#5

109 15 9
                                    

^Antara Senja dan Sinarnya^

Seperti biasa, sore ini aku dan Reza sedang menikmati matahari tenggelam di rooftop. Reza memeluk leherku dari belakang, sedangkan tanganku memegangi cangkir berisi teh yang kami minum berdua.

Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, sinarnya merah merekah dengan guratan hitam yang semakin lama semakin meluas, mengalahkan sinar senja yang indah.

"Far, sekarang aku punya definisi baru tentang cinta," ucap Reza memecah keheningan.

Aku mendongak berusaha menatap wajahnya, lalu bertanya, "Apa?"

"Definisi cinta menurut aku, seperti senja dan sinarnya. Indah, saling melengkapi, namun harus mengalah pada hitamnya kegelapan. Tapi, ke indahan itu terus berulang, tak pernah bosan, sampai akhirnya dunia yang harus mematikan keindahan itu." Reza berucap begitu tenang dan santai.

"Apa yang kamu maksud dengan kegelapan adalah aku yang belum bisa melupakan masa laluku?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku. Entahlah, aku hanya merasa ... tersindir oleh ucapan Reza.

"Mari kita ubah kegelapan itu menjadi penyempurna keindahan cinta yang kita ciptakan, biarkan dia menyebar menjadi gelapnya malam, tapi kita jadikan malam sebagai ketenangan."

Reza memutar tubuhku agar bisa menatap netraku dengan jelas, dia mengambil cangkir teh dari tanganku dan menyimpannya di pembatas rooftop. Seperti tersihir, aku menatap iris mata Reza dengan lekat, sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kedua tanganku sudah digenggam oleh Reza.

"Will you be mine?"

Untuk kesekian kalinya Reza mengucapkan kata-kata itu. Tapi kali ini ada yang berbeda, jantungku seakan memompa darah lebih cepat dari biasanya. Apa ini pertanda bahwa aku sudah benar-benar mencintainya? Apa aku harus menerima dia sekarang?

"Please, jangan tolak aku lagi, aku yakin kamu bisa mencintaiku dan melupakan dia setelah kita terikat. Aku cemburu ketika kamu melamun karena memikirkan dia yang jelas-jelas menyakitimu, aku benci pada diriku sendiri ketika kamu menangisi dia yang jelas-jelas tak pernah menangisi nasibmu. Izinkan aku menjadi sandaran untukmu, izinkan aku menjadi senja yang pantang menyerah menyelimuti keindahanmu. Jika akhirnya aku harus kalah dengan gelapnya malam, izinkan aku untuk memberimu sebuah ketenangan." Air mata Reza mengalir dari sudut matanya.

Bimbang. Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku takut Reza hanya menjadi pelampiasanku, aku takut jika aku hanya bisa menyakitinya, aku takut ....

"Percaya padaku, aku bukan dia yang akan menyakitimu."

Lagi, ucapan Reza yang begitu memohon membuat aku semakin merasa bimbang. Tapi, bolehkah aku mencoba?

"Za, jangan seperti ini." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Reza berlutut di hadapanku, itu membuatku semakin tidak tega melihat wajah memelasnya.

Aku menarik nafasku dalam-dalam. "Bangunlah, aku, 'gak bisa liat kamu kayak gini, Za," keluhku sambil mencoba membangunkan Reza dari posisi berlututnya.

"Cobalah dulu," pinta Reza.

Aku mengangguk. "Aku akan mencobanya," ucapku dengan suara pelan, sepelan yang aku bisa. Karena nyatanya, aku sedikit ragu untuk memulai ini.

Reza berdiri lalu memelukku begitu erat. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang memompa dengan cepat, sama cepatnya dengan detak jantungku. Mungkin, ini adalah keputusan terbaik yang harus aku ambil saat ini.

"Makasih banyak. Aku janji, 'gak akan nyakitin kamu," bisik Reza sebelum akhirnya pelukan kami terlepas.

"Maaf kalo selama ini aku egois dan hanya mempermainkan perasaanmu, tapi percayalah aku hanya takut kamu tersakiti olehku. Aku takut jika suatu saat aku hanya membuatmu merasakan sakit hati dalam hubungan ini, karena jujur, Za, aku belum bisa melupakan dia sepenuhnya. Entah kenapa, aku mencintai sekaligus membenci lelaki itu." Aku berterus terang pada Reza. Ya, memang itu alasan terbesar aku menolak Reza beberapa kali.

Syafara >Completed<Onde histórias criam vida. Descubra agora