H2 🪴 Bertemu Dengannya Lagi

Mulai dari awal
                                    

"Hanan?" beo gadis itu pelan. Lalu, menoleh menatap pemuda yang diduga bernama Hanan. Dan Mardhea terkejut melihat senyuman manis menampilkan lesung pipi yang dalam.

Madu. Cowok di depan gue beneran madu. Manis banget!

"Iya, Umi." Pemuda itu menyahut dan berlalu pergi.

Mardhea kembali terkejut, matanya nengerjap.

"Umi? Di-dia anaknya Bunda Afsheen? Astaghfirullah demi apa?!"


🪴🪴🪴

"Jadi, kamu udah kenal sama Dhea?"

"Dhea? Siapa, Umi?"

Afsheen tersenyum geli melihat wajah heran putra sulungnya. Tangannya tergerak, mengelus rambut Hanan yang tebal. Meskipun Hanan tidak lahir dari rahimnya, tapi pemuda tujuh belas tahun itu sudah seperti hidupnya. Putra pertama yang melihat bagaimana susahnya ketika ujian rumah tangga menerpa, ketika perlahan Afsheen kehilangan genggaman terhadap banyak orang, maka jemari mungil Hanan yang waktu itu masih berumur lima tahun menjadi pegangan. Kini putranya sudah besar, tumbuh dengan baik, dan juga menjadi anak yang sholeh seperti apa yang Hanan kecil mau.

Melihat sang umi terdiam dengan mata berembun, Hanan yang tadi duduk bersila di karpet sembari membaca buku, kini pindah ke atas sofa. Menggenggam lembut tangan wanita yang telah merawatnya ketika sang mama harus pergi meninggalkan.

"Kenapa, Umi? Kenapa menangis?" tanyanya begitu lembut.

"Gak papa, Umi seneng aja liat Hanan sudah besar. Tampan. Maafkan Umi yang egois maksa Hanan keluar dari pondok, ya?"

Hanan bungkam. Awalnya memang berat ketika mendengar permintaan uminya untuk pindah ke sekolah umum padahal sedari kecil dia sangat menyukai lingkungan pesantren. Bagi Hanan, lingkungan sangat berpengaruh pada keistiqomahan iman. Dan berada di dekat orang-orang baik yang tanpa ragu menegur ketika salah adalah sebuah keberuntungan. Namun, bukankah berbakti kepada orangtua lebih utama? Apalagi disaat tau alasan apa yang sebenarnya di balik permintaan wanita paling berharga di hidupnya tersebut.

"Jangan meminta maaf, Umi. Gak ada yang salah, ini memang sudah seharusnya." Hanan berucap lembut, tangan putih uminya dicium hangat. "Hanan akan selalu patuh sama Umi hingga Hanan kembali ke sisi ilahi."

"Terima kasih, Sayang."

"Afsheen, dokumen project pembangunan hotel di Surabaya, apa kamu liat? Aku butuh sekarang."

Seorang pria dengan rambut acak-acakan turun dari tangga, berjalan tergesa menuju dua orang yang sedang duduk di ruang keluarga. Pria berusia 35 tahun itu baru saja terbangun setelah tadi tertidur pulas.

"Dimana, Sheen?" tanyanya mengulang karena sang istri tak kunjung menjawab.

"Gak tau!" jawab Afsheen ketus. Davian cemberut di saat Hanan tertawa.

Tidak ada pilihan lain ketika istrinya merajuk selain mendekati dan memeluknya. Davian menggesekkan pipinya ke pipi sang istri membuat Afsheen bersusah payah menahan senyum. Sedangkan, Hanan memilih kembali duduk di atas karpet dan melanjutkan bacaan.

"Maaf, Sayang. Tadi ketiduran, capek kerja. Maaf, ya? Janji enggak lagi deh, ya? Ya?" Davian merengek.

Dia memang salah karena tertidur setelah asar hingga melewati sholat maghrib. Di saat Afsheen dan anak-anak mereka pergi ke pondok, dirinya justru tertidur. Begitu mereka pulang dan sang istri menemukannya belum sholat padahal sepuluh menit lagi waktu isya akan tiba membuat Davian terpaksa untuk mengqadha sholatnya. Dan karena kantuknya belum hilang, dia kembali tertidur setelah isya menambah kemarahan sang istri. Dia baru bangun ketika ponselnya berbunyi nyaring karena telepon dari klien.

"Sayang—"

"Tuh, dokumennya di bawah Hanan." Afsheen memotong.

"Kamu yang sembunyiin dokumen punya Abi, Han?" tuduh ayah tiga anak itu dengan alis bertaut.

Yang dituduh memasang wajah cengo. "Kenapa Hanan, Umi? Hanan gak tau apa-apa!"

"Kamu tau! Hanan tau kalau Abi tidur setelah asar dan gak bilang ke Umi!"

"Ta-tapi Umi—"

"Umi marah sama kalian berdua!"

"Yah Umi!"

Afsheen berdiri, berjalan menuju kamarnya untuk bersiap tidur. Hanan mengeluh pasrah.
Detik berikutnya memekik kesal karena Davian mendorong tubuhnya untuk mengambil dokumen yang ada di bawah karpet. Sang Abi tersenyum puas melihat wajah Hanan yang cemberut.

"Kasian dimarahin Umi!" ejek Davian dengan wajah menyebalkan.

"KAK DAVIAN MALAM INI TIDUR DI LUAR AJA!"

"Eh?"

🪴🪴🪴

Suara detak jam terdengar jelas, terasa sangat lambat dan pelan. Gadis berambut sebahu itu menatap layar televisi yang menampilkan sebuah film dengan raut datar. Rumah yang didominasi warna putih bercampur kuning itu terasa sangat sepi. Mardhea menghembuskan napasnya perlahan sebelum menyesap kopi yang ada di depannya. Hari sudah menunjukkan pukul satu malam, tetapi matanya sulit terpejam. Rasa hampa yang ada di dalam dadanya membuat Mardhea merasa sesak.

Setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja, tangannya tergerak meraih ponsel dan memainkannya. Dia membuka aplikasi WhatsApp, tetapi tidak ada satu pun teman-temannya yang online. Tentu saja, besok ada ulangan sejarah. Anak sekelasnya pasti sudah tertidur atau pun belajar dan mematikan ponsel mereka. Namun, sebuah panggilan secara tiba-tiba membuat Mardhea membulatkan mata. Terlebih nama yang kini tampil di layar ponselnya.

Mama yang maha benar.

Mardhea menghela napas panjang, lalu menjawab panggilan.

"Kenapa belum tidur? Sudah belajar? Mama denger besok ada ulangan, Mama mau kamu dapat nilai yang sempurna. Gak boleh ada cacat. Paham?"

Gadis berusia 17 tahun itu terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan banyak ekspresi. Ibunya gila kerja, tidak pernah pulang, dan selalu memaksanya menjadi siswi sempurna. Namun, dirinya tidak sekuat itu. Bertahan sendiri menghadapi sepi saja terkadang membuat Mardhea ingin melakukan hal gila.

"Dhea?"

"Ya, Mama. Dhea tidur dulu. Selamat malam."

Panggilan terputus. Dia berdiri, melangkah menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Membuka pintu kamar bewarna putih dan masuk. Matanya jatuh pada foto kebersamaan dengan sang ayah yang dipajang di dinding kamar. Mardhea mendekatinya, menyentuh foto itu dengan lembut.

"Dhea rindu, Papa."

Air matanya jatuh. Setegar apapun dirinya di sekolah, menghibur teman-temannya, tetapi pada akhirnya dia selalu kalah jika berhadapan dengan rasa rindu pada sang Papa. Rizal Refendi—papa Mardhea— bercerai dengan mamanya semenjak dia duduk di kelas 2 SMP. Dan papanya sekarang berada di Malang, bekerja di sana.

"Gak boleh sedih. Dhea harus kuat demi Mama. Jangan nangis, nanti Mama susah." Mardhea mengulang ucapan terakhir Rizal.

Dia menghapus air matanya. Mengukir senyuman manis, lalu melempar tubuh ke atas ranjang. Mengambil boneka sapi pemberian papanya di ulang tahun ke 12 dan menutupi wajah dengan boneka itu.

"Mardhea, gadis kuat, Papa."

🪴🪴🪴

Yeay update lagi!

Selamat malam minggu.

Dan sampai jumpa di malam minggu berikutnya!

Semoga kalian suka cerita ini😚🥰

Hanan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang