Dari Hati Lia

408 99 23
                                    

Bahkan ketika gue udah mulai berusaha, usaha gue sia-sia. Gue jatuh. Gue malah nyusahin banyak orang.

Lia menitihkan air mata. Tangan kirinya buru-buru mengusap pipinya. Ia melihat seluruh sisi ruangan. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat pasien. Tapi tak ada seorang pun yang menemaninya. Lia ingat, semalam ketika teman-temannya ingin menjenguknya, yang ia dengar hanyalah kemarahan kakeknya pada kawan-kawan di luar ruangan.

Lia menghela napas panjang. Bersyukur, dirinya masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup dan hanya mendapat patahan di tulang hasta kanannya saja. Ia harus cepat sembuh. Setelah itu, ia hendak meminta maaf kepada kakek dan kawan-kawannya atas kesalahannya selama ini.

Pintu kamar terbuka. Lia melihat wanita lansia tersenyum padanya. "Nenek bawain susu. Katanya susu bagus buat tulang." Wanita lansia itu meletakkan paper bag berisi susu, buah, dan roti ke nakas.

"Kakek mana?"

"Lagi ngurus sisa administrasi."

"Nenek nggak nelfon Papa sama Mama, kan?"

Rodiyah tersenyum. "Enggak. Mereka pasti marah sama kamu kalau dikabarin sekarang. Yang penting kamu sembuh dulu."

Lia tersenyum. Matanya beralih menatap jam, sudah pukul 06.05.

"Semalam kakek marah sama temen-temen kamu. Terutama sama yang namanya Lino. Dia minta maaf berkali-kali tapi kakek tetep marah. Akhirnya semua temen kamu diusir sama Kakek."

Mata Lia terbelalak. Lia bangkit dari posisi tidurannya. Duduk, ia memosisikan bantal hingga nyaman untuk dijadikan sandaran bagi punggungnya. "Terus gimana, Nek?"

"Mereka pulang. Kecuali Lino. Dia nunggu kamu di luar."

"Sekarang masih nunggu nggak?"

"Nenek lihat, tadi sudah nggak ada. Mungkin tadi subuh pulang."

"Oh."

"Dia suka sama kamu?"

Lia mendelik, kemudian menggeleng. "Enggak kok, Nek. Cuma temen."

Rodiyah kemudian terkekeh. "Haduh, dasar, anak SMA," ujarnya sembari menata nakas. Tangannya yang mulai keriput dengan tangkas merapikan nakas, memasukkan barang-barang yang tidak diperlukan ke loker kecil yang disediakan di kamar pasien.

Lia memperhatikan neneknya dengan seksama. Timbul rasa bersalah dalam hati. Apakah benar selama ini ia hanya menyusahkan orang lain seperti yang dikatakan kakaknya? Kalau benar begitu harusnya dirinya tak perlu meminta pindah ke sana ke mari, toh akhirnya juga sama-sama menyusahkan orang lain, seperti yang kerap dikatakan oleh kakaknya.

Lagi-lagi air matanya menetes. "Nek, Lia nyusahin semua orang ya? Lia ... nggak berguna?"

Rodiyah berhenti bergerak. Ia menatap cucunya. Wanita lansia itu kemudian menghela napas berat. "Hus, jangan bilang gitu! Kata siapa? Kamu tinggal sama kakek nenek aja nenek udah seneng. Kamu nemenin nenek sama kakek, kamu bantu-bantuin kita. Bahkan temen-temen kamu pun kemarin banyak yang ngantar kamu ke sini. Itu artinya kamu berarti buat mereka."

Tangan Rodiyah mengelus kepala cucunya. Wanita itu tersenyum lembut. Tapi senyumnya justru membuat air mata cucunya mengalir semakin deras. Lia akhirnya memeluk neneknya menggunakan sebelah tangan.

"Kak Leon sering bilang kalo Lia nyusahin semua orang, Nek. Gara-gara Lia, Kak Leon pisah sama temen-temennya. Gara-gara Lia, semua berubah. Bahkan Lia tinggal di sini pun masih nyusahin orang."

Rodiyah mengelus punggung cucunya. Sambil menggeleng, ia berkata, "Enggak, huss. Jangan bilang gitu. Kakakmu itu bohong. Dia cuma emosi. Dia belum dewasa. Udah, nggak usah dimasukin ke hati. Nenek juga tau kakakmu itu orang seperti apa. Dia cuma belum bisa nerima semuanya."

Lia membenamkan wajahnya ke pelukan Rodiyah. "Lia pengen di sini terus, Nek."

Rodiyah kemudian melepas pelukannya. Ia menatap cucunya iba, hingga akhirnya dirinya menyadari sesuatu. Kedatangan Lia bukanlah karena dua orang tua Lia sibuk. Tapi lantaran Lia sudah tak betah dibayang-bayangi oleh perkataan kakaknya yang tak wajar. Rodiyah mendengkus. Bisa-bisanya cucu sulungnya bersikap sekekanakan itu.

"Jangan suruh Lia pulang ke Tangerang, ya, Nek," pinta Lia dengan suara parau. Neneknya mengangguk lantas tersenyum.

••

"Kek, saya bener-bener minta maaf." Lino menundukkan kepala di hadapan Darman. Pria itu benar-benar menyesali perbuatannya. Setelah semalam sempat diusir oleh Darman, Lino akhirnya datang kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Lia sepulang sekolah. Sayang kakeknya berjaga di luar ruang rawat Lia.

Darman menghela napas. "Saya sudah dengar cerita dari istri saya. Lia cerita ke dia. Saya sudah dengar semua. Saya juga minta maaf."

Lino mendongak menatap Darman. Matanya berbinar. Harapannya untuk mendapat ampunan dari Darman terasa lebih meyakinkan. Ia kemudian menundukkan kepala lagi. Tersenyum, merasa sedikit lega.

"Tapi," sambung Darman, membuat Lino mendongak menatap Darman kembali.

Jantung Lino seperti menghantam dadanya dari dalam. "Kenapa, Kek?"

"Kamu ngapain semalem nungguin Lia? Memangnya Lia anak kamu? Cucu kamu? Dia cucu saya."

Lino terbungkam. Berkedip beberapa kali, ia kemudian nyengir. "Anu, Kek. Enggak pa-pa, kok. Cuma gabut aja."

"Gabut itu apa?"

"Gabut itu ... saya pernah baca katanya artinya makan gaji buta."

Darman mendelik. "Oh kamu makan gaji buta? Kamu bolos kerja? Enak ya kamu? Hah?" Darman memukuli badan Lino dengan sapu tangan yang ia gunakan untuk membersihkan keringatnya, membuat Lino mengaduh kesakitan sekaligus ingin muntah ketika bau sapu tangan tersebut menyeruak ke hidung mancungnya.

"Aduh, ampun, Kek! Bukan gitu maksudnya."

"Terus gimana?"

"Gabut itu ... enggak ada kerjaan, Kek. I-iya, enggak ada kerjaan. Maksudnya punya waktu luang gitu. Iya, Kek, gitu. Ho'oh."

"Memang kamu nggak ada kerjaan di rumah? Cuci piring, cuci baju atau apa. Kucing-kucing kamu mau kamu anggurin?"

Bicara dengan Darman serasa bicara dengan pengacara atau apapun yang sejenis. Ini bahkan lebih menakutkan dibanding disidang oleh Chandra bagi Lino. Lino menggaruk hidung mancungnya. Ia menghela napas, tak tahu harus bagaimana menghadapi Darman.

"Kaya begitu kok mau jagain cucu saya." Darman berkacak pinggang.

Lino masih menunduk, tak menjawab lantaran teringat oleh bau sapu tangan Darman.

"Tadinya saya kira teman kamu yang lengannya kekar yang paling payah. Badan kekar kok enggak kuat ngangkat cucu saya. Ternyata kamu lebih payah." Darman menggeleng.

Lino menelan salivanya. Benar kata Abin, dia akan lebih menyesal dari kemarin. Karena Dirinya kena marah dan diejek habis-habisan oleh Darman. Harusnya ia tak membiarkan Lia jatuh kemarin. Nyeselnya nggak nanggung-nanggung, pikirnya.

"Sudah. Pulang, kamu! Daripada di sini bikin rusuh."

Padahal yang bikin rusuh bukan gue duluan, pikir Lino sembari menelan salivanya. Lino tersenyum lalu menunduk ramah. "Ya udah, Kek, saya pulang. Salam buat-"

"WA'ALAIKUMUSSALAM." Mata Darman melotot sampai terlihat nyaris keluar dari tempatnya.

"Mari, Kek."

"Hm."

Lino melangkah pergi dari hadapan Darman yang masih berkacak pinggang seraya membelalakkan matanya.

Di kamar, Lia terkekeh geli. Dirinya yang sedari tadi mendengarkan percakapan kakeknya dan Lino menggeleng heran. Ternyata ada juga manusia seperti Lino. Tapi hal itu yang membuat Lia yakin untuk memutuskan sesuatu.

Mulai sekarang, Lia ingin terus bertemu dengan Lino.

••

Hai :D
Makasih banyak yang udah mampir dan ninggalin jejak di sini
Kurang beberapa chapter lagi Mas Kucing sampai ending, hehe

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang