Sebelum Melepas

10 6 1
                                    

Setelah malam itu, juga hari-hari setelahnya, aku dan Kak Tama semakin dekat. Setiap hari Kak Tama menghubungiku, sekadar menanyakan sedang apa atau bertanya tentang kegiatanku setiap harinya yang lebih terkesan membosankan katanya. Sesekali aku juga mendengarkan cerita dari Kak Tama yang sepertinya cukup menyenangkan dan menantang. Terkadang juga aku masih bercerita tentang Kak Irba. Tentang kenanganku bersamanya, hingga novel tentang kisahku dengannya.

Kak Tama adalah pendengar yang baik. Dia juga memberi solusi ketika aku memang membutuhkan solusi darinya. Setelah malam itu aku dan Kak Tama tak lagi bertemu. Kak Tama sibuk dengan kegiatannya, aku pun sama. Namun, siang ini Kak Tama mengajakku bertemu. Katanya dia ingin menemaniku. Sekalian mencari kado untuk pernikahan Kak Irba besok.

Kak Tama menjemputku pukul 3 sore di rumah. Hari ini aku tak datang ke Kedai Coffee. Sedang ingin berdiam diri di rumah. Hari ini aku juga libur kuliah. Hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Membaca buku, mendengarkan musik, menikmati kopi buatan sendiri, juga menonton film ketika bosan atau butuh inspirasi tambahan untuk menulis.

Pukul 2 siang aku mulai bersiap untuk pergi dengan Kak Tama. Kali ini aku bergegas mandi supaya Kak Tama tidak menunggu lama karena aku tertidur lagi. Kasihan dia.

45 menit aku sudah siap untuk pergi. Aku kira Kak Tama belum datang, ternyata dia sudah duduk di kursi depan.

“Eh, hai, sudah datang ternyata.” Ucapku canggung kepadanya ketika aku membuka pintu dan mendapatinya sedang menungguku.

“Iya.” Jawabnya singkat.

“Sebentar, aku ambil tas dulu.” Aku kembali masuk tanpa menunggu balasan jawaban darinya. Mengambil tas dan helm yang selalu aku simpan dalam kamar, lalu kembali menemui Kak Tama untuk pergi bersamanya.

Pukul tiga tepat aku dan Kak Tama berangkat meninggalkan rumahku. Menelusuri jalanan kota dengan panas matahari yang mulai menghangat, juga cahayanya yang kian petang kian meredup, lalu hilang tergantikan oleh bulan dan bintang. Jalanan masih ramai, ditambah lagi ini jam-jam pulang kerja. Jadi jalanan semakin macat di beberapa tempat.

30 menit perjalanan dari rumahku untuk sampai di pusat perbelanjaan yang terkenal cukup murah dan lengkap di Yogyakarta. Kak Tama berjalan di sebelahku setelah memarkir kendaraannya di tempat parkir yang sudah disediakan. Lumayan jauh dari pusat perbelanjaan yang akan dituju, tapi itu tidak menjadi masalah. Barangkali, jalan kaki akan membuat aku dan Kak Tama lebih akrab dengan pembicaraan ringan di perjalanan. Semoga.

“Gimana kuliahnya?” Tanya Kak Tama.

“Ya, gitu-gitu aja. Lancar, banyak tugas, tapi ya masih bisa mengatasi. Ada sedikit masalah organisasi juga, tapi semoga segera terselesaikan.” Kak Tama hanya mengangguk.
“Kakak gimana kegiatannya?” Aku melanjutnya bertanya kepadanya.

“Lumayan sibuk sih. Nggak ada yang spesial, tapi ya masih bisa dinikmati.” Aku mengangguk tanda mengerti.

Obrolan basa-basi melengkapi perjalanan menuju ke pusat perbelanjaan. Setibanya di sana, aku bingung akan membeli apa. Terlalu banyak penjual dan beragam barang yang dijual. Pakaian, sepatu, sandal, hingga hiasan rumah.

“Aku masih bingung akan membeli apa.” Ucapku ketika menghentikan langkah di depan sebuah toko baju.

“Gimana kalau kita buat kado sendiri aja?”

“Kado apa?”

“Apa aja, kado nggak harus mahal untuk menjadikannya terkesan.” Aku hanya mengangguk. “Ikut aku.” Kak Tama melangkah menuju ke suatu tempat yang aku belum tahu. Aku mengikutinya dari belakang. Langkahnya lebih cepat dari aku.
Tibalah di sebuah tempat penjualan bunga dan hiasan rumah.

Ai ajuns la finalul capitolelor publicate.

⏰ Ultima actualizare: Dec 14, 2020 ⏰

Adaugă această povestire la Biblioteca ta pentru a primi notificări despre capitolele noi!

AFFOGATOUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum