Sebelum Jatuh

365 92 31
                                    

Yay, plesbek lagi hehew
Selamat membaca!

••

Sore itu, ketika bel tanda jam belajar berakhir berbunyi, Lia buru-buru membereskan loker mejanya. Entah karena grogi atau memang sudah muak dengan sikap Lino yang menurutnya menyakiti banyak hati, Lia tak tahu pasti. Setelah guru keluar dari kelas, Lia dengan sigap membawa tasnya berlari ke toilet.

"Ayo, Lia, lo harus berani. Jangan pernah nurutin gengsi. Ini demi semua orang. Demi persahabatan si Lino sama temen-temennya." Lia menepuk-nepuk pipinya usai meyakinkan diri di depan cermin toilet. Lia menghela napas panjang. "Oke. Gue berani. Ini demi gue juga. Gue harus tanggung jawab, gue harus minta maaf."

Gadis itu mengambil permen dari sakunya. Ia kunyah permen bertekstur kenyal itu sebagai penawar grogi. Lia merapikan seragamnya, kemudian keluar dari toilet.

Kebetulan, bertepatan dengan keluarnya ia dari pintu utama toilet perempuan, ia mendapati Abin yang juga baru saja keluar dari toilet laki-laki. Mereka berdua menghentikan langkah ketika menyadari keberadaan satu sama lain.

"Yuk, langsung ke rumah Lino!" ajak Abin seraya mengangguk.

Lia tak menjawab. Dadanya berdegup kencang. Seperti baru saja melihat kecoa raksasa terbang.

"Kenapa?" tanya Abin.

Lia tak menjawab.

Abin menyeringai. "Grogi ya, mau ketemu Lino?"

Lia tak menjawab. Hanya saja matanya membulat selepas mendengar Abin melontarkan pertanyaan macam ujian matematika yang Lia tak tahu rumusnya. Lia mendongak, menatap Abin yang tengah menaikkan alis.

Boyfriend material.

Tapi rasanya Lia hanya grogi bila ditatap  seperti itu oleh Lino. Lia menggeleng. Mikir apa, sih? Bego banget gue!

Abin menghela napas panjang. Ia sandarkan punggungnya ke dinding. Sembari melipat dua tangannya di dada, Abin menatap jauh ke depan. "Sebenernya gue yang grogi, sih. Seumur-umur gue kenal Lino, baru kali ini dia semarah ini. Gue yang kerjaannya bercanda sama dia jadi gimana gitu."

"Gimana?" tanya Lia yang terlihat tertarik.

"Ya ... aneh aja." Mengedikkan bahu, Abin lantas terkekeh geli. "Lo bayangin aja, lo bertahun-tahun sahabatan sama orang. Dia nggak pernah bener-bener marah sampe berhari-hari. Tiba-tiba dia gitu. Biasanya ke kantin bareng, nongkrong bareng, nemenin dia ngebucin kucing, biasanya dia masakin kita-kita di rumahnya, tau-tau sekarang dia musuhin gue sama yang lain."

"Gue nggak tau. Gue nggak pernah temenan sama orang selama itu." Lia menelan saliva.

"Ya, lo nggak pernah temenan sama orang selama itu, tapi pasti lo inget, kan, gimana Lino dulu?"

Mata Lia terbelalak. Ia refleks menoleh ke samping, menatap Abin yang juga sedang menatapnya. "Maksudnya?"

"Enggak. Udah ah, yuk! Keburu malem." Abin melangkah pergi.

Baru beberapa langkah Abin berjalan, Lia dengan mantap bertanya, "Kalian inget gue?"

Abin memutar badan. "Menurut lo?"

Lia memutar bola mata. "Ditanya malah balik nanya."

"Gue inget lo. Gue kan, yang nemenin Lino ngejar ngejar lo dulu." Abin terkekeh geli. "Nggak tau yang lain inget atau enggak. Tapi gue yakin, Bang Chan juga tau lo. Kalo Lino ... menurut gue dia inget. Tapi mungkin dia nggak berani aja."

Mata Lia menyipit. "Kenapa lo yakin Bang Chan tau gue?"

Abin berdecak. "Lo kaya nggak tau dia aja. Dia itu kaya CCTV, guru BK, kaya orang punya indera keenam. Gue nyembunyiin dolar di knalpot aja dia tau. Punya byakugan, kali."

"Apaan tuh?"

"Itu, kemampuan matanya klan Hyuuga."

"Siapa, sih?"

"Temennya Naruto. Naruto udah mati, btw."

"Ya gue nggak mau tau, sih."

"Tapi tadi lo nanya."

Lia mengembungkan pipi. Hampir saja satu tamparan dari Lia melayang di pipi Abin. Tapi Lia mengurungkan niatnya. Yang pertama karena ingat bahwa lelaki di hadapannya adalah kakak kelas. Yang kedua karena bisepnya besar.

"Udah ah, buruan! Keburu senja. Nanti gue telat ngegym."

Abin dan Lia meninggalkan toilet. Koridor-koridor kelas sudah mulai sepi. Di chat, Lia mendapat kabar bahwa kawan-kawannya sudah menunggu di tempat parkir.

"Ngomong-ngomong, Li. Berarti lo inget Lino ya? Atau jangan-jangan lo nggak bisa lupa?" goda Abin.

"Ish, apaan, sih?"

"Padahal, lo ini cinta pertamanya Lino, loh. Lo nggak tau, kan? Dulu waktu lo pindah, Lino nungguin di depan rumah lo. Dulu kata Handi sama Yosi, Lino sampe kaya gembel. Lino sampe diledekin sama temen-temen."

"Serius dia nungguin?" Lia terkekeh. Ia sedikit malu. Tapi sebenarnya juga senang karena ada orang yang menunggunya.

"Tapi lo jangan tanya Yosi sama Handi. Udah pasti mereka nggak inget."

Mendengar ucapan Abin, Lia terkekeh.

Sesaat setelahnya, dari kejauhan keduanya mendapati kawan-kawan sudah menanti di tempat parkir. Handi melambaikan tangan dengan semangat, dan hanya dibalas oleh Abin dengan angkatan tangan sekilas. Abin dan Lia melanjutkan langkah mereka.

"Ngomong-ngomong, lo emangnya nggak ada rasa gitu, sama Lino?" tanya Abin.

Lia berdecak. "Rasa apaan?"

"Ya kali aja lo suka sama Lino."

"Enggak."

"Terus kenapa lo mau ke rumah Lino sekarang?"

Lia terdiam. Dengan sekejap dirinya bisa merasakan kecanggungan. Lia benar-benar baru sadar, dirinya melakukan hal untuk orang lain yang menurutnya tidak terlalu penting. Apa lagi orang itu adalah Lino. Pria yang selama ini kerap membuatnya kesal setengah mati. Pria yang membuatnya masuk ke dalam masalah bahkan saat dirinya masih menjadi siswa baru.

"Nggak bisa jawab ya?" ledek Abin yang kemudian tersenyum remeh. "Kadang emang rasa suka sering nggak disadarin."

Lia menelan saliva. Kalau dipikir-pikir, saat ini Lia baru sadar, selama ini dirinya merasa senang ketika Lino mengajaknya jalan-jalan, mengajaknya ke pet shop, bahkan ketika Lino melakukan hal gila di jalanan. Rasanya ingin mengulangnya lagi. Lebih sering.

Abin menghentikan langkah, begitu juga dengan Lia. Abin menghela napas. Ia tatap kawan-kawannya dari kejauhan. "Sebelum kita sampe ke sana dan mereka denger obrolan kita, gue mau denger alesan simple lo. Kenapa lo mutusin ke rumah Lino sore ini? Jawab atau gue aduin ke kakek lo kalo lo nyolong kucing orang?"

Mata Lia membulat. Ia paling tidak bisa kalau sudah diancam seperti itu. Lia menghela napas panjang. Ia berdecak, menatap ke segala arah. "Ya gitu."

"Gitu gimana?"

"Woi, lama amat?!" Handi mulai berjalan mendekati Abin dan Lia.

"Sebelum Handi sampe sini, jawab atau gue bilang ke Handi kalo-"

"Iya iya iya."

"Cepetan."

"Gue pengen dia ada terus buat gue. B-buat kita, maksudnya. Gue nggak pengen dia berubah. Berhari-hari gue mikirin. Gue mau ngelakuin sesuatu buat dia yang ternyata dulu udah bikin gue ngerasa berharga."

"Heh, ngapain berduaan?" tanya Handi ketika sampai di hadapan Abin dan Lia. Handi menatap Abin. Matanya mengintimidasi. "Mau nikung Mas Lino, lo?"

"Iya," jawab Abin.

Handi mendelik. "Wah, rese. Mau gue tonjok?"

"Yang ada lo yang gue tonjok." Abin terkekeh. "Ya mana mungkin gue nikung Lino? Kurang kerjaan."

Handi mendengkus lega. Handi lantas menatap Lia. "Yuk, Ibu negara! Bapak negara udah menanti di rumah."

"Apaan, sih?" Wajah Lia memerah.

"Ciieee, mukanya merah," ledek Handi.

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang