Pupus

48 13 12
                                    

Setelah tidak dengan Irba, aku mencoba tetap baik-baik saja. Karena memang semua akan baik-baik saja meski tanpanya. Aku hanya perlu terbiasa dengan segala keadaan yang ada. Hanya perlu membiasakan diri berjalan seorang diri (lagi).

Meski harus aku akui, tanpa Irba seolah aku mati rasa. Hidupku terasa sangat hampa. Waktu berlalu begitu saja tanpa terasa. Namun, seolah ia berjalan lebih lambat dari biasanya. Barangkali, sebab menahan rindu yang semakin menggebu. Atau justru, sebab lelah berjuang meninggalkan masa lalu yang tak kunjung hilang dari ingatan.

Irba telah memilih untuk hilang. Memilih jalan lain selain aku. Namun, segala kenang masih membayang dalam pikiran. Belum juga memudar perlahan. Tak satu pun terhapuskan. Terlalu sulit bagiku menghapus segala hal yang pernah ada. Yang pernah aku lalui bersama Irba. Menyusuri jalanan kota ketika senja, memilih buku di Gramedia hingga berjam-jam lamanya, atau justru hanya sekadar mengobrol ringan di kedai coffee favoritku. Hal-hal sederhana yang sulit sirna.

Aku tak tahu bagaimana kabar Irba sekarang. Namun, do’aku selalu menyertainya.

***

Aku ingin menghabiskan hari ini seperti biasa. Datang ke kampus dan sepulangnya langsung menuju ke kedai coffee. Menghabiskan waktu di sana. Menikmati affogato atau justru memilih ekspresso sebagai perwakilan perasaanku saat ini, seperti prinsip Irba.

Namun, sepertinya rencana hari ini terpaksa harus aku urungkan. Ekspektasi-ku tentang berdiskusi bersama sepi harus aku batalkan. Sepulang dari kampus, aku harus pergi ke toko buku untuk mencari buku referensi tentang hukum sebagai bahan pembelajaran di kampus.

Sesampainya di toko buku, aku bergegas menuju ke deretan buku referensi ilmu hukum. Aku membuka tasku, mengambil handphone untuk melihat contoh cover buku yang akan aku beli.

Buku berjudul Ilmu Hukum karya Prof. Dr. Satjipto Raharjo, S.H. Ini buku yang langka. Buku yang mempelajari dasar-dasar ilmu hukum, lebih tepatnya membahas tentang hukum progresif, bukan seperti buku-buku hukum yang lain yang membahas tentang hukum positif di Indonesia.

Aku masih mencari buku itu. Sembari memutar ulang ingatan tentang Irba. Dulu Irba sering mengantarku mencari buku. Menungguku dengan berdiri di sudut ruangan toko atau sibuk mencari buku yang sekadar ingin dia koleksi. Atau justru buku yang ingin dia rekomendasikan untukku.

Ketika aku sedang sibuk memilih buku sembari memutar ingatan kembali, suara seorang pria memanggil namaku.

“Bu Elisya sendirian? Cari buku apa, Bu?” Suara lelaki yang masih terdengar khas ditelinga, meski kini aku tak lagi dapat mendengarnya.

“Irba? Beneran Irba? Duh, halu nih pasti.” Aku menampar pipiku sendiri dengan tidak begitu keras. Meyakinkan bahwa aku memang sedang berhalusinasi.

“Aduh, sakit.” Aku menggerutu kesakitan ketika Irba mencubit pipiku dengan tidak terlalu keras dan sebenarnya tidak sakit.

“Lagian, kamu sih. Sudah tahu ini aku. Ini tuh aku, Irba Zion. Mantan terindah kamu, iya kan? Hehe.” Irba meledek.

“Aku kira lagi halu. Hehe. Siapa suruh manggil aku gitu? Kau kira aku ibumu apa?” Aku cemberut, kemudian tersenyum.

“Ya sorry. Habisnya kamu sibuk banget. Cari buku apa sih?” Tanya Irba sambil melemparkan pandangan ke rak buku.

“Sendirian?” Tanya Irba.

“Iya lah. Sama siapa lagi?”

“Belum ada pacar baru? Atau jangan-jangan, belum bisa move on dari aku ya? Ya ampun, Sya.” Irba melontarkan pertanyaan dengan pernyataan yang sangat tepat. Dengan penuh percaya diri. Seolah dia tahu betul bagaimana hariku tanpanya. Paham tentang aku yang sulit berpaling darinya. Paham, bahwa tak mudah bagiku untuk membuka hati kembali untuk orang lain.

AFFOGATOWhere stories live. Discover now