Cₕₐₚₜₑᵣ ₂₀ || 𝗦𝘁𝗮𝗻𝗱𝗮𝗿𝗶𝘀𝗮𝘀𝗶

1 0 0
                                    

Pagi Hari

Ivana menatap dirinya di cermin kamar mandinya. 5 menit sebelumnya ia menahan perihnya luka-luka pada bagian tubuhnya ketika bertemu dengan air. Ia melihat dirinya kembali di cermin, terdapat luka benturan di jidat bagian kirinya. Ia segera membuka cermin kabinetnya yang di dinding. Ia mengambil hansaplast dan gulungan pembalut luka. Hansaplast ia tempelkan pada luka di jidatnya, sementara untuk gulungan pembalut luka ia akan melilitkannya pada tubuhnya. Sudah lama ia tak melakukan ini, tapi kali ini ia melakukannya lagi, membaluti tubuhnya yang penuh dengan luka.

Kemarin sore setelah Ivana menanyakan kabarnya, ia langsung turun dari kasur dan tertawa keras dengan kedua tangan memegang kepalanya. Harusnya ia merasa takut, seperti biasanya, tapi anehnya kini Ivana tak merasa begitu lagi, ia merasa sedih melihat kondisi sang ayah. Ia kembali berpikir kemana dia selama ini? saat ayahnya dalam kondisi seperti ini ia malah kabur, saat ayahnya membutuhkannya disisinya ia malah menghilang. Ayahnya mungkin tidak berkata demikian, kata-katanya selalu bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya ia inginkan. Jika ia berteriak "Pergi!!" maka hatinya berkata "Tetaplah disisiku".

Ayahnya mengusirnya kembali dari rumah itu, seperti kejadian 3 tahun silam. Kini ia tak mau kembali menyesali keputusannya, ia tak mau lari darinya. Ia tak ingin menjadi Ivana 3 tahun lalu yang menuruti keinginan sang ayah dan keluar dari rumah. Ia berkagta "Tidak", untuk pertama kalinya pada ayahnya. Ivana dapat membaca situasi yang sering dialaminya, Ayahnya geram kemudian kembali melakukannya, melepas ikat pinggangnya kemudian mencambuki gadis itu. Ivana tersenyum ketika ayahnya melakukan itu padanya, ia merindukan ini. Jika ayahnya membutuhkan media penyembuhan biarkan dirinya menjadi media itu, Jika ayahnya butuh sandaran biarkan ia menjadi tiang sandarannya agar ia bisa beristirahat, agar ia dapat kembali menjalani hidupnya.

Setelah selesai menutupi luka-lukanya, ia bersegera mengenakan seragam sekolahnya, membereskan tas dan buku-bukunya lalu beranjak pergi kesekolah.

Di sekolah

"Gray kau sendiri yang bilang kau mau! kau sudah janji!", Camila mengeluh.

"Waktu itu aku tidak fokus, aku tidak berjanji padamu", kata Gray. 

Camila meneteskan air mata lalu cepat-cepat mengusapnya dengan lengannya. 

"Kau memang jahat, tidak ada gunanya berharap padamu", gadis itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari Gray. 

Gray merasa bersalah telah membohonginya, bagaimanapun perkataannya pada Camila di hari pertunjukkan itu memang tidak ia katakan dengan sungguh-sungguh, ia hanya geram melihat Ivana dan Justin yang saat itu sedang bersama. 

Di sisi lain, Ivana sedang berjalan di caffeteria sekolah. Saat ia sedang mengambil roti ia melihat Will sedang berjalan. Ivana berjalan menujunya dan memanggil namanya.

"Will!". 

Will membalikkan tubuh dan sekarang berhadapan dengan Ivana, ia memegang nampan penuh dengan roti dan minuman cepat saji. Will menatapnya tanpa emosi, tidak seperti biasanya yang selalu ceria dihadapannya.

"Kau mau apa?", tanya Will.

"ohh aku.. apa kau ingin makan bersama?", tanya Ivana sembari tersenyum.

"Maaf aku sudah makan dengan teman-teman lain", Will menengok kebelakang melihat meja diujung sudut ruangan. Di sana terdapat tiga laki-laki sedang berbincang. Ivana mengikuti arah matanya.

𝑯𝒆𝒓 𝑳𝒂𝒔𝒕 𝑴𝒆𝒔𝒔𝒂𝒈𝒆𝒔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora