Seusai Hujan Reda

12 8 0
                                    

Hujan seolah paham akan kesedihan yang saat ini aku rasakan. Kesedihan yang bahkan rasanya terlalu sulit untuk aku ungkapkan. Rasa sedih sebab kehilangan seseorang yang selama ini selalu diharapkan. Juga rasa senang sebab ada seorang teman baru yang mencoba menghiburku. Setidaknya, kehadiran Kak Tama mampu membuatku lupa perihal pernikahan Irba dengan Dinda.

Siang menjelang sore tadi ketika aku di toko buku, hujan turun cukup lebat. Kini menjelang malam, hujun tiba-tiba jatuh ke bumi lagi. Entah hujan sedang turut merasakan yang aku rasakan, atau justru hujan sedang memberiku kesempatan untuk mengingat ulang kenangan yang pernah ada bersama Irba. Aku tak begitu paham.

Aku masih mengurung diri di dalam kamar. Aku melihat jam dinding yang terpajang di dekat pintu kamar, pukul 19.45. Orangtuaku pergi ke luar kota cukup lama. Sekitar satu bulan. Adikku juga akan mengikuti kegiatan sekolah selama satu minggu. Aku di rumah sendirian. Perutku merasa lapar. Ingin memasak, tetapi aku tak begitu paham perihal dapur, perihal masak-memasak.

Hujan di luar cukup lebat, membuatku malas jika harus ke luar untuk mencari makan. Aku berniat memesan makanan melalui aplikasi online. Belum sempat aku memesannya, terdengar suara bel rumah berbunyi.

Aku bergegas beranjak dari tempat tidur dan menuju ke pintu rumah. Aku cukup terkejut ketika menemui seorang lelaki yang  berdiri di depan rumahku.

“Hah? Kak Tama?” Dia hanya tersenyum memperhatikan wajahku yang kebingungan karena kedatangannya.

“Boleh masuk?”

“Ada apa? Mau ambil buku? Di rumah nggak ada orang, jadi aku nggak bisa memberi izin kakak untuk masuk. Maaf.” Ucapku.

“Okay, aku duduk di luar.” Kak Tama duduk di kursi depan rumah, aku mengikutinya dan duduk di sebelahnya.

“Kakak tahu alamat rumahku dari mana?” Tanyaku dengan tatapan waspada.

“Ada deh, nggak penting tahu dari mana. Aku tahu kamu di rumah sendirian, orang tuamu pergi ke luar kota, dan adikmu sedang ada kegiatan sekolah.” Ucapnya sambil menatapku kasihan. “Lapar, kan?” Tanyanya.

“Hah?”

“Iya, kamu kan di rumah sendirian, pasti nggak ada makanan karena nggak ada yang masak, kan?” Aku hanya diam dan menganggukkan kepala. Memang benar jika aku di rumah sendirian, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak ada yang masak, lalu aku akan kelaparan. “Makan aja dulu, ngobrolnya nanti lanjut lagi.” Lanjutnya sambil membuka bungkus makanan.

“Okay. Do’a dulu deh.” Aku dan Kak Tama memejamkan mata dan berdo’a. Setelah itu menikmati makanan tanpa ada pembicaraan. Yang ada hanya saling pandang satu sama lain. Kemudian aku malu sebab ketahuan sedang memperhatikannya makan.

Setelah selesai makan dan meneguk minuman yang satu paket dengan makanannya, Kak Tama memulai pembicaraan lagi.

“Kamu besok ada kegiatan apa?” Tanyanya sambil memasukkan bungkus makanan ke dalam plastik lagi sebelum membuangnya.

“Besok kuliah.” Jawabku singkat.

“Setelah pulang kuliah?”

“Hmm,… Ada kegiatan Pramuka.”

“Sampai jam berapa?”

“Kurang tahu ya, seselesainya.”

“Kalau ada waktu, aku mau ajak kamu jalan.” Terangnya sambil menatapku.

“Lain waktu deh. Kalau libur kuliah.”

“Okay, kalau gitu aku pulang dulu ya. Sudah malam juga. Kamu langsung tidur ya, besok kan kuliah.”

“Iya, terima kasih makanannya. Jadi ngerepotin.” Aku mengikutinya berdiri sebelum dia menuju ke motornya yang diparkir di depan gerbang. Hujan sudah cukup reda, tinggal gerimis yang tersisa.

“Sama-sama, nggak ngerepotin, santai aja. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku.” Dia tersenyum yang juga aku balas dengan senyum. Kak Tama naik ke atas motor dan menyalakannya, kemudian beranjak pergi setelah mengucapkan ‘Good night, see you tomorrow.’

Aku menutup gerbang kemudian masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke kamar, aku menuju ke dapur untuk membuat kopi hitam. Malam ini aku ingin melanjutkan menulis ceritaku.

Selesai membuat kopi aku langsung menuju kamar. Aku membuka laptop dan menyalakannya. Beberapa saat kemudian, handphone-ku berbunyi. Sebuah pesan masuk melalui DM. Pesan dari sebuah akun yang tak aku kenal.

@ptr.tma : “Kalau tidur jangan malam-malam.”

Aku tak tahu itu akun siapa. Awalnya aku mengabaikannya karena aku tak mengenalnya. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk lagi ke ponselku melalui  DM. Akhirnya aku hanya membalasnya dengan mengirim tanda tanya.

@ptr.tma: “Aku Tama.”

@elsya.frns: “Oh. Gimana, kak?”

@ptr.tma: “Gapapa. Cuma ngingetin aja, jangan tidur larut malam, baca do’a sebelum tidur, dan semoga mimpi indah.”

Aku hanya membalas dengan emoji senyum.

@ptr.tma: “Boleh minta nomormu? Supaya lebih enak ngobrolnya.”

@elsya.frns: 0812-3108-2873

Tak ada balasan melalui DM, tapi sesaat kemudian ada pesan masuk melalui WA. Pesan dari Kak Tama yang memintaku untuk menyimpan nomornya. Aku hanya membalas sekadarnya dan menyimpan nomornya.

Kak Tama yang awalnya mengirim pesan untuk mengingatkanku supaya tak tidur larut malam, kini justru menemaniku chatting hingga larut malam. Aku dan Kak Tama membahas apapun yang bisa dibahas, mulai dari kuliah, hobi, hingga kesibukanku.

Tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 01.47 WIB.

Kak Tama: “Sudah malam, kamu nggak tidur?”

Elisya: “Belum.”

Kak Tama: “Tidur sana, besok kan kuliah.”

Elisya: “Iya…”

Kak Tama: “Selamat malam, Sya. Selamat istirahat, semoga mimpi indah.”

Lagi-lagi aku hanya membalas dengan emoji senyum.

Percakapanku dengan Kak Tama cukup untuk hari ini. Aku cukup senang bisa kenal dengan Kak Tama. Aku mematikan laptop dan menuju ke tempat tidur.

Entah kenapa, lagi-lagi ingatanku kembali kepada Irba. 6 hari menuju pernikahan Irba, tapi aku masih belum mampu merelakannya. Tapi setidaknya aku bersyukur dengan kehadiran Kak Tama dalam hidupku. Barangkali benar, akan ada pelangi setelah hujan reda. Akan ada kebahagiaan setelah luka dan air mata.

^‘‘‘~~~’’^

No Plagiat!!!

Jangan lupa follow, vote, komen, dan share.

Terima kasih telah bersedia membaca.🤗

Kritik dan saran diterima dengan terbuka.🙃

Salam
~Delight Ayako

AFFOGATOWhere stories live. Discover now