Cₕₐₚₜₑᵣ ₈ || 𝗠𝗶𝘀𝘁𝗲𝗿𝗶

6 0 0
                                    

09.00 am, rumah Ivana.

"apa yang kalian inginkan untuk makan siang?", ujar Ivana.

"pasta!!, pasta buatanmu yang terbaik Ivy", Will menjawab sedikit berteriak.

"Baiklah, bagaimana dengan kalian berdua?". Ivana menatap Justin dan Gray.

"Aku suka semua masakan yang kau buat", jawab Gray tersenyum. Ivana membalas senyumnya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Justin.

"pasta", Justin tak memandang balik wajahnya.

"okay, aku akan ke kamar mandi terlebih dahulu". Ivana bergegas menuju kamar mandi di dalam kamarnya.

sesampainya di kamar mandi ia segera menutup pintu lalu menatap dirinya pada cermin di dinding sebelah kanan kamar mandinya. Ia mengangkat bajunya, berharap pandangannya tidak disambut oleh luka yang parah karena kejadian tadi pagi. Tercermin pada kaca itu, permukaan tubuh sebelah kiri tulang rusuknya, tubuhnya berwarna ungu menandakkan luka yang di dapatnya cukup parah. Selama perjalanan pulang ke rumah, ia merasakan sesak pada dadanya karena menahan rasa sakitnya, tetapi ia tak menyangka akan separah ini lukanya. Ia segera mengambil salap, dari kotak kecil yang ia taruh di kamar mandi, seluruh konsumsi obat-obatan ia dalam kotak tersebut. "ini sangat perih", katanya dalam hati saat mengoleskan salap pada lukanya.

Sementara di sisi lain Gray, Will, dan Justin sedang menunggu Ivana di sofa. sejak 2 tahun yang lalu Ivana sudah mulai hidup mandiri, ia tinggal terpisah dengan ayahnya. sampai sekarang Ivana tak pernah menceritakan pada mereka masalah apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungannya dengan ayahnya hingga ia harus hidup terpisah dan membiayai hidupnya sendiri dengan berkerja paruh waktu. Ivana tak pernah membuka mulutnya untuk bercerita, mereka juga tak memaksanya untuk berkata, semua dari mereka menunggu waktu yang tepat, bahkan jika itu membutuhkan waktu beberapa tahun lamanya, hal yang terlewatkan oleh mereka adalah, apakah pernah ada waktu yang tepat?, semesta ini bahkan tak bisa menjawabnya, jam terus memainkan perannya sebagai penggerak waktu, pada akhirnya tak lagi tersisa waktu untuk kata "tepat".

kala keheningan melanda pikiran mereka, Gray menyadari ketegangan dan kekeliruan yang tiba-tiba tampak pada wajah sahabatnya.

"Kau sudah minta maaf padanya?", tanya Gray pada Justin.

"Itu bukan urusanmu", imbuhnya

"memang itu bukan urusanku, kau yang melukainya, kau yang harus bertanggung jawab, setidaknya mengatakan permohonan maaf", Gray meninggikan nada suaranya. sementara itu Will tak dapat mengeluarkan sepatah kata ketika kedua temannya sedang bersahut-sahutan.

"Kenapa kau begitu kesal?, minta maaf tak akan mengubah apa yang telah terjadi, itu tidak ada gunanya".

"Ya itu memang tak akan menyembuhkan lukanya. Setidaknya dia tahu kau merasa bersalah atas luka yang ada di tubuhnya, setidaknya ia tidak merasa sakit yang yang berlebih ketika kau minta maaf padanya". Justin terdiam, merenungi perbuatannya.

"Kalian sedang apa?", Ivana keluar dari kamarnya.

"ahh, kami sedang..", jawaban Will terpotong dengan perkataan Justin.

"Membahas game baru", Will dan Gray mengarahkan pandangan pada Justin. Gray tersenyum kecil, ia tak percaya Justin masih tak mau mengatakan permohonan maafnya.

"Ahh baiklah, kalian bisa menonton tv saat aku membuat pasta", ujar Ivana dengan senyum di wajahnya.

mereka semua menangguk, Ivana berjalan ke dapur untuk mulai memasak pastanya. Di tengah-tengah kegiatan memasaknya, ia tersadar bahwa ada bahan yang habis sehingga ia memutuskan untuk pergi ke supermarket yang tak jauh dari rumahnya. ia berjalan menuju gantungan jaket dan memakai jaket, juga sepatunya.

"Ivy kau ingin pergi kemana?", tanya Will.

"Lada dan oreganoku habis, aku akan kembali setelah membelinya di supermarket".

"ahh baiklah, hati-hati di jalan", kata Will.

"aku akan menemanimu", kata Gray.

"kau yakin?, aku tidak apa-apa pergi sendiri", tanya Ivana.

"yaa aku juga butuh udara segar", Alasan itu tidak sepenuhnya salah, selain ia ingin menemani Ivana, ia juga menghindari perbincangan dengan Justin karena keduanya sedang berkepala dingin.

Ivana membuka pintunya, dan mereka berdua keluar. Ivana tinggal di apartment flat yang jaraknya tak jauh jauh dari supermarket. hanya berjalan butuh berjalan 5 menit untuk sampai sana. selama perjalanan Gray tak berkata apa-apa, itu membuat Ivana cemas.

"Gray?, kau kenapa?".

Gray menoleh kearah Ivana, "Aku tak apa-apa, bagaimana dengan lukamu apa itu parah?", ia bertanya karena khawatir.

"Ahh itu bukan apa-apa, dalam permaianan pasti ada saja luka kecil yang kita dapat".

"syukurlah kalau memang begitu, bagaimana dengan ayahmu? apa kau baru-baru ini mendengar kabar darinya?". mendengar hal itu Ivana mengalihkan pandangannya yang tadinya menatap Gray ketika berbicara sekarang ia melihat jalanan.

"Yaa, dia baik-baik saja", jawaban yang sama selalu ia berikan jika diberi pertanyaan yang sama.

"Oh iyaa, aku telah menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran sekolah", ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"benarkah?, bukankah pendaftarannya masih lama?", Gray tertawa kecil karena Ivana yang begitu bersemangat mendaftar sekolah.

"tentu saja, aku tak sabar menunggu hari itu datang", Ivana tersenyum.

Berbincang-bincang selama perjalanan, akhirnya mereka sampai di supermarket. mereka berpencar untuk mencari lada dan oregano yang dibutuhkan Ivana untuk memasak. Ivana berhenti di bagian obat-obatan, matanya tertuju pada obat hangover, perdebatan dalam hatinya sedang berlangsung, haruskah ia membeli obat tersebut? tanyanya pada dirinya.

Sementara Ivana sedang dilema, Gray menemukan lada dan oregano di bagian bumbu dapur. Ia segera mencari Ivana, kemudian mendapatinya sedang berdiri di bagian obat-obatan. Gray berjalan mendekat Ivana.

"Ivy, Aku sudah menemukannya, ayo kita bayar".

Ivana terlihat kaget saat mendengar suara Gray. "ka-kau sudah menemukannya?, kalau begitu ayo kita beranjak". Ivana jalan mendahului Gray menuju kasir. Gray memandang obat-obatan yang tadi di pandang oleh Ivana. Ia tak tahu apa yang sedang Ivana pikirkan dalam benaknya. semakin hari kecurigaan dan kekhawatiran yang ia taruh padanya bertambah. Saat ini menduga-duga isi pikirannya adalah satu-satunya hal yang ia bisa lakukan. Karena seberapa keras ia mencoba untuk membuatnya mengungkapkan isi benaknya, ia tak akan melakukannya. Ivana selalu menjadi misteri baginya, selama bertahun-tahun ia akan tetap menjadi misteri yang tak terungkap namun berteriak memohon untuk dipecahkan. Ia tak kunjung terpecahkan, dan itu membuatnya semakin tertarik untuk memecahkannya. membuatnya semakin tertarik untuk mendapatkan jawaban yang ia cari.

bukankah ini sesuatu yang menarik? untuk mengungkapkan kebenaran yang tak seharusnya di ungkapkan.

~ ღ ~ 

~ ღ ~ 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝑯𝒆𝒓 𝑳𝒂𝒔𝒕 𝑴𝒆𝒔𝒔𝒂𝒈𝒆𝒔Where stories live. Discover now