Wanita yang sedang berdiri di depan kamar Gibran tersenyum saat cowok itu membuka pintu kamarnya.

"Gibran, makan bareng sama Mama yuk. Papa udah nunggu di bawah," katanya dengan senyuman yang tak pernah pudar dari raut wajahnya.

"Kalau mau makan duluan aja, Gibran bisa nanti," jawab Gibran cuek.

"Sekali-kali makan sama Mama dong, ya?" bujuknya.

"Aku belum laper, kalau mau makan duluan aja." Gibran menghela napas pelan.

Fayza menganggukkan kepalanya. "Kamu, masih belum nerima Mama ya?"

Suara dengan nada rendah itu masih terdengar sampai ke gendang telinga Gibran, cowok itu hanya diam tanpa mau menjawab.

Fayza tersenyum, kemudian ia mengusap punggung Gibran lembut. "Mama tau ini berat bagi kamu, tapi Mama cuman mau akur sama kamu," ucapnya.

Sekilas Gibran melirik Fayza yang sedang menatapnya sendu, Gibran bimbang dengan perasaannya. Hatinya memilih ya, namun egonya terlalu menguasai dirinya.

Sejak dulu, Gibran memang tidak menyukai Fayza. Di rumah Gibran lebih banyak menghabiskan waktu berdiam diri di kamar, atau lebih memilih pergi ke tempat tongkrongan daripada diam di rumah.

Gibran masih belum menerima Fayza menjadi Mamanya, cowok itu masih perlu waktu.

"Aku mau istirahat, kalau mau makan duluan aja. Nggak usah nungguin aku," kata Gibran sambil menatap Fayza lekat.

"Abang, makan yuk. Mama udah masakin makanan kesukaan Abang loh." Anak kecil dengan suara cempreng itu berjalan mendekat ke arah Gibran.

Gibran menunduk sambil mengusap lembut kepala adiknya. "Icha makan duluan ya, Abang mau istirahat," ucap Gibran sambil tersenyum.

"Di sekolah Abang juga ada istirahatnya, masa di rumah istirahat lagi? Ayo makan bareng Icha," sahut Icha sambil menarik baju Gibran.

Icha bukanlah adik kandung Gibran, ia adalah adik tiri Gibran. Namun cowok itu sangat menyayangi Icha, walaupun Gibran belum menerima Fayza sebagai Mamanya sampai sekarang.

"Ayo kita makan," ajak Gibran membuat sebuah senyuman terbit dari wajah Icha.

Gibran dan Icha turun menuju meja makan, di susul dengan Fayza di belakang. Terlihat Bagas yang sudah menunggu.

Gibran melirik sekilas ke arah Bagas, masih dengan tempat yang sama, namun dengan suasana yang berbeda.

***

"Gina!" teriak Sheva membuat Gina berbalik menatap ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Gina saat Sheva sudah berdiri di sampingnya.

"Enak ya jadi lo, sana-sini di gandeng sama cogan semua," kata Mayla kemudian.

"Maksudnya?" tanya Gina tak mengerti.

"Halah, jujur aja. Kemarin lo di anter pulang sama Gibrankan?" tanya Disya sambik merangkul Gina.

Gina tertegun. Bagaimana mereka bisa tau? Tak mungkin jika Gibran yang bercerita. Cowok itu bahkan acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, apalagi menceritakan hal tak penting seperti ini.

"Kok kalian tau?" tanya Gina nyaris berbisik.

"Raga yang kasih tau semalem, terus tadi Sheva cerita," balas Mayla.

"Kebetulan gue ketemu," sahut Gina cuek.

Disya mendengkus. "Gibran orangnya nggak peduli sama orang, terus sekarang dia peduli sama lo? Fiks pasti dia suka."

GIBRANWhere stories live. Discover now