Tanpa Aba-Aba

325 96 9
                                    

"Lia," sapa kawan-kawan Lia begitu masuk ke ruang keluarganya. Lia menoleh ke pintu. Saat itu juga, senyum di wajah Lia mengembang. Begitu juga di dalam hatinya.

Gadis itu beringsut duduk. Cukup kesusahan, sebab tangannya belum sepenuhnya pulih meski sudah beberapa hari beristirahat di rumah. Lia mengatur bantalnya sebagai sandaran punggung.

"Ah, kangen banget!" Yezzy memanyunkan bibirnya.

"Kangen, Li. Baru berapa hari nggak ketemu rasanya udah gimana gitu." Cherry nyengir. "Sepi, gue duduk sendirian."

"Nggak ditemenin Handi?" kata Ryani yang terdengar seperti sindiran. Ryani kemudian menahan kekehan setelah melihat wajah Cherry merona. Begitu juga dengan Lia.

"Gimana keadaan lo, Li?" tanya Yezzy. Gadis itu meletakkan kantung plastik berisi beberapa makanan ringan di nakas.

"Ya gini," jawab Lia. Ia terkekeh. Tapi matanya memancarkan kesedihan. Dua matanya menyorot ke tangan kanannya yang terbalut bidai. Lia lalu menghela napas berat. "Susah juga mau ngapa-ngapain. Mau nangis aja gue tiap hari."

"Tenang, kita ada buat lo." Ryani mengacungkan ibu jarinya, lantas menepuk tangan Lia yang terbalut bidai.

"Aaa!!"

"Eh, maap maap. Sengaja," kata Ryani kemudian terkekeh puas tanpa suara.

Kalau ditanya apakah Lia ingin menangis atau tidak, sudah jelas jawabannya adalah tidak. Bukan keinginannya mengeluarkan air dari matanya. Meski akhirnya keluar juga dalam bentuk perisai seperti kaca yang hanya tertahan di bola matanya.

"Jangan nangis! Maapin gue, deh," kata Ryani mengimbuhkan. Gadis berambut pendek itu mengulurkan tangan. Berharap tangannya dijabat oleh Lia. Tapi kemudian Lia tertawa. Ryani sontak melongo. "Hah? Kenapa?"

"Lo ngulurin tangan kanan. Kan, gue nggak bisa pake tangan kanan," jawab Lia, yang langsung membuat tiga temannya terkekeh geli. "Eh iya, ada kejadian apa aja di sekolah? Banyak PR ya?"

"PR, sih, pasti ada," jawab Cherry.

"Terus ... si Mas Lino sama temen-temennya gimana?" Lia menatap kawan-kawannya. Jawaban yang ia inginkan adalah Lino sudah baikan dengan kawan-kawannya. Namun yang keluar dari mulut teman-temannya adalah jawaban lain.

"Nggak tau, deh, Li. Tapi di sekolah banyak yang nanyain lo. Terus tau-tau mereka udah tau kejadiannya. Gue juga nggak tau mereka tau dari mana. Tapi yang gue tau, kayanya itu berdampak kurang bagus, deh, buat Kak Lino," jawab Yezzy.

Lia mengernyit. Mata tajam itu menyorot satu per satu temannya yang justru menampilkan raut tidak menyenangkan. "Kok gitu? Emang kenapa?"

"Banyak yang ngomongin jelek tentang Kang Lino," jawab Ryani singkat. Gadis itu bersedekap. "Kayanya mereka nyalahin Kang Lino."

Perasaan Lia berkecamuk selepas mendengar penjelasan dari teman-temannya. Sedih, khawatir, merasa bersalah, semua menjadi satu. Semua hal yang telah terjadi membuat Lia justru menyalahkan dirinya sendiri. Sekali lagi, pikiran laknat itu menggerogoti otak Lia. Satu pikiran yang sekian lama mengganggu ketenangannya; Lia hanya menyusahkan semua orang.

Lia beringsut bangkit dari ranjang. Ia melangkah keluar kamar.

"Eh, mau ke mana, Li?" tanya Yezzy yang langsung sigap ikut berdiri dan mendekatkan diri pada Lia. "Gue temenin."

"Jangan ikut gue!"

Yezzy yang tersentak pun bertanya, "Loh, kenapa?"

"Gue mau pipis."

"Yeee... kirain kenapa."

Setelah Lia kembali ke kamar, Lia meminta Cherry menghubungi Handi.

"Halo, Han?"

Mas Kucing [END] ✓Where stories live. Discover now