arah pantai yang memiliki gelombang ombak cukup besar baginya.

"Willa, kembali ke sini! Kamu nggak takut tenggelam apa?" seru anak gempal untuk sekian kalinya. Dia mengkhawatirkan keadaan Willa. Mukanya memerah akibat terkena sinar matahari-juga kelakuan anak perempuan yang keras kepala dan mesti diperhatikan baik-baik olehnya.

Willa menoleh sebentar, sekadar untuk mengejek. "Kamu terlalu penakut, Aaron." Dia menyeringai saat memergoki Aaron yang menatap ngeri pada gumpalan ombak setinggi pinggang orang dewasa.

"Kemari saja kalau kamu berani. Tidak apa-apa, tuh." Willa yakin, jika anak bernyali kecil itu tidak akan memaksakan diri untuk mendekat ke arahnya. Bahkan dengan dalih, hanya untuk sekedar memastikan dirinya baik-baik saja.

Aaron memandang ngeri gelombang ombak yang menerjang Willa beberapa kali. Namun, gadis itu malah tertawa sendiri ketika tubuhnya dihempas oleh gelombang berbuih itu. Dia mengeratkan pegangannya pada papan seluncur, sambil mengikatkan kain pengingatnya ke pergelangan tangan.

Meski dia takut dengan bayangan mengerikan yang pernah dia lihat pada film-film yang menampilkan kejadian tsunami laut, misalnya. Aaron melangkah sedikit demi sedikit agar bisa menjaga gadis pemberani itu dari dekat. Kalaupun bisa, dia akan menyeret paksa gadis bebal itu supaya tidak membuatnya kalang-kabut seperti ini.

"Aku harus bisa, Om sama Tante udah percayain Willa ke aku. Willa harus baik-baik aja."

Berbekal dengan tekad yang penuh rasa tanggung jawab, karena sudah terbiasa dibebankan tugas dari sang ayah, sehingga anak sebaya dengan Willa itu, sepertinya sudah terbiasa dengan namanya sebuah kepercayaan yang selalu beriringan dengan kewajiban untuk menjaga kepercayaan itu tetap utuh.

Meski langkahnya melambat tiap kali air laut yang volume-nya makin tinggi mengenai tubuh Aaron, dia tetap melangkah walaupun harus tertatih-tatih. Akhirnya Aaron berhasil memegangi tangan mungil Willa. Gadis itu terkejut mendapati keberadaan Aaron yang berada tepat di sampingnya sambil memegangi tangan Willa dengan tangan yang gemetar.

"A-aron! Kamu ... bagaimana bisa?" Willa pengap-pengap karena merasa panik sekaligus heran dengan tekad Aaron yang dia kenal memiliki nyali kecil.

Aaron menampakkan senyum lebar, meski kakinya terasa lemas karena menerjang batas keberanian yang dia miliki, demi berada di samping Willa. Dia merasa berbangga hati dengan perjuangannya. "Su-sudah kukatakan, bukan, kalau aku tuh, pemberani, tahu!"

Willa menggeleng seraya berdecap pelan. Lalu dia menarik tangan Aaron supaya segera ke bibir pantai bersamanya. Tangan laki-laki itu masih bergetar dan sangat dingin ketika Willa menggenggamnya. Bisa-bisanya orang macam Aaron memaksakan diri, sehingga berakhir dengan kondisi yang seperti sekarang. "Ayo, kita kembali aja."

"Kenapa? Bukannya kamu suka ombak di sini, 'kan?"

Willa memejamkan matanya, berusaha membohongi orang memang bukan keahliannya, tetapi jika hal tersebut dapat membahayakan nyawa orang lain, maka mau tak mau, Willa mesti melakukan akting!

Yah, setidaknya dia sudah lama mengamati kepura-puraan yang ditampilkan ayah-ibunya itu. Jadinya, tidak akan ada masalah jika dia membohongi Aaron juga, 'kan?

Willa berbalik, dia menatap Aaron cukup lama. Kemudian ketika jeda satu napas telah usai, dia melengkungkan bibirnya selebar yang dia bisa, lalu berkata, "Aku udah nggak suka main ombak di sana. Lebih baik, kita main rumah-rumahan pasir aja, yuk!"

Aaron yang mungkin masih polos saat itu, hanya bisa mempercayai perkataan Willa. Meski sebetulnya Willa merasa skeptis jika Aaron benar-benar mempercayainya, atau kemungkinan buruknya-berpura-pura memahami Willa. Entahlah. Untuk saat itu, Willa tidak ingin memikirkan hal yang membuat kepalanya terbebani.

Lalu kebohongan lain pun muncul secara terduga. Willa sendiri tidak menyangka jika bakat berbohongnya berefek kuat pada Aaron. Makanya, ketika kebohongan yang sering kali Willa lakukan kepada Aaron berakhir dengan tragis, Willa menyayangkan keputusan yang pernah diambilnya. Dia merasa menjadi orang paling bodoh.

Sejak hari di mana Willa menyesali ucapan yang tidak jujurnya dengan dalih untuk kebaikan Aaron sendiri, perasaan hangat yang Willa rasakan ketika berada di pantai saat usianya masih muda, tidak pernah dia rasakan lagi dari orang lain.

Mungkin itu juga bagian dari karma untukku, pikirnya kala itu.

Maka, ketika mengingat Aaron yang memutuskan untuk pergi, meninggalkan jejaknya pada hati Willa, kehangatan yang pernah singgah padanya, perlahan ditelan oleh waktu. Sayang sekali, Willa tidak pernah lagi mendapatkan kehangatan yang di nantikannya. Seolah mereka semua lenyap dan segan dekat-dekat dengan Willa.

Continue Reading

You'll Also Like

700K 68.9K 24
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
894K 135K 47
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2.3M 200K 32
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
2M 29.5K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...